Memaknai Belajar Sepanjang Hayat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Senin, 21 Mei 2012

Dalam buku The Ultimate Psychology (2008), Muhammad ‘Utsman Najati memaparkan bahwa belajar memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Manusia terlahir sebagai makhluk lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi, melalui belajar, manusia bisa menguasai berbagai kemahiran dan pengetahuan. Dalam belajar, manusia tidak hanya mempelajari bahasa, ilmu pengetahuan, profesi maupun keahlian tertentu, tetapi juga mempelajari berbagai macam tradisi, etika, dan kepribadian.

Bagi manusia, belajar memang merupakan keniscayaan. Ungkapan belajar dari ayunan sampai liang lahat yang kerapkali kita dengar menegaskan bahwa belajar tidak berhenti pada usia tertentu, namun berlaku sepanjang kehidupan manusia. Bahkan, manusia yang senantiasa belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan, Tuhan akan meninggikan derajatnya. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar (39): 9). 

Selain mendapatkan pengetahuan, manusia yang belajar, papar Crow and Crow (1958), juga memperoleh kebiasaan dan sikap baru. Dengan belajar, manusia mengalami perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan (Witherington: 1952). Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia yang belajar diawali dari sebuah kesadaran. Manusia menyadari kekurangan dan kelemahannya, sehingga akan belajar untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan dirinya. Tanpa kesadaran ini, menurut penulis, manusia tidak ada minat, keinginan, dan motivasi untuk senantiasa belajar.

Disadari atau tidak, fakta kurangnya kesadaran untuk belajar dapat kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Sebut saja kita yang merasa telah puas dengan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan. Padahal, ilmu pengetahuan terus berkembang. Dalam agama pun kerapkali dikemukakan bahwa ilmu Tuhan itu begitu luas. Apa yang kita ketahui saat ini sebenarnya belum menjangkau luasnya ilmu Tuhan itu. Bahkan, kita dapat menyaksikan bahwa ilmu alam dan ilmu sosial kerapkali mengalami revisi. Apa yang kita pelajari dahulu mungkin tidak sesuai lagi dengan konteks zaman yang kita hadapi saat ini. Kita yang tidak memiliki kesadaran terkait kekurangan diri kerapkali merasa puas dengan keterampilan yang telah dimiliki. Padahal, seiring kemajuan zaman, kita juga dituntut menguasai kecakapan dan keterampilan tertentu demi kemajuan kehidupan.
Begitu juga dengan sikap dan perilaku kita. Kita kadangkala tidak menyadari ada sikap dan perilaku kita yang kurang bijak, seperti tidak dapat mengendalikan emosi, mudah melakukan kekerasan, kurang bisa menghormati orangtua, menghalalkan cara negatif untuk mencapai tujuan, melanggar hak manusia lain untuk hidup dan berkembang, berbuat kerusuhan, dan enggan meminta maaf atas kesalahan. Bahkan, tidak mampunya kita membuang sampah di tempat sampah, tidak bisa mengantre dengan tertib, dan kurang disiplin dalam berlalu lintas juga mencerminkan kekurangan kita dalam sikap dan perilaku.
            Dengan belajar, kita tentu mengalami perubahan-perubahan. Perubahan memang bisa menuju ke arah positif maupun negatif. Meskipun debatable, namun penulis hendak menegaskan bahwa kita dapat dikatakan telah belajar apabila mengalami perubahan ke arah positif. Mohamad Surya (2004) menyebutkan ada ciri-ciri yang menandai perubahan sebagai hasil belajar, yakni perubahan itu disadari, bersifat kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat relatif permanen dan bukan temporer, serta bertujuan dan terarah. Belajar merupakan proses yang dilakukan dengan sengaja karena dorongan dan tujuan yang hendak kita capai. Dengan proses belajar, seluruh aspek kepribadian kita mengalami perubahan yang lebih baik.
Maka, siapa pun kita memang perlu terus-menerus belajar. Belajar yang kita lakukan tidak terbatas pada bangku pendidikan formal. Kita perlu belajar di mana pun, baik di rumah, di lingkungan masyarakat, di tempat kerja, di pasar maupun di tempat-tempat lainnya. Belajar bisa dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan pihak lain. Kita bisa belajar untuk memperkaya dan menambah ilmu, wawasan, pengetahuan, keterampilan ataupun hal lainnya dengan membaca buku dan surat kabar; mengikuti kajian atau kuliah nonformal; mengikuti pelatihan-pelatihan, dan sebagainya.

