Tak Jadi Pegawai, Bisnis Sendiri!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Harian Jogja, Kamis 23 September 2010

Judul Buku: Resign and Get Rich: Berhenti Kerja, Jadi Pengusaha Penulis: Edo Segara Penerbit: Leutika, Yogyakarta Cetakan: I, Juni 2010 Tebal: x+212 hlm Peresensi: Hendra Sugiantoro


Pekerjaan adalah ikhtiar hidup yang dilakoni manusia. Masing-masing manusia tak terlepas dari pekerjaan dalam menjalani keseharian. Pekerjaan memiliki rupa-rupa makna. Pada dasarnya, manusia telah dikatakan bekerja ketika mencangkul di sawah, memelihara ternak, memasak, dan merawat kebun. Membersihkan sampah di jalan pun merupakan pekerjaan. Entah mengapa, makna pekerjaan menyempit sekadar pada ruang-ruang formal, seperti menjadi pegawai dan bekerja di kantor.

Pemaknaan menyempit atas pekerjaan ini akhirnya berdampak pada pola pikir dan apresiasi. Begitu banyak orang yang memburu pekerjaan di sektor formal. Lulusan bangku pendidikan pun tak bosan menelusuri iklan lowongan pekerjaan untuk dapat menjadi “orang kantoran”. Tak begitu banyak orang yang bangga bekerja di sektor nonformal. Pola pikir ini berbuah laku untuk terus mengejar posisi di kantor-kantor. Masyarakat juga mengukuhkan pola pikir dan cara pandang ini. Orang-orang yang menduduki posisi di kantor lebih dihargai ketimbang orang-orang yang bekerja di bengkel, di warung, di sawah, bahkan di rumah sendiri.

Pekerjaan yang telah menjadi ukuran sosial dan gengsi memang tak dimungkiri. Pekerjaan pun telah mengalami kesempitan makna sekadar upaya perolehan materi. Orang bersusah payah bekerja untuk dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Orang-orang disibukkan untuk mengejar posisi dalam pekerjaan yang menjamin kehidupan mapan dengan uang berlimpah. Hal ini tak sepenuhnya salah. Siapa pun membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Persoalannya adalah jika pekerjaan sekadar alat mencukupi materi dengan mengabaikan pelayanan prima kepada khalayak. Pekerjaan tak lagi untuk aktualisasi potensi dan memberikan kontribusi.

Buku yang ditulis Edo Segara ini mencoba memberikan pandangan berbeda. Saat ini kewirausahaan (enterpreneurship) telah mengemuka menjadi tema sentral. Di mana-mana selalu terdengar istilah ini. Kewirausahaan menjadi arus utama seiring tingginya tingkat pengangguran. Tantangan hidup yang mendesakkan ketercukupan ekonomi mendorong pihak-pihak terkait mengembangkan jiwa kewirausahaan masyarakat. Di lingkup dunia pendidikan, kewirausahaan relatif telah mengarus lama. Pendidikan kewirausahaan dan kurikulum yang memperhatikan kewirausahaan coba diterapkan. Namun, buku ini tak hanya mengatasi pengangguran. Buku ini justru “memprovokasi” orang-orang untuk keluar dari kantor!


Buku ini menarik ditelusuri karena tak berkutat pada teori njlimet. Penulis buku lebih mengurusi hal-hal praktis yang bisa diterapkan. Arahan dalam melakukan keputusan keluar dari pekerjaan kantor diutarakan sebagai pandangan dan gambaran. Banyak bisnis yang bisa dijalankan, seperti bisnis retail, bisnis franchise, bisnis rumahan, bisnis online, bisnis event organizer, bisnis property, dan bisnis bidang jasa. Penulis buku menjelaskan siasat untuk memulai dan menjalankan bisnis yang menjadi pilihan. Yang menarik, penulis buku tak hanya mengarahkan kita menjadi pebisnis mandiri untuk kepentingan diri semata atau menjadi kaya. Akhlak sebagai pebisnis tetap menjadi kewajiban yang mesti dijalankan.

HENDRA SUGIANTORO

Aktivis Transform Institute

Pers Mahasiswa Itu Mulia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Rabu 22 September 2010

Beberapa kali muncul unek-unek yang menyoal minimnya semangat penggiat pers mahasiswa menghidupkan media terbitannya sendiri. Penggiat pers mahasiswa lebih suka menulis di koran lokal dan nasional ketimbang menggarap maksimal penerbitan pers mahasiswa. Disadari atau tidak, fenomena semacam itu hampir menggejala di kampus-kampus. Secara ekstrem, terjadi degradasi kualitas pers mahasiswa beberapa tahun belakangan. Jika pers mahasiswa dikatakan bertaji, itu hanya nostalgia generasi lampau.

Dalam hal ini, daya pikat materi mungkin ada benarnya menjadi sebab tidak tertariknya penggiat pers mahasiswa mengeksiskan penerbitannya sendiri. Pragmatisme seakan-akan tampak, dimana menulis sekadar diukur dengan uang. Apalagi dengan terdesaknya mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan finansial, menulis di koran-koran dijadikan strategi mencari rupiah. Apa yang dilakukan itu tidak salah, tapi hendaknya sisi perjuangan dan penyampaian pemikiran tidak lenyap. Menulis di koran sebenarnya tidaklah lebih mudah dibanding menulis di media pers mahasiswa. Tidak setiap mahasiswa yang menulis di koran dimuat setelah uji kualitas tulisan. Mungkin juga ada faktor ‘’keberuntungan’’. Menulis di koran juga ilmiah, meski dalam bentuk ilmiah populer.

Pastinya, mahasiswa yang masih awal terlibat dalam pers mahasiswa tidak bisa langsung diarahkan menerbitkan "media unggulan". Ada proses yang dilalui seperti menerbitkan buletin kecil-kecilan sebagai media latihan. Ketika saya membimbing teman-teman pers mahasiswa angkatan muda, buletin empat halaman bisa konsisten terbit sepekan atau dua pekan. Melalui buletin yang empat halaman itu mahasiswa bisa menulis. Apapun isi tulisannya, biarkan buletin kecil-kecilan itu mempublikasikan karya-karya tulisan mahasiswa yang sedikit banyak memberikan kebanggaan.

Bagi saya, adanya fakta enggannya penggiat pers mahasiswa menerbitkan medianya sendiri merupakan bencana. Pikiran penggiat pers mahasiswa perlu diorientasikan ulang. Menulis untuk konsistensi penerbitan pers mahasiswa tidak kurang mulianya dengan menulis di koran. Menulis itu menyampaikan ilmu dan pemikiran. Menulis tidak sekadar mencari honor, tapi membawa misi pencerahan pada kehidupan publik. Menulis juga sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman.

Jika penerbitan pers mahasiswa tidak konsisten, maka akar persoalan lebih terletak pada penggiat pers mahasiswa. Perlu ada orientasi dan motivasi bagi penggiat pers mahasiswa bahwa menghidupkan pers mahasiswa itu mulia. Kampus harus dijadikan ‘’wilayah juang’’ penggiat pers mahasiswa dengan torehan penanya.

Hendra Sugiantoro
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
085228438047
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/22/124222/Pers-Mahasiswa-Itu-Mulia

Misi Profetik Zakat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 9 September 2010

Menjelang akhir ibadah puasa Ramadan, pesan-pesan moral mengeluarkan zakat marak dilakukan. Lembaga-lembaga yang mengelola zakat pun membuat publikasi agar masyarakat mengetahui pilihan tepat untuk menyalurkan zakat. Ceramah dan kajian Ramadan tak ketinggalan menyerukan kewajiban berzakat yang menggenapkan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Batas maksimal zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam ini diberikan sebelum salat Idul Fitri.

Dilihat secara bahasa, zakat memiliki arti tumbuh, berkembang, kesuburan atau bertambah. Zakat dapat pula bermakna membersihkan atau mensucikan. Allah SWT berfirman, “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.”(Qs. At-Taubah:103). Dalam kitab Al-Hawiy, Al-Marwadi menyebut zakat sebagai nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Zakat sebagai ibadah wajib diperintahkan Allah SWT dalam beberapa ayat Al-Qur’an. “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat,…”(Qs. Al-Baqarah:43). Di ayat lain, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal salih, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Qs. Al-Baqarah:277).

Jika diperhatikan, perintah zakat dalam Al-Qur’an selalu disebut setelah perintah salat. Zakat disebutkan oleh Allah SWT bersamaan dengan perintah salat, kata Yusuf Qardhawy, karena keduanya merupakan syi’ar dan ibadah yang diwajibkan. Kalau salat merupakan ibadah ruhiyah, maka zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah (harta dan sosial). Tetapi, tetap saja zakat juga merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT, maka niat dan keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh syari’at. Tidak diterima zakat tersebut kecuali dengan niat ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Dengan demikian, zakat memiliki dimensi transendental sekaligus dimensi horizontal. Kewajiban zakat mengandung misi profetik dengan pilar transendensi, humanisasi, dan liberasi. Zakat adalah ibadah maliyah yang memiliki dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT. Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, dan pengikat persatuan umat dan bangsa. Kelompok masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin diikat batinnya melalui zakat, sehingga tidak menciptakan jurang yang menganga antara golongan masyarakat yang kuat dengan yang lemah (Budi Dharmawan: 2004). Melalui zakat, kepedulian sosial diwujudnyatakan dimana kelompok masyarakat kaya merasa terpanggil untuk memperhatikan kelompok masyarakat miskin.

Kewajiban zakat memang menyimpan kearifan sosial. Namun demikian, penyaluran zakat dituntut berdaya guna. Artinya, ada sisi pemberdayaan masyarakat dari penyaluran zakat, sehingga para penerima zakat (mustahik) mampu memberdayakan diri. Zakat yang berlandaskan keimanan kepada Allah SWT (transendensi) selayaknya mampu memanusiakan manusia (humanisasi) dan memerdekakan warga dari keterpurukan dan kemiskinan (liberasi). Maka, pemberian zakat yang hanya bersifat karikatif seyogianya tidak terjadi lagi. Justru para penerima zakat diupayakan untuk tidak menerima zakat pada tahun berikutnya. Pemberian zakat yang sekadar belas kasihan cenderung tidak memberdayakan. Pengalaman selama ini ada para wajib zakat (muzzaki) yang memberikan zakatnya sendiri dengan dibagikan kepada warga di sekitarnya. Zakat akhirnya tak lebih dari bantuan yang hanya cukup digunakan sehari-dua hari oleh warga penerima zakat. Dalam hal ini, para muzzaki diharapkan dapat mempercayakan pemberian zakatnya kepada badan pengelola zakat (amil zakat), baik yang dibentuk pemerintah maupun swasta. Kejadian pembagian zakat di mana warga miskin berebutan dan berdesak-desakan mendapatkan zakat berupa uang dan ada yang menjadi korban harapannya tak terulang lagi.

Warga miskin yang menjadi salah satu penerima zakat pastinya bisa diberdayakan lewat potensi dana zakat, sehingga kehidupannya lebih sejahtera. Menurut penelitian UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation (2005), potensi zakat bisa mencapai Rp 14,2 triliun. Dari Rp 14,2 triliun itu, Rp 6,2 triliun di antaranya berasal dari zakat fitrah dan Rp 13,1 triliun berasal dari zakat mal. Jika zakat mampu dikelola dengan benar, maka bisa meningkatkan taraf hidup warga miskin. Dana potensi zakat sedapat mungkin dapat mengentaskan kemiskinan yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir Maret 2010 lalu menyebutkan masih sekitar 32,53 juta penduduk miskin di negeri ini. Misi profetik zakat menghendaki pemberdayaan masyarakat melalui pembagian zakat sebagai ikhtiar menciptakan keadilan sosial dan kemakmuran yang merata. Kewajiban berzakat harus berdampak bagi peningkatan kesejahteraan hidup warga miskin. Peningkatan kesejahteraan hidup ini juga berarti peningkatan status warga dari mustahik menjadi muzzaki.

Dalam menunaikan kewajiban zakat, alangkah lebih tepat jika para muzzaki tidak bergerak secara individual, tapi mempercayakannya kepada badan pengelola zakat. Pada titik ini, badan pengelola zakat dituntut bekerja profesional dalam mengelola dan menyalurkan zakat. Akuntabilitas tetap perlu dijaga dengan memperjelas sasaran para penerima zakat dan program yang digulirkan dari potensi dana zakat. Zakat untuk modal warga miskin mengembangkan usahanya menjadi salah satu alternatif dengan tujuan taraf hidup warga miskin meningkat. Tentu saja, penggunaan zakat untuk pengembangan usaha bagi warga miskin tetap perlu mendapatkan kontrol dan bimbingan. Dengan pengguliran program-program yang terarah dan berkesinambungan, potensi dana zakat bisa untuk mengatasi kasus kelaparan dan gizi buruk yang kerapkali mencuat di negeri ini. Potensi dana zakat bisa dikelola untuk mencegah anak-anak putus sekolah, perbaikan sarana-prasarana pendidikan, ataupun pengadaan bahan-bahan bacaan yang mencerdaskan. Zakat untuk pendidikan menjadi alternatif untuk turut serta memajukan kualitas anak-anak bangsa. Zakat mengandung misi profetik untuk membebaskan warga miskin dari kemelaratan dan kenestapaan, sehingga mampu berdaya dalam menapaki kehidupan. Penunaian kewajiban zakat harus dapat menyejahterakan setiap warga di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia (FO-1)

Puasa, Terimakasih Ibu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Selasa 7 September 2010


Kehadiran seorang ibu di rumah memiliki peran yang bermakna. Ibu hadir dengan kasih sayangnya bagi kehidupan keluarga. Ibu sebagai seorang perempuan telah berkontribusi penting bagi kelangsungan dan kelancaran ibadah puasa Ramadan yang kini tengah dijalankan.

Meskipun tak mutlak menjadi tugasnya, ibu tanpa lelah menghidangkan masakan sehingga anggota keluarga dapat menyantap sahur dan berbuka. Ibu yang harus rela bangun sebelum anggota keluarga lain untuk menyiapkan makan dan minum saat sahur. Saat menjelang berbuka, ibu telah bersiap-siap memasak sehingga makanan dan minuman tersaji. Jasa seorang ibu dalam rumah tangga tiada tara, pun saat bulan Ramadan.

Bagi kebanyakan masyarakat, tugas memasak dan menyiapkan makanan selalu identik dengan perempuan. Wanita senantiasa dipersepsikan sebagai ‘’tukang masak’’ sehingga anggota keluarga yang lain jarang peduli dengan kegiatan masak-memasak. Anggota keluarga yang laki-laki seolah tidak perlu memikirkan masakan dan hanya menunggu makanan terhidang.

Ketika dini hari, anggota keluarga yang laki-laki tahu-tahu sudah berhadapan dengan sajian makanan di meja makan. Begitu juga saat berbuka, sudah tersedia makanan dan minuman.

Pada titik ini, pemahamam peran masak-memasak hanya menjadi tugas perempuan (ibu) memang perlu dibenahi. Terlepas dari itu, ibu memang telah berperan luar biasa di bulan Ramadan ini. Dengan memasak, ibu pada dasarnya telah melakukan ibadah tersendiri. Terhadap peran di bulan Ramadan itu, sepantasnya kalau siapa pun tidak menutup mata. Dalam kondisi apa pun, kehadiran ibu dalam kehidupan keluarga memiliki kontribusi penting, sehingga sewajarnya bila semua menghormati. Terutama bagi anak, ibu telah melahirkan, menyusui, dan membesarkan. Jasa ibu tak mungkin dibalas oleh seorang anak.

Bertepatan dengan bulan Ramadan, kesadaran untuk memuliakan seorang ibu dalam kehidupan keluarga seyogianya bisa tumbuh. Ramadan harapannya bisa mendidik setiap anak memiliki karakter profetik, yakni berbakti kepada orang tua, terutama kepada ibu. Setiap apa yang dihidangkan ibu saat sahur dan berbuka puasa adalah setitik kasih sayang di antara berjuta kasih sayang ibu. Untuk itu, saatnya merasakan kasih sayang ibu untuk kemudian memuliakan dalam perjalanan kehidupan. Bahkan, ibulah yang harus ditemui pertama kali saat Idul Fitri nanti.

Hendra Sugiantoro
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta

Karangmalang, Yogyakarta 55281

085228438047

Kampus, Harapan akan Perubahan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 4 September 2010
Kampus merupakan salah satu wahana yang memiliki peran dan fungsi. Dalam perjalanannya, kampus telah memberikan pengajaran dan pendidikan bagi ribuan mahasiswa sekaligus mencetak lulusan dari beragam disiplin ilmu. Sebagai bagian dari ruang pendidikan formal, kampus tentu berkontribusi bagi pembangunan bangsa.

Terlepas dari problematika mahasiswa dan lulusan yang dihasilkan, kampus tetap menjadi harapan bagi perbaikan dan perubahan bangsa ke arah positif. Begitu banyak lulusan dari kampus yang menorehkan prestasi dan karya-karya cemerlang. Pikiran dan gagasan besar kerap muncul dari kampus sebagai ikhtiar pencerahan dan solusi problematika bangsa. Kajian riset bisa dikatakan tak terhitung yang memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran.

Memperbincangkan kampus, ada banyak sisi bisa diutarakan. Salah satu sisi itu adalah mahasiswa sebagai subjek pendidikan yang akhirnya lulus dan bergerak di masyarakat. Dalam kehidupan, sepak terjang mahasiswa diakui tak selalu diapresiasi. Kritik juga menerpa mahasiswa meski harapan senantiasa digantungkan kepada mahasiswa. Di sisi lain, mahasiswa mampu menunjukkan prestasi dan mencerminkan jati diri mahasiswa yang excellent.

Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kampus tetap berupaya mencetak mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kampus tak sekadar membentuk dan mengembangkan kecakapan intelektual mahasiswa, namun juga perlu mencerdaskan sisi emosional dan spiritual mahasiswa. Hal ini telah menjadi kesepakatan umum sebagai refleksi kritis dunia pendidikan yang hanya menjejali subjek pendidikan pada wilayah kognitif semata. Pendidikan karakter yang marak mengemuka akhir-akhir ini tentu bertalian juga dengan dunia kampus agar kuasa melahirkan mahasiswa yang berkarakter.

Dalam pendidikan di kampus, penanaman dan pembangunan nilai-nilai (transfer of values) menjadi niscaya. Begitu pula kesadaran transendental perlu dimiliki mahasiswa sebagai manusia yang dititahkan untuk beribadah kepada Tuhan dan memakmurkan kehidupan. Tak hanya memiliki wawasan berpikir luas, mahasiswa juga harus memiliki keyakinan lurus, mampu beribadah secara benar dan berbudi mulia. Di samping itu, mahasiswa juga harus memiliki kekuatan jasmani, kuasa memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, kreatif dan mandiri, mampu memelihara waktunya, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.

Dalam hal ini, catur pusat pendidikan kampus menjadi menarik didiskusikan. Ada empat ruang kampus yang perlu berjalan sinergis dan saling mendukung, yakni ruang kuliah, perpustakaan, organisasi kemahasiswaan, dan tempat ibadah. Empat ruang inilah yang perlu dioptimalkan sebagai upaya mendidik mahasiswa.

Berbicara ruang kuliah, maknanya luas tak hanya di dalam kelas. Kuliah adalah pembelajaran yang bisa dilakukan di mana pun, termasuk juga di laboratorium atau tempat terbuka. Kajian dan penelitian ilmu sosial dan ilmu alam terus digalakkan sebagai upaya pengembangan sisi keilmuan dan pemikiran mahasiswa. Tradisi keilmuan harus senantiasa dipupuk. Diskusi, membaca, meneliti, dan menulis menjadi standar baku perkuliahan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa. Budaya berkunjung ke perpustakaan juga digalakkan. Perpustakaan perlu menjadi pusat pendidikan kampus sebagai ruang mahasiswa membaca, menelaah, dan mengkaji literatur-literatur.

Fungsi perpustakaan sangat penting bagi mahasiswa dalam memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan, wawasan, dan pemikiran. Begitu juga keberadaan organisasi kemahasiswaan selayaknya dapat menjadi ruang pembelajaran mahasiswa. Termasuk dalam hal ini adalah tempat ibadah seperti masjid yang berdiri di kampus-kampus tak boleh dilupakan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di kampus. Kajian-kajian ataupun kegiatan yang diselenggarakan masjid kampus bisa menjadi bagian dari kurikulum pendidikan mahasiswa.

Empat pusat pendidikan kampus yang disebutkan di atas pastinya harus berjalan sinergis. Pertanyaannya, apakah “catur pusat pendidikan kampus” itu telah menjadi kesatuan organik? Atau malah terkesan bergerak sendiri-sendiri? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Transform Institute Yogyakarta

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/04/122704/Kampus-Harapan-akan-Perubahan

Guru di Titik Persimpangan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Warga Suara Merdeka, Sabtu 14 Agustus 2010
Ada pernyataan menarik dari Mustainah Ssi dalam rubrik Suara Guru Suara Merdeka edisi Senin, 19 Juli 2010. Dia mengeluhkan posisi guru yang berada di titik persimpangan.

Guru PAUD Griya Nanda UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lewat artikel berjudul “Guru sebagai Sahabat” itu menuliskan, "dalam proses belajar mengajar, keberadaan guru berperan strategis bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Namun, sistem pendidikan yang kita anut menempatkan guru pada sosok yang terlampau agung. Guru atau dosen sengaja didesain sebagai manusia luar biasa, yang harus ”digugu lan ditiru” dalam setiap laku dan ucapannya. Sistem yang demikian membuat corak pendidikan kita indoktrinatif yang menempatkan siswa pada posisi lemah.”

Penggalan artikel anggitan Mustainah Ssi di atas menarik direnungkan pada kalimat: “...sistem pendidikan yang kita anut menempatkan guru pada sosok yang terlampau agung. Guru atau dosen sengaja didesain sebagai manusia luar biasa, yang harus ”digugu lan ditiru” dalam setiap laku dan ucapannya.”

Penulis pernah melakukan refleksi terkait posisi guru. Entah mengapa penulis merasakan “ada yang tidak wajar” ketika guru dalam konstruksi masyarakat ditempatkan sebagai “malaikat”. Atau dalam bahasa Mustainah Ssi, guru ditempatkan sebagai sosok yang terlampau agung.

Memang benar jika unsur keteladanan menjadi salah satu keniscayaan dalam upaya mendidik. Ketika guru mendidik murid-muridnya untuk berlaku baik, maka guru harus satu kata dan perbuatan. Guru harus menjadi sosok yang digugu lan ditiru. Tingkah laku guru seyogianya dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya. Yang menjadi persoalan, guru sering kali dikonstruksikan sebagai manusia sempurna. Guru tidak boleh salah dan khilaf. Adanya kewajiban guru berperilaku mulia memang tidak bisa diganggu gugat, namun kita tetap harus memposisikan guru sebagai manusia biasa.

Dalam hal ini, pernyataan di atas sekiranya layak direnungkan. Bagaimana pun, guru tetap harus dimuliakan oleh siapa pun. Sikap memuliakan guru tetap dengan memosisikan guru sebagai “manusia biasa” yang kadang berbuat salah dan juga memiliki kelemahan. Bagaimana menurut Anda? Wallahu a’lam.

Hendra Sugiantoro,
Koordinator Forum Indonesia
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1257

Di Balik Tradisi Mudik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Rabu 1 September 2010
BANYAK orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman pada hari-hari terakhir Ramadan atau menjelang hari Lebaran. Lalu lintas jalan raya pun akan penuh sesak dengan angkutan umum darat dan juga kendaraan pribadi. Tak hanya di darat, transportasi laut pun digunakan untuk memenuhi tujuan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman.

Fenomena khas tradisi mudik memang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini. Bahkan, menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Dikatakan Umar Kayam bahwa mudik awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Dahulu kegiatan itu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka. Apa yang dilakukan itu akhirnya terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Kegiatan itu merupakan perbuatan sia-sia dan masuk dalam kategori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Mudik digunakan oleh kaum perantau untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di tempat kelahiran.

Mudik memang bisa dikatakan semacam peluang bagi siapa pun yang merantau untuk merekatkan kembali tali kekeluargaan dan persaudaraan di daerah asalnya. Setelah bekerja di tempat rantau, kerinduan terhadap kampung halaman menemukan kesempatan bersamaan dengan libur Lebaran. Tradisi mudik yang telah berlangsung bertahun-tahun tentu tak lepas dari pertanyaan yang mungkin sulit dicari jawabannya. Sebut saja pengeluaran finansial yang tidak sedikit harus rela dikeluarkan demi pulang ke kampung halaman. Bagi kaum perantau yang berhasil secara finansial mungkin tak menjadi masalah, namun berbeda dengan kaum perantau yang tidak berkecukupan. Meskipun pergi ke luar daerah/kota-kota besar bertujuan mendapatkan pekerjaan layak, kaum perantau tidak semuanya mengalami keberhasilan. Namun demikian, seberapa pun uang dikeluarkan untuk mudik seolah-olah tidak menjadi persoalan. Bahkan, gaji selama setahun disisihkan dan dialokasikan untuk biaya mudik yang hanya mungkin dilakukan sekali setahun. Lewat tradisi mudik, kita menyaksikan betapa kerinduan kembali ke kampung halaman tak bisa dibendung. Dalam perjalanan, keselamatan jiwa sering kali menjadi taruhan, tapi mereka yang merantau yakin dengan keamanan perjalanan. Apapun dilakukan untuk dapat bersua dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman meskipun mengeluarkan biaya besar dan nyawa menjadi taruhan.

Fenomena mudik yang mentradisi dalam masyarakat negeri ini pastinya dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Mudik memiliki arti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke luar daerah asal. Kota-kota besar menjadi tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah asal atau pedesaan kurang menjamin akses pekerjaan yang layak sehingga orang-orang berketetapan hati untuk pergi ke luar daerah dan kota-kota besar. Tak hanya terkait pekerjaan, tujuan merantau juga bisa terkait dengan aspek pendidikan. Setelah lama di kota, kerinduan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat di kampung halaman tak terelakkan. Mungkin saja kesempatan bersua itu hanya setahun sekali sehingga momentum Lebaran menjadi saat yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Dikatakan Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Dengan melakukan mudik, orang-orang yang bekerja di kota berkehendak kembali ke jati dirinya. Muhammad Muhyidin (2008) menyatakan bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah SWT. Karena disibukkan dengan urusan pekerjaan ataupun urusan yang bersifat duniawi, orang-orang yang berada di kota merasakan kekeringan hati. Nurani terasa mati sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Pada titik ini, mudik menjadi ajang mencari ketenangan batin dan memperlembut jiwa. Suasana alam pedesaan atau kampung halaman yang asri dan masih jauh dari cengkeraman modernitas semu merupakan ruang kondusif bagi lahirnya konsep diri yang asli. Kesadaran bertuhan, kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai makhluk sosial, dan kesadaran memakmurkan kehidupan ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman. Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Idul Fitri di mana setiap manusia kembali ke dalam kondisi fitrah yang suci setelah sebulan berpuasa.

Tradisi mudik yang menjadi fenomena sosio-religius ini seakan-akan menyimpan kearifan kultural. Namun demikian, tradisi mudik juga menandakan ketimpangan kemakmuran daerah. Tradisi mudik yang kentara di negeri ini menunjukkan kurang meratanya akses penghidupan yang layak. Lahan pekerjaan dan jaminan hidup layak tidak didapatkan di pedesaan atau kota-kota kecil. Kota-kota besar menjadi pelarian dari keterhimpitan hidup meskipun mengais nafkah di kota-kota besar tidak selalu menjamin keberhasilan. Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak lanjutan dari tradisi mudik: urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan.

Dalam hal ini, tradisi mudik hendaknya menyadarkan pemerintah untuk memeratakan pembangunan dan akses penghidupan di masing-masing daerah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus diberi tanda seru. Artinya, cukup sudah perpindahan penduduk menyerbu kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu juga bertanggung jawab memajukan daerahnya seperti diteriakkan lantang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul ”Jakarta”: Tinggallah di daerah dan saatnya membangun daerah menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik, dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti Transform Institute Yogyakarta