Makna Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Kamis, 27 Oktober 2011

Pada tahun ini kita memperingati 83 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda 1928 adalah ikrar bersatunya berbagai komponen bangsa yang diwakili kaum muda untuk merajut cita-cita Indonesia merdeka. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari peristiwa Sumpah Pemuda? Pertama, pentingnya persatuan dan kesatuan. Keragaman sebagai realitas Indonesia bukan alasan berpecah-belah. Keragaman yang positif merupakan potensi menjayakan negeri. Indonesia masa depan yang ideal masih membutuhkan proses perjuangan panjang, maka segenap komponen bangsa dituntut bersatu padu.

Kedua, pentingnya kesadaran pemuda sebagai pilar masa depan bangsa. Pemuda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Pemuda dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya untuk membangun negeri. Keprihatinan terhadap kondisi pemuda selayaknya dijadikan refleksi bagi pemuda untuk mendidik dan memperbaiki diri agar mampu berkontribusi positif.

Ketiga, pentingnya pendidikan bagi generasi bangsa. Pemuda-pemuda yang merumuskan Sumpah Pemuda adalah sosok-sosok intelektual yang tercerahkan lewat proses pendidikan yang mereka tempuh. Maka, pendidikan terhadap anak-anak bangsa tidak boleh diabaikan. Pendidikan anak bangsa perlu dipikirkan sebagaimana pentingnya memikirkan eksistensi republik ini. Begitu.

HENDRA SUGIANTORO

Pembelajar di UPY


Kekerasan Pelajaran dan Krisis Identitas

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Senin, 24 Oktober 2011

Kekerasan di kalangan pelajar selalu memunculkan keprihatinan. Beberapa waktu lalu, sebagian siswa SMP Mataram, Ambarbinangun, Kasihan, menyerang SMP PGRI, Sonopakis, Kasihan, Bantul. Perusakan dilakukan sebagian siswa itu (Harian Jogja, Sabtu, 22/10). Akar permasalahan kasus tersebut perlu diselidiki dan diselesaikan agar tidak menjadi konflik di kemudian hari.

Berdasarkan sebuah teori psikologi, pelajar yang berada pada masa remaja dikatakan sedang membentuk identitas dirinya. Proses pencarian identitas diri disebut dengan krisis identitas. Menurut Erikson, krisis identitas adalah tahap untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-permasalahan penting yang berkaitan dengan pertanyaan tentang identitas dirinya (Adijanti Marheni:2004). Krisis identitas yang dialami remaja ada yang berjalan baik, ada yang kurang baik.

Dalam pembentukan identitas diri, ada pelajar yang cepat melewati krisis identitasnya dan ada pula yang lambat, bahkan ada kemungkinan mengalami kegagalan. Maka, tidaklah heran apabila ada pelajar yang berperilaku mulia dan pelajar yang “menyalahi norma” dalam usia tak jauh berbeda. Ditinjau dari status pembentukan identitas, pelajar yang melakukan kekerasan mungkin berada dalam diffussion status berdasarkan teori Erikson. Maksud status ini adalah suatu keadaan di mana remaja kehilangan arah, tidak melakukan eksplorasi, dan tidak memiliki komitmen terhadap peran-peran tertentu, sehingga tak dapat menemukan identitas dirinya. Mereka akan mudah menghindari persoalan dan cenderung mencari pemuasan dengan segera. Diffussion status kerap dialami oleh remaja yang ditolak dan tak mendapatkan perhatian. Mereka cenderung akan melakukan hal-hal yang tak dapat diterima masyarakat, seperti mabuk-mabukan dan penyalahgunaan obat sebagai cara menghindari tanggung jawab (Adijanti Marheni:2004). Pelajar yang melakukan kekerasaan dimungkinkan berada dalam status tersebut.

Pelajar yang melakukan kekerasan bisa karena faktor lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, masyarakat, media massa atau faktor lainnya. Maka, masing-masing pihak harapannya melakukan evaluasi. Tak hanya pihak sekolah, berbagai pihak bertanggung jawab untuk memuluskan pelajar membentuk identitas dirinya. Kita berharap pelajar memiliki komitmen dan menginternalisasikan sistem nilai positif dalam dirinya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar di Universitas PGRI Jogjakarta

Menyingkap Misteri Mati Suri

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 23 Oktober 2011

Judul Buku: Menguak Fenomena Mati Suri Penulis: F. Arifah Penerbit: Leutika, Yogyakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: vii+102 halaman

PERNAHKAH menyaksikan orang yang dinyatakan mati kemudian hidup lagi? Ada yang telah dikafani atau siap dikuburkan tiba-tiba bangkit dan mengejutkan para pelayat? Kejadian seperti itu kerap diistilahkah dengan mati sementara/mati suri.

Mati suri merupakan sebuah misteri. Buku ini mencoba memaparkan perihal mati suri ditinjau dari berbagai segi. Dalam bahasa Inggris, mati suri sering disebut near death experience. Lama mati suri berkisar beberapa jam, tapi ada yang sampai tiga hari. Plato pernah bercerita tentang orang yang mati suri dalam karyanya berjudul Republic. Diceritakan ada seorang prajurit bernama Er terbunuh di medan perang dan hidup lagi.

Pengalaman subjektif orang yang mati suri berbeda-beda. Ada yang merasakan ketenangan dan kedamaian, ada yang mengaku berada di terowongan dengan cahaya di ujungnya dan bersua dengan roh lainnya. Terowongan yang panjang itu kadang diasumsikan sebagai sebuah jalan menuju dunia roh atau dunia yang berbeda dengan dunia manusia. Apa yang ada di ujung terowongan tak bisa dilihat karena ada cahaya menyilaukan. Ada pula yang mengatakan setelah keluar dari tubuh ditemani sesosok makhluk cahaya atau dalam versi lain disebut malaikat. Selain makhluk cahaya itu, ia juga ditemani oleh seseorang sebagai perwujudan dari amalnya. Jika amal baik, parasnya menyenangkan. Jika amal buruk, parasnya menakutkan. Selain itu, ada juga pengakuan lainnya (halaman 35-40).

