Sekolah Gratis?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Guru Suara Merdeka, Senin, 24 Agustus 2009
Persoalan sekolah gratis hangat dibicarakan. Fakta di lapangan, ada sekolah yang memungut biaya. Dalam surat pembaca koran, keluhan sering kali diutarakan. Biaya masuk sekolah ternyata belum pro masyarakat miskin. Bagi siswa yang naik kelas, misalnya, masih harus dipungut biaya daftar ulang. Mencuatnya fakta seperti itu seakan-akan bertentangan dengan iklan sekolah gratis oleh pemerintah. Kontroversi pun muncul di tengah masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebenarnya sekolah gratis? Benarkah UU Sisdiknas No 20/2003 tidak menegaskan aturan sekolah gratis?

Memang tak ada kata eksplisit yang menyebutkan gratis, tapi hanya menegaskan secara implisit. Dalam Pasal 34 (2) UU tersebut dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Teks ”tanpa memungut biaya” tentu identik dengan gratis. Lantas, apa maksud dari pendidikan dasar? Dalam UU No 20/2003 Pasal 17(2) tertulis, ”Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibitidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat”. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan dasar dari SD/MI/sederajat sampai SMP/MTs/sederajat dijamin tanpa dipungut biaya.

Selanjutnya dalam Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Teks “pemerintah wajib membiayainya” secara implisit menegaskan penyelenggaraan pendidikan dasar gratis. Jadi, dasar sekolah gratis dari jenjang SD/MI/sederajat sampai SMP/MTs/sederajat tidak hanya ditegaskan dalam UU No 20/2003, tapi juga UUD 1945. Bahkan, pendidikan dasar tanpa dipungut biaya tidak membedakan sekolah negeri atau sekolah swasta.

Anehnya, antara satu peraturan dengan peraturan lainnya malah mengundang kontroversi. Dalam PP No 47/2008 tentang Wajib Belajar juga ditegaskan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) diselenggarakan tanpa dipungut biaya, namun muncul PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang justru menyatakan sekolah dapat memungut biaya dari orang tua siswa.

Pada titik ini, sekolah gratis memang harus diwujudkan karena amanat konstitusi. Jika keterbatasan anggaran menjadi sebab tak ada sekolah yang benar-benar gratis, pemerintahlah yang harus kreatif mencukupi anggaran. Tugas sekolah mendidik siswa dan tidak perlu dipusingkan dengan keterbatasan anggaran. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
guru jurnalistik&Pustakawan El-Pena Yogyakarta

Izinkanlah Rakyat Menikmati Kemerdekaan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis, 20 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009, lalu kita memperingati 64 tahun kemerdekaan Indonesia. Seperti biasa, setiap hari kemerdekaan selalu terjadi dialektika: benarkah negeri ini sudah merdeka? Sebagian dari kita mengatakan Indonesia belumlah merdeka karena ternyata kehidupan rakyat tak pernah mencapai kemakmuran. Kesemrawutan negeri ini seolah-olah tak pernah bisa diatasi dan terus silih berganti menghantam. Di lain pihak, sebagian kita menyatakan bahwa negeri ini sudah merdeka. Hanya saja kemerdekaan yang telah diraih belum kuasa menata sepenuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apapun perbincangan soal itu, kita tentu saja menyadari bahwa negeri ini telah lepas dari belenggu penjajahan negara asing. Semenjak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, negeri ini telah tercatat sebagai negara merdeka. Meskipun kita boleh saja mengatakan kemerdekaan negeri ini sebatas de jure dan belumlah secara de facto, bukan berarti kita lupa untuk mensyukuri. Pun, kita pasti tidak menutup mata bahwa negeri ini dimerdekakan dengan perjuangan mahadahsyat para pahlawan kita tempo dulu.

Perjuangan para pahlawan yang berkorban jiwa dan raga memerdekakan negeri ini sepatutnya kita syukuri dengan bekerja dan berkarya nyata menata negeri. Indonesia merdeka, kata Bung Karno dalam bukunya bertajuk Dibawah Bendera Revolusi, adalah suatu jembatan emas untuk membangun gedung Indonesia yang sempurna. Dari pernyataan Bung Karno itu mengandung pengertian jika Indonesia pasca-proklamasi 1945 belumlah berada dalam kondisi ideal. Dengan kata lain, perjalanan lebih lanjut harus dilalui bangsa ini untuk mencapai kondisi Indonesia yang dicita-citakan.

Untuk itu, mewujudkan tatanan Indonesia yang lebih baik tak boleh berhenti. Diperlukan kerja keras dan komitmen bersama agar Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur benar-benar tercapai. Dari sudut penjajahan secara fisik, Indonesia memang dikatakan telah merdeka pada 1945, namun pencapaian kemerdekaan secara hakiki masih membutuhkan perjuangan panjang. Pertanyaannya, kapankah kemerdekaan secara hakiki mampu diraih bangsa ini?

Negeri ini jelas terlalu lelah untuk terus-menerus menghadapi badai permasalahan. Tak menjadi soal bagi kalangan elite yang duduk manis di lingkaran kekuasaan, pedihnya permasalahan justru dialami oleh rakyat yang berada di lapisan bawah. Mereka yang terhitung lapisan rakyat kecil cenderung tak berdaya menjalani kehidupan yang tidak memihak padanya. Elite kekuasaan bisa nyaman saja menikmati segala fasilitas supermewah, tapi rakyat kecil terhimpit tak kepalang. Kesusahan bertubi-tubi dihadapi rakyat kecil akibat negara tak mampu memenuhi hak dasarnya. Disadari atau tidak, para penyelenggara negara acap kali kurang peka merasakan dan memahami penderitaan rakyat. Yang sering kali tampak dari sikap dan perilaku para penyelenggara negara adalah orientasi kepentingan pragmatis.

Ketidakpekaan kalangan elite kekuasaan sebegitu parahnya sehingga tidak malu penderitaan rakyat kecil di negeri ini disaksikan negara luar. Dilihat secara bening dan jernih, sepertinya hampir tidak ada bedanya hidup di zaman koloni maupun hidup di alam kemerdekaan. Di alam kemerdekaan, kita bisa melihat rakyat kecil masih kerepotan sekadar untuk memenuhi kebutuhan primer. Kenaikan harga kebutuhan pokok di luar batas pendapatan jelas-jelas membebani rakyat miskin. Setiap harga-harga kebutuhan pokok naik, pemerintah tak pernah berpikir sejauhmana telah menciptakan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Begitu pula kita bisa melihat fakta pendidikan di negeri ini. Jika di zaman penjajahan hanya kaum elite atau priyayi yang bisa mengenyam bangku pendidikan, kini malah tak jauh berbeda. Fenomena terus naiknya biaya masuk jenjang pendidikan adalah kenyataan yang terus membuat rakyat kecil terhimpit. Setiap tahun lembaga pendidikan menaikkan biaya sehingga tanpa disadari kian menghambat akses lapisan masyarakat miskin.

Entah apa lagi yang bisa kita ceritakan terkait kondisi negeri ini. Memang kita bangga jika negeri ini dikatakan memiliki sumber daya yang melimpah, namun kebanggaan itu hanya menyisakan kepiluan. Sumber daya yang semestinya bisa untuk memakmurkan negeri ini justru tidak menghasilkan manfaat. Kita melihat betapa teganya para pengendali kekuasaan menjual aset-aset strategis negara kepada pihak asing seakan-akan tidak merasa bersalah terhadap para pahlawan yang dahulu bersusah payah merebut Tanah Air ini dari cengkeraman negara asing.

Di usia 64 tahun kemerdekaan RI, pemerintah sebagai representasi negara seyogianya bersedia melalukan introspeksi terkait dengan kinerja-kinerjanya selama ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, ada cita-cita negara Indonesia yang hendak diwujudkan, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tanpa basa-basi, kita mengajak pemerintah menyadari fungsi dan kewajibannya. Pastinya, Indonesia yang benar-benar merdeka akan tercapai jika pemerintah mampu menjalankan fungsinya secara baik. Benar-benar merdeka artinya rakyatnya juga merdeka, tidak hanya negara merdeka secara yuridis-formal.

Ya, izinkanlah rakyat untuk menikmati kemerdekaan di negeri ini yang dahulu diperjuangkan para pahlawan. Dirgahayu Republik Indonesia dan selamat berkarya membangun “gedung” Indonesia yang sempurna. Wallahu a'lam.

HENDRA SUGIANTORO
pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Ketekunan Belajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 14 Agustus 2009

KETIKA duduk di bangku sekolah, anak-anak selalu diminta oleh guru-gurunya untuk rajin belajar. Belajar merupakan aktivitas yang niscaya dilakukan agar berhasil menempuh jenjang pendidikan. Aktivitas belajar ini tidak terbatas di lingkungan sekolah. Orang tua di rumah juga sering kali menasehati anak-anaknya rajin belajar. Pada dasarnya, belajar merupakan aktivitas yang harus dilakukan siapa pun tidak hanya anak-anak. Siapa pun kita diwajibkan untuk belajar sebagai sarana menuntut ilmu. Anak-anak, orang dewasa, dan orang tua dituntunkan untuk senantiasa belajar menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan di dunia dan akhirat.

Pentingnya belajar menuntut ilmu ini tentu saja perlu menjadi kesadaran bagi siapa pun. Dalam surat Az-Zumar ayat 9, Allah SWT secara tegas mengatakan bahwa tidaklah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Dengan belajar menuntut ilmu, kita beroleh kemuliaan sebagai hamba Allah SWT. Maka, kita dapat melihat generasi Islam zaman awal yang begitu gigih belajar karena menyadari pentingnya ilmu. Bahkan, aktivitas belajar yang dilakukan ulama-ulama tempo dulu tidak terpaku pada satu tempat, tapi melakukan perjalanan dari satu tempat menuju tempat lain. Dalam buku Rihlatul ’Ulama fi Thalabil ’Ilmi, Abu Anas Majid al-Bankani mengatakan bahwa salah satu kehebatan generasi awal Islam dalam menuntut ilmu adalah mereka memiliki kemauan kuat atas ilmu yang bermanfaat lantas mereka mengembara, menjelajah dunia, dan menempuh perjalanan yang jauh demi mencari ilmu.

Ketekunan belajar menuntut ilmu generasi Islam zaman dahulu bisa menjadi teladan bagi kita. Ibnu ’Abbas, misalnya, terkenal akan keluasan ilmunya dan menjadi rujukan. Ada sekitar 1600 hadits yang diriwayatkan Ibnu ’Abbas. Contoh lain yang bisa disebut adalah Imam an-Nawawi. Dikatakan al-Qathbu al-Yunini, ”An-Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang-buang waktu, baik siang maupun malam. Ia selalu menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghafal dan membaca buku.” Hasrat belajar yang begitu tinggi juga dicontohkan Abu Raihan al-Biruni yang masih bertanya perihal fikih menjelang detik-detik kematiannya karena sakit parah. Pastinya, ada banyak keteladanan lainnya perihal ketekunan belajar yang bisa kita temukan ketika membaca sejarah ulama-ulama Islam pada masa silam,
Pada titik ini, kita bisa melakukan introspeksi terkait aktivitas belajar kita dalam menuntut ilmu. Mungkin saja dalam sehari tidak ada ilmu apapun yang kita dapatkan. Kita mungkin terlalu disibukkan dengan berbagai urusan remeh-temeh yang tidak memberikan kemanfaatan apapun. Dengan kesadaran pentingnya ilmu, kita perlu menggiatkan aktivitas belajar sehingga memperoleh ilmu yang bermanfaat. Kewajiban belajar menuntut ilmu tidak terbatas usia. Artinya, anak-anak, orang dewasa, dan orang tua perlu belajar. Dalam belajar, kata Imam Syafi’i, kita perlu mengerahkan segenap jerih payah, sabar menghadapi kesulitan yang menghadang, ikhlas karena Allah dalam mencari ilmu-Nya, dan selalu memohon pertolongan Allah. ”...dan katakanlah: ”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Qs. Ath-Thaha (20):114). Wallahu’alam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta

Jurnalistik dan Dunia Pendidikan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Rabu 12 Agustus 2009

HAMPIR setiap saat kita menyaksikan tayangan-tayangan berita di media massa. Berita-berita itu tak dimungkiri memberikan kita informasi dari ”dunia lain”. Kita bisa mengetahui isu-isu aktual akibat pemberitaan media massa, baik yang disajikan dalam bentuk cetak maupun audio visual. Dengan pemberitaan media massa, kita bisa mengetahui apa yang terjadi di tempat lain dan mengetahui isu dan wacana yang bergulir. Coba kita membaca Suara Merdeka hari ini. Dari apa yang kita baca, kita tentu saja mendapatkan asupan informasi yang berbeda dengan informasi kemarin meskipun hanya membaca halaman depan. Apalagi jika kita membuka lembaran Pendidikan di Suara Merdeka, kita dipastikan akan memperoleh informasi mengenai dunia pendidikan yang senantiasa bergerak dinamis.

Mungkin kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika tidak ada pemberitaan terkait dunia pendidikan. Tanpa pemberitaan, kita miskin informasi. Setiap fakta-fakta dalam dunia pendidikan yang tidak diketahui masyarakat bisa menciptakan diskomunikasi. Bisa saja pemerintah mengeluarkan kebijakan tanpa diliput oleh jurnalis/wartawan sehingga mengakibatkan kebijakan itu akan berjalan tanpa kontrol masyarakat. Program sertifikasi guru, misalnya, tidak akan diketahui kekurangan dan kendalanya jika jurnalis/wartawan tidak memberitakannya. Kita tidak akan mengetahui ”buruknya” kinerja pemerintah dalam pemberian tunjangan profesi bagi sebagian guru yang telah lulus uji sertifikasi jika tak diberitakan.

Pastinya, masyarakat memang berhak mendapatkan informasi apapun yang terjadi dalam dunia pendidikan sebagai bagian dari hak warga negara. Jadi, dunia pendidikan memang tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut jurnalisme. MacDougal menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimana pun dan kapan pun (Hikmat&Purnama Kusumaningrat:2005). Jurnalisme yang terjadi dalam dunia pendidikan bisa disebut sebagai jurnalisme pendidikan. Dengan demikian, jurnalisme pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa dalam dunia pendidikan.

Pungkasnya, kita berterimakasih kepada Suara Merdeka yang menyediakan halaman khusus pendidikan setiap harinya. Tak lupa juga terhaturkan terimakasih untuk jurnalis/wartawan Suara Merdeka yang telah bekerja keras meliput dan menyajikan berita-berita pendidikan kepada khalayak pembaca. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Partai Golkar, Beroposisilah!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Selasa, 4 Agustus 2009

Hasil penghitungan perolehan suara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak jauh berbeda dengan hasil quick count, pasangan SBY-Boediono meraih suara terbanyak dalam Pilpres 2009. Pada titik ini, quo vadis Partai Golkar seakan-akan menarik diperbincangkan. Sebelum pengumuman KPU, Partai Golkar memang sudah berada di persimpangan jalan ketika menyaksikan perolehan suara JK-Wiranto tidak maksimal lewat hitung cepat berbagai lembaga survei.

Yang terkesan aneh, adanya kemungkinan kekalahan JK-Wiranto telah disikapi sebagian kalangan agar Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono. Partai Golkar tidak dimungkiri mengalami kegamangan internal menyikapi hasil Pilpres 2009. Selain ada yang menghendaki Partai Golkar bergabung dengan SBY-Boediono, ada juga yang menghendaki Partai Golkar mengambil sikap sebagai oposisi. Adanya keinginan sebagian kalangan internal Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono ini disinyalir akibat pragmatisme kekuasaan. Selama ini harus diakui jika partai berlambang pohon beringin selalu identik dengan kekuasaan alias terlibat dalam pemerintahan eksekutif.

Dalam hal ini, ada pertanyaan menggelitik, mengapa internal Partai Golkar tidak all out mendukung JK-Wiranto dalam hajatan Pilpres 2009 jika memang berkehendak menduduki kursi eksekutif? Ada kecenderungan sikap kurang percaya diri dari sebagian pihak internal Partai Golkar jika JK-Wiranto mampu menandingi SBY-Boediono sehingga bermuka dua. Jika memang berkehendak tetap berada di lingkaran kekuasaan eksekutif, seluruh internal Partai Golkar semestinya berjuang optimal memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Apa yang terjadi di Partai Golkar tentu saja hanya bisa dijawab oleh internal Partai Golkar.

Lantas, apa yang perlu dilakukan Partai Golkar ke depan dengan pertimbangan kalah dalam Pilpres? Alangkah lebih bijak jika Partai Golkar tidak merapat ke SBY-Boediono! Pilihan ini adalah pilihan politik yang hendaknya diambil Partai Golkar. Yang perlu diingat, pilihan politik untuk menjadi oposisi bukanlah merendahkan Partai Golkar sebagai salah satu parpol besar di negeri ini. Pihak internal Partai Golkar seyogianya memberikan pendidikan politik ke masyarakat dan meredam geliat nafsu kekuasaan. Bagi pihak yang kalah dalam Pilpres memang seharusnya menerima konsekuensi menjadi oposisi. Dengan menjadi oposisi, Partai Golkar tentu masih bisa berkontribusi membangun tata pemerintahan ke depan.

Tegasnya, Partai Golkar dituntut bijak menerima konsekuensi kekalahan dalam Pilpres dan hendaknya mulai belajar untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Partai Golkar diharapkan menguatkan mekanisme check and balances dalam tubuh parlemen dan terus mengontrol kebijakan pemerintahan eksekutif 2009-2014. Kerja-kerja menjadi oposisi di lembaga legislatif tentu tidak kurang mulianya dengan kerja-kerja di eksekutif. Sikap mengutamakan kemaslahatan rakyat tetap bisa ditunjukkan Partai Golkar dengan mengawal kebijakan pemerintahan eksekutif. Di parlemen, Partai Golkar masih bisa berkontribusi dengan turut merumuskan peraturan perundang-undangan yang berpihak bagi kemaslahatan kehidupan rakyat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=75226