Menapaki Hidup Menggapai Kesuksesan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Selasa 27 Juli 2010

Setiap kita mendapatkan apa yang kita usahakan. Dalam usaha diperlukan komitmen dan kerja cerdas sekaligus kerja keras. Hasil dari usaha juga menghendaki proses yang tepat. Kualitas hasil didahului dengan kualitas proses. Siapa pun kita berhak untuk bermimpi dan bercita-cita.

Pun, berhak memperoleh dari apa yang diimpikan dan dicitakan. Namun, kita ternyata tak selalu bermimpi besar. Ada sikap fatalistik ketika kita tunduk menyerah atas nasib buruk yang dialami. Lebih memilukan lagi ketika kita menyalahkan takdir, bahkan menyalahkan Tuhan yang tidak membuat hidup kita berkelimpahan.

Siapa pun perlu melihat bahwa masa depan itu cerah. Masa depan yang baik milik siapa pun yang siap meraihnya. Ikhtiar adalah keniscayaan tanpa peduli seberapa pun hambatan dan tantangan menghadang. Asalkan keinginan dan impian itu baik, kebaikan akan diperoleh. Siapa pun kita layak menjadi manusia-manusia besar yang merasakan kesuksesan hidup.

Tak peduli modal fisik dan materi pada diri kita, kesuksesan hanya membutuhkan tangan yang bekerja. Kesuksesan juga membutuhkan kekuatan jiwa untuk menggapainya. Kesuksesan harus dijemput siapa pun. Kita harus memaknai hidup secara benar agar kesuksesan juga termaknai secara benar.
Kita tentu tak begitu saja bisa menggapai kesuksesan tanpa melalui jalan yang berliku terjal. Ada kelebihan dalam diri kita dan juga ada kekurangan dalam diri kita. Kekurangan bukan untuk memperlemah, tapi faktor yang membuat kita mawas diri. Kita harus membanggakan kelebihan untuk berpikir dan bertindak besar, namun bukan berarti menampakkan keangkuhan.

Dalam hidup, kegagalan adalah hal biasa. Begitu juga penderitaan adalah hal biasa yang tak perlu membuat kita risau dan penuh gerutu. Ujian kegagalan dan penderitaan harus kita alami untuk mendewasakan langkah agar kita menjadi manusia besar. Mungkin saja kita pernah mengalami kegagalan di masa lalu, namun kita perlu mengingat bahwa kita tidak hidup di masa lalu.

Sebaliknya, kita tidak harus terus membanggakan kesuksesan di masa lalu karena kita akan hidup di masa depan. Pariman Siregar (2009) menuturkan, terkungkung pada masa lalu bukanlah pilihan tepat. Meratapi kegagalan dan kesalahan di masa lalu hanya membuat kita terpuruk dan tidak percaya diri menghadapi kehidupan.

Terbuai dengan prestasi di masa lalu sehingga membuat kita terlena bukan tindakan yang bijaksana. Ada tantangan di masa depan yang menampakkan wajah berbeda dari apa yang kita alami di masa lalu dan di masa kini.

Menjalani hidup ini, kita perlu berpikir dan bertindak untuk mendekap kesuksesan. Asalkan baik, kita harus percaya diri dengan impian kita. Kesuksesan hidup adalah milik kita yang bersedia memantapkan ikhtiar sekaligus memanjangkan doa. Tak ada yang sia-sia dalam hidup ini jika kita berproses secara benar dalam menggapai kesuksesan.

Kesuksesan jangan dimaknai pada hasil semata, namun juga pada proses. Banyak dari kita tampak menggenggam kesuksesan yang justru menjadi bumerang di kemudian hari jika tidak dicapai secara benar. Kita kian menyadari bahwa ada pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

Hendra Sugiantoro
Koordinator Forum Indonesia
Karangmalang, Yogyakarta 55281
085228438047

Yogyakarta Luncurkan Minimagz Garnish


Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Harjo Forum, Harian Jogja, Sabtu, 24 Juli 2010

Ketika masa depan ditentukan oleh sebuah pengumuman yang mengharuskanku mengambil keputusan meninggalkan kampung halaman, tak ada lagi pilihan untuk mundur. Di sinilah semuanya berawal. Langkah pertama yang kuambil ketika kaki pertama kali menginjak tanah yang baru, itulah awal mula mimpiku. Kini aku harus siap memulai dunia baru, di daerah baru, dengan orang-orang baru, dan tentu dengan semangat baru yang menggebu. Semangat baru untuk menuntut ilmu.

Kalimat-kalimat di atas merupakan penggalan dari tulisan yang dianggit Mukhti Nuryani dalam Minimagz Garnish. Majalah kecil ini diterbitkan oleh Divisi Media Informasi Unit Kerohanian Islam (UKI) Jama’ah Shohwatul Islam (JAHSTIS) STMIK Amikom Yogyakarta. Mungkin kita akan bertanya maksud dari penggalan kalimat di atas. Untuk mencari jawab, awalnya kita hanya bisa menafsirkan semata. Tafsiran itu bisa benar dan bisa juga keliru sebelum membaca tulisan utuhnya.
Dengan menggunakan “aku”, Mukhti Nuryani seolah-olah menceritakan pengalaman pribadinya. Namun, “aku” yang dimaksud dalam tulisan itu adalah “aku yang banyak”. Minimagz Garnish terbitan kali pertama ini beredar dalam rangka penyambutan mahasiswa baru STMIK Amikom Yogyakarta 2010/2011. “Aku yang banyak” adalah mahasiswa yang jumlahnya ribuan. Dalam rubrik Cover Story, Mukhti Nuryani mencoba mewakili jiwa, perasaan, semangat, dan harapan mahasiswa baru lewat tulisannya yang diberi judul “Kutinggalkan Kampung Halaman dan Kumulai Petualangan”.

Selain tulisan di atas, Minimagz Garnish yang berjumlah 28 halaman ini juga menampilkan tulisan lainnya dalam beragam rubrik. Dalam rubrik Profil, kisah perjalanan Salman al-Farisi memeluk Islam coba diceritakan Argi Pratiwi.

Minimagz Garnish edisi Juli-Agustus 2010 ini menarik dibaca. Setiap rubrik berisi tulisan yang ringan, tapi penuh makna. Dalam rubrik Muslim Corner, Erlinda Rakhmawati menampilkan tulisan yang diberi judul “Merantau: Titik Awal Perubahan”. Tulisan ini mengajak pembaca, terutama mahasiswa yang berasal dari luar Yogyakarta, memahami makna dari merantau.

Selain tulisan-tulisan di atas, masih banyak tulisan-tulisan lainnya yang ditampilkan dalam Minimagz Garnish. Masyarakat kampus, terutama sivitas STMIK Amikom Yogyakarta, tentu menantikan terbitnya edisi selanjutnya.

Hendra Sugiantoro

Membaca Wajah Kita di Jalan Raya

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi Harian Jogja, Jum'at, 16 Juli 2010

JALAN RAYA adalah tanda yang menegaskan keberadaan manusia. Di jalan raya, setiap manusia memperlengkap biografinya. Membaca budaya manusia yang membentuk budaya masyarakat, jalan raya menjadi cermin bening untuk mengaca. Tak perlu menelaah berlembar-lembar halaman “ensiklopedi manusia” untuk melihat kepribadiannya. Cukuplah melihat jalan raya karena jalan raya merupakan berlembar-lembar halaman yang (telah) menampakkan wajah manusia berbudaya sekaligus manusia krisis budaya.

Makna yang tecermin di jalan raya menyuguhkan keprihatinan ketika hiruk-pikuk manusia sekadar memenuhi kepentingannya. Setiap manusia memang menunaikan hajat selamat sampai tujuan, namun kepentingan hajat itu sering kali tak mengindahkan eksistensi manusia lainnya. Jalan raya yang merupakan milik umum dijadikan tempat pribadi untuk sebebasnya menunjukkan arogansi. Multitanda jalan raya adalah individualisme yang hanya menghendaki keselamatan diri. Ketidakpedulian terhadap keselamatan jama’ah pengguna jalan raya telah banyak menggoreskan kisah kecelakaan yang menimbulkan tragedi. Siapa pun boleh menyebut kecelakaan adalah takdir, namun mengapa tidak menjemput takdir: keselamatan jama’ah di jalan raya?

Multitanda di jalan raya telah merekam individualisme manusia. Beragam hal hadir di jalan raya untuk menyesaki biografi manusia terkait lenyapnya kesabaran. Klakson-klakson bersahutan di tengah nyala hijau seolah-olah menjadi peraturan. Agar tidak lagi terjebak lampu merah, pengendara di belakang menganggap pengendara di depannya buta warna! Tak menjadi soal jika bunyi klakson adalah alunan merdu yang menenangkan kegelisahan jiwa manusia. Namun, alunan musik klakson tanpa disadari justru tidak diterima detak jantung pengendara di depannya. Membaca jalan raya adalah membaca minimnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia lainnya. Meskipun telah meniti zebra cross, pengendara tak sudi mempersilakan penyeberang jalan. Dengan kecepatan yang tentu tak sebanding, kendaraan roda empat mendesak kendaraan roda dua untuk selekasnya berjalan.

Jalan raya memang menghadirkan ironi. Setiap manusia sebebasnya melanggar peraturan. Peraturan dilanggar selaras isi kepala. Tak peduli bersliweran tanpa helm jika kepala tak nyaman, padahal helm tak mengenal nama jalan. Bukankah di jalan mana pun tak ada anjuran: lepaskan helm dan biarkan rambutmu berkibar? Meskipun mampu menghindar dari operasi polisi, pun tak ada anjuran tak perlu membawa “ surat jalan”. Jalan raya memang tanda minimnya ketertiban. Tak peduli marka jalan asal kendaraan bisa melaju kencang. Jalan raya pun dijadikan sirkuit balap yang sejatinya tidaklah memesona. Di jalan raya, manusia seolah-olah enggan melengkapi biografinya dengan kedisiplinan.

Jalan raya juga tanda kemelaratan, bahkan mungkin ketidakberdayaan. Di setiap sudut jalan, anak-anak jalanan berjejal mengais iba. Di tengah jerit pengemis dan gelandangan, ada kesenjangan yang diperlihatkan secara terang di jalan raya ketika kendaraan-kendaraan mewah berlalu-lalang. Jalan raya adalah cermin belum mampunya penguasa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan!

Multitanda di jalan raya adalah nyata. Jalan raya telah menjadi saksi perjalanan manusia yang krisis budaya. Jalan raya sebagai ruang budaya yang kasatmata tidak menyembunyikan sikap dan perilaku manusia. Memang ada perilaku positif di jalan raya, namun pesan krisis budaya di jalan raya tentu menyeruakkan keprihatinan. Selain di atas, perilaku negatif di jalan raya adalah menjadikan jalan raya sebagai tempat sampah! Membaca hiruk-pikuk manusia di jalan raya terdapat catatan budaya nyampah. Manusia sebagai pengguna jalan raya menjadikan jalan raya untuk membuang sampah.

Cobalah lihat, dari kaca bus atau mobil, sisa makanan dan minuman dilempar keluar begitu saja. Dari pengguna kendaraan roda dua sampai roda empat telah meninggalkan sampah-sampah di jalan raya. Sisa makanan dan minuman sering kali keluar dari kaca bus. Pengendara yang suka menghisap rokok membuang sisa puntungnya di jalan raya. Botol air mineral dilempar begitu saja dari jendela mobil. Biar jalan raya kotor, kulit jeruk dibuang seenaknya asalkan mobil tetap bersih. Membuang sampah sembarangan adalah perilaku nyampah. Bungkus permen, kulit pisang, botol air mineral, kertas tak terpakai atau pun plastik bekas telah memberi tanda sulitnya manusia menjaga kebersihan.

Tak hanya pengendara, pejalan kaki pun sering kali menjadikan jalan raya sebagai tempat sampah. Perilaku nyampah di jalan raya tanpa disadari telah menjadi perilaku kita. Banyak dari kita membuang sampah seenaknya di jalan raya. Ketika berjalan di trotoar, bungkusan makanan dibuang begitu saja. Berjalan sambil merokok, puntung tidak dibuang di tempat sampah. Masyarakat pun sulit menjaga kebersihan jalan raya. Sampah-sampah dibiarkan berserakan di pinggir jalan raya, bahkan ada yang membuang bangkai tikus di tengah jalan raya.

Meskipun tampak sepele, perilaku membuang sampah di jalan raya menandakan karakter dan perilaku buruk. Membuang sampah di jalan raya tidaklah tepat. Sampah sekecil apa pun tetap saja sampah yang mengurangi kebersihan jalan raya. Jalan raya akan kotor meskipun hanya sampah-sampah kecil yang dibuang. Bungkus permen, kulit pisang, botol air mineral, kertas tak terpakai ataupun plastik bekas tak selayaknya dibuang begitu saja mengotori jalan raya. Jalan raya harus tetap dijaga kebersihannya.

Becermin pada jalan raya, siapa pun akan menemukan sisi buram kehidupan. Krisis budaya di jalan raya telah menggambarkan krisis budaya di ruang-ruang kehidupan lainnya. Tanpa mereportase sepak terjang anggota dewan, siapa pun bisa menyaksikan wajah parlemen di jalan raya. Apa yang terjadi di jalan raya adalah cermin yang terjadi di birokrasi kekuasaan. Tak berjalannya fungsi kekuasaan politik, lihatlah fenomena di jalan raya. Wajah jalan raya adalah wajah masyarakat, wajah kekuasaan, wajah masing-masing diri kita! Becermin pada jalan raya, saatnya kita memperbaiki diri. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY

Menimbang Pendidikan Profetik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 15 Juli 2010

Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengemukakan suatu tatanan masyarakat apik. Masyarakat apik yang dituturkan presiden pertama Republik Indonesia itu adalah masyarakat Madinah pascahijrahnya Muhammad SAW dari Mekah. Sejarah pun mengakui bahwa masyarakat Madinah di masa tokoh yang oleh Michael Hart disebut tokoh berpengaruh nomor satu di dunia (baca: Muhammad SAW) ini merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat Madinah yang sering disebut masyarakat Madani merupakan impian setiap cita perjuangan dalam hiruk-pikuk wacana di negeri ini.

Hadirnya masyarakat dengan peradaban tinggi di bumi Madinah pastinya tidak dicapai seketika. Ada proses pendidikan yang telah dilakukan Muhammad SAW pada saat itu untuk menempa generasi terbaik dalam lintasan sejarah. Bung Karno menuturkan, “Bahannya yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak; yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang diwahyukan di Makkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid…”. Dari penuturan Bung Karno, pembentukan masyarakat Madinah pada dasarnya telah diawali ketika di Mekah. Individu manusia yang merupakan pilar pembentukan masyarakat adalah individu manusia yang percaya kepada Allah yang satu, memiliki keteguhan iman, memiliki kesucian akhlak, dan memiliki keluhuran budi.

Bung Karno melanjutkan, “…tauhid, percaya kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut pada azabnya neraka, lezatnya ganjaran surga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umumnya, dan fundamen ruhaninya perjuangan serta masyarakat Madinah kelak…” Pada titik ini, apa yang dituturkan Bung Karno menandakan satu hal penting bahwa pembentukan suatu tatanan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pendidikan berbasis rohani. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan yang berlandaskan keimanan merupakan keniscayaan dalam membangun masyarakat Indonesia .
Secara implisit, apa yang dituturkan Bung Karno di atas menegaskan suatu paradigma pendidikan yang tidak meninggalkan dimensi transendensi. Bung Karno juga seolah-olah mengajak kita menghayati proses pembangunan masyarakat dalam spirit profetik (kenabian). Pendidikan profetik menjadi kunci membangun cita-cita peradaban dan tatanan masyarakat. Mengacu konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, transendensi merupakan salah satu dimensi yang berkesatuan dengan dimensi humanisasi dan liberasi. Dengan kata lain, humanisasi, liberasi, dan transendensi merupakan tiga dimensi dalam pendidikan profetik yang mengarahkan perubahan atas masyarakat. Yang perlu dicatat, dari tiga dimensi itu, transendensi merupakan landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan agar manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan.

Dalam hal ini, pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006). Pendidikan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu meneruskan tugas suci sebagai makhluk Tuhan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti individu manusia yang ditempa dalam pendidikan profetik akan menjadi Nabi, namun individu manusia ditempa pola pikir, sikap, dan perilakunya untuk siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak para Nabi dalam membangun kehidupan. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Individu manusia melalui pendidikan profetik akan siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Melalui pendidikan profetik, individu manusia menyadari dan melaksanakan tugasnya untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya.

Dalam proses membangun individu manusia, pendidikan profetik mencakup pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur. Dengan pendidikan profetik, individu manusia mampu memahami perbedaan dengan spirit toleransi. Pendidikan profetik akan mampu seperti pernah diutarakan Driyarkara (1980) untuk mengangkat manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan profetik akan mampu seperti Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi.

Individu manusia yang ditempa melalui pendidikan profetik diarahkan menjadi individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki daya jasmani, luas wawasan berpikirnya, mampu memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal berguna, dan berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat. Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia

Di Angkutan Umum, Enaknya Ngapain?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Senin 12 Juli 2010

Apa yang kita lakukan ketika berada di angkutan umum? Banyak hal. Mungkin kita memandangi dunia luar di balik kaca, mungkin pikiran kita melayang, atau mungkin kita berpikir. Asalkan positif tak jadi masalah. Tak ada rumus baku apa yang harus kita lakukan selama dalam perjalanan di angkutan umum. Lain kita, lain pula orang lain. Pun, ada kisah menarik dituturkan seorang laki-laki dari Bekasi dalam rubrik Kiat, Majalah Tarbawi edisi 197, 19 Februari 2009.

Laki-laki itu menempuh perjalanan sejauh sekitar 40 kilometer dari rumah ke kantor. Apa yang dilakukan laki-laki—bernama Ridha—itu ketika naik angkutan umum yang bisa berganti sebanyak empat kali untuk sampai ke kantor? Ia memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Jika bukan itu, ia melihat hiruk-pikuk jalanan melalui kaca jendela angkutan umum. Kadang yang ia lakukan adalah melanjutkan tidur dan melepas kelelahan usai bekerja. Ia juga sering kali mengalami kebosanan, bahkan sedikit stress melihat jalanan macet.
Lain kita, lain Ridha. Ia justru merasakan harus ada kebiasaan yang diubah dalam perjalanan. Menurutnya, ada waktu yang berlalu tanpa makna jika hanya melakukan seperti disebutkan di atas. Ia pun bertekad untuk mengubah kebiasaan dalam perjalanan dengan MEMBACA. Target pun dibuat bahwa ia harus dapat menyelesaikan membaca satu buku atau jurnal dalam beberapa hari ketika berada di angkutan umum. Entah, berapa hari tepatnya untuk selesai satu buku atau jurnal, namun ia serius membuat kebiasaan baru. Meskipun pada awalnya tak bisa fokus membaca karena suara-suara yang terdengar, ia akhirnya bisa tetap fokus membaca di tengah keramaian. Dengan tekad dan komitmen yang ia miliki, membaca di angkutan umum menjadi kebiasaan.

Berikut penuturannya, “Sekarang, saya selalu mempersiapkan bahan bacaan selama dalam perjalanan kemana pun saya bepergian. Setiap detik waktu sangatlah berharga, dan waktu itu tak akan pernah kembali.”

Lain Ridha, lain kita. Ada hal positif lainnya yang bisa kita lakukan selama dalam perjalanan di angkutan umum. Apa yang kita lakukan? Jika belum melakukan hal positif, maka aku, kamu, dan kita hanya harus memulai. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Pelajar dan Kebiasaan Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Selasa 6 Juli 2010

BETAPA menggembirakan ketika menyaksikan siswa-siswa pelajar berkunjung ke perpustakaan. Tidak sekadar di perpustakaan sekolah, tapi juga mengunjungi perpustakaan kota/kabupaten dan perpustakaan daerah. Mereka mendaftar dan kemudian menjadi anggota perpustakaan. Di luar jam pelajaran sekolah, mereka begitu asyik mencari buku dan mencoba membacanya.

Fenomena tersebut patut kita syukuri. Kesadaran membaca dengan mengunjungi perpustakaan boleh jadi membutuhkan penanaman sikap dan perilaku. Tak banyak pelajar yang membiasakan diri berkunjung ke perpustakaan. Kadangkala pelajar itu datang ke perpustakaan dengan gurunya.

Yang jelas, kebiasaan membaca adalah perilaku positif yang semestinya bisa terinternalisasi pada diri pelajar. Perlu ditanamkan pada pelajar akan pentingnya membaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Buku atau bahan bacaan tidak sekadar menguatkan sisi intelektual, tapi juga dapat mengasah sisi afektif dan nurani pelajar. Amat berbeda perilaku pelajar yang suka membaca dengan pelajar yang tidak suka membaca. Kedewasaan berpikir dan bertindak salah satunya terbentuk dari kebiasaan membaca. Tentunya, membaca bahan bacaan yang bergizi.
Menjadi tugas guru agar bisa menyemangati pelajar untuk senang membaca. Membaca adalah hal positif. Tidak hanya membaca buku-buku teks pelajaran, tapi juga membaca buku-buku lainnya. Pelajar bisa mengatur waktunya selama 24 jam sehari. Dari 24 jam itu, pelajar bisa menjadwal kegiatan membaca, misalnya sehari membaca 1-3 jam. Pelajar tentu masih bisa bersosialisasi dengan masyarakat. Ada waktu yang digunakan untuk mengkaji dan membaca buku-buku pelajaran sekolah, ada waktu yang dialokasikan untuk membaca buku dan bahan bacaan di luar mata pelajaran sekolah.

Kebiasaan membaca yang telah tertanam tentu akan berdampak baik. Membaca bahan bacaan dan buku tentu lebih bermanfaat bagi pelajar ketimbang waktunya dihabiskan di depan televisi yang cenderung kurang edukatif. Ada wawasan didapatkan, ada pengetahuan diperoleh, bahkan ada kebijaksanaan yang tertanam melalui buku-buku yang dibaca. Ada tugas penting agar perpustakaan menjadi tempat tamasya mengasyikkan bagi pelajar. Di rumah, orang tua juga memberi teladan membaca. Wallahu a’lam.

Hendra Sugiantoro
UNY Karangmalang Yogyakarta 55281