Secara medis, mati suri memiliki beragam versi yang masih diselimuti kontroversi. Pengalaman orang yang mati suri dikatakan berkaitan dengan cara otak memproses informasi sensorik yang masuk. Kesalahan penerjemahan otak terhadap rangsangan bisa terjadi akibat obat-obatan atau trauma tertentu yang menutup otak. Beberapa ahli berteori, gangguan syaraf atau kelebihan beban informasi yang dikirim ke korteks visual otak akan menciptakan gambaran cahaya terang yang perlahan menjadi besar. Otak dapat menafsirkan hal tersebut sebagai sesuatu yang bergerak di terowongan gelap menuju cahaya terang. Kombinasi antara efek trauma dan kekurangan oksigen di dalam otak akan memunculkan perasaan melayang di angkasa dan menatap tubuhnya sendiri. Sensasi kedamaian yang dirasakan akibat meningkatnya kadar endorfin yang diproduksi oleh otak selama mengalami trauma tersebut (halaman 40-42).

Buku yang mencoba menguak soal mati suri ini bisa memperkaya wawasan meskipun tetap saja sulit menjelaskan secara gamblang. Kita mungkin menyimpulkan, mati suri adalah rahasia Tuhan dengan ilmu-Nya. Begitu. (HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).

Budayakan Anak Membaca Sejak Kecil

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, 21 Oktober 2011
Ada anak bernama Nada Kumiko. Meskipun seperti orang Jepang, ia asli Indonesia. Pada usia 2 tahun ia telah mengoleksi lebih dari 40 buku. Mengejutkan? Secara psikologi, ada teori yang menyebutkan bahwa perkembangan bahasa anak justru lebih cepat ketimbang perkembangan aspek lainnya. Ditinjau dari sudut ini, apa yang terjadi pada Nada Kumiko adalah wajar.

Buku yang dimiliki Nada Kumiko tentu sesuai tahap perkembangannya. Dhony Firmansyah (2010), ayahnya, menuturkan bahwa Nada Kumiko telah hafal sebagian besar isi buku tersebut. Meskipun belum bisa membaca secara harfiah untuk mengeja huruf, namun Nada Kumiko mampu menyebutkan setiap karakter yang ada di bukunya. Nada Kumiko juga mengerti jalan cerita buku-buku yang ia miliki. Malah kini Nada Kumiko lebih sering bercerita sendiri. Sambil membuka lembaran buku, bibirnya yang imut mulai berkomat-kamit melantunkan cerita dalam buku.

Kemampuan Nada Kumiko tak terbentuk seketika. Sejak dalam rahim, ibunya rajin membaca dan mengajak cerita. Setelah lahir, ibunya terus bercerita dan mengenalkan buku kepadanya. Buku yang diberikan seringkali basah menjadi santapan mulutnya. Ibunya tak masalah dengan itu karena hendak menjadikan anaknya menyukai buku terlebih dahulu. Lambat laun ketika bisa tengkurap, Nada Kumiko mampu membuka-buka sembari mengamati gambar dan warna di halaman buku. Sebulan sekali orangtuanya juga rajin pergi ke toko buku. Saat berusia 15 bulan, Nada Kumiko suka berlari-lari kecil di lorong rak buku seraya menenteng buku pilihannya.

Anak-anak lainnya juga bisa seperti Nada Kumiko. Kemampuan anak memang berbeda-beda, namun orangtua harus menyadari bahwa potensi anak luar biasa. Membiasakan anak suka membaca sejak kecil bukan berarti melarang anak bermain. Mengajari anak membaca tetap harus disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Anak bisa memiliki kebiasaan membaca tanpa paksaan apabila lingkungan membentuknya. Pada dasarnya, papar Ajip Rosidi (1971), kegemaran membaca itu harus dididik dan ditanamkan kepada orang-orang sejak kecil, sejak mereka masih kanak-kanak, ketika masih duduk di sekolah, sejak dari taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai sekolah lanjutan dan seterusnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta

Sajak Mohammad Yamin dan Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Ruang Putih JAWA POS, Minggu 16 Oktober 2011
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menorehkan kisah para pemuda yang bersedia menanggalkan semangat kesukuan. Peristiwa Sumpah Pemuda pun menjelma menjadi peringatan pada setiap tahun untuk sebuah refleksi, inspirasi, dan motivasi bagi generasi bangsa dalam melihat kini dan menatap masa depan. Dari sekian pemuda yang berkumpul dalam Kongres Pemuda II itu, ada satu sosok: Mohammad Yamin.

Dalam Kongres Pemuda II di Jakarta (dulu Batavia), Yamin tidak sekadar hadir sebagai sekretaris dan perwakilan dari Jong Sumatranen Bond. Namun, ia hadir dengan sebuah imajinasi dan pemikiran untuk menegaskan “keindonesiaan”. Di benak Yamin, impian tentang kesatuan tumpah darah dan tanah air telah bersemayam lama. Bangsa dan bahasa telah diimajinasikan Yamin dalam sastra. Awalnya, imajinasi Yamin tentang tanah air itu masih bersifat terbatas. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya yang dianggit pada Juli 1920: Sesayup mata, hutan semata/Bergunung bukit, lembah sedikit/Jauh di sana di sebelah situ/Dipagari gunung satu per satu/Adalah gerangan sebuah surga/Bukannya janat bumi kedua/—Firdaus Melayu di atas dunia!/Itulah tanah yang kusayangi/Sumatera namanya, yang kujunjungi.

