Bersatulah Rakyat, Tolak Politisi Busuk!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Sabtu, 26 Januari 2013

Selama tahun ini, jelang hajatan pemilihan umum 2014, hiruk-pikuk politik tak mungkin terhindarkan. Untuk menuju kekuasaan, partai politik yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipastikan kian kencang menabuh genderang. Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat bersiap merebut hati rakyat. 

Sejak kini, meskipun masa kampanye akan berlangsung tahun depan, rakyat perlu mengawal dan mengawasi sepak terjang partai politik itu. Kepercayaan rakyat terhadap partai politik yang cenderung menurun bisa menjadi energi positif untuk lebih hati-hati dan waspada. Rakyat perlu bersikap kritis terhadap calon legislatif yang akan ditentukan partai politik sebagai anggota DPR dan DPRD masa bakti 2014-2019. Pemilihan umum adalah pintu gerbang melahirkan sosok-sosok berintegritas dan memiliki kemampuan mumpuni untuk menjalankan lembaga legislatif. Mereka yang terpilih akan menentukan nasib rakyat dan juga nasib bangsa dan negara ini. Maka, agar kinerja lembaga legislatif dapat berjalan baik, rakyat bertanggung jawab untuk menolak dan melawan politisi busuk. 

Sebagaimana diketahui, istilah politisi busuk pernah mengemuka pada pemilihan umum 2004. Harapannya, politisi-politisi yang dinilai busuk tak menembus lingkaran kekuasaan. Namun apa daya, politisi-politisi busuk masih saja bergentanyangan. Pemilihan umum 2009 pun menghasilkan beberapa politisi busuk yang menggerogoti uang negara. Merujuk pada riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada semester II tahun 2012, ada sekitar 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Bisa dibayangkan betapa merananya rakyat negeri ini apabila wakilnya di lembaga legislatif lebih dari separuhnya berbuat korupsi. 

Perbuatan negatif politisi memang bisa menguatkan stigma bahwa politik itu kotor. Namun, pada hakikatnya, politik itu bersifat netral. Para pelaku politiklah yang membuat wajah politik itu bersih atau kotor. Rakyat tak mungkin membenci politik meskipun politik kerapkali dikendalikan politisi-politisi busuk sehingga menjadikan rakyat penuh kenestapaan. Dalam karya klasik Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles diterangkan bahwa politik itu sejatinya agung, indah, dan mulia—sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat bermartabat dan berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan hukum, norma dan aturan-aturan, sehingga terciptalah keadilan dan kesejahteraan rakyat (Thomas Koten: 2013). Rakyat harus bersatu padu menolak dan melawan politisi busuk agar politik bisa berjalan untuk membangun kemaslahatan publik. 

Lahirnya politisi busuk lewat pemilihan umum 2014 sangat dimungkinkan. Salah satu indikasinya adalah kecenderungan pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Politisi yang kini berkuasa melakukan kongkalingkong dengan pengusaha-pengusaha hitam agar memperoleh uang melimpah untuk bertarung dalam pemilihan umum 2014. Hanya demi harta dan kuasa, izin pertambangan cenderung dilakukan asal-asalan dan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup. Lembaga-lembaga peduli lingkungan hidup tentu perlu membuka daftar politisi yang melakukan hal tersebut agar rakyat bisa mengetahui secara lebih jelas. 

Pada titik ini, inisiatif sejumlah partai politik untuk mengumumkan daftar calon legislatif ke publik sebelum resmi diserahkan ke KPU perlu diapresiasi. Transparansi partai politik ini selayaknya bisa dimanfaatkan rakyat untuk melihat rekam jejak dan integritas calon legislatif, baik yang berwajah lama maupun yang berwajah baru. Dalam UU No. 8/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 51 Ayat 1 Huruf g diterangkan bahwa seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih bisa termasuk calon legislatif bermasalah. 

Kriteria politisi busuk tentu cakupannya luas. Tak hanya penjahat lingkungan hidup dan koruptor, tetapi juga pelanggar hak asasi manusia. Politisi yang kini berkuasa dan tak jelas kinerjanya bagi rakyat juga termasuk politisi busuk. Politisi busuk hanya menjadikan kekuasaan sebagai lahan mencari uang untuk kepentingan perutnya. Pungkasnya, rakyat perlu memiliki kesadaran politik untuk memberi “tanda merah” pada politisi busuk. Lembaga-lembaga nonpartai politik bisa menguatkan gerakan tolak politisi busuk ini. Wallahu a’lam.

