Koalisi untuk Kepentingan Nasional

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa 24 Maret 2009
Pekan lalu istilah golden triangle politic (politik segitiga emas) muncul ke permukaan. Istilah yang dikemukakan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali ini untuk menggambarkan hubungan kesatuan tiga parpol besar yang lahir di zaman Orde Baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar (PG), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP—metamorfosis dari PDI). Indikasipun jelas setelah antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya dari ketiga parpol itu melakukan pertemuan dan menandatangani berbagai kesepakatan.
Pertemuan dan kesepakatan dari ketiga parpol itu diawali dengan pertemuan antara pimpinan PPP dan PG (Sabtu, 7/3). Sekitar empat hari kemudian (Kamis, 12/3), pimpinan PG dan PDIP mengadakan pertemuan dan dilanjutkan dengan pertemuan pimpinan PDIP dan PPP (Kamis, 19/3). Secara garis besar, pertemuan pimpinan antartiga parpol itu bertujuan membangun pemerintahan yang kuat untuk kemajuan bangsa dan negara. Ketiga parpol ingin membangun sistem multipartai sederhana dan memperkuat institusi parpol sebagai pilar utama demokrasi. Kesepakatan juga menggariskan komitmen untuk menyukseskan hajatan pemilu 2009.
Sebagai bentuk komunikasi politik, pertemuan itu pastinya bermakna untuk menciptakan iklim kondusif menjelang hajatan pemilu 2009. Entah apakah pertemuan itu ditindaklanjuti ke pembentukan koalisi, hasil pemilu legislatif yang menentukan. Di tengah sistem multipartai dan tuntutan presidential threshold, koalisi memang menjadi keniscayaan. Untuk menggolkan capres-cawapres sekalipun, tak ada parpol yang akan begitu digdaya berjuang sendirian. Persyaratan 20% kursi di DPR dan 25% suara sah secara nasional memerlukan koalisi strategis untuk menuju kursi presiden. Ke depan, wacana dan peta koalisi dipastikan akan terus bergerak dinamis setelah Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum mencoba menyikapi kemungkinan adanya koalisi segitiga emas dengan mengeluarkan istilah koalisi jembatan emas (Jum’at, 20/3). Di lain pihak, koalisi dengan tajuk Blok Perubahan terlebih dahulu muncul dengan tokoh sentralnya Rizal Ramli. Amien Rais pun pernah mengemukakan wacana poros alternatif untuk menghadirkan pemimpin nasional di luar SBY dan Megawati. Masa menjelang pemilu legislatif sampai menjelang pemilihan presiden dipastikan akan diwarnai dinamika wacana koalisi. Parpol seperti PAN, PKB, PKS, dan PBB dimungkinkan juga ikut mempengaruhi peta koalisi parpol menjelang pemilihan presiden.

Apapun koalisi yang terbentuk nantinya, kepentingan pragmatis untuk menduduki kursi kekuasaan memang tidak bisa dimungkiri. Meskipun dibalut dengan ungkapan demi perubahan dan perbaikan, setiap parpol tentu saja tidak ingin membentuk koalisi yang tidak menjamin perolehan kekuasaan. Pada titik ini, tujuan kepentingan kekuasaan tidaklah salah. Setiap parpol pasti mengklaim mampu menciptakan kehidupan yang baik bagi negeri ini dan membutuhkan ruang kekuasaan untuk mewujudkannya. Yang perlu ditegaskan, koalisi untuk kekuasaan hendaknya bukan menjadi tujuan utama (ultimate goal).
Dalam hal ini, koalisi parpol yang dibangun seyogianya tidak sekadar memenangkan pemilihan presiden, tapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas. Koalisi parpol yang dibangun nantinya tidak sekadar untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Pemerintahan yang kuat dengan dukungan parlemen bukanlah jaminan menjadikan negeri ini lebih baik tanpa pemerintahan yang mampu memerintah dan mengelola negara. Maka, koalisi parpol yang dibangun hendaknya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan yang kuat dan mampu mengelola negara dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional yang telah diamanatkan konstitusi. Koalisi parpol dibangun untuk mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Setiap parpol yang akan mengadakan koalisi hendaknya menyadari bahwa masyarakat di negeri ini akan mengalami frustasi dari kekecewaan mendalam akibat dunia politik hanya dijadikan ajang permainan belaka. Pada dasarnya, masyarakat tidak peduli seperti apa koalisi yang akan dibangun. Masyarakat hanya ingin siapapun yang memerintah nantinya mampu bekerja maksimal mewujudkan kemaslahatan hidup masyarakat dan mampu mengelola negeri ini menuju kebangunannya. Ya, kita nantikan lebih lanjut episode politik yang tentunya senantiasa bergerak dinamis. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29709&Itemid=62

Kampanye Tidak Mencerdaskan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Seputar Indonesia, Selasa 17 Maret 2009
DALAM hajatan Pemilu, kampanye parpol dan caleg memang penting. Pada titik ini, tampaknya masih tersirat kesan bahwa elite politik menganggap masyarakat kurang cerdas. Ada sebagian parpol dan juga caleg menebar iklan kampanye yang cenderung mengasumsikan masyarakat tidak kritis. Seperti kita lihat, ada parpol memanfaatkan suatu kebijakan penurunan harga BBM untuk memikat hati masyarakat. Tentu kita bisa bertanya, apakah parpol yang mengiklankan itu melupakan efek kenaikan harga BBM? Boleh jadi penurunan harga BBM tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat ketika harga-harga kebutuhan pokok melambung akibat kenaikan BBM.
Terkait klaim keberhasilan pemerintahan, tidak hanya satu parpol yang memanfaatkannya. Apapun kebijakan dan hasil kebijakan yang ternyata berkontribusi positif bagi masyarakat dijadikan senjata kampanye. Entah, siapa yang mau menjadikan kasus lumpur Lapindo dan derita korbannya sebagai materi kampanye. Jika parpol dalam kampanye selalu menampakkan yang baik, itu merupakan keniscayaan. Pertanyaannya, benarkah wajah negeri ini benar-benar baik seperti diiklankan beberapa parpol yang mengungkap keberhasilan roda pemerintahan? Disadari atau tidak, lapisan masyarakat yang hidup tertindas di negeri ini seolah-olah dianggap tidak ada. Masyarakat marjinal adalah suara bisu yang tak terdengar di telinga elite politik yang berburu kekuasaan. Korban lumpur Lapindo, keberadaan anak jalanan, tenaga kerja yang teraniaya, dan balita gizi buruk dilupakan. Mengapa yang diklaim adalah keberhasilan? Mengapa yang diklaim bukan kegagalan?
Di sisi lain, ada parpol dan caleg memanfaatkan penderitaan masyarakat sebagai jualan kampanye. Siapapun caleg akan berkata memperjuangkan masyarakat kecil. Pengentasan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, pendidikan murah, dan sejenisnya menjadi tema parpol dan caleg dalam kampanyenya. Pernyataan-pernyataan klise yang acap kali disuarakan parpol dan caleg karena memang tidak mungkin ada parpol dan caleg berkampanye tidak untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Jika mau jujur, belum ada parpol dan caleg menjabarkan secara lebih rinci langkah-langkah pelaksanaan programnya. Yang dilakukan hanyalah mengandalkan kalimat-kalimat propaganda dalam kampanyenya. Bahkan, ada juga sebagian parpol dan caleg melakukan money politics untuk membeli suara masyarakat. Dari kampanye seperti itu, kualitas dan kemampuan yang sesungguhnya dari parpol dan caleg dalam memperjuangkan kemaslahatan hidup masyarakat belum bisa diketahui secara benderang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/221615/

Selamatkan Anak Balita Kulonprogo

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Senin 16 Maret 2009
SUNGGUH memilukan membaca berita mengenai anak-anak balita yang didera gizi buruk di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Anak-anak yang masih dalam usia emas untuk tumbuh dan berkembang harus menghadapi kenyataan keminiman asupan gizi. Tentu saja, efek dari gizi buruk itu akan membahayakan masa depan anak-anak.
Kebutuhan makanan bergizi yang sebenarnya menjadi prioritas ternyata tidak didapatkan secara memadai. Sekitar 23 anak yang dikabarkan menderita gizi buruk di Kecamatan Kokap pada akhir Februari lalu hanyalah sepenggal kisah nestapa anak-anak balita Kulonprogo yang kekurangan asupan gizi.
Tanggung jawab utama kasus gizi buruk yang terjadi di Kulonprogo jelas berada di pundak pemerintah daerah. Pemerintah daerah Kulonprogo tentu harus bekerja keras mengatasi kasus gizi buruk di daerahnya. Apalagi menyangkut anak-anak balita yang merupakan aset potensial regenerasi sebuah masyarakat, penanganan kasus gizi buruk perlu dijadikan program darurat. Selain di Kecamatan Kokap, di Kecamatan Sentolo juga dilaporkan ada sekitar delapan anak menderita gizi buruk dan 32 anak berstatus rawan gizi buruk pada akhir bulan lalu.

Kasus gizi buruk sebagai fenomena sosial memang harus dijadikan permasalahan serius. Kasus gizi buruk dapat mengakibatkan lost generation yang tentu saja tidak diharapkan. Di Kulonprogo, pada tahun 2008 lalu tercatat sekitar 215 anak menderita gizi buruk dari sekitar 21.547 anak yang terdata.
Meskipun jumlahnya menurun dari tahun ke tahun, tetapi penurunannya tidak signifikan. Tak dimungkri pula jika kasus gizi buruk ibarat gunung es yang tak seluruhnya bisa diketahui secara pasti.
Terkait dengan faktor penyebab kasus gizi buruk, kemiskinan selalu ditempatkan sebagai faktor utama. Kemiskinan sering kali menyebabkan penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar sekalipun. Di Kecamatan Sentolo, misalnya, ada empat desa dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni Desa Demangrejo, Srikayangan, Tuksono, dan Salamrejo. Kemiskinan memang menjadi persoalan pelik penduduk untuk dapat bertahan hidup. Kebutuhan makan sehari-hari saja harus dipenuhi dengan pikiran dan tenaga yang berlipat-lipat. Dalam keluarga dengan jumlah anggota keluarga banyak, kemiskinan tentu menimbulkan persoalan pelik. Tidak hanya soal kebutuhan makan, kebutuhan dasar lainnya sering kali terlupakan. Fakta adanya anak-anak yang harus bekerja menyambung hidup keluarga sudah bukan rahasia lagi.
Kemiskinan juga mengakibatkan tidak terjaminnya kesehatan ibu. Ibu yang mengandung kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Asupan gizi ibu yang mengandung terabaikan dan dengan sendirinya berdampak terhadap bayi yang dikandungnya. Air susu ibu pun menjadi kurang memadai bagi bayi yang dilahirkan, padahal air susu ibu merupakan kebutuhan penting bagi tumbuh kembang anak di masa awal kehidupannya.