Itulah bait kedua sajak yang diberi judul “Tanah Air”. Dalam baris terakhir pada bait terakhir sajak itu, Yamin menggoreskan:.../Ia memekik berandai-andai/”Wahai Andalas, pulau Sumetera,/Harumkan nama selatan utara!”. Meskipun tak menyebut tanah air secara benderang, namun dari judul telah tampak sebuah imajinasi tentang tanah air. Ia mengimajinasikan Sumatera sebagai tanah air. Dalam sajaknya berjudul “Bahasa, Bangsa”, Yamin juga mengimajinasikan pentingnya bahasa untuk mempersatukan sebuah bangsa. Berikut penggalan sajaknya: Andalasku sayang, jana-bejana/Sampai mati berkalang tanah/Lupa ke bahasa, tiada ‘kan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsa pun hilang (Mohammad Yamin, Februari 1921).

Bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang dimaksud Yamin adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu hendak dijadikan sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Sumatera yang diimpikannya. Hal ini terus-menerus dipertegas Yamin, termasuk lewat orasinya bertajuk
De Maleiche Taal in het verleden, heden en in de toekomst”(Bahasa Melayu, pada masa lampau, masa kini, dan masa depan) saat peringatan 5 tahun Jong Sumatranen Bond di Jakata pada tahun 1923. Bagi kita, mungkin terasa janggal ketika Yamin masih berpikir tentang “bangsa” Sumatera, padahal ia tentu tahu kalau ada daerah lain di luar Sumatera. Pada titik ini, kita hanya melihat proses perkembangan imajinasi dan pemikiran Yamin.

Bagi Yamin, bahasa Melayu adalah penting. Meskipun ketika itu bahasa Melayu dominan digunakan oleh penduduk di Nusantara, namun bukan berarti takkan punah. Pasalnya, penjajah Belanda tampaknya hendak memantapkan bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi bagi kalangan bumiputera. Hal ini tampak dalam sistem pendidikan yang diadakan Belanda lewat politik etisnya. Bahkan, mitos seakan-akan terbangun bahwa bahasa Belanda adalah bahasa modern yang menjadi simbol kemajuan. Jika dicermati, pilihan atas bahasa ini merupakan suatu sikap dan pendirian otonom. Tanah air yang terjajah tak ingin menggunakan bahasa kaum penjajah. Pada titik ini, kita bisa melihat suatu perbedaan Indonesia dengan negara-negara terjajah lainnya. Di sebagian besar negara yang pernah dijajah, bahasa kaum penjajah akhirnya menjadi bahasa utama atau bahasa kedua. Di Indonesia, meskipun Belanda menjajah begitu lama, namun Bahasa Belanda lenyap dalam bahasa komunikasi (Bdk, Jamal D. Rahman, 2009).

Perkembangan pengalaman dan wawasan yang diperoleh Yamin akhirnya memang meluaskan cakrawalanya soal tanah air dan bangsa. Ia mulai tidak berpikir tentang Sumatera semata, namun wilayah yang lebih luas dari Sumatera. Untuk urusan bahasa, ia tetap memegang teguh bahasa Melayu. Pendirian Yamin ini terus disuarakan, termasuk ketika digelar Kongres Pemuda I pada 30 April 1926-2 Mei 1926 di Jakarta.

Yamin bukan “katak dalam tempurung”. Ia bukan sastrawan semata, tetapi juga layak disebut akademisi, budayawan, bahkan sejarawan. Pendidikan formalnya dijalani relatif memuaskan. Di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, ia mengambil ranah studi sejarah dan bahasa-bahasa Timur Jauh. Wawasan dan pengetahuan tentang bahasa dan imajinasinya tentang bangsa dan tanah air akhirnya menggerakkan penanya untuk menulis sajak berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku”. Salah satu bait dalam sajak yang terdiri 88 bait itu, berbunyi: Lihatlah kelapa melambai-lambai/Berdesir bunyinya sesayup sampai/Tumbuh di pantai bercerai-berai/Memagar daratan aman kelihatan/Dengarlah ombak datang berlagu/Mengejari bumi ayah dan ibu/Indonesia namanya, tanah airku. Sajak “Indonesia, Tumpah Darahku” ditulis Yamin sebelum Kongres Pemuda II dimulai, yakni pada 26 Oktober 1928.

Imajinasi dan cita-cita Yamin tentang satu bangsa dan satu bahasa pun terwujud. Setelah mengadakan berbagai agenda dalam Kongres Pemuda II, para pemuda menyepakati Sumpah Pemuda. Seperti apakah isi dari Sumpah Pemuda? Konon rumusan ini ditulis oleh Yamin yang saat itu bertindak sebagai sekretaris kongres:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Mohammad Yamin lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903. Berarti saat Sumpah Pemuda, ia berusia 25 tahun. Imajinasinya tentang kesatuan bangsa dan bahasa telah tumbuh ketika usianya belum menginjak 20 tahun. Membaca Yamin, kita—lagi-lagi—menyaksikan sastra mengimajinasikan masa depan. Lalu, bagaimana kaum muda kini mengimajinasikan masa depan Indonesia lewat sastra? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Mahasiswa dan Program Wirausaha

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Kamis 13 Oktober 2011

Kini kewirausahaan (enterpreneurship) mengemuka menjadi tema sentral. Di bangku universitas, misalnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas mengkonsep pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Mata kuliah kewirausahaan pun coba diajarkan. Pelbagai program untuk melatih dan mengasah jiwa kewirausahaan mahasiswa juga digulirkan, salah satunya melalui Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Melalui program ini, mahasiswa secara individual ataupun kelompok bisa mengajukan proposal kegiatan usaha ke universitasnya. Jika diterima, usaha yang direncanakan bisa dijalankan dengan kucuran dana PMW. Besaran dana tergantung kebutuhan pengembangan usaha, dilakukan mahasiswa secara individual atau kelompok. Besarnya dana bisa mencapai maksimal sekitar Rp 8 juta untuk individu, sedangkan untuk kelompok bisa mencapai maksimal sekitar Rp 24 juta sampai Rp 40 juta. Untuk kelompok mahasiswa, jumlah maksimal anggota adalah 5 mahasiswa.

