Menjadi Guru

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 15 Mei 2009
Dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pendidik. Keberadaan pendidik begitu penting sehingga sering kali dikatakan bahwa pendidik menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan. Sebutan pendidik ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada guru di sekolah, tapi siapa pun bisa disebut pendidik jika menjalankan kegiatan mendidik. Artinya, orang tua pun adalah pendidik karena mendidik anak-anaknya semenjak kecil. Begitu juga tokoh-tokoh masyarakat dapat menjadi pendidik yang memberikan pendidikan di lingkungan masyarakatnya. Kiai adalah pendidik di lingkungan pondok pesantren, bahkan menjadi referensi ilmu bagi lingkungan di luar pondok pesantren.

Dalam hal ini, sebutan pendidik lebih diarahkan pada guru di sekolah. Pentingnya guru di sekolah tidak dimungkiri lagi dan memiliki tanggung jawab untuk mendidik murid-muridnya. Tugas guru di sekolah tidak sekadar mengajar, tapi juga membimbing, mengarahkan, dan membina murid-muridnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menjadi seorang guru tentu tidaklah mudah, tapi mengandung kemuliaan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa mengajarkan ilmu, maka ia memperoleh pahala orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi pahala pelakunya.”(HR. Ibnu Majah). Itu artinya seorang guru yang mengajarkan ilmu mendapatkan jaminan pahala dari Allah SWT. Pahala itu tidak berhenti ketika menyampaikan ilmu, tapi akan terus berlanjut ketika ilmu yang diajarkan bermanfaat sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa salah satu dari tiga amalan yang tiada terputus ketika anak Adam meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat (’ilmin yuntafa’u bihi). Dengan kemuliaan yang diperoleh ketika menyampaikan ilmu, seorang guru juga dituntut untuk terus belajar dan memperdalam ilmunya. Kegiatan belajar dan mengajarkan ilmu merupakan satu kesatuan yang berjalan beriringan. Selain mengajarkan ilmu, seorang guru dituntut untuk terus belajar dan menggali ilmu sehingga memperdalam kapasitas keilmuannya.

Hal yang tidak bisa diabaikan oleh guru adalah konsistensi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Karena seorang guru adalah teladan bagi murid-muridnya, maka seorang guru perlu menampilkan keteladanan. Al-Ghazali pernah bertutur, ”Seorang guru harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Adapun perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.” Dari perkataan Al-Ghazali itu, maka seorang guru hendaklah mengerjakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang tidak diperbolehkan serta mengamalkan ilmu yang diajarkan. Dari sisi keteladanan ini, seorang guru juga memiliki kewajiban untuk menanamkan akhlak mulia pada dirinya. Seorang guru tidak semata mengajarkan ilmu, tapi juga dibarengi dengan kepemilikan akhlak yang mulia sehingga murid-muridnya mampu mengambil keteladanan.

Pastinya, menjadi guru merupakan panggilan hidup untuk mendidik generasi. Seorang guru memiliki tanggung jawab mendidik murid-muridnya. Seorang guru di sekolah adalah mitra orang tua yang mendidik anak-anak bangsa sehingga mampu beribadah kepada Allah SWT sesuai tujuan penciptaan dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati Masalah Agama pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Bekerja Memberdayakan Ekonomi Masyarakat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu 3 Mei 2009


Judul Buku:
Dari Pojok Garasi Membangun Negeri Penulis: Ahmad Sumiyanto, S.E., M.SI Penerbit: Pro-U Media&ISES Publishing Yogyakarta Cetakan: I, 2009 Tebal : 268 halaman

SAAT ini krisis finansial global menjadi persoalan serius yang dihadapi setiap negara. Adanya krisis ini menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi tidak menentu dan banyak perusahaan-perusahaan tidak bernafas panjang. Ancaman PHK pun menerpa yang berefek pada ketidakstabilan perekonomian masyarakat. Efek lainnya bisa saja suatu waktu menghadang.
Dalam buku ini, penulis tampaknya mencoba memaknai krisis finansial global. Dalam pandangan penulis kelahiran Kulonprogo ini krisis finansial global merupakan momentum menggerakkan ekonomi riil. Pengembangan usaha kecil menengah, misalnya, tidak sekadar menggulirkan kebijakan kemudahan pemberian kredit. Lebih dari itu, pemerintah seyogianya membantu dan mendorong para pengusaha mengembangkan produk sehingga memiliki daya saing sekaligus membantu dalam pemasarannya. Pemerintah juga perlu memberikan informasi dan pelatihan mengenai pasar di dalam dan di luar negeri sehingga para pengusaha menyadari fakta kompetisi global dalam dunia usaha.

Untuk menggerakkan ekonomi riil, penggunaan produk dalam negeri memang perlu ditekankan. Tapi, menurut penulis buku ini, program menggunakan produk dalam negeri menjadi tidak efektif ketika pemerintah justru membiarkan produk-produk luar negeri membanjiri pasar, bahkan sampai merambah ke pasar tradisional. Ini bukan berarti produk-produk luar negeri tidak boleh beredar, tapi pemerintah seyogianya melindungi eksistensi usaha kecil menengah. Adanya spirit menggerakkan ekonomi riil semestinya membingkai kebijakan pemerintah agar berpihak pada industri dalam negeri.
Membaca buku ini, kita akan menelusuri percikan-percikan gagasan dan pemikiran penulis yang meraih gelar sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Buku keempat dari penulis yang telah memiliki empat anak ini sepertinya memang ingin menggugah siapa pun agar bertindak konkret di lapangan. Kiprah penulis dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat coba dituturkan. Jika kita menyaksikan lembaga BMT Al-Ikhlas yang sudah tersebar di kota gudeg ini, maka keberadaan lembaga itu tidak terlepas dari perannya. Pada awal berdirinya pada tahun 1995, BMT Al-Ikhlas hanya mangkal di sebuah garasi sempit dengan modal Rp 500.000,00. Bertahun-tahun lembaga keuangan itu akhirnya terus berkembang. Sepuluh tahun setelah berdiri, harian SKH Kedaulatan Rakyat pernah memberitakan aset BMT Al-Ikhlas mencapai Rp 5 miliar dengan nasabah sekitar 5000 orang (12/3/2005).
Membaca buku ini, kita sedikit banyak mendapatkan inspirasi mengenai pemberdayaan ekonomi masyarakat. Disadari atau tidak, persoalan ekonomi masyarakat tidak bisa diabaikan dan perlu mendapatkan perhatian. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami masyarakat seyogianya menyadarkan siapa pun untuk berbuat nyata. Di buku ini, ada juga tulisan cukup menarik ”DIY Makin Istimewa dengan Demokrasi” yang dapat menambah wacana dan pemikiran mengenai konsep keistimewaan DIY.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat forum El-Pena&Gapura Trans-F di UNY