Institut PendidikanSelain persoalan kemiskinan, tingkat pendidikan penduduk juga berpengaruh terhadap kasus gizi buruk di Kulonprogo seperti dikatakan Bambang Haryatno. Direktur RSUD Wates itu memaparkan fakta bahwa seluruh pasien gizi buruk adalah penduduk pinggiran, jauh dari berbagai fasilitas, dan kurang mampu. Faktor ekonomi yang buruk dan pendidikan yang kurang mengakibatkan kurangnya kesadaran ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan saat mengandung, termasuk juga memperhatikan kesehatan anak-anak balitanya (Suara Merdeka, 27/2).
Pada dasarnya, dana penanganan gizi buruk di Kulonprogo telah dianggarkan, namun sepertinya belum mampu menjadi solusi. Kebutuhan gizi penduduk Kulonprogo belum sepenuhnya ter-cover dengan besarnya dana penanangan gizi buruk yang digelontorkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu semaksimal mungkin mendayagunakan dana tersebut untuk mengatasi kasus gizi buruk.
Anggaran sekitar 600 juta yang kabarnya disediakan pada tahun ini selayaknya dapat terserap maksimal agar derita gizi buruk lenyap dari bayang-bayang anak-anak Kulonprogo. Jika memang kemiskinan menjadi faktor penyebab kasus gizi buruk, maka pemerintah daerah tentu saja tidak bisa cuci tangan meningkatkan taraf hidup penduduk di daerahnya.
Selain itu, permasalahan gizi buruk di Kulonprogo hendaknya menjadi tanggung jawab sosial kemanusiaan seluruh warga Kulonprogo dan warga DIY.
Meskipun terdapat penduduk miskin dan malah super miskin, warga di Kulonprogo tentu saja ada yang berkemampuan secara ekonomi. Kepedulian sosial sudah seharusnya ditunjukkan karena permasalahan gizi buruk menyangkut nasib dan keberlanjutan generasi. Masyarakat yang secara finansial memadai tak ada salahnya menanggung beban masyarakat yang lemah secara ekonomi.
Di sisi lain, penumbuhan kesadaran penduduk untuk memperhatikan kondisi kesehatan dan asupan gizi bagi anak-anak balita tidak boleh dilupakan. Bukan rahasia jika ada keluarga yang pengeluaran sehari-harinya begitu besar, tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya kurang penting dan mendesak. Tak ketinggalan organisasi sosial kemasyarakat bisa turun ke lapangan untuk menumbuhkan kesadaran terkait pemenuhan gizi anak-anak balita. Begitu pun pentingnya kesadaran ibu yang mengandung agar menjaga kondisi kesehatan dan janinnya. Upaya-upaya promotif dan preventif kasus gizi buruk setidaknya lebih diutamakan ketimbang pada upaya yang lebih bersifat kuratif. Kecenderungan bergerak dan bertindak saat kasus gizi buruk merebak semestinya ditinggalkan.
Kasus gizi buruk di Kulonprogo yang menimpa anak-anak sudah sewajarnya ditangani secara serius. Masa depan keberlanjutan generasi ada dipundak anak-anak Kulonprogo yang mungkin saat ini sedang berhadapan dengan keadaan gizi memprihatinkan. Potensi kecerdasan anak-anak Kulonprogo tidak harus menjadi lemah akibat gizi buruk yang menerpa. Anak-anak Kulonprogo adalah bagian dari anak-anak Indonesia yang tidak boleh ditelantarkan kebutuhan gizinya untuk dapat menggapai kehidupan cerah di hari depannya. Wallahu a'lam. (35)
—Hendra Sugiantoro, aktivis Transform Institute (Trans-F) di Universitas Negeri Yogyakarta