Tingkatkan Kualitas Diri

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bisik MINGGU PAGI

Tahun 2013 telah menggantikan tahun 2012. Sesungguhnya pergantian tahun bukan sekadar perubahan kalender semata. Bagi sebagian kita mungkin telah merumuskan resolusi, mimpi, atau cita-cita pada tahun ini. Itu hal yang positif, sehingga bisa membingkai perjalanan selama setahun pada tujuan yang hendak dicapai. Namun, kita tak memungkiri bahwa ada sebagian dari kita yang menganggap pergantian tahun hanya biasa-biasa saja. Tak ada impian ataupun target khusus yang terencana, kecuali hanya melakoni rutinitas sehari-hari seperti biasanya.

Yang selayaknya kita sadari, perubahan dalam hidup ini adalah sebuah keniscayaan. Pesatnya perkembangan zaman adalah bagian dari perubahan. Kita tak bisa menghindari perubahan itu. Yang bisa kita lakukan adalah bertumbuh meningkatkan kualitas diri dengan cara belajar. Hidup sampai tua, belajar sampai tua. Artinya, kita senantiasa belajar meningkatkan kualitas keilmuan, pengetahuan, wawasan, keterampilan, sikap, perilaku, dan sebagainya. 

Peningkatan kualitas diri itu akhirnya akan berbanding lurus dengan harapan, impian, dan cita-cita kita. Kita tak mungkin dapat meningkatkan produktivitas dan prestasi kerja kalau tak mau belajar meningkatkan kualitas diri di bidang pekerjaan kita. Karir kita takkan beranjak apabila enggan belajar meningkatkan kompetensi diri. Orangtua sulit mendidik anaknya secara baik apabila tak sudi belajar ilmu pendidikan dan psikologi anak. Wartawan pun takkan bisa menerbitkan media massa berkualitas kalau berhenti untuk belajar. Sastrawan juga harus senantiasa belajar agar bisa menganggit karya sastra yang mempesona. Intinya, belajar itu sepanjang hayat, sampai liang lahat.

Tak sekadar menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan, kita juga perlu belajar memperbaiki sikap dan perilaku kita. Kita yang dahulu suka berkata-kata kasar dan rusuh perlu membiasakan diri berkata santun dan lemah lembut. Kita yang berperilaku kurang baik perlu belajar berperilaku dengan mengedepankan etika dan keadaban. Jadi, marilah kita belajar meningkatkan kualitas diri. Salah satu caranya dengan membaca. Bacalah bahan bacaan sesuai bidang pekerjaan kita atau bacaan lainnya yang bermutu. Bacaan terkait pengembangan dan motivasi diri juga perlu dibaca. Kita yang rajin membaca akan memiliki kualitas hidup yang berbeda dibandingkan dengan yang tak suka membaca. Kegiatan pelatihan, kursus, seminar atau kajian keilmuan boleh saja kita ikuti. Tak kalah penting, kita juga perlu meningkatkan kualitas keagamaan kita. Membaca kitab suci atau buku agama bukan urusan kyai/ustadz saja, tetapi siapa pun kita. Untuk meningkatkan kualitas diri, kita bisa melakukan diskusi atau perbincangan untuk menimba pengalaman positif dari orang lain. Perbincangan yang bukan membicarakan kejelekan orang lain, tetapi perbincangan yang membangun dan bermakna bagi hidup.

Intinya, tahun 2013 ini, marilah terus tingkatkan kualitas diri. Kualitas keilmuan, keterampilan, sikap, perilaku, dan lainnya. Kelola waktu kita untuk pengembangan diri menjadi lebih baik. Wallahu a’lam.

Spirit Pemimpin Berjiwa Kerakyatan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 19 Januari 2013
Judul Buku: Spirit Semut Ireng Jokowi (Muka Metal Hati Keroncong) Penulis: R. Toto Sugiharto Penerbit: Penerbit Bangkit, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: xii+108 halaman ISBN     : 978-602-18792-0-7  

Disadari atau tidak, ada sebuah perbedaan antara Jokowi dengan pemimpin lainnya, salah satunya adalah merakyat. Coba bayangkan betapa lelahnya seorang pemimpin merelakan dirinya blusukan kampung sekadar untuk menyapa dan menyatu dalam denyut nadi masyarakatnya. Ketika menjabat walikota Solo pun ia lebih betah berada di tengah masyarakat.

Setelah menjabat Gubernur DKI Jakarta, hampir saban hari Joko Widodo dengan nick name Jokowi menghiasi media massa. Hal ini lumrah apabila dilihat dari wilayah yang dipimpinnya. Menjadi pemimpin di ibukota negara berpeluang lebih besar untuk mendapatkan peliputan terkait sepak terjangnya. Namun, Jokowi dalam ekspos media massa harus diakui tak melulu karena faktor tersebut. Kita bisa bandingkan dengan gubernur DKI Jakarta sebelumnya yang relatif kalah tenar daripada Jokowi.

Dengan latar sebuah tembang dandanggula Semut Ireng Anak-anak Sapi, buku ini mencoba mendedah fenomena Jokowi. Memang buku ini bukan buku pertama yang memprofilkan Jokowi, sebelumnya telah ada buku-buku lainnya. Dengan alasan itulah, penulis buku mencoba mengambil angle berbeda. Kalau diartikan secara harfiah, “Semut Ireng Anak-anak Sapi” adalah semut hitam beranak sapi. Mana mungkin semut hitam memiliki anak sapi? Itu mustahil terjadi, namun potensial terjadi apabila tiba waktunya. 

Sebuah tembang biasanya mengandung perlambang, isyarat, atau makna tak kasat mata. Semut ireng atau semut hitam melambangkan rakyat kecil yang hidup dalam semangat gotong royong, sedangkan sapi merupakan perlambang binatang terhormat, mulia, atau merupakan hewan peliharaan atau kecintaan para bangsawan. Dengan demikian, sapi mencerminkan kaum elit atau menengah ke atas. 

Dijelaskan penulis buku, bahwa semut ireng, representasi dari rakyat kecil yang mampu secara independen tanpa dipengaruhi politik uang akhirnya berhasil menciptakan pemimpin baru yang direpresentasikan melalui sosok Jokowi. Semut hitam benar-benar melahirkan anak sapi. Rakyat jelata melahirkan pemimpin yang mereka idam-idamkan dari kelas mereka sendiri yang kemudian terangkat sebagai kalangan petinggi yang disimbolkan seekor sapi atau lembu (halaman 4-8).

Tanpa harus mendramatisir kehidupan masa kecil Jokowi, orangtua Jokowi termasuk kalangan keluarga kelas bawah. Dunia masa kecil Jokowi adalah dunia yang keras, penuh disiplin dan kerja keras untuk bisa survive. Orangtua Jokowi, Notomiharjo dan Sujiatmi, Jokowi dan ketiga adik perempuannya hidup sederhana. Untuk menafkahi istri dan keempat anaknya, Notomiharjo bekerja sebagai tukang kayu. Mulanya bertempat tinggal nomaden, berpindah-pindah tempat kontrakan. Perpindahan mereka pun masih di sekitar bantaran sungai, seperti bantaran Sungai Premulung di bilangan Dawung Kidul, Sungai Pepe di daerah Munggung serta Sungai Kalianyar di Gilingan.

Kalau semut ireng juga melambangkan spirit entrepreneurship, Jokowi bisa dikatakan tumbuh dan berkembang jiwa kewirausahaannya dalam dunia tukang kayu. Ketika tamat SMA dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, Jokowi mengambil jurusan Teknologi Kayu. Hal itu boleh jadi sebagai kristalisasi dari pergulatan hidupnya di lingkungan keluarga tukang kayu. Kakek Jokowi adalah tukang kayu, paman Jokowi dari keluarga ibunya pun tukang kayu. Tentu pula, ayah Jokowi yang juga sebagai tukang kayu akhirnya turut merangkum obsesinya untuk lebih serius menekuni dunia tukang kayu secara lebih profesional dengan basis pengetahuan dan teknologi lebih tinggi. 

Usai lulus dari UGM, Jokowi tak lama bekerja di PT Kertas Kraft Aceh di Gayo, Aceh Tengah. Pada 1988, Jokowi pun membuka usaha furniture secara mandiri yang diberi nama CV Rakabu dengan kredit atau pinjaman dari bank. Pada awal merintis dan membuka usaha, ia mengikuti proses dan alur yang wajar. Ia mengawali dengan membuka distribusi area produk bisnisnya di sekitar kota Solo dan sekitarnya sampai melebarkan sayap sampai keluar Pulau Jawa, bahkan sejumlah negara. Menurut penulis buku, kepemimpinan Jokowi di dunia politik pun diilhami dari prinsip entrepreneurship, antara lain mendayagunakan ide dan impian, mengandalkan kreativitas, keberanian melakukan terobosan, kepercayaan pada ikhtiar riil, menyikapi dan mengantisipasi masalah sebagai peluang, menyukai hal baru untuk dicoba, tak lekas putus asa, cepat bangkit dari kegagalan, serta transparan dan egaliter (halaman 19-28).         

Lewat buku ini, kita diajak menimba inspirasi baru dari pemaknaan kita terhadap eksistensi seorang Jokowi. Dalam bahasa kerakyatan, papar penulis buku, Jokowi melampaui sebuah lompatan dunia, dari dunia tukang (kayu) memasuki dunia priyayi. Pengalaman hidup Jokowi dengan serangkaian kisah dari bantaran sungai tentu patut disimak sisi-sisi keteladanannya, spirit memperjuangkan identitas melalui proses laku menuntut ilmu, bukan proses instan, yang tentu pantas dijadikan cermin bagi generasi penerus yang peduli membangun peradaban. Buku ini bisa dipetik pelajaran bagi (calon) pemimpin untuk tumbuh dan berkembang di tengah rakyat.(HENDRA SUGIANTORO).

2013, Perbaiki Diri dan Keluarga Kita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca SUARA MERDEKA, Kamis, 10 Januari 2013 

Ada harapan yang tentunya bersemayam di benak kita pada tahun 2013 ini, bahwa kehidupan kian lebih baik. Harapan yang perlu disertai komitmen dan aksi perbaikan diri. Hal ini penting, sebab tanpa perbaikan diri, kita tak mungkin menghadirkan perubahan bagi kehidupan. Mahatma Gandhi pernah berujar, “Anda haruslah menjadi perubahan yang ingin Anda lihat di dunia”. 

Ya, perbaiki diri kita agar dunia ini juga berubah lebih baik. Kita kerapkali meradang dengan permasalahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ini, namun kita tak cukup hanya menggerutu, melontarkan kritik, dan menumpahkan air mata. Kita justru harus berkontribusi bagi gerak perbaikan. Sejatinya setiap kita bertanggung jawab membuat negeri ini berwajah cemerlang. Hidup kita harus berdampak positif bagi kehidupan. 

Memang di atas bumi ini tak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan manusia terletak pada ikhtiar untuk memperbaiki diri. Tahun ini kita seyogianya bisa lebih baik dari tahun kemarin. Marilah kita memperbaiki diri dengan menjadi insan yang bermanfaat. Kita kuatkan penghambaan kita kepada Tuhan dengan amal yang mulia. Dalam hidup ini, marilah kita tegakkan kejujuran. Dimulai dari diri sendiri, kita menjaga kebersihan lingkungan kita. Kita mengendalikan diri untuk tak melanggar peraturan di jalan raya. Kita tak mengandalkan kekerasan, tetapi kemampuan nalar dan argumentasi yang bijak untuk menyelesaikan permasalahan. Masih banyak contoh lainnya yang bisa kita lakukan dalam rangka perbaikan diri. 

Tak kalah penting, kita juga harus memperbaiki keluarga kita. Bagi orangtua, didiklah anak sebagai amanat Sang Pencipta untuk menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan, berakhlak mulia, dan mampu memakmurkan kehidupan. Memakmurkan kehidupan, bukan merusak kehidupan! Bagi pasangan suami-istri, pernikahan bukanlah sekadar menyatukan dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Pernikahan adalah pembangunan kehidupan keluarga sebagai pilar kehidupan masyarakat. Pernikahan juga upaya membangun generasi yang lebih mulia. Ada pertanggungjawaban kepada Tuhan dari kehidupan keluarga kita. Wallahu a’lam.

Korupsi dan Nasib Anak

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Rabu, 9 Januari 2013

Setiap saat, di televisi maupun di koran cetak, pengungkapan kasus korupsi terus-menerus diberitakan. Pengusutan dan penyidikan dilakukan demi keberhasilan pemberantasan korupsi. Keterbukaan dan kebebasan pers dan informasi telah memberi akses bagi masyarakat untuk mengetahui masalah korupsi secara lebih mendalam. Masyarakat pun bisa menyaksikan wajah-wajah pelaku korupsi. Tentu hal ini merupakan hal positif. 
 
Dengan pemberitaan kasus korupsi, menurut penulis, bisa menumbuhkan rasa malu. Tak hanya bagi koruptor yang telanjur malu telah menjadi berita di ranah publik, tetapi juga bagi siapa pun yang berpeluang melakukan korupsi. Tidak korupsi karena malu menjadi pemberitaan di media massa tentu lebih baik daripada tak malu melakukan korupsi. Secara perlahan, masyarakat pun mulai tersadarkan untuk melancarkan perlawanan terhadap korupsi lewat media massa maupun media sosial yang bertebaran di internet. Kontrol masyarakat lewat media sosial di internet bisa menjadi kekuatan rakyat (people power) yang berdaya luar biasa bagi laju pencegahan dan pemberantasan korupsi. 

Pada dasarnya, siapa pun telah memahami bahwa korupsi adalah tindakan tercela. Kesadaran ini bukannya tak ada, namun nafsunya mengarah pada keburukan korupsi atau bisa dikatakan berada pada level jiwa hewani. Komaruddin Hidayat (2009) pernah berujar bahwa nafsu korupsi itu hanya mengejar kesenangan dan kepuasaan emosional-material semata. Meskipun kayanya setengah mati, orang yang masih berada pada tingkatan jiwa hewani tetap saja doyan korupsi. Menumpuk-numpuk harta terus-menerus dilakukannya. Nafsu ini memang tidak mengenal batas dan kerapkali merusak norma sosial dan agama.  

Memang pergulatan jiwa manusia dalam hidup ini senantiasa beradu antara yang baik dan yang buruk. Manusia seolah-olah dihadapkan pada dua pilihan untuk melakoni jalan kebaikan atau keburukan. Tentu saja, setiap manusia harus menanggung risiko dan dampak dari pilihannya itu. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwanya sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata atau terjebak pada level jiwa hewani (animality), seseorang itu gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pemimpin dalam kehidupannya. Pribadi yang demikian itu meski lahiriahnya kaya, namun sesungguhnya jiwanya miskin. Meskipun pendidikan dan jabatannya tinggi, orientasi hidupnya rendah. Orang yang senang melakukan korupsi, jiwanya sakit. Seseorang itu tidak sanggup menaikkan kualitas hidupnya pada tataran humanity yang ditandai dengan sikap selalu mengutamakan nalar sehat dan setia pada bisikan hati nurani (Komaruddin Hidayat: 2009). 

Dengan melakukan korupsi berarti juga melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Korupsi dianggap pelanggaran HAM karena aset atau uang negara yang semestinya digunakan untuk kepentingan publik, tetapi dinikmati oleh orang per orang. Akibatnya, kehidupan publik amat terabaikan. Banyak rakyat menderita lantaran uang negara yang seharusnya digunakan untuk membebaskan mereka dari keterdesakan dan penderitaan dinikmati secara tidak sah oleh para koruptor (Hamid Awaluddin; 2012). 

Disadari atau tidak, korupsi juga bisa berdampak pada nasib anak. Mungkin dampak ini kurang mendapatkan perhatian. Korupsi yang melakukan orangtuanya, tetapi anak bisa turut mendapatkan getahnya. Ketika ayah atau ibunya terpampang di koran cetak atau bersliweran menghiasi layar kaca sebagai tersangka korupsi, bagaimanakah perasaan sang anak?
Dalam kondisi psikologis yang wajar, anak dimungkinkan merasa malu. Mungkin bagi anak yang telah dewasa dan cukup berumur, rasa malu bisa dikendalikan. Namun, anak yang berusia masih belia atau menginjak remaja, kecemasan dan kepanikan bisa saja muncul. Efek sosial bisa terasa ketika berada di sekolah atau dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya. Malah kesedihan dirasakan anak ketika setiap saat mendengar atau membaca berita korupsi yang dilakukan orangtuanya. Pada titik ini, orangtua yang tertangkap korupsi bisa dikatakan telah melakukan kejahatan tersendiri terhadap anaknya. Koruptor tidak mampu memberikan ruang tumbuh kembang yang kondusif bagi anaknya. Anak tidak mendapatkan perlindungan dari orangtua yang korupsi. Perlindungan anak tentu saja tidak hanya mencakup perlindungan fisik, tetapi juga perlindungan psikis.
Mungkin kita bisa berpikir sejenak, benarkah anak selalu menginginkan orangtuanya berlimpah uang dan mencukupi kebutuhan anak secara berlebihan? Menjadi kaya tentu merupakan hak siapa pun, namun menjadi kaya secara tidak benar adalah kesesatan. Pada dasarnya anak lebih membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus. Membesarkan dan mendidik anak tak selalu terkait dengan keberlimpahan materi. Apabila koruptor bekerja dan mendapatkan uang demi anak, bukankah korupsi hanya memenuhi syahwat semata? Korupsi justru membuat anak sulit memahami orangtuanya yang mencontohkan perilaku tidak terpuji. Anak dengan sendirinya kehilangan teladan dari orangtuanya yang koruptor.
Di lain sisi, dampak bagi anak bisa saja terjadi di masa depan. Tidak hanya saat ini dan hari ini, tetapi juga dalam kehidupan anak pada saat-saat mendatang. Kalau kita mengacu pada hukum kekekalan energi, korupsi yang dilakukan orangtua merupakan energi negatif yang akan membawa keburukan dan hal-hal negatif lainnya. Energi negatif korupsi tidak selalu berdampak langsung pada pelakunya, tetapi bisa pada anak-anaknya. Dalam Islam, orangtua dituntunkan untuk tidak memberi makan anak dengan harta tak halal. Dengan harta hasil korupsi, tumbuh kembang anak kehilangan berkah. Kehidupan anak di masa mendatang bisa beraroma negatif akibat korupsi yang dilakukan orangtuanya saat ini. 
Pungkasnya, apa yang terpapar di atas perlu menjadi renungan kita bersama. Peluang korupsi akan selalu ada. Tak ada jaminan kalau kita tidak melakukan korupsi apabila dihadapkan pada peluang itu. Pastinya, kita menjaga diri tidak memanfaatkan peluang korupsi sekecil apapun. Apabila kita ingin korupsi, kita selayaknya juga perlu memikirkan nasib anak-anak kita. Wallahu a’lam.

Pelajar Jogja Tak Perlu Tawuran

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 14 April 2013


Judul Buku: The Gank Black Anathema Penulis: Komikus Rif’an Penerbit: de TEENS (DIVA Press), Yogyakarta Cetakan: I, Februari 2013 Tebal: 272 halaman

Tawuran sebenarnya tak hanya terjadi di kalangan pelajar. Fakta sosial menunjukkan bahwa siapa pun sering melakukan tawuran. Pihak mana pun yang melakukan, tetap saja menimbulkan keprihatian. Budaya kekerasan semestinya tak ditunjukkan masyarakat yang beradab. Novel ini menarik dibaca demi penciptaan suasana Yogyakarta yang kondusif, damai, dan aman. Meskipun yang dijadikan tokoh adalah pelajar, tapi siapa pun bisa memetik pelajaran di dalamnya.

Dalam jalinan cerita novel ini, keberadaan geng di kalangan pelajar menimbulkan kerisauan. Geng yang dikenal berbahaya bernama Black Anathema. Melihat situasi itu, ada kalangan pelajar yang beriktikad membasmi geng-geng yang suka berbuat ulah di kota Yogyakarta ini. Kalangan pelajar itu disebut kelompok aliran putih yang dipimpin seorang cewek bernama Fiki. Pihak pemerintah juga berharap Fiki dan kawan-kawannya mampu menyadarkan geng-geng aliran hitam yang sering berbuat onar.

Usaha itu tak mudah. Geng-geng aliran hitam sering menunjukkan kuasanya dan tak kenal lelah adu otot. Tiba-tiba, ada tawuran dahsyat yang terjadi di Malioboro. Dalam situasi genting itu, Fiki panik. Terhadap pimpinan utama geng aliran hitam bernama Dewi Kamboja, Fiki berteriak, “Apa kamu nggak punya hati, Dewi Kamboja? Kita semua masih anak SMA. Kita harusnya nggak kayak gini. Belajar. Harusnya kita semua belajar di sekolah, bukan bertarung saling bunuh seperti ini. Apa kamu nggak pernah berpikir seperti itu?”(hlm. 257).

Novel bergaya remaja ini ingin membangun spirit pelajar di Yogyakarta agar berlaku mulia. Budaya tawuran selayaknya tak dimiliki kaum pelajar di kota Yogyakarta tercinta ini. Meskipun tawuran dilakukan oleh oknum pelajar yang tak bertanggung jawab, namun tetap meresahkan. Novel ini seolah-olah memberi pesan bahwa tawuran pelajar lebih efektif diatasi dengan membentuk kelompok di kalangan pelajar sendiri yang tugasnya menyadarkan teman-temannya. Kelompok pelajar beraliran positif meluaskan pengaruhnya, sehingga pelajar-pelajar di Yogyakarta lebih mengedepankan budaya belajar dan perilaku positif. Begitu.(HENDRA SUGIANTORO).

Guru dalam Karya Pena


Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 30 Desember 2012 

Judul Buku: Bila Guru Mau Menulis Penulis: C. Cahayaningsih, dkk. Penerbit: Pohon Cahaya, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: 102 halaman 

Ada banyak hal yang diungkapkan para guru lewat buku ini. Sebut saja pengalaman Cahayaningsih yang pernah menjadi guru di Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). Penyesuaian terhadap tradisi dan budaya setempat perlu beliau lakukan. Beliau yang kini mengajar di SMP N 4 Pakem menceritakan kisahnya, “Murid-muridku yang sederhana di pelosok telah menunggu. Begitu motor kusandarkan, mereka berjajar rapi menyalamiku. Begitu terharu dibuatnya. Aku mengajar di sekolah yang letaknya jauh dari kota Dili, sehingga jauh dari hiruk-pikuk politik waktu itu”.


Ada juga pengalaman dari Retno Widyastuti. Ibu guru di SMP Pangudi Luhur ini pernah menjadi wali kelas di mana salah satu muridnya adalah cucu Sri Sultan HB X. Sebagai guru, beliau tentu tidak boleh membeda-bedakan murid. Kejadian yang menurut beliau berkesan adalah ketika bisa mencium cincin hijau milik Sri Sultan HB X. Saat itu ada acara di sekolahnya yang dihadiri Sri Sultan HB X. 


Selain dua guru di atas, ada enam guru lainnya yang menuangkan tulisan dalam buku ini.  Tak hanya berbagi pengalaman unik dan berkesan, para guru dalam buku ini juga menulis opini demi kemajuan dunia pendidikan dan pembelajaran siswa. Ada juga tulisan fiksi berupa cerpen dan puisi. Buku ini berniat menggugah semua guru, terutama di DIY, untuk mulai mengangkat pena. Saling menginspirasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar bersama lewat pena.


Memberdayakan Sarjana, Membangun Kampung

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 26 Desember 2012 
 
Tidak seluruh masyarakat di negeri ini bisa merasakan jenjang pendidikan tinggi. Kemampuan dan kemauan memang dibutuhkan untuk mengambil pilihan menempuh bangku kuliah. Dengan lulus dari jenjang pendidikan tinggi, ada harapan untuk menghadapi hari depan yang lebih baik. Kini menyandang gelar sarjana seolah-olah merupakan keniscayaan demi menjalani profesi. Wartawan, misalnya, mensyaratkan minimal lulusan S1. Tak terkecuali bagi guru yang mengajar di sekolah. Jenjang pendidikan juga bisa menentukan pemerolehan gaji dalam dunia pekerjaan formal.


Setiap tahun, pekerjaan formal memang menanti ribuan lulusan jenjang pendidikan tinggi. Lowongan pekerjaan setiap saat senantiasa dipublikasikan di media cetak, media elektronik maupun cyberjournalism. Namun, harapan untuk menjalani pekerjaan formal tak selalu berujung manis. Ada lulusan jenjang pendidikan tinggi yang terpontang-panting menembus dunia pekerjaan formal. Muncullah istilah pengangguran sarjana atau pengangguran intelektual. Berbagai opini pun menguak sebab-musabab terjadinya pengangguran di kalangan sarjana. Kewirausahaan, misalnya, menjadi salah satu solusi agar lulusan jenjang pendidikan tinggi tak semata mencari pekerjaan (job seeker), tetapi memiliki orientasi menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).

Apabila berpikir jernih, pekerjaan itu selalu ada. Pengangguran bisa terjadi di antaranya karena paradigma yang memandang pekerjaan sekadar pada ranah formal. Malah ada lulusan pendidikan tinggi yang enggan bekerja sesuai disiplin keilmuannya, padahal mampu melakukan pekerjaan itu. Dalam hal ini, ada yang menggelitik penulis, mengapa lulusan pendidikan tinggi tidak diberdayakan untuk membangun kampung? Disadari atau tidak, sebenarnya begitu banyak yang harus dikerjakan dalam upaya membangun masyarakat. Potensi lulusan pendidikan tinggi dengan kompetensinya merupakan aset berharga yang perlu diberdayakan agar bisa memberikan dampak positif. 
 
Untuk memberdayakan sarjana itu, pengorganisasian dari pihak kelurahan niscaya diperlukan. Pihak kecamatan bisa saja melakukan hal ini, namun jangkauannya terlalu luas dalam urusan manajemen kampung. Hal pertama perlu dilakukan adalah mendata lulusan pendidikan tinggi di setiap kampung, baik yang telah memiliki pekerjaan formal maupun yang masih dalam tahap pencarian profesi. Tidak kalah penting, peta permasalahan di setiap kampung perlu dirumuskan. Permasalahan yang dijumpai di setiap kampung bisa serupa dan bisa saja berbeda. Dalam geraknya, sarjana-sarjana disatupadukan. Dalam menyusun program kerja, sarjana-sarjana diikutsertakan. Para pakar juga dilibatkan untuk mendiskusikan permasalahan kampung dan mencari alternatif solusi pemecahannya. Sarjana-sarjana bekerja lintas kampung dalam satu kelurahan; menyapa masyarakat di setiap kampung untuk memberikan pendidikan, penyadaran, pencerahan, dan apapun yang dibutuhkan masyarakat. Jika diperlukan, sarjana bisa saja bergerak lintas kelurahan.

Dalam pandang penulis, alangkah menakjubkan apabila sarjana-sarjana bisa digerakkan dan diberdayakan untuk membangun kampung. Sarjana-sarjana yang terorganisasi itu pastinya bisa memberikan kontribusi positif. Program kerja yang digulirkan bisa beraneka macam. Terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai petani, penyuluhan pertanian dan pendampingan dalam usaha bercocok tanam bisa dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana pertanian. Sarjana psikologi bisa diarahkan untuk menyapa masyarakat kampung dalam mengatasi problematika kehidupannya. Di tengah laju kehidupan ini, permasalahan yang menghinggapi manusia sangat beragam. Sarjana psikologi bisa turut membangun aspek kejiwaan masyarakat.

Begitu pula dengan sarjana hukum yang bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait hukum. Tak dimungkiri apabila masih ada masyarakat yang buta terhadap hukum dan perundang-undangan. Sarjana kesehatan bisa turut memberikan kesadaran hidup sehat atau menangani persoalan kesehatan di tengah masyarakat. Sarjana pendidikan bisa memberikan pendidikan kepada masyarakat secara nonformal. Tak terkecuali dengan sarjana-sarjana lainnya yang perlu juga menyapa dan membangun kehidupan masyarakat di kampung. Dalam program kerja tertentu, sarjana yang bergerak bisa dari beragam disiplin ilmu sesuai dengan peta permasalahannya. 
 
Upaya memberdayakan sarjana membangun kampung tentu saja tidak terlepas dari tersedianya dana. Pemerintah daerah bisa memberikan anggaran dana kepada setiap kelurahan terkait hal tersebut. Perusahaan-perusahaan maupun pihak swasta bisa diajak untuk menegakkan tanggung jawab sosialnya. Bahkan, dana bisa didapatkan dari iuran warga di setiap kampung. Harapannya, program kerja yang digulirkan bisa berjalan berkesinambungan. Sistem penggajian bagi sarjana yang membangun kampung perlu juga dirumuskan. Sarjana memang bisa bekerja dengan dalih pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, sarjana juga memiliki tuntutan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pungkasnya, potensi lulusan jenjang pendidikan tinggi perlu diberdayakan. Masih begitu banyak permasalahan di tengah masyarakat yang selayaknya menggugah para sarjana untuk aktif memberikan kontribusi. Dengan membangun kampung, para sarjana dengan sendirinya ikut menopang pembangunan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

Menempa Perilaku Anak Usia Dini

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu 23 Desember 2012 
 
Judul Buku: Mendesain Perilaku Anak Sejak Dini Penulis: Nur Faizah Rahmah, S.Psi. Psi. Penerbit: Adi Citra Cemerlang, Solo Cetakan: I, 2012 Tebal: xiv+170 halaman ISBN: 978-602-19782-1-4

Buku ini mengajak kita membentuk perilaku anak-anak kita sejak dini agar menjadi pribadi yang positif, baik, dan mulia. Sebab, usia dini memang usia emas (golden age) yang menentukan arah dan kualitas hidup manusia selanjutnya.
 
Ditegaskan penulis buku, pengalaman indah, positif, dan bermanfaat perlu diperoleh anak-anak dalam usia prasekolah. Mereka sedang dalam masa peka untuk belajar; mulai dari bergaul, berbahasa, berdisiplin, dan masih banyak lagi. Persoalannya, masih banyak dari kita yang keliru dalam mempersepsi kebutuhan dan kemampuan mereka, sehingga mengakibatkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang optimal dan maksimal. Kalau kita perhatikan, anak usia prasekolah memiliki perilaku khas, seperti egosentrisme, banyak bicara, ingin bermain melulu, ekspresif dan spontan, rasa ingin tahunya besar, dan kaya imajinasi. Mereka berkeinginan untuk belajar berempati dan memecahkan masalah. Menurut penulis buku, mengetahui perilaku khas itu penting dilakukan agar kita bisa mengarahkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak (halaman 21-29).
 
Dalam masa prasekolah, perilaku buruk anak juga muncul. Dijelaskan penulis buku, perilaku buruk pada anak usia prasekolah menuntut kita memahami situasi yang dihadapi anak. Sebut saja perilaku buruk tantrum atau temper tantrum, yakni luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Manifestasi tantrum beragam, dari merengek dan menangis saja, menjerit-jerit, mengguling-gulingkan badan di lantai, menendang, memukul, mencakar, dan sebagainya. Tantrum kerapkali muncul pada anak usia 2 tahun sampai 3 tahun, atau lebih cepat lagi pada usia 16 bulan. Biasanya tantrum menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 4 tahun. Menyaksikan itu, kita hendaknya tidak menggunakan kekerasan secara fisik maupun psikis untuk mengatasinya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak di kemudian hari.
 
Terkait tantrum, kita perlu memahami bahwa emosi merupakan hal yang lumrah. Anak justru harus diberi kesempatan menghayati dan merasakan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahannya. Kita hanya berperan mendampingi, memeluk (jika dibutuhkan), dan menyatakan pengertian kita atas perasaan yang sedang dialami anak tanpa memberikan intervensi apalagi berusaha menghentikan emosi tersebut. Intervensi dilakukan bila tantrum telanjur muncul dalam perilaku yang membahayakan dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Kunci mengatasinya dengan komunikasi yang positif. Meskipun dalam situasi tantrum, anak sebenarnya dapat diajak bicara apabila telah tenang emosinya. Tantrum protes, tantrum sosial, tantrum merengek, dan tantrum tidak kooperatif dari anak perlu dihadapi secara bijak (halaman 81-88).
 
Selain tantrum, perilaku buruk lainnya yang perlu dipahami adalah cekcok dan bertengkar, berbohong, mencuri, berkata kasar dan jorok, membangkang dan membantah, menjadi penakut, mempunyai sahabat khayalan, senang memegang alat kelamin, dan memiliki kebiasaan tertentu yang kurang baik. Lewat buku ini, kita diajak agar bisa bijak mengatasinya. Kita perlu “bersahabat” dengan perilaku buruk anak prasekolah. Kata-kata larangan, memojokkan anak atau dengan kekerasan bukanlah solusi, tetapi malah melanggengkan perilaku buruk itu di kemudian hari. Ketidakjujuran, tawuran, kriminalitas, dan kasus negatif di sekitar kita bisa disebabkan ketidakberhasilan kita mengatasi perilaku buruk yang muncul pada anak usia prasekolah.(HENDRA SUGIANTORO).