Dalam hal ini, kita seyogianya juga menilai hasil belajar kita secara kualitatif. Dari belajar Matematika, kita tidak akan melakukan korupsi, karena 12-7=5, bukan 3; 4+11=15, bukan 21. Dengan belajar sejarah, kita merasakan pahit getirnya penjajahan dan tumbuh semangat untuk berkontribusi positif di alam kemerdekaan. Hafalan lima sila Pancasila juga terinternalisasi dalam sikap dan perilaku kita dengan selalu menjalankan ibadah sesuai agama kita, memanusiakan manusia lain, merekatkan jalinan persatuan, menghormati perbedaan pendapat, memperhatikan kehidupan orang lain yang kekurangan, menegakkan tata ekonomi yang berkeadilan, merasa gelisah melihat kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera, dan sebagainya.

Pun, kita bisa belajar ketika mendaki gunung, menikmati matahari tenggelam di pantai, menatap bulan di malam hari ataupun  ketika merasakan keindahan alam lainnya bahwa alam semesta tidak pernah berproses secara instan. Kita bisa belajar bahwa kehancuran dan keterpurukan akan kita dapatkan apabila menyalahi hukum alam. Zaman pastinya senantiasa berkembang dan memiliki tantangan dan peluang masing-masing. Dengan belajar, kita akan dapat menghadapi zaman, apapun tantangan dan peluangnya. Jadilah pembelajar seumur hidup, seru Komaruddin Hidayat (2010), karena semakin bertambah umur selalu saja muncul hal-hal baru yang harus kita pelajari agar kita menjadi lebih bijak. Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO

Bergeraklah Pemuda Indonesia!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Senin 21 Mei 2012

Tumbuhnya kesadaran nasional di era 1900-an tak terlepas dari peran dan kiprah pemuda. Kesadaran nasional ini tak tumbuh seketika, tetapi melewati proses yang panjang. Pemuda mendidik diri, bergerak, membaca, menulis, dan saling berinteraksi. Akhirnya, Indonesia yang awalnya masih samar-samar sebagai konsep bangsa-tanah air terwujud nyata pada 1928. Proses pun berlanjut dengan kemerdekaan Indonesia pada 1945.
            
Dalam sejarah dunia, peran pemuda dalam kebangkitan dan kebangunan bangsa-negara memang tak dimungkiri. Namun, fakta juga menunjukkan tak semua pemuda terpanggil membangun bangsa-negaranya. Ketika Bung Karno berseru pada 1932 bahwa dengan sepuluh pemuda akan mampu menggemparkan dunia, itu pemuda yang bersemangat dan berapi-api kecintaannya terhadap bangsa, tanah air, dan tumpah darahnya. Pemuda yang tak memiliki spirit mencintai bangsa-negaranya tentu takkan mampu menggoncang dunia.
             
Terlepas dari itu, peran pemuda tentu saja selalu dibutuhkan. Dengan pendidikan yang baik, pemuda perlu terus-menerus menempa diri. Pemuda pada era pergerakan nasional pada awal abad ke-20 yang akhirnya memimpin negeri ini di era kemerdekaan juga dimatangkan lewat proses pendidikan. Indonesia membutuhkan pemuda yang memiliki rasa tanggung jawab untuk berpikir dan bertindak besar bagi bangsa-negaranya. Pemuda perlu siap menderita untuk kebaikan dan kemajuan Indonesia.
             
Pungkasnya, mari simak penggalan pidato Bung Hatta di depan pengadilan Belanda pada 1928, “Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku: ‘Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Pemuda Indonesia, lancarkan usaha itu! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro

Mendorong Siswa Gemar Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Senin 14 Mei 2012

Salah satu cara efektif untuk belajar adalah membaca. Siswa yang gemar membaca akan memperoleh ilmu, pengetahuan, dan wawasan yang lebih luas. Di tengah kegelisahan masih rendahnya budaya membaca, ikhtiar mendorong budaya membaca di kalangan siswa perlu terus-menerus dilakukan. Guru berperan melakukannya. Seperti apakah?
             
Yang tak mungkin diganggu gugat, guru harus gemar membaca sebagai keteladanan. Guru juga perlu membangun budaya membaca dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Di kelas, guru tak melulu meminta siswa terus mencatat apa diterangkan atau yang ditulis di papan tulis. Suasana diskusif di kelas juga diperlukan. Sebab, papar Said Tuhuleley (2004), dengan melakukan itu siswa akan merasa perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya. Siswa semakin memperdalam pengetahuannya. Siswa akan merasa risih jika dalam setiap kesempatan bertanya atau berdialog hanya duduk diam karena keterbatasan wawasannya. Guru perlu membangun suasana dialogis di dalam kelas agar semua siswa terangsang berpartisipasi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO

Memahami Rahasia Doa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 13 Mei 2012

Judul Buku: Doa Bukan Lampu Aladin: Mengerti Rahasia Zikir dan Akhlak Memohon kepada Allah Penulis: Jalaluddin Rakhmat Penerbit: Serambi, Jakarta Cetakan: I, Maret 2012 Tebal: 198 halaman

Siapa pun kita tentu pernah berdoa. Banyak doa yang kita panjatkan kepada Tuhan dari bangun tidur di pagi hari sampai tidur lagi di malam hari. Doa tak dimungkiri menjadi bagian dari kehidupan kita sebagai manusia. Namun, apakah kita telah memahami hakikat doa yang sesungguhnya?

Untuk mendapatkan penjelasan terkait doa secara lebih jernih, buku karya Jalaluddin Rakhmat yang akrab disapa Kang Jalal ini menarik disimak. Doa pada umumnya berisi permohonan. Dengan berdoa, kita berharap apa yang kita mohonkan dapat terwujud. Doa yang terkabulkan tentu menjadi harapan kita, tetapi doa bukanlah lampu aladin. Kita tak mungkin memaksa Tuhan memenuhi setiap permohonan kita. Memang ada doa yang langsung dikabulkan Tuhan dengan segera, namun kita juga perlu menyadari bahwa doa bisa saja terkabulkan dalam waktu yang lama. Bahkan, Tuhan memiliki cara tersendiri dalam mengabulkan doa kita. Apa yang kita mohonkan lewat doa mungkin tak terwujud, tetapi kita mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari Tuhan.

Doa sebagai tanda kerendahan hati kita kepada Sang Khalik tentu juga membutuhkan sikap berdoa yang baik. Doa adalah penyerahan diri kita. Tak menutup kemungkinan apabila kita telah puas hanya dengan berdoa meskipun permohonan tak kunjung terkabulkan. Ada perasaan tentram, damai, dan tidak gelisah, karena doa sebenarnya mengikatkan hubungan kita dengan Sang Pemilik Kehidupan. Lewat buku ini, Jalaluddin Rakhmat mengajak kita untuk menjadikan doa sebagai kekuatan. Kita perlu berdoa dalam kondisi sulit maupun lapang. Untuk memperoleh pencerahan terkait doa dari Kang Jalal, selamat membaca buku ini.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Menguatkan Budaya Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Citizen Journalism TRIBUN JOGJA, Senin, 7 Mei 2012

Sebuah masyarakat yang memiliki budaya membaca yang baik akan cenderung lebih maju dibandingkan masyarakat yang rendah budaya membacanya. Budaya membaca perlu terus-menerus disemai dan ditumbuhkembangkan. Apalagi bagi masyarakat Jogja yang identik sebagai kota pendidikan, membaca perlu menjadi bagian dari hidup. 

Upaya membudayakan masyarakat untuk membaca ini salah satunya dilakukan dengan pendirian Bank Buku Jogja yang pada 21 April 2012 lalu telah berusia dua tahun. Tepat pada hari berdiri Bank Buku Jogja itu, talkshow diselenggarakan di halaman Perpustakaan Kota Jogja dengan menghadirkan pembicara utama Suharsimi Arikunto dan Sujarwo Putra. Dimoderatori Den Baguse Ngarso, acara berlangsung menarik dan menebarkan inspirasi untuk istiqamah menguatkan budaya membaca. 

Dalam pemaparannya, Suharsimi Arikunto, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Dewan Pendidikan Kota Jogja, lebih memaparkan pentingnya membaca. Membaca memiliki beragam manfaat. Membaca tidak hanya bertambah wawasan dan pengetahuan, tetapi juga berdampak positif bagi kesehatan. Membaca antara lain dapat melatih otak, meringankan stress, menjauhkan resiko, membuat tidur nyenyak, dan meningkatkan konsentrasi. Dengan membaca, otak memang dilatih bekerja keras. Penurunan fungsi otak dapat dihindari dengan kegemaran membaca. Membaca dapat meningkatkan daya ingat otak. Otak yang terstimulasi secara teratur dapat mencegah alzheimer/kepikunan.

Adapun Sujarwo Putra, Presidum Paguyuban Kawasan Malioboro dan staf khusus DPD RI, memaparkan perkembangan Pustaka Menyapa Mletik Malioboro (Pustaka Mletik). Sejak berdiri pada tahun 2010 silam, Pustaka Mletik mendapatkan respons yang relatif baik. Pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang angkringan, penarik becak, juru parkir, pelayan toko, dan komunitas lainnya di kawasan Malioboro ternyata antusias membaca. Dipaparkan Sujarwo Putra, Pustaka Mletik menyapa komunitas dengan troli di tempat mereka bekerja agar tak meninggalkan dagangan atau tempat usaha. Komunitas di kawasan Malioboro disapa saat waktu luang yang memadai antara pukul 10:00 sampai pukul 15:00. Bahkan, buku-buku yang dipinjam bisa sampai 200 buku setiap harinya. 

Kalau kita simak, budaya membaca masyarakat ternyata tidaklah rendah sebagaimana yang dikira selama ini.  Diperlukan suatu pendekatan yang dapat menyentuh dan memahami masyarakat. Dalam acara peringatan dua tahun Bank Buku Jogja ini juga terlaporkan begitu banyaknya masyarakat Jogja yang menyumbangkan buku. Buku-buku ini tidak hanya didistribusikan di wilayah DIY saja, tetapi sampai luar provinsi, bahkan luar Jawa. 

Trend positif dari keberadaan Bank Buku Jogja dan pustaka-pustaka berbasis komunitas tentu memberi angin segar bagi budaya membaca masyarakat.

Bangkitnya Generasi Emas Indonesia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Jum'at, 4 Mei 2012
 
Judul di atas adalah tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tahun 2012 ini. Ada satu kata penting dari tema tersebut, yakni generasi emas Indonesia. Untuk menyatukan penafsiran, ada baiknya kita mencermati sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, yang  dibacakan serentak pada upacara Hardiknas 2012 lalu.

Sebagian isi sambutan itu berisi, “Pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 kita harus melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kita harus menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan tinggi.”

Untuk menyiapkan generasi 2045 sebagai generasi emas, pendidikan tetap menjadi jalan utama. Dalam hal ini, pendidikan untuk semua (education for all) menjadi pekerjaan yang perlu dituntaskan. Bukan sekadar pemerataan, tetapi juga peningkatan kualitas. Upaya tersebut, ujar Mendikbud, terus berproses, seperti melakukan gerakan pendidikan anak usia dini serta penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar. Rencananya, pada tahun 2013 nanti akan dilakukan penyiapan pendidikan menengah universal (PMU). Di samping itu, lanjut Mendikbud, perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan melalui pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan dan memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, tetapi berkemampuan akademik.

Periode saat ini sebagai upaya menyiapkan generasi untuk berpuluh-puluh tahun mendatang memang niscaya. Generasi masa depan harus dipersiapkan sejak sekarang. Pendidikan harus terus berikhtiar membangun generasi bangsa yang cakap secara intelektual, anggun secara moral, dan siap menghadapi tantangan zamannya. Pendidikan juga harus mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki jiwa dan pikiran besar untuk membangun negerinya. 

Di sisi lain, yang juga perlu disadari, pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah/negara semata. Pendidikan sebagai jalan kemajuan negeri ini harus menjadi komitmen dan kesadaran bersama. Bertepatan dengan momentum Hardiknas tahun ini, konsep Tri Partit Pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang ditekankan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) perlu dikuatkan kembali. Tanpa kerja sama yang solid antara ketiga unsur tersebut, menurut saya, pendidikan tetap sulit menghasilkan generasi emas. Artinya, Indonesia tetap tanpa kemajuan meskipun telah seabad merdeka pada tahun 2045 kelak. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO

Menguatkan Peran Didik Orangtua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi HARIAN JOGJA, Kamis, 3 Mei 2012


Anak adalah generasi masa depan. Untuk melihat wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang,  kita sebenarnya cukup melihat wajah anak-anak di masa kini. Bila anak kondisinya baik, maka baiklah wajah masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu juga sebaliknya.

Apa yang diutarakan di atas perlu kita renungkan. Coba kita saksikan kondisi masyarakat kita. Kekerasan kerapkali muncul tak terduga. Tawuran antarsiswa, antarkampung atau antardesa kadang terjadi di beberapa tempat. Begitu pula dengan bentuk kekerasan lain. Kita yang memiliki hati nurani mungkin tak habis pikir mengapa ada manusia tega menganiaya atau menghabisi nyawa manusia lain. Korupsi juga bisa kita jadikan bukti. Kita mafhum wabah korupsi masih belum terberantas di negeri ini. Kerusakan lingkungan pun adalah wajah nyata yang seringkali kita saksikan. Itu hanya untuk menyebut beberapa contoh, meski ada pula cahaya terang di tengah kegelapan. 

Adanya wajah yang memprihatinkan itu sesungguhnya berakar dari manusia. Manusialah yang bersikap, berperilaku, dan menentukan mau menjadikan seperti apa dunia yang dihuninya. Wajah buruk yang menghiasi masyarakat, bangsa, dan negara pada saat ini tentu menuntut kita mengakui adanya kekeliruan dalam mendidik anak-anak di masa lalu. Banyaknya koruptor sebenarnya bisa kita telisik seperti apakah masa lalu para koruptor itu saat masih anak-anak. Adanya perusak lingkungan, penggundul hutan, pencemar air, dan sebagainya menurut saya akibat pembiasaan, penanaman nilai, dan pendidikan yang tak berjalan baik ketika mereka masih kecil. 

Memang perkembangan kepribadian manusia itu dinamis. Namun, saya hendak menegaskan bahwa usia anak-anak adalah usia emas (golden age). Pendidikan di masa anak-anak memberikan dasar bagi proses pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya. Bahkan, ada ahli yang mengatakan bahwa pengalaman yang diperoleh pada masa anak-anak takkan pernah tergantikan oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali dimodifikasi (Eti Nurhayati: 2011). Jelasnya, pendidikan usia dini tak bisa diabaikan. Maka, menjadi tugas penting kita mempersiapkan anak-anak di masa kini untuk dapat mencerahkan wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang. Pertanyaannya, siapakah yang bertanggungjawab melakukan hal itu?
Tanggung jawab tentunya di pundak kita bersama. Namun, satu hal yang perlu kita insyafi, seperti apakah anak-anak di masa depan sebenarnya orangtualah yang bertanggung jawab paling utama. Dalam perspektif agama, orangtua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan terkait pendidikan anak-anaknya. Anak adalah amanah yang diberikan Tuhan kepada orangtuanya masing-masing. Jika anak yang dilahirkan berperilaku baik, orangtua bisa mendapatkan pahala yang terus mengalir. Kita mungkin berpikir, bagaimana nasib orangtua di hadapan Tuhan bila anaknya yang menjadi pejabat negara melakukan korupsi? Apa yang harus kita katakan di hadapan Tuhan bila anak-anak kita di dunia mengedarkan atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang? 

Pendidikan untuk anak-anak sudah semestinya kita evaluasi. BS Mardiatmadja (2004) dalam esainya berjudul Ruh Pendidikan menuturkan bahwa orangtualah fasilitator perdana pendidikan manusia. Sebab, orangtua menjadi pendidik secara alamiah dan kodrati. Orangtua menjadi pendidik secara penuh waktu dan sepanjang hidup, meski seringkali dengan cara beraneka. Orangtua melaksanakan pendidikan secara komprehensif, artinya dalam segala segi hidup manusia. Tak satu pihak pun dapat menyerupai orangtua. Namun, orangtua dapat juga meminta bantuan pihak lain untuk memfasilitasi sehingga pendidikan menjadi paripurna. Pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua. 

Pernyataan semua pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua perlu sekali digaris bawahi. Bila orangtua memasukkan anak-anaknya ke bangku sekolah, sifatnya hanya membantu. Dengan bersekolah, anak akan mendapatkan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi kehidupannya. Tentu orangtua bertanggungjawab untuk memasukkan anaknya ke sekolah terbaik yang dapat membantu orangtua dalam mendidik anaknya. Perlu sekali kita mengerti, pendidikan dalam arti yang luas terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan (Fuad Hassan: 2004). Anak tak sekadar membutuhkan pembelajaran, tetapi juga pembiasaan dan peneladanan yang tentu saja harus diberikan oleh orangtua sebagai penanggungjawab utama pendidikan anak. Orangtua harus membiasakan anaknya memiliki perilaku disiplin, kejujuran, tidak mengambil barang bukan miliknya, dan hal positif lainnya. Orangtua juga harus menjadi teladan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku terpuji. Tampaknya menguatkan peran didik orangtua menjadi sebuah pekerjaan besar. Orangtua perlu terus belajar memperbaiki prinsip, metode, dan pola pendidikan bagi anak-anaknya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
bisnis syariah

Cerdas dengan Membangun Tradisi Ilmiah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 2 Mei 2012
Keberadaan guru dalam dunia pendidikan memang begitu penting. Dengan kapasitas dan kemampuannya, guru mengemban tanggung jawab mengajar dan mendidik siswa di sekolah. Guru merupakan pilar membangun generasi bangsa ini. Di tengah pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, guru tentu dituntut agar tak berhenti belajar. Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang. Maka, guru tidak boleh puas dengan ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang telah dimiliki. Guru juga harus mengasah dan memiliki keterampilan penguasaan teknologi minimal yang terkait dengan dunia pendidikan.
             
Buku karya Sudaryanto ini menarik disimak dalam upaya menunjang peningkatan kemampuan guru. Guru sebagai agen pendidikan bangsa didorong untuk memiliki tradisi ilmiah, seperti membaca, menulis, dan meneliti. Fakta menunjukkan bahwa tradisi ilmiah di kalangan guru di negeri ini ternyata masih lemah. Agus Sartono (2010) pernah berujar bahwa indikator rendahnya tradisi ilmiah di kalangan guru dapat disaksikan dari minimnya karya ilmiah yang dihasilkan guru. Dampaknya, banyak guru di negeri ini kesulitan mendongkrak golongannya. Data memaparkan, kebanyakan guru mentok pada golongan IVA dan sulit naik ke golongan IVB, apalagi sampai golongan IVD.
             
Siapa pun guru pastinya menginginkan kariernya menanjak. Untuk dapat naik golongan, guru tak mungkin mengelak dari kewajiban membaca dan menulis. Kenaikan golongan juga akan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Sudah saatnya guru di Indonesia menyadari hal tersebut. Sesungguhnya persyaratan naik ke golongan IVB tidak cukup hanya mengumpulkan angka kredit mengajar. Salah satu komponen agar guru dapat naik golongan adalah menulis karya ilmiah. Dengan kata lain, menulis adalah tuntutan dari profesi guru yang tidak terhindarkan. Untuk dapat menghasilkan karya ilmiah dan dengan sendirinya mendongkrak kenaikan golongan, guru pastinya juga dituntut untuk memiliki tradisi membaca. Sebab, untuk dapat menulis memang harus rajin membaca. Membaca sebagai kegiatan reseptif akan menunjang kegiatan menulis.
             
Namun, persoalannya menjadi rumit ketika tradisi membaca di kalangan guru juga rendah. Tradisi membaca dan menulis yang rendah tentu merupakan tragedi sekaligus ironi. Padahal, guru sebagai seorang pengajar dan pendidik harus meng-up date ilmunya. Membaca merupakan salah satu sarana efektif memperkaya dan mengembangkan kapasitas keilmuan guru. Bisa dibayangkan, guru yang malas membaca cenderung akan mengajarkan hal yang itu-itu saja kepada siswa-siswanya. Tidak ada ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang berkembang. Maka, tutur penulis buku, membaca seyogianya tidak dialpakan. Bukan hal yang berlebihan apabila guru harus membudayakan aktivitas membaca setiap hari.
             
Terkait menulis, penulis buku menegaskan bahwa setiap guru sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sesungguhnya ide tulisan bertebaran setiap kali guru datang ke sekolah, mengajar siswa di kelas atau mengunjungi perpustakaan. Guru pun bisa mengikuti perkembangan isu dan wacana pendidikan di media massa untuk direspons lewat tulisan. Belum optimalnya guru menulis boleh jadi karena memang malas dan tidak ada komitmen. Guru yang memiliki komitmen takkan beralasan sibuk karena waktu sesempit apapun masih bisa digunakan untuk menuangkan tulisan dan pemikiran. Jika guru ingin kariernya menanjak, maka rajinlah menulis.
            
Buku ini mengingatkan guru di Indonesia untuk membangun tradisi ilmiah. Dengan kepemilikan tradisi ilmiah, tingkat intelektualitas guru akan bertambah dan turut menopang kemajuan pendidikan.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).