Ijazah Ilegal dan Sikap Pragmatis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pendapat Guru Kedaulatan Rakyat, Jum'at 13 Maret 2009
Kasus ijazah ilegal mengguncang kota Jogja. Keprihatinan pun menyeruak. Siapa pun miris dan bersedih menyaksikan kasus ijazah ilegal terjadi di kota yang tercitrakan sebagai kota pendidikan. Penulis pun hanya diam tak tahu harus berkata apa ketika mengikuti pemberitaan media massa. Tidak hanya diberitakan di kota gudeg ini, pemberitaan kasus ijazah ilegal diberitakan menembus batas-batas wilayah Jogja, bahkan sampai luar Jawa.
Pastinya, permasalahan ijazah ilegal telah menjadi fenomena mencemaskan. Jika kini STKIP Catur Sakti yang diduga mengeluarkan ijazah ilegal menjadi bahan berita, kasus serupa sebelumnya pernah terdengar. Tidak menutup kemungkinan jika kasus ijazah ilegal akan terulang kembali. Dalam hal ini, dunia pendidikan Jogja dituntut melakukan introspeksi. Pengawasan dan kontrol terhadap PTS perlu menjadi catatan penting. Terkait kasus ijazah ilegal di STKIP Catur Sakti, misalnya, mengapa kasusnya diketahui saat ini, padahal disinyalir sudah berlangsung sejak tahun 2002? Dari tahun 2002 sampai tahun 2008, 1400 ijazah ilegal telah diterbitkan, bahkan beberapa lulusannya menggunakan ijazah ilegal itu untuk bekerja di sebuah instansi. Lantas, bagaimana fungsi pengawasan yang dilakukan selama ini?
Kasus ijazah ilegal memang selayaknya ditangani secara arif. Sanksi tegas kepada PTS yang telah dipastikan secara hukum mengeluarkan ijazah ilegal harus diberikan agar memberikan efek jera dan tidak terulang kasus serupa di kemudian hari. Lebih dari itu, Kopertis seyogianya bekerja lebih ekstra lagi melakukan pembinaan dan pengontrolan terhadap PTS. Khusus di DIY, Kopertis Wilayah V ditantang agar kelak kasus ijazah ilegal tidak melanda Jogja. Memang kebutuhan informasi publik menjadi hal yang niscaya agar diketahui PTS-PTS mana yang bermasalah, tapi mencegah PTS agar tidak bermasalah menjadi hal utama. Jangan sampai kota Jogja turun derajatnya akibat tidak terjaminnya mutu perguruan tinggi khususnya PTS. Sah-sah saja PTS didirikan di kota ini, tapi janganlah asal-asalan dalam mengelolanya. Pada titik ini, izin pendirian PTS di kota Jogja juga harus dilakukan secara ketat dan selanjutnya perlu dikontrol seintensif mungkin.
Di sisi lain, fenomena ijazah ilegal tidak harus melulu dilihat dari sudut hukum. Kasus ijazah ilegal sebenarnya merupakan sikap mental pragmatis masyarakat yang terjadi secara meluas. Perilaku mengambil jalan pintas hampir terjadi di seluruh lini kehidupan. Kasus korupsi, misalnya, berkait kelindan dengan kasus ijazah ilegal. Sikap mental bersifat pragmatis, kata Aspiannor Masrie (2007), terlihat dari budaya masyarakat materialistis dengan memandang sesuatu dari benda yang dimiliki tanpa pernah bertanya darimana semuanya didapat. Demi mengejar jabatan atau tujuan tertentu, ijazah ilegal pun dihalalkan. Persoalan menjadi kian rumit jika sikap mental pragmatis justru terjadi di dunia pendidikan. Pendidikan sebagai kunci membangun karakter suatu masyarakat malah membudayakan perilaku menghalalkan segala cara. Mungkin bisa saja dikatakan maraknya kasus ijazah ilegal akibat tuntutan kepemilikan gelar sarjana, tapi apakah tuntutan itu harus dilakukan secara tidak benar? Jika karakter kerja keras dan daya juang telah terinternalisasi, maka tuntutan itu menjadi sebuah tantangan meningkatkan kualifikasi personal.
Tampaknya, pola pikir bahwa harga diri seseorang ditentukan dari materi semata perlulah dirombak. Pola pikir semacam itu telah merasuk kuat di benak masyarakat sehingga hanya menghargai seseorang dari gelar, jabatan, harta, dan materi-materi lainnya. Justru yang harus ditekankan adalah derajat seseorang dilihat dari kemampuan dan kontribusinya bagi masyarakat. Pola pikir materialistis membentuk sikap mental pragmatis, termasuk halnya yang terjadi pada kasus ijazah ilegal. Jika pun gelar sarjana adalah tuntutan, maka itu diraih secara legal dengan tujuan meningkatkan kualifikasi untuk berkontribusi membangun masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati pendidikan pada Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=193867&actmenu=43

Anggota DPR (Tidak) Korupsi Lagi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Sabtu 7 Maret 2009
Tertangkapnya salah satu anggota DPR Abdul Hadi Djamal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat penyalahgunaan jabatan beberapa waktu lalu (2/3) tentu saja mencoreng wajah parlemen. Di tengah merosotnya kepercayaan masyarakat, kasus yang sekali lagi menimpa salah satu anggota DPR akan menambah berat tugas lembaga negara itu memperbaiki citranya. Sebuah tamparan tentu saja dirasakan, apalagi pemilihan umum anggota legislatif tinggal menunggu hitungan hari.
Tentu saja kita berharap agar kasus korupsi atau yang diindikasikan korupsi di tubuh parlemen tidak memunculkan apatisme absolut masyarakat. Memang nila setitik akan rusaklah susu sebelanga, namun kita pun perlu melihat bahwa tidak seluruh anggota DPR berlaku serupa. Dengan kata lain, masih banyak anggota DPR yang berlaku bersih dan amanah dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat. Pun, calon anggota legislatif yang telah mempromosikan diri dan akan berlaga dalam pemilihan anggota legislatif mendatang tidak semuanya berkategori buruk.
Dalam hal ini, masyarakat hendaknya bisa semakin cerdas dalam menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di DPR. Pengalaman adanya beberapa anggota DPR terjerat kasus korupsi harus dijadikan pelajaran agar tidak memilih calon anggota legislatif secara asal-asalan. Kita berharap agar calon anggota legislatif yang kelak terpilih benar-benar amanah dan tidak menyalahgunakan jabatannya. Komitmen parpol sebagai rahim dari calon anggota legislatif untuk memberantas korupsi seyogianya tidak sekadar berhenti pada tataran deklarasi semata, tapi harus diimplementasi secara nyata. Sebagaimana kita saksikan, sebanyak 44 petinggi parpol peserta Pemilu 2009 pada akhir Februari lalu (25/2) menghadiri Deklarasi Partai Politik Lawan Korupsi di Gedung KPK di Jakarta. Deklarasi melawan korupsi jelas bukanlah sesuatu yang istimewa tanpa bukti riil di lapangan.
Persoalan korupsi anggota DPR harapannya memang berhenti pada periode ini. Kita berharap agar dalam periode lima tahun mendatang tidak dijumpai lagi kasus korupsi yang menimpa anggota DPR. Sungguh masyarakat bisa dibuat jenuh dengan maraknya pemberitaan korupsi yang menimpa pejabat negara dan anggota parlemen. Kemarahan masyarakat bisa saja memuncak menyaksikan kasus korupsi yang menyebabkan tidak optimalnya pengalokasian anggaran negara bagi kemaslahatan dan kesejahteraannya. Anggaran negara yang seharusnya dipergunakan sebagaimana mestinya justru dilahap oleh oknum-oknum yang begitu teganya mengkorupsi harta negara di tengah jerit derita rakyat yang masih terpontang-panting sekadar untuk mencukupi kebutuhan dasarnya. Disadari atau tidak, lamanya masa transisi yang harus dilewati untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa akan membuat masyarakat bosan. Efek buruknya, masyarakat dimungkinkan mengalami titik frustasi ekstrim yang mengakibatkan tidak stabilnya tatanan sosial kehidupan masyarakat.
Mungkin saja bagi aktor kekuasaan tidak menyadari efek buruk itu. Kekerasan yang saat ini marak di masyarakat, misalnya, sebenarnya bisa dibaca sebagai rasa frustasi masyarakat terkait kondisi kehidupan yang terus terjepit. Hidup masyarakat yang kurang terjamin tidak bisa terus-menerus berlangsung lama. Masyarakat tentu saja tidak ingin terus-menerus terengah-engah menafkahi kebutuhan hidupnya. Apakah masyarakat harus menunggu lima tahun lagi agar bisa hidup sejahtera? Jawabannya tentu saja tidak! Sekali lagi, masyarakat bisa dibuat frustasi menghadapi kenyataan itu. Frustasi semakin tidak terkontrol menyaksikan wakil-wakil rakyat melakukan korupsi di tengah tidak menentunya nasib dan masa depan kehidupan masyarakat.
Maka, siapa pun yang nantinya terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen harus berkomitmen memperjuangan kemaslahatan masyarakat. Kekuasaan yang didapatkan bukanlah ajang untuk menumpuk-numpuk harta dan memperkaya diri. Komitmen dan tindakan konkret menghindari perbuatan korupsi merupakan keniscayaan. Ada tanggung jawab besar di pundak para wakil rakyat untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Pada titik ini, parpol tidak bisa abai dengan kredibilitas dan integritas calegnya. Parpol bisa saja memantau setiap bentuk kampanye calegnya yang masih akan berlangsung sampai 5 April 2009 nanti. Tidak bisa dimungkiri jika praktik money politics dilakukan sebagian caleg dalam pelaksanaan kampanye sampai detik ini. Terkait dengan praktik money politics yang disinyalir dilakukan sebagian caleg, parpol tentu saja berkewajiban melakukan teguran keras. Begitu juga dengan harta kekayaaan dan asal dana kampanye caleg, parpol bisa mengontrol caleg-calegnya mengingat tak adanya peraturan yang mengharuskan caleg melaporkan harta kekayaan dan asal dana kampanye. Parpol berkewajiban mencegah caleg-calegnya mendapatkan dana kampanye secara tidak legal.
Jelasnya, kita sangat mengharapkan anggota DPR periode lima tahun mendatang benar-benar bersih korupsi dan mampu menunjukkan kinerja secara profesional. Caleg yang terpilih memang harus peduli dan ”hidup bersama rakyat” tidak hanya menjelang Pemilu. Itulah yang sebenarnya ditunggu-tunggu masyarakat sejak lama. Semoga pemilihan anggota legislatif mampu menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan tidak menampakkan perilaku korupsi lagi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis pegiat Transform Institute (Trans-F) pada Universitas Negeri Yogyakarta

Meneladani Nabi SAW

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 6 Maret 2009
Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, kita memperingati Maulid Nabi. Dalam kalender Masehi, Maulid Nabi tahun ini jatuh pada Senin (9/3) pekan depan. Peringatan Maulid Nabi sampai kini masih menimbulkan perdebatan mengenai boleh atau tidaknya kelahiran Nabi Muhammad SAW diperingati. Hal ini didasari bahwa Nabi Muhammad dan para sahabat tidak menjadikan kelahiran Nabi Muhammad sebagai hari khusus yang harus diperingati. Pada titik ini, kita tidak akan memasuki wilayah perdebatan itu. Bagi yang menolak peringatan Maulid Nabi dipastikan ada dasarnya. Begitupun yang menerima peringatan Maulid Nabi juga memiliki dasar. Peringatan Maulid Nabi pada hakikatnya bertujuan untuk mengingatkan diri kita mengenai perjalanan hidup Rasulullah SAW berserta keteladanannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzab: 21).

Dengan peringatan Maulid Nabi, kita diingatkan untuk selalu bersyukur ke hadirat Allah SWT dengan diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah Islam kepada segenap alam demi tercapainya kemaslahatan kehidupan. Pastinya, kita sebagai umat Islam perlu menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dan panutan (uswatun hasanah). Kita mengingat dan meneladani Nabi Muhammad SAW tentu saja tidak hanya pada peringatan Maulid Nabi, tapi sepanjang hari dalam kehidupan kita. Peringatan Maulid Nabi hanya kita jadikan titik refleksi seberapa jauh diri kita telah meneladani Baginda Rasulullah SAW. Sungguh, kata Yusuf Qardhawy, teladan yang nyata bagi kesempurnaan dan keseimbangan antara idealisme dan realita, antara hati dan akal pikiran, antara ilmu dan amal, antara ruh dan materi, antara individu dan masyarakat, antara hak Tuhan dan hak diri, serta pemenuhan hak masing-masing tanpa mengurangi atau melebihkan adalah Rasulullah SAW.
Keteladanan Rasulullah SAW dapat kita jumpai di setiap peran kehidupan, entah itu sebagai seorang ayah, pedagang, pemimpin, suami, panglima militer, dan peran lainnya. Kehidupan Rasulullah SAW seimbang antara hubungan dengan Allah SWT dan hubungan dengan manusia lainnya. Rasulullah SAW hidup bermasyarakat dan menjadi tetangga yang baik. Membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW, kita dapat menjumpai empati dan kasih sayang beliau terhadap kaum yang tertindas. Beliau begitu menyayangi cucu-cucunya ketika menjadi seorang kakek dan tidak mengabaikan hak-hak istrinya. Rasulullah SAW adalah sosok yang menepati janji, bahkan dengan nonmuslim sekalipun. Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah SAW mampu memerintah secara adil dan bijaksana. Selain itu. keteladanan Rasulullah SAW tentu masih banyak lagi.
Pungkasnya, kita akan terus belajar dan berusaha meneladani Rasulullah SAW. Meneladani Rasulullah SAW bukanlah permintaan Nabi, tapi anjuran langsung dari Allah SWT. Untuk dapat meneladani Nabi Muhammad SAW, kita bisa mengkaji dan membaca sejarah hidup (sirah) beliau dan mengambil pelajaran darinya. Pada peringatan Maulid Nabi, lantunan shalawat yang terdengar membahana akan menjadi saksi cinta kita kepada Rasulullah SAW. Meskipun masih sulit mencintai Nabi Muhammad SAW, kita akan berusaha sebagaimana kata Muhammad Iqbal, “Cinta kepada Nabi mengalir bak darah di dalam urat-urat umatnya.” Shalawat dan salam selalu terhaturkan kepada Baginda Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati Masalah Agama pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Intelektualitas Kampus Mati?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis 5 Maret 2009

Menarik mencermati kegelisahan terkait dunia perguruan tinggi. Selama ini beragam opini beredar yang intinya mengkritisi matinya budaya intelektual kampus. Sebut saja persoalan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah. Di sisi lain, mahasiswa yang bertipikal main enaknya saja merupakan fakta yang tak dimungkiri. Budaya belajar di tingkat perguruan tinggi boleh dikatakan masih kalah jauh dengan angkatan Bung Karno dan kawan-kawan. Sebagian mahasiswa ada yang dihinggapi penyakit malas membaca dan mengkaji literatur mata kuliah. Mengerjakan tugas-tugas kuliah sekadar menyomot dari karya tulis orang lain dan mengabaikan kaidah penulisan secara tepat. Belum lagi menggejalanya perilaku mencontek saat ujian close book yang dilakukan sebagian mahasiswa.
Belum lagi yang terjadi di kalangan dosen. Sebagaimana dikatakan Mahfud MD, dunia akademik makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau disertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu (Agus Wibowo:2008). Adanya sebagian dosen yang sekadar melakukan rutinitas perkuliahan dan kurang melakukan pengembangan spesialisasi keilmuannya bukanlah rahasia lagi. Dalam memeriksa tugas-tugas mahasiswa, tak ada jaminan seorang dosen akan memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa dan melakukan penilaian obyektif.
Kondisi yang terkesan menyedihkan itu jelas kian bertambah dengan minimnya hasil karya tulis dari mahasiswa dan juga dosen, baik yang berupa artikel di media massa maupun karya ilmiah di jurnal ilmiah. Padahal, hal itu bermanfaat untuk berlatih memecahkan permasalahan-permasalahan, baik dalam kancah keilmuan maupun dalam kancah kehidupan sosial. Daya pikir mahasiswa dan dosen pun akan terasah sekaligus mempertajam pemikiran kritis. Dengan menghasilkan karya tulis akan berguna bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Totok Djuroto&Bambang Suprijadi:2003). Pertanyaan kemudian, benarkah dengan paparan fakta di atas menjatuhkan kesimpulan pada matinya intelektual kampus?

Meskipun terpapar fakta-fakta di atas, iklim intelektualitas di dunia perguruan tinggi tidak bisa dikatakan mati sama sekali. Ada dosen dan mahasiswa yang masih menyalakan tradisi intelektual yang sebenarnya bisa kita jumpai. Dosen tidak hanya cakap berkoar-koar di panggung seminar dengan materi itu-itu saja, tapi ada juga dosen yang mengabadikan pemikirannya lewat karya tulis. Di perguruan tinggi, dharma pendidikan, dharma penelitian, dan dharma pengabdian kepada masyarakat tidak sepenuhnya menghilang. Masih bisa kita jumpai konsistensi menegakkan tri dharma perguruan tinggi itu. Sebagaimana kehidupan, ada gelap dan ada terang. Di tengah fakta inteletualitas dunia perguruan tinggi yang seolah-olah gelap itu masih dijumpai cahaya terang.
Pastinya, mahasiswa dan dosen sebagai kaum akademisi yang notabene berpendidikan tinggi belum sepenuhnya bisa disebut seorang intelektual. Darmanto Djojodibroto (2004) menjelaskan bahwa tidak semua sarjana bisa digolongkan sebagai intelektual. Pun, seorang intelektual tidak harus menjadi sarjana. Artinya, lulusan perguruan tinggi tidak serta merta diakui sebagai seorang intelektual jika tidak memenuhi persyaratan. Dari sekian ratus ribu lulusan perguruan tinggi barang kali hanya sebagiannya saja yang pantas disebut seorang intelektual, selebihnya hanya sekadar membanggakan gelar sarjananya. Ada hal lain yang perlu dimiliki seorang intelektual, yakni berminat atau peduli pada masalah-masalah yang menyangkut nasib manusia yang berkaitan dengan moral dan politik. Selain itu, seorang intelektual juga harus mampu menyatakan hasil pemikirannya secara lisan dan secara tertulis. Seorang intelektual hidup dalam dunia idealita dan ingin melakukan perbaikan terhadap tatanan kehidupan yang jauh dari idealita.
Yang perlu digarisbawahi, dunia perguruan tinggi tidak sekadar melahirkan sarjana formal bertoga, tapi juga memiliki tugas penting melahirkan kader-kader intelektual dengan menumbuhsuburkan budaya intelektual. Dengan kata lain, dunia perguruan tinggi hanyalah medan penempaan bagi terbentuknya kaum intelektual. Jika perguruan tinggi mampu melahirkan kader-kader intelektual, maka kita sudah saatnya menghapus istilah pengangguran terdidik. Bagi sarjana yang berjiwa intelektual tentu tidak akan menjadi pembuat masalah dengan menambah deret panjang pengangguran, tapi justru menjadi pemecah persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kita berharap semoga kampus mampu melahirkan intelektual yang menyala terang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Direktur Transform Institute (Trans-F) pada Universitas Negeri Yogyakarta

Kampanye Tertib Tanpa Konflik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja "Kampanye Terbuka Segera Digelar", Selasa, 3 Maret 2009

Pekan depan kampanye terbuka dalam bentuk rapat umum mulai digelar dan didahului dengan pencanangan kampanye damai pada Senin (16/3). Untuk menghindari konflik, dua atau lebih parpol besar tidak berkampanye secara bersamaan. Setelah pelaksanaan kampanye damai yang diikuti seluruh, kampanye terbuka pada hari berikutnya akan diikuti sekitar 3-4 parpol di seluruh wilayah di Indonesia kecuali Bali. Disebabkan banyaknya hari libur keagamaan, kampanye terbuka di wilayah Bali diikuti oleh 5-6 parpol setiap harinya. Khusus wilayah DIY, jadwal kampanye terbuka yang akan berakhir Minggu (5/4) telah dikeluarkan KPU DIY (Senin, 23/2).
Sesuai Peraturan KPU No 18/2008, kampanye terbuka dalam bentuk rapat umum dimulai sekitar pukul 09.00 dan berakhir paling lambat pukul 16.00. Kampanye terbuka bisa dilaksanakan di lapangan/stadion/ alun-alun dengan dihadiri massa dari anggota maupun pendukung dan warga masyarakat lainnya. Dalam rapat umum itu ada larangan membawa atau menggunakan tanda gambar, simbol-simbol, panji, pataka, dan atau bendera yang bukan tanda gambar atau atribut dari parpol yang berkampanye. Tak lupa pula setiap parpol dan massa kampanye dihimbau menghormati hari dan waktu ibadah. Pihak-pihak yang menjadi pelaksana kampanye juga perlu memperhatikan daya tampung tempat-tempat kampanye terbuka untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak dinginkan (Bab II Pasal 13 (6)).

Masa pelaksanaan kampanye terbuka dipastikan akan melibatkan massa. Bahkan, pelaksanaan kampanye terbuka selalu dijadikan strategi untuk menciutkan nyali parpol lain. Dengan jumlah massa yang banyak, parpol seolah-olah ingin menunjukkan kedigdayaannya. Bukan rahasia lagi jika sebagian parpol akan melakukan mobilisasi massa agar rapat umum bisa dihadiri massa dalam jumlah besar. Kepastian hadirnya massa dalam rapat umum bagi parpol besar atau parpol kelas menengah tentu bukanlah masalah. Beda halnya dengan parpol-parpol kecil, kampanye terbuka malah dimungkinkan sepi massa. Di wilayah yang tidak jelas basis massanya, parpol kecil biasanya tidak menggelar kampanye terbuka dalam bentuk rapat umum.
Dalam pelaksanaan kampanye terbuka yang melibatkan massa tentu diharapkan tetap menjaga ketertiban lalu lintas dan memperhatikan kepentingan umum. Dalam Peraturan KPU No 19/2008 telah dijelaskan bahwa kampanye yang bersifat pengumpulan massa harus memberitahukan rute perjalanan yang akan ditempuh saat keberangkatan dan kepulangan kepada pihak kepolisian selambat-lambatnya tujuh hari sebelum waktu pelaksanaan (Pasal 22). Ditegaskan pula bahwa massa yang menghadiri kampanye dengan menggunakan kendaraan bermotor secara rombongan/konvoi pada saat keberangkatan dan/atau kepulangan dari tempat kampanye tidak dibenarkan melakukan pawai kendaraan bermotor di luar rute perjalanan yang telah ditentukan, memasuki wilayah daerah pemilihan lain, melanggar peraturan lalu lintas, dan melakukan perbuatan yang mengganggu kegiatan masyarakat (Pasal 23). Pada titik ini, Panwaslu tetap diharapkan sigap dalam mencermati setiap pelanggaran yang dilakukan parpol dan massa kampanye.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan, parpol hendaknya menghimbau massanya untuk menjaga kebersihan tempat diadakannya rapat umum. Selain kesadaran internal dari massa kampanye, parpol tentu saja bertanggung jawab mengorganisir massanya agar bertindak tertib, santun, mengedepankan toleransi, dan menjaga kenyamanan. Di sisi lain, penyampaian materi oleh juru kampanye parpol dan caleg diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat. Parpol seyogianya membangun kesadaran juru kampanye dan calegnya untuk tidak mudah mengeluarkan pernyataan yang berpotensi memunculkan konflik. Pungkasnya, semoga kampanye terbuka dapat berjalan baik, lancar, tanpa konflik, dan tetap menaati peraturan. Kedewasaan harus ditunjukkan agar tidak terjadi gesekan-gesekan antara pendukung satu parpol dengan pendukung parpol lainnya atau antara massa kampanye dengan masyarakat sekitar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Frustrasi Masyarakat Picu Kekerasan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Budaya Kekerasan dalam Masyarakat" Harian Seputar Indonesia, Senin 2 Maret 2009
KEKERASAN identik dengan miskinnya empati dan minimnya penghargaan terhadap kemanusiaan. Disadari atau tidak, perilaku kekerasan telah menggejala di negeri ini. Kekerasan terasa memuncak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bangsa yang dikenal beradab ini telah berubah wajah menjadi bangsa yang beringas. Kita pun harus mengakui jika perilaku kekerasan telah menjadi budaya yang jelas sangat memprihatinkan.
Terkait perilaku kekerasan, kasus yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat beberapa waktu silam bisa menjadi salah satu contoh. Selain itu, perilaku kekerasan bisa kita jumpai dimana-mana, termasuk di bangku pendidikan formal. Kita lihat saja perkelahian antarpelajar yang sering kali mencuat, bahkan ada oknum guru yang menghalalkan kekerasan. Pun, kekerasan yang dipicu pertentangan kepentingan politik sering kali menghiasi wajah negeri ini. Tidak hanya di ruang publik, kekerasan juga merambah di ruang privat kehidupan masyarakat. Sebut saja kekerasan dalam rumah tangga yang tak dimungkiri ibarat gunung es dimana tidak seluruh kasusnya terungkap.

Dengan fakta maraknya perilaku kekerasan, kita tentu saja perlu memperbaiki wajah bangsa ini agar kekerasan tidak menjadi budaya permanen. Memang sering kali dikatakan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia, namun bukanlah dalil untuk melegalkan budaya kekerasan. Kekerasan justru menjadi lawan dari proses membentuk masyarakat yang berperadaban. Agama pun diturunkan agar tercipta kehidupan yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dicari akar dari kekerasan, maka beragam perspektif bisa muncul. Kesimpulan sederhana yang sering kali didengungkan adalah hilangnya nurani dan runtuhnya moralitas masyarakat. Di sisi lain, ada faktor lain yang sering kali dilupakan, yakni penderitaan kehidupan masyarakat. Maksudnya, kehidupan masyarakat yang jauh dari taraf hidup selayaknya berpotensi memunculkan perilaku kekerasan. I Made Rustika (2006) mengatakan bahwa kekerasan berkaitan dengan frustrasi. Frustasi yang diakibatkan dari lebarnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan dimungkinkan membentuk perilaku kekerasan. Kemiskinan, misalnya, bisa menjadikan masyarakat berbuat kekerasan karena mengalami titik frustasi menghadapi tekanan kebutuhan hidup.
Lebih memilukan lagi, frustasi masyarakat bertambah besar dengan melihat tingkah laku elite pejabat yang korup dan abai memperhatikan kemaslahatan masyarakat. Diakui atau tidak, kemiskinan dan kelaparan merupakan dampak dari kekerasan sebagian elite pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Maka, selain pendidikan moral dan karakter, kehidupan masyarakat yang terjamin merupakan salah satu upaya mengatasi budaya kekerasan dalam masyarakat. Wallahu a’lam.(*)
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/217650/