Ada beberapa tujuan dari pengguliran PMW ini. Pertama,
menumbuhkan motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Kedua, membangun sikap mental kewirausahaan, yakni percaya diri, sadar akan jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras, kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik, memiliki kemampuan empati dan keterampilan sosial. Ketiga, meningkatkan kecakapan dan keterampilan para mahasiswa khususnya sense of business. Keempat, menumbuhkembangkan wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan tinggi. Kelima, menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keenam, membangun jejaring bisnis antar-pelaku bisnis, khususnya antara wirausaha pemula dan pengusaha yang sudah mapan.

Yang membanggakan,
dari pelbagai laporan dan berita di media massa, minat mahasiswa mengikuti PMW tak terbilang rendah. Fakta ini layak diapresiasi sebagai bentuk keinginan dan komitmen mahasiswa berwirausaha. Namun, tak seluruh mahasiswa bisa mengikuti program ini. Ada syarat khusus, seperti telah menyelesaikan kuliah empat semester atau minimal telah menempuh 80 satuan kredit semester (SKS). Itu untuk S-1. Adapun mahasiswa program diploma paling tidak telah menempuh kuliah tiga semester atau minimal telah menempuh 60 SKS. Sebuah tim profesional akan menyeleksi sebelum meloloskan mahasiswa mengikuti program ini.

Bagi mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang mengikuti program ini, besarnya dana yang diberikan merupakan modal usaha. Status dana tersebut hanya pinjaman
yang nantinya dikembalikan. Mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa tetap bisa mendapatkan keuntungan dari hasil usaha meskipun harus mengembalikan dana pinjaman. Tentu saja, mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang terhitung berhasil membangun dan mengembangkan usahanya takkan mengalami kerugian. Adapun mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang kurang berhasil akan menerima konsekuensi tersendiri. Konsekuensinya bermacam-macam sesuai kebijakan masing-masing universitas, seperti penahanan ijazah saat kelulusan atau lainnya. Meskipun kurang berhasil, mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa tetap harus mengembalikan dana pinjaman. Di sinilah sikap ulet dan berani menghadapi risiko diuji. Sikap pantang menyerah perlu ditunjukkan mahasiswa atau kelompok mahasiswa yang mengikuti program ini, sehingga dana pinjaman bisa dikembalikan.

Adanya program menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa pastinya akan berdampak positif bagi pembangunan karakter mahasiswa. Mahasiswa harapannya tidak berorientasi mencari kerja semata (job seeker), tapi kuasa menciptakan lapangan pekerjaan (job creator). Ketika lulus dari bangku universitas, para sarjana tak melulu berburu lowongan pekerjaan, namun memiliki kemandirian. Mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang mengikuti program ini tentu tidak dibiarkan tanpa pendampingan. Pendampingan dilakukan oleh staf-staf pengajar universitas yang telah ditunjuk. Bahkan, pengusaha-pengusaha yang mapan juga bisa diikutkan untuk mendampingi dan membina para mahasiswa. Melalui PMW, mahasiswa bisa melakukan usaha bermacam-macam, seperti peternakan ikan lele, usaha penjualan laptop atau komputer, membuka warung makan, membuka usaha penerbitan buku, dan usaha lainnya.

Melalui PMW, pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan harapannya bisa dimiliki mahasiswa. Mahasiswa bisa memiliki mental kewirausahaan, bahkan mampu memiliki jejaring bisnis. Selain itu, lulusan universitas juga diharapkan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan lingkungannya. Dengan usaha yang dikembangkan, lulusan sarjana bisa memperluas lapangan kerja untuk turut serta mengurangi pengangguran. Di sinilah pengabdian kepada masyarakat dalam tridarma perguruan tinggi menemukan maknanya. Setelah lulus, seorang sarjana mampu turut serta mengatasi permasalahan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat. Seorang sarjana bukan malah menambah deret panjang pengangguran. Semoga. Wallahu a’lam.

Tantangan Kewirausahaan di Kampus

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Kamis 13 Oktober 2011

Meskipun terkesan mulai marak akhir-akhir ini, pendidikan kewirausahaan bagi mahasiswa pada dasarnya bukan hal yang baru. Serian Wijatno (2009) memaparkan bahwa pendidikan entrepreneurship mulai bermunculan di Indonesia pada tahun 1980-an. Pada tahun 2000-an, pendidikan entrepreneurship semakin digalakkan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mendorong berkembangnya pendidikan entrepreneurship, di antaranya melalui pendanaan kegiatan kemahasiswaan dalam bidang entrepreneurship. Pertanyaan pun muncul, jika telah lama digalakkan, mengapa dampaknya belum signifikan mengatasi pengangguran lulusan perguruan tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tak mudah. Dalam hal ini, penulis mencoba menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan belum berhasilnya pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Pertama, tidak seluruh mahasiswa mengikuti program-program kewirausahaan di perguruan tinggi. Hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu yang turut serta dalam program kewirausahaan berdasarkan minat. Sebut saja Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) yang diadakan sejak tahun 2009, mahasiswa yang berminat dan memenuhi syarat saja yang mengikutinya. Artinya, pembelajaran kewirausahaan di lapangan tak menyentuh seluruh mahasiswa.

Kedua, kewirausahaan lebih pada tataran pengetahuan semata. Meskipun perguruan tinggi mewajibkan mahasiswa menempuh mata kuliah kewirausahaan, namun bukan jaminan mahasiswa mau mempraktikkannya. Ketika mendengarkan pemaparan dosen di kelas masih mungkin muncul spirit dan keinginan untuk berwirausaha, tetapi dimungkinkan hilang usai kuliah. Ketiga, lemahnya mentalitas untuk terjun berwirausaha. Ketika terjun di ranah kewirausahaan, tantangan dan kerja keras merupakan keniscayaan. Mahasiswa dengan mentalitas pragmatis cenderung tak menyukai kerja-kerja yang merepotkan. Mungkin tak banyak mahasiswa yang tekun, ulet, pantang menyerah, dan memiliki spirit juang tinggi.


Ketiga faktor di atas tentu bisa dimaknai sebagai tantangan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Pembelajaran secara teori penting, tetapi pembelajaran kewirausahaan secara praktik tak bisa diabaikan. Mahasiswa juga perlu terus-menerus dibangun jiwa kewirausahaannya meskipun sebenarnya sudah harus ditempa melalui pendidikan keluarga sejak kecil. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar di UPY Jogja

Kecelakaan Transportasi Bukanlah Angin Lalu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi HARIAN JOGJA, Selasa 11 Oktober 2011
Di darat, di laut, dan di udara selalu saja muncul rentetan kecelakaan yang memilukan hati. Terakhir, Kamis (29/9), pesawat terbang CASA 212 jatuh di Bukit Hulusekelem, kawasan hutan Bahorok, Langkat, Sumatera Utara. Pesawat terbang milik PT Nusantara Buana Air (NBA) itu hendak menuju Bandara Alas Leuser, Kutacane, Aceh Tenggara dari Bandara Polonia, Medan.
Kecelakaan transportasi di negeri ini seolah-olah telah menjadi wajah getir hampir sepanjang tahun. Khusus moda transportasi darat, kecelakaan lalu lintas dinyatakan sebagai penyebab kematian nomor 7 di negeri ini. Menurut data kepolisian, ada sekitar 31.600 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2010 silam. Itu kecelakaan di darat, belum kecelakaan di laut maupun udara. Pada tahun 2011 ini, sampai 31 Agustus 2011, data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan telah terjadi 2.998 kecelakaan transportasi.
Pastinya, kecelakaan transportasi menimbulkan kepiluan. Nyawa-nyawa manusia ada yang meregang karena ketidakdisiplinan dalam menyelenggarakan jasa transportasi. Para pengelola negara tentu perlu memikirkan kecelakaan transportasi sebagai permasalahan luar biasa. Kecelakaan transportasi jangan dianggap angin lalu. Terkait hal ini, pemerintah memang tak diam. Sebut saja sosialisasi keselamatan transportasi jalan di seluruh provinsi oleh Direktorat Keselamatan Transportasi Darat Kementerian Perhubungan. Dari Deklarasi Aksi Keselamatan Jalan 2011-2020 diharapkan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sampai tahun 2020 mengalami penurunan.
Bahkan, UU No. 1/2009 tentang Penerbangan telah diterbitkan. Terbentuknya Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merupakan dampak dari keberadaan undang-undang tersebut. Lalu lintas udara diupayakan kuasa menjamin keselamatan bagi pengguna jasa penerbangan. Menteri Perhubungan pun mengeluarkan Permen No. 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang rencananya mulai berlaku 1 November 2011. Salah satu isi peraturan itu adalah kepastian bagi korban kecelakaan pesawat udara yang meninggal dunia untuk mendapatkan santunan sebesar Rp. 1,25 miliar. Kompensasi yang cukup besar bagi korban kecelakaan pesawat terbang pasti akan memberikan dampak kepada pihak penyelenggara angkutan udara untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya (Chappy Hakim, 2011).
Berbagai upaya pemerintah menjamin keselamatan transportasi tentu perlu diapresiasi. Kecelakaan transportasi memang kerap tak terduga yang disebabkan oleh banyak hal, seperti faktor manusia (human error), kondisi kendaraan transportasi yang tak layak, infrastruktur yang kacau balau, dan lain sebagainya. Maka, penegakan hukum menjadi salah satu alternatif yang perlu dilakukan agar pengguna jasa transportasi terlindungi dan terjamin keselamatannya. Pemerintah perlu juga mengatur kelayakan moda transportasi dan memperbaiki infrastruktur yang berkaitan dengan transportasi.
Perlu diingat, memperhatikan keselamatan transportasi merupakan tugas dan kewajiban pemerintah. Tugas dan kewajiban itu adalah bagian dari amanat UUD 1945 agar pemerintah mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Masyarakat yang hidup di republik ini harus dilindungi, baik harta maupun jiwanya. Di balik kecelakaan transportasi memang terdapat kekuasaan Tuhan, namun bukan berarti harus berdalih dengan takdir Tuhan untuk menutupi perbuatan salah dan abai manusia. Manusia akan mendapatkan sesuatu sesuai yang diusahakannya.
Fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia perlu dimaknai sebagai upaya preventif agar tidak terjadi kecelakaan transportasi. Di samping meminimalisir kerugian dan korban jiwa, usaha preventif bisa menjadikan masyarakat pengguna jasa transportasi tak tercekam ketakutan dan kekhawatiran. Pemerintah perlu memperbaiki kinerjanya agar masyarakat benar-benar nyaman berkendaraan. Kecelakaan transportasi di negeri ini seyogianya tak dijadikan “ritual” tahunan yang dimaklumi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa UPY Jogjakarta

Kita dan Pengendalian Emosi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa, KORAN MERAPI, Sabtu 8 Oktober 2011

Siapa pun kita memiliki emosi. Bentuk emosi kita bermacam-macam, seperti senang, marah, benci, suka, cinta, dan sebagainya. Bahkan, emosi dalam diri kita tak bersifat tunggal, tetapi bisa merupakan kombinasi dari berbagai macam emosi. Sebut saja misalnya kita menyukai seseorang, lalu kita mencintainya. Kita juga bisa memiliki emosi marah sekaligus benci.

Pembahasan terkait emosi ini menarik, karena keseharian kita pada dasarnya tak terlepas dari aspek emosi. Sebagaimana kasus-kasus yang kerap diberitakan di media massa, aspek emosi pada seseorang begitu kentara. Sebut saja ada remaja putri yang mencintai lawan jenisnya, lalu orang yang dicintainya itu pergi begitu saja. Akibat kurang mampu mengendalikan emosi ke arah positif, remaja putri itu lantas menzalimi dirinya dengan tak sudi makan, bahkan ada yang sampai melakukan perbuatan bunuh diri. Kasus tawuran antar-siswa sekolah ataupun antar-warga kampung juga ada pelibatan aspek emosi di dalamnya. Ada pula orang yang sedih berlarut-larut dan merasa bosan menjalani hidup.

Dalam hal ini, ada yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Kita kerapkali mengartikan emosi dengan marah. Jika ada orang yang marah, kita seketika mengatakan orang itu emosi. Padahal, marah hanya bagian dari bentuk emosi. Jika kita menyaksikan korban bencana alam lantas kita tergugah untuk memberikan bantuan, maka hal itu juga bagian dari emosi. Mohamad Surya (2003) menjelaskan bahwa emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap perilaku individu, yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Artinya, perilaku kita merupakan gambaran dari emosi yang ada pada diri kita.

Dalam diri kita, emosi tak berdiri sendiri. Pada umumnya, emosi memiliki hubungan dengan kognisi dan tindakan. Interaksi antara kognisi, emosi, dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Albert Ellis mengungkapkan bahwa kognisi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap emosi dan tindakan, emosi juga berkontribusi atau menjadi sebab terhadap kognisi dan tindakan, serta tindakan berkontribusi atau menjadi sebab kognisi dan emosi. Bila seseorang mengalami perubahan dalam salah satu dari tiga ranah itu, maka cenderung akan mengalami perubahan dua lainnya (Mohamad Surya: 2003)

Untuk menjelaskan hal di atas, kita bisa melihat beberapa contoh berikut ini: (1). Seorang siswa memahami bahwa mendapatkan nilai baik itu penting. Pentingnya mendapatkan nilai baik tertanam dalam kognisinya, maka ia memiliki emosi menyukai setiap apa yang diterangkan oleh guru di depan kelas dan menyukai pelajaran apapun. Ia pun melakukan tindakan dengan giat belajar, (2). Seseorang melakukan tindakan membakar sampah sembarangan, lalu terjadi kebakaran. Karena kejadian itu, ia mungkin akan memiliki emosi membenci api. Bahaya api terekam dalam pikirannya.

Emosi memang tak terpisahkan dalam diri seseorang. Ekspresi dari emosi bisa positif, bisa pula negatif. Ekspresi negatif dari emosi, misalnya suporter sepakbola tak terima tim yang didukungnya kalah lantas marah dan menghujat atau melempari wasit di lapangan. Ekspresi dari emosi yang negatif tentu tak baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menyaksikan dampak dari emosi yang ditunjukkan secara tak positif, sehingga berakibat buruk terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Maka, pengendalian emosi menjadi niscaya.

Pada titik ini, pengendalian dari emosi marah penting ditekankan. Pasalnya, perilaku tak bijak umumnya akibat ekspresi dari emosi marah yang tak terkendali. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Menurut kalian, siapakah orang yang paling kuat?” Para sahabat menjawab, “Orang yang tak dapat dikalahkan oleh orang lain.” Rasulullah SAW berkata, “Bukan. Orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.”(HR. Muslim dan Abu Dawud). Dari hadits tersebut, ada pelajaran agar kita bisa mengendalikan emosi marah. Orang dikatakan kuat bukan karena ditakuti oleh orang lain, tetapi kemampuan mengendalikan diri untuk tak meluapkan kemarahan.

Mungkin bagi sebagian kita masih begitu sulit mengendalikan emosi marah. Jika kita menyadari, emosi marah cenderung membuat kita tak mampu berpikir dengan akal sehat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Hendaklah salah seorang di antara kalian tidak menjatuhkan putusan hukum di antara dua orang saat ia sedang marah.”(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Dalam konteks luas, kita hendaknya tak membuat putusan apapun ketika marah karena pikiran kita cenderung tidak jernih saat marah. Kasus pembunuhan yang kerapkali terjadi dimungkinkan akibat putusan-putusan yang diambil ketika marah. Karena keinginan tak terpenuhi, ada anak yang marah dan mengambil putusan membunuh orangtuanya. Ada pula orang yang membunuh saudaranya atau orang lain karena sakit hati dan faktor lainnya.

Untuk mengendalikan emosi marah, ada sabda Rasulullah SAW yang kerapkali kita dengar, “Sungguh, marah adalah setan. Dan sungguh, setan diciptakan dari api. Api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka, jika salah seorang dari kalian marah, wudhulah.”(HR. Abu Dawud). Berwudhu boleh jadi bisa mengatasi emosi marah kita. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah, dan saat itu ia dalam keadaan berdiri, maka duduklah, karena itu akan menghilangkan amarahnya. Jika belum reda, maka berbaringlah.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Pemaparan di atas terkait dengan emosi marah. Ada emosi lainnya, seperti benci, dengki, sedih, dan lainnya. Emosi senang dan cinta pun perlu dikendalikan dan diarahkan, karena bisa juga berefek buruk apabila berlebihan. Beragam bentuk emosi itu wajar terdapat pada diri kita. Hanya saja kita perlu mengendalikan dan mengarahkan ke hal-hal positif. Kita yang dapat mengendalikan dan mengarahkan emosi secara positif berarti memiliki kepribadian yang sehat. Kita akan terus belajar untuk itu. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Transform Institute, Yogyakarta).

Tarian Kolosal Candi Borobudur

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 25 Oktober 2011

Judul Buku: Sendratari Mahakarya Borobudur Penulis: Timbul Haryono dkk Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, Mei 2011 Tebal: x+142 halaman

Membaca buku ini kita diajak mengenal lebih jauh dan lebih mendalam tentang Candi Borobudur. Mungkin tak banyak yang mengetahui jika di Candi Borobudur juga terdapat karya seni budaya dalam bentuk drama tari. Tarian tersebut dipentaskan dengan melibatkan hampir sekitar 200 seniman.

Diawali dengan pemaparan sejarah Candi Borobudur, buku ini memaparkan data dan fakta semenarik mungkin. Candi yang berlatar belakang agama Buddha ini berdekatan dengan pertemuan dua sungai, yakni Sungai Elo dan Sungai Progo. Konon Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Laporan pertama tentang candi ini pada abad XIX ditulis saat Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Semarang tahun 1814. Kala itu bangunan candi sudah berupa reruntuhan. Perbaikan terhadap bangunan candi pun digagas dan dilakukan.

Candi Borobudur tak sekadar bangunan candi, namun menyimpan nilai-nilai filosofis. Untuk mengungkap makna filosofis tersebut diadakanlah Sendratari Mahakarya Borobudur. Karya tari kolosal ini merupakan perpaduan tarian istana Surakarta dan tarian rakyat yang hidup dan berkembang di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kedua genre tersebut merupakan warisan seni yang telah berkembang sejak zaman Mataram Kuno abad VII. Tema yang diangkat sebagai pijakan adalah sejarah dibangunnya Candi Borobudur di masa kejayaan Maharaja Samaratungga. Alur ceritanya meliputi lima adegan: (1). Kehidupan Masyarakat di Bukit Menoreh, (2). Kebesaran Kerajaan Mataram Kuno, (3). Gotong Royong Masyarakat di Bukit Menoreh, (4). Pembangunan Candi Borobudur, dan (5). Berdoa.

Sendratari Mahakarya Borobudur dipentaskan di malam hari dengan durasi sekitar 60 menit. Dalam adegan awal digambarkan kehidupan masyarakat yang masih labil keyakinan hidupnya. Kondisi mulanya memang damai dan tenteram, lalu berubah brutal, penuh keserakahan, angkara murka, dan saling menindas yang menyebabkan suasana mencekam. Muncullah tokoh spiritual Rakai Pancapana Panangkaran yang mampu mengendalikan situasi dan tanggap terhadap perbuatan manusia yang tak terpuji. Ia membina umatnya kembali ke jalan yang benar dengan mengajarkan jalan kehidupan yang baik. Ajaran itu mampu diserap dan dikuasai oleh putranya bernama Samaratungga yang kemudian diaplikasikan di batu berundak berupa “candi”, berisi ajaran hidup “kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu”. Samaratungga lalu diangkat sebagai Raja Mataram Kuno. Setelah itu, cerita mengalir menggambarkan kehidupan masyarakat di zaman Mataram Kuno sampai bisa membangun Candi Borobudur secara gotong royong (halaman 27-87).

Dari adegan demi adegan itu, kisah historis dan nilai filosofis Candi Borobudur coba dikisahkan. Buku ini mencoba memaparkannya kepada pembaca.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).

Makna Sosial Tradisi Syawalan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bina Rohani MAJALAH PEWARA DINAMIKA UNY Edisi September 2011

Tradisi syawalan kerap dilaksanakan dalam masyarakat kita setelah lebaran. Tradisi syawalan di berbagai daerah memiliki ragam berbeda dengan bentuk dan ritual khas. Di tengah perbedaan ritual syawalan, ada tradisi menyuguhkan ketupat/kupat. Dalam syawalan juga masih berlangsung acara saling maaf-memaafkan. Meski ketupat tak mesti disajikan, berbicara mengenai ketupat tetap memiliki nilai penting.

Pada umumnya, ketupat terbuat dari nasi yang dibungkus daun kelapa muda/janur. Konon, tradisi membuat ketupat ini disosialisasikan pertama kali oleh Sunan Kalijaga yang membudayakan dua kali bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda lebaran setelah sebulan puasa Ramadan. Adapun bakda kupat dimulai sepekan setelah lebaran. Kupat bermakna ngaku lepat (mengakui kesalahan). Dilihat secara utuh, ketupat/kupat itu bermakna mendalam. Rumitnya anyaman bungkus ketupat menggambarkan berbagai kesalahan manusia. Jika bungkus ketupat dibelah, kita dapat melihat ketupat yang berwarna putih. Itu mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon maaf dari kesalahan. Ketupat juga memiliki makna filosofis lainnya. Dalam hal ini, esensi dari ngaku lepat sekiranya perlu ditekankan.

Sebagaimana dimaklumi, kehidupan sosial tidak lepas dari salah dan khilaf. Mengaku kesalahan dan saling memaafkan sewajarnya dilakukan. Azyumardi Azra (2006) mengatakan terdapat empat dimensi dalam maaf-memaafkan. Pertama, harus dimulai dengan ingatan (muhasabah) akan dosa lalu kemudian memaafkannya. Kedua, memutuskan restitusi, kompensasi atau hukuman yang harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Ketiga, adanya kesadaran bahwa setiap manusia memiliki potensi melakukan kesalahan. Keempat, bahwa pemaafan harus diorientasikan kepada perbaikan hubungan antar-individu.

Artinya, maaf-memaafkan hendaknya tidaklah seremonial belaka. Ngaku lepat juga harus bersedia memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain karena setiap manusia tak luput dari salah dan khilaf. Saling maaf-memaafkan jika masih ada kebencian berarti belum saling memaafkan. Meminta maaf atas kesalahan terhadap sesama memang harus dinyatakan langsung kepada manusia bersangkutan. Azyumari Azra (2005) menuturkan bahwa pemaafan tidak sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang terisolasi, tetapi berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan hubungan antar-manusia yang sebelumnya tercabik-cabik penuh kebencian dan dendam. Dengan kandungan mulia seperti itu, pemaafan secara implisit juga berarti menunjukkan kesiapan untuk kembali hidup berdampingan secara damai di antara manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.

Dalam tradisi syawalan, laku saling maaf-memaafkan dengan konsekuensi sebagaimana diutarakan di atas harapannya memang benar-benar dijalankan. Di sisi lain, tradisi syawalan hendaknya kian mempererat hubungan sosial dan meneguhkan kesadaran sosial. Apa yang kita saksikan selama ini terasa janggal. Sebut saja misalnya wajah ceria dan penuh senyuman dalam acara syawalan. Yang kaya dan yang miskin menampakkan keceriaan dalam semangat persaudaraan seolah-olah tak ada kesenjangan sosial. Namun, apa yang kita lihat senyatanya? Suasana persaudaraan itu seperti kamuflase ketika dalam kehidupan justru menonjol semangat individualisme. Kepedulian dan empati sosial seakan-akan hilang usai lebaran dan syawalan.

Maka, kerukunan hidup dan kekeluargaan perlu senantiasa terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tradisi syawalan seyogianya menguatkan kepekaan, kepedulian, rasa kebersamaan sosial, dan mengembangkan jiwa-jiwa sosial untuk berbagi dengan sesama. Keimanan kita seyogianya menjadi landasan dan arah bagi pemuliaan kemanusiaan. Saat Syawalan, semoga tumbuh kesadaran kita untuk merealisasikan titah Tuhan: menegakkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menciptakan keadilan sosial, dan menjadi rahmat bagi semesta. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Menakar Spirit Hidup Kita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 25 September 2011

Judul Buku: Mengalir Bukan Air (Percikan Spirit Hidup) Penulis: Imaroh Syahida, Ika Feni Setiyaningrum, dkk Penerbit: LeutikaPrio, Yogyakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: x+103 hlm

Dalam kelistrikan, kita mengenal adanya hukum Ohm. Hukum Ohm menyatakan bahwa besarnya arus (I) berbanding lurus dengan tegangan (V) dan berbanding terbalik dengan besarnya resistensi atau hambatan (R). Mungkin persamaan I=V/R itu hanya kita pahami sebagai rumusan belaka. Ternyata hukum Ohm menyimpan pelajaran hidup bagi kita. Dalam diri kita, ada juga hubungan antara tegangan, arus, dan hambatan itu. Sebagaimana arus yang mengalir karena adanya sumber tegangan, potensi dan kemampuan yang kita miliki akan tampak jika ada obsesi, kemauan, dan keyakinan. Namun, hambatan kedangkala menghadang aktualisasi potensi kita. Hambatan itu bisa berupa kemalasan, sikap masa bodoh dan tidak peduli, kesombongan, egoisme diri kita atau sikap kurang positif lainnya.

Pelajaran dari hukum Ohm tersebut coba dijelaskan penulis buku ini. Untuk mendayakan segala potensi demi menggapai cita-cita, kita perlu memperbesar sumber tegangan. Kita harus memiliki kemauan dan keyakinan yang kuat. Sebaliknya, hambatan-hambatan harus diperkecil mengingat hubungannya yang berbanding terbalik dengan arus potensi kita.

Membaca buku ini, kita sepertinya diajak menyelami segala sesuatu untuk diambil hikmah dan pelajaran. Kita mungkin saja menghadapi hidup ini kurang begitu percaya diri. Kita yang mudah menyerah mewujudkan harapan dan cita-cita. Masihkah kita ingat ketika mengejar layang-layang sewaktu kecil dahulu? Tak ada istilah takut, minder atau menyerah. Meskipun tubuh kita pendek, misalnya, kita tak mundur dari perebutan layang-layang. Kita malah mencari ranting untuk menyiasati kekurangan kita. Kita selalu optimis mendapatkan layang-layang. Lalu, apa yang terjadi setelah kita dewasa? Kita kerapkali pesimis dan mudah takluk akan rintangan dan keterbatasan kita.

Mari kita renungkan paparan penulis buku terkait berang-berang. Untuk dapat hidup layak bersama keluarganya, berang-berang jantan dan betina bekerja keras membuat rumah idamannya. Mereka memperoleh kayu dari hutan, mengerat sedikit demi sedikit batang pohon sampai pohon tersebut tumbang. Berang-berang lantas membawa kayu-kayu ke sungai sampai membentuk suatu bendungan sebagai rumah yang nyaman. Tahukah kita? Bendungan yang dibuat berang-berang itu mirip dengan konstruksi bendungan modern yang berada di Amerika Serikat. Rayap pun juga merupakan arsitek hebat. Dengan menggunakan lumpur dan ludahnya, rumah yang mereka bangun bisa setinggi kira-kira tiga sampai empat meter. Bagaimana dengan kita yang diamanahi sebagai arsitek kehidupan?

Buku ini layak menjadi renungan kita bersama. Uraian yang dipaparkan begitu menarik. Melalui buku ini, kita diajak untuk memiliki spirit kebaikan. Kita hidup tentu perlu memberikan kontribusi bagi kehidupan. Kita memang berhak memiliki mimpi-mimpi, tapi bisakah mimpi itu juga berdampak positif bagi sekitar kita? Pohon pisang yang kerapkali kita jumpai mungkin mengalahkan kita dalam memberikan kemanfaatan. Bahkan, ketika mati pun pohon pisang masih memberikan manfaat. Kita yang dianugerahi Tuhan kenikmatan melimpah justru terjebak pada urusan diri sendiri tanpa peduli dengan sekeliling kita.

Pastinya, banyak hal lainnya yang diuraikan lewat buku ini. Ada renungan-renungan berharga, ada hikmah bermakna, ada pelajaran bernilai yang bisa kita peroleh dengan menyelami setiap halaman buku ini. Selamat membaca.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta)

bisnis syariah