Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Senin, 24 Oktober 2011
Kekerasan di kalangan pelajar selalu memunculkan keprihatinan. Beberapa waktu lalu, sebagian siswa SMP Mataram, Ambarbinangun, Kasihan, menyerang SMP PGRI, Sonopakis, Kasihan, Bantul. Perusakan dilakukan sebagian siswa itu (Harian Jogja, Sabtu, 22/10). Akar permasalahan kasus tersebut perlu diselidiki dan diselesaikan agar tidak menjadi konflik di kemudian hari.
Berdasarkan sebuah teori psikologi, pelajar yang berada pada masa remaja dikatakan sedang membentuk identitas dirinya. Proses pencarian identitas diri disebut dengan krisis identitas. Menurut Erikson, krisis identitas adalah tahap untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-permasalahan penting yang berkaitan dengan pertanyaan tentang identitas dirinya (Adijanti Marheni:2004). Krisis identitas yang dialami remaja ada yang berjalan baik, ada yang kurang baik.
Dalam pembentukan identitas diri, ada pelajar yang cepat melewati krisis identitasnya dan ada pula yang lambat, bahkan ada kemungkinan mengalami kegagalan. Maka, tidaklah heran apabila ada pelajar yang berperilaku mulia dan pelajar yang “menyalahi norma” dalam usia tak jauh berbeda. Ditinjau dari status pembentukan identitas, pelajar yang melakukan kekerasan mungkin berada dalam diffussion status berdasarkan teori Erikson. Maksud status ini adalah suatu keadaan di mana remaja kehilangan arah, tidak melakukan eksplorasi, dan tidak memiliki komitmen terhadap peran-peran tertentu, sehingga tak dapat menemukan identitas dirinya. Mereka akan mudah menghindari persoalan dan cenderung mencari pemuasan dengan segera. Diffussion status kerap dialami oleh remaja yang ditolak dan tak mendapatkan perhatian. Mereka cenderung akan melakukan hal-hal yang tak dapat diterima masyarakat, seperti mabuk-mabukan dan penyalahgunaan obat sebagai cara menghindari tanggung jawab (Adijanti Marheni:2004). Pelajar yang melakukan kekerasaan dimungkinkan berada dalam status tersebut.
Pelajar yang melakukan kekerasan bisa karena faktor lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, masyarakat, media massa atau faktor lainnya. Maka, masing-masing pihak harapannya melakukan evaluasi. Tak hanya pihak sekolah, berbagai pihak bertanggung jawab untuk memuluskan pelajar membentuk identitas dirinya. Kita berharap pelajar memiliki komitmen dan menginternalisasikan sistem nilai positif dalam dirinya. Wallahu a’lam.