Pentingnya Pendidikan Transformatif

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 30 Juli 2009
Judul Buku :
Pendidikan Kritis Transformatif Penulis : Muhammad Karim Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2009 Tebal : 284 hlm
Telah banyak buku-buku diterbitkan yang berbicara tentang pendidikan pembebasan, pendidikan yang memerdekakan, pendidikan bermazhab kritis ataupun yang berkaitan dengan itu. Nilai dasar yang hendak dibangun dari pendidikan bermazhab kritis di antaranya adalah proses pendidikan yang mampu memberdayakan insan pendidikan sebagai subyek kehidupan. Buku ini setidaknya melengkapi buku-buku lainnya yang bernada serupa meskipun tidak otomatis memiliki kesamaan.

Dalam buku ini, kritik atau problematisasi terhadap modernisme pendidikan coba dilakukan. Kelemahan dan ketidakbaikan filsafat modern dari rasionalisme, empirisme, dan positivisme, bahkan saintisme dipaparkan yang sedikit banyak berdampak pada proses pendidikan yang dijalani selama ini. Selain membahas dampak nalar pendidikan modern terhadap dunia pendidikan secara umum, penulis buku juga membahas dampaknya terhadap pendidikan Islam. Dikatakan penulis buku, Muhammad Karim, bahwa Barat telah memiliki sejarah keilmuan yang memposisikan akal sebagai pondasi dasar dalam membangun peradaban mereka. Corak peradaban yang mereka bangun pada akhirnya berbentuk distandarisasikannya segala hal yang dianggap ilmiah dan tidak ilmiah sehingga ada semacam sistem yang harus dilalui oleh seseorang yang karyanya ingin dianggap ilmiah. Standarisasi pengetahuan pada akhirnya membuat adanya status quo dalam pengetahuan dan adanya dogmatisasi ajaran sehingga terkesan rasio manusia hanya sekadar menjalankan sistem ilmiah yang telah dibuat sebelumnya. Pemisahan antara bidang sakral dengan bidang dunia dalam dunia pendidikan adalah salah satu efek dari nalar pendidikan modern.

Dengan pendekatan kritik terhadap filsafat modern, penulis buku memformulasikan pendidikan kritis transformatif dengan menjadikan mazhab kritis dan postmodern sebagai landasan teoritis. Penggunaan mazhab kritis dan postmodern untuk merekonstruksi pendidikan hanya sebagai pijakan awal, bukan hal yang substansial guna menghantarkan bangsa ini kepada kemandirian dan kemerdekaan sebagai bangsa yang bersanding dengan bangsa lainnya. Dikatakan penulis buku, penggunaan mazhab kritis dan postmodern dirasa sesuai dengan kepentingan kita sebagai bangsa. Selain memaparkan landasan historis dan filosofis pendidikan kritis transformatif, penulis dalam buku ini menjelaskan landasan yuridisnya yang termaktub UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Penulis juga menjelaskan implikasi pendidikan kritis transformatif dalam pendidikan Islam. Dijelaskan penulis buku, pendidikan kritis transformatif bermanfaat untuk terbentuknya satu kehidupan yang berkeadilan, mandiri, tidak ada ketergantungan kepada pihak lain, keberpihakan kepada pihak yang lemah, dan semacamnya. Bagi peserta didik, manfaat pendidikan kritis transformatif adalah menyiapkan bekal dalam menghadapi dan memecahkan problem hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat maupun sebagai warga negara. Pendidikan kritis transformatif merupakan pendidikan yang memberdayakan dan mengajak keterlibatan peserta didik pada kehidupan. Dari keterlibatan itu, peserta didik mampu membangun kehidupan sesuai dengan konsep dan cita-cita ideal.

Bagaimana pun, buku ini masih bisa dikaji dan ditelaah ulang. Maka, hadirnya buku ini semakin menambah dialektika mengenai sistem pendidikan yang dipraktikkan di Indonesia.
Hendra Sugiantoro
Peresensi bergiat pada Transform Institute Yogyakarta

Guru Besar pun “Turun Gunung”

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Rabu 29 Juli 2009

Setelah direncanakan jauh-jauh hari, program Profesor Masuk ke Sekolah (PMS) akhirnya di-launching pada Kamis (23/7) lalu di Yogyakarta. Program ini tentu merupakan langkah inