Sekolah Profetik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Post, Senin 27 Desember 2010

Sekolah adalah bagian dari pilar perubahan sosial. Pendidikan sekolah tak sekadar memberikan pelajaran dan meluluskan peserta didik, namun harus mampu membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Dalam pendidikan di sekolah, peserta didik tak hanya diarahkan cakap menguasai ilmu pengetahuan. Peserta didik juga diarahkan untuk berpikir dan menghadapi realitas sosial agar nantinya mampu memberikan kontribusi.

Pada titik ini, sekolah profetik menemukan relevansi. Di tengah fakta dunia pendidikan yang masih buram, sekolah perlu bertransformasi menjadi sekolah profetik. Meminjam konsep Kuntowijoyo, sekolah profetik berjalan dengan tiga pilar: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sekolah profetik memahami hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang dititahkan untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan. Ibadah bermakna luas. Guru yang mengajar dan mendidik menjalankan laku ibadah. Kesadaran ibadah perlu dimiliki para pengambil kebijakan di sekolah, sehingga mampu merumuskan kebijakan yang tepat. Mendidik peserta didik merupakan ibadah yang menjadi motivasi guru bekerja penuh dedikasi dan semangat.

Kesadaran ibadah juga ditanamkan kepada peserta didik. Tekun belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan bukan beban dan tuntutan menghadapi ujian sekolah, tapi memang kewajiban. Transendensi menjadi pijakan dan arah bagi proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Keimanan kepada Tuhan harus diimplementasikan dalam gerak amal. Guru harus memanusiakan peserta didik sebagai individu manusia yang memiliki potensi. Hubungan antara insan pendidikan di sekolah haruslah humanis. Kebijakan-kebijakan yang dibuat sekolah tidak mendiskriminasikan peserta didik, karena siapa pun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Sekolah profetik memberikan peluang setara bagi seluruh peserta didik dengan perbedaan potensi, kemampuan, status sosial, dan ekonomi. Saling menghargai ditanamkan antara satu dengan lainnya dalam komunitas masyarakat sekolah.

Sekolah profetik adalah sekolah yang membebaskan. Peserta didik menjalankan pendidikan di sekolah tanpa perasaan tertekan, terasing, tertindas, dan dikucilkan. Hak yang sama mendapatkan pendidikan menghendaki guru memerdekakan peserta didik untuk terlepas dari ketidaktahuan dan kebodohan. Proses pembelajaran tidak menjauhkan peserta didik dari realitas sosial. Peserta didik dilibatkan dengan persoalan sosial dengan mendiskusikan dan diberi ruang menyampaikan pendapat dan pemikiran. Pendidikan dalam sekolah profetik mencakup pendidikan keimanan, pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik, pendidikan karakter, dan pendidikan multikultur. Potensi akal, hati, dan jasad dikembangkan secara bersamaan dan seimbang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

(Menggugat) Jiwa Sosial Kita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Senin 20 Desember 2010

Hidup adalah perjuangan, memanglah benar. Banyak masyarakat miskin yang terus berjuang menyambung kebutuhan hidup dengan bekerja keras. Setiap saat membanting tulang untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang bisa dikatakan kaya dan tanpa pusing memenuhi kebutuhan. Uang melimpah yang dimiliki menjamin ketercukupan, bahkan tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar semata.

Sekelompok masyarakat kaya begitu cepatnya mengambil uang dan membelanjakannya. Dalam sehari, tak soal jika keluar minimal Rp 1 juta, bahkan lebih dari itu. Lapisan masyarakat kaya ini tak perlu repot-repot membelanjakan uang, karena sepertinya simpanan uangnya tak pernah susut. Di sisi kehidupan lain, ada sekelompok masyarakat yang kesulitan mendapatkan uang. Untuk belanja kebutuhan pokok sehari-hari, pikirannya kusut. Bayangkan dengan penghasilan yang tak menentu, sekelompok masyarakat miskin harus menyediakan kebutuhan dasarnya secara berkesinambungan untuk makan dan kebutuhan lainnya.

Dengan penghasilan Rp 5000, misalnya, ada sekelompok masyarakat miskin harus berpikir agar dapat makan. Belum lagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang menuntut ketersediaan dana. Penghasilan Rp 5000 setiap hari belum tentu didapatkan, bahkan sehari bisa saja tak mendapatkan sepeser pun uang. Kenyataan ini tidaklah mengada-ada. Coba kita tanyakan kepada tukang-tukang becak yang dalam sehari belum tentu mendapatkan penumpang. Kita juga bisa menengok kehidupan masyarakat yang bekerja serabutan. Masyarakat yang berwiraswasta pun kerap tak jauh beda. Para petani dan pedagang sering kali mengalami kerugian dalam usahanya. Penghasilan tak menentu, bahkan tak menjamin ada. Lebih-lebih bagi sekelompok masyarakat yang tak mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan seolah-olah impian di siang bolong. Lantas, bagaimanakah kita membayangkan ini?

Kriminalitas adalah anak dari kemiskinan. Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Dengan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang melonjak, masyarakat tak mungkin tak makan dalam seminggu. Tak mungkin menahan lapar berhari-hari meskipun penghasilan tak mencukupi. Solusinya adalah berhutang. Berhutang diakui telah menjadi tradisi dalam kehidupan sosial kita. Dalam membiayai anak-anak sekolah, banyak masyarakat yang berhutang. Tak hanya menggadaikan barang, tapi juga meminjam uang kesana kemari. Kebutuhan selain pendidikan pun sering kali berhutang.

Tentu berhutang memiliki kewajiban untuk mengembalikan. Hal ini kerap menimbulkan persoalan. Bagaimana jika tak mampu mengembalikan uang setelah berhutang? Dengan penghasilan yang minim dan tak menentu, masyarakat miskin dilanda kebingungan. Belum hutang terlunasi, masih harus memenuhi kebutuhan hidup di hari-hari berikutnya. Kriminalitas mungkin menjadi solusi. Tanpa berprasangka negatif, fakta ini tak perlu ditutupi. Kita bisa merasakan betapa susahnya menjalani hidup hanya dengan penghasilan Rp 5000-Rp 10.000 setiap hari. Malah penghasilan sebesar itu bisa jadi didapatkan sepekan. Pencurian, penjambretan, perampokan, dan bentuk kriminalitas lainnya sebenarnya bisa menggambarkan belum terjaminnya kebutuhan hidup sebagian masyarakat. Kriminalitas tak melulu dimaknai sebagai tindakan kejahatan, tapi juga sebuah gambaran untuk memahami realitas sosial.

Memaknai kriminalitas seperti itu perlu dilakukan. Kriminalitas memang tindakan tak terpuji, tapi kita perlu memaknai secara lebih mendalam. Siapakah yang salah jika ada yang mencuri uang karena uang di tangannya tak mencukupi untuk membeli beras? Siapakah yang salah jika ada yang bunuh diri karena hutang, nyatanya penghasilannya tak pernah ada untuk melunasi hutang yang menjadi beban?

Ada sekelompok masyarakat di negeri ini yang hidup bermewah-mewah. Sekelompok masyarakat kaya yang membeli makanan tak pernah habis dimakan lalu dibuang di tong sampah. Orang-orang miskin yang menjadi gelandangan memungutinya untuk mengganjal perut seharian. Sekelompok masyarakat yang menampakkan mobil mewah di hadapan anak-anak yang berpeluh di jalanan. Para penyelenggara negara pun seolah-olah membutakan mata, para elite menyiasati anggaran negara untuk melipatkan gaji dan tunjangan di tengah anak-anak putus sekolah. Para elite pun menyaksikan jutaan rakyat terjerat kemelaratan, tapi itu hanya dijadikan tema berebut kursi kekuasaan. Di mulut mengatakan anggaran negara terbatas, tapi tanpa bersalah plesiran ke negeri manca. Berbelanja ke luar negeri dengan harga berbandrol tinggi, padahal masih dijumpai penduduk yang terlilit kelaparan. Elite kekuasaan begitu bangganya melakukan korupsi yang berdampak kian menjeritnya derita masyarakat miskin.

Pada titik ini, jiwa profetik perlu ditumbuhkan. Kebersamaan sebagai sebuah masyarakat dan bangsa harus bermakna substantif Begitu banyak dari kita yang tekun menjalani ritual keagamaan, tapi kita bukan hidup untuk membangun kesalehan pribadi semata. Laku spiritual yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tidaklah bermakna tanpa gerak amal dalam kehidupan. Keimanan harus menggerakkan laku humanisasi dan liberasi untuk membangun kehidupan. Kesenjangan dan ketimpangan sosial adalah kesalahan kita yang tak mampu menyadari kehadiran sesama dan realitas sosial. Kepedulian, solidaritas, dan empati sosial haruslah berjangka panjang.

Jiwa profetik yang berlandaskan transendensi mengarahkan kita membangun kehidupan. Membebaskan sekelompok masyarakat miskin dari keterpurukan dan ketidakberdayaan merupakan sebentuk ibadah. Kita perlu memanusiakan manusia. Jiwa profetik menghendaki kita merasakan denyut kehidupan masyarakat yang masih diselimuti kenestapaan, lalu bertindak memerdekakannya agar sejahtera. Begitu pula para penyelenggara negara berkewajiban dan memiliki tanggung jawab mengatasi kemiskinan dengan membangun sistem yang berkeadilan sosial. Tidak melakukan korupsi, karena korupsi merupakan sebentuk pelanggaran amanat Tuhan yang menyebabkan masyarakat kian menderita. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
PEGIAT TRANSFORM INSTITUTE&FUNGSIONARIS FORUM INDONESIA

“Jalan Baru” Aksi Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 4 Desember 2010

APA yang disampaikan Fadjroel Rachman di Unnes layak direnungkan mahasiswa maupun gerakan mahasiswa. Saat berbicara dalam Dialog Nasional Revitalisasi Makna Sumpah Pemuda dalam Upaya Perbaikan Bangsa yang diselenggarakan BEM KM Unnes, beliau menegaskan bahwa demonstrasi adalah senjata pamungkas jika semua jalan untuk menyelesaikan masalah di wilayah intelektual gagal (Suara Merdeka, 22/11).

Demonstrasi atau turun ke jalan tidaklah dilarang, namun bukan satu-satunya cara menyampaikan aspirasi. Ada kegelisahan dirasakan ketika tradisi intelektual acapkali diabaikan. Mahasiswa lebih menikmati aksi turun ke jalan setiap menanggapi kebijakan pemerintah maupun isu-isu yang berkembang. Fatalnya, mahasiswa yang berdemonstrasi kerapkali hanya mengikuti komando dan kurang memahami isu dan persoalan secara mendalam.

Dalam ranah intelektual, kajian dan penelitian terhadap isu yang berkembang niscaya dilakukan. Mahasiswa perlu senantiasa menggalakkan tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis. Sejauh yang penulis amati, tidak banyak dari mahasiswa yang mengakses perkembangan-perkembangan terkini. Adanya mahasiswa yang buta isu-isu aktual tak dimungkiri. Jika pun mengetahui perkembangan aktual hanya bermodalkan ”katanya”. Tanpa kuatnya tradisi membaca, meneliti, dan berdiskusi, pendewaan terhadap asumsi-asumsilah yang terjadi dalam setiap demonstrasi mahasiswa yang digelar.

Ungkapan klise menyebutkan ada tiga kejahatan intelektual: tidak suka membaca, tidak suka berdiskusi, dan tidak suka menulis. Dengan kata lain, kejahatan inteletual telah dilakukan mahasiswa dengan minimnya tiga laku intelektual tersebut. Mahasiswa seolah-olah tak ada waktu maksimal bergelut dengan teks, melahap bahan bacaan, apalagi menuliskan gagasan dan pemikiran. Padahal, menulis bagi mahasiswa merupakan keniscayaan. Menulis juga bisa digunakan untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap penguasa.

Dalam hal ini, menulis selayaknya menjadi “jalan baru” aksi mahasiswa. Media massa bisa digunakan untuk menuangkan gagasan dan pemikiran,. Sebagai bagian dari tradisi intelektual, menulis justru perlu digiatkan. Menulis untuk pembelaan, penyadaran, dan perubahan bisa dilakukan tanpa melulu turun ke jalan. Menulis bisa dijadikan ajang mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-kemaslahatan rakyat. Mahasiswa sekiranya perlu meneladani jejak tokoh-tokoh bangsa tempo silam yang aktif menggoreskan pena, bahkan penerbitan pers menjadi hal penting dalam pergerakan. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lainnya menuangkan gagasan dan pemikirannya lewat tulisan. Kadang mereka mempublikasikan tulisan dalam bentuk brosur dan pamflet.

Pada titik ini, ada kisah menarik dari Bung Hatta yang bisa dijadikan cermin bagi mahasiswa. Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta turut mengelola surat kabar Hindia Poetra. Bung Hatta mengaku bahwa tulisan pertamanya di Hindia Poetra adalah tulisan ilmiah pertamanya. Tulisan itu diberi judul De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder (Kedudukan ekonomi para penyewa tanah orang Indonesia) dan Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesi (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia). Saat itu di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia) memang lagi hangat isu soal persewaan tanah perkebunan. Dalam membuat tulisan itu, Bung Hatta berjuang mati-matian dengan membaca dan mengkaji pelbagai literatur. Bung Hatta berkata, “Lama juga waktu yang kupergunakan untuk mengarang dua karangan (itu). Kalau aku tak salah, kira-kira enam bulan. Sambil belajar aku mengarang dan sedapat-dapatnya membaca pula buku yang dapat aku pergunakan sebagai bahan atau dasar.”(Parakitri T Simbolon, 2000).

Membaca riwayat tokoh-tokoh bangsa, tulisan memang menjadi hal yang menyatu dalam derap perjuangan. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, mahasiswa zaman kini justru harus lebih hebat menghasilkan tulisan. Mahasiswa bisa menulis di banyak media massa, tak hanya media massa cetak, tapi juga bisa menggunakan media massa online. Dengan adanya citizen journalisme, mahasiswa tidak terlalu sulit mempublikasikan tulisan-tulisannya. Semenjak reformasi bergulir, penerbitan media massa tak berbilang jumlahnya. Justru itulah kesempatan bagi mahasiswa menggiatkan laku menulis. Menulis di media massa dapat menjadi ajang dialektika intelektual. Memang ada mahasiswa yang telah menulis di media massa, namun bisa dikatakan belumlah sebanding dengan kuantitas mahasiswa di kampus. Yang perlu ditegaskan, menulis di media massa tak melulu menembus rubrik yang mendapatkan honorarium. Entah dapat uang atau tidak, menulis bisa dilakukan di rubrik media massa manapun, bahkan menulis di surat pembaca. Jika “jalan baru” ini diterima, kelak mahasiswa akan aksi besar-besaran memadati halaman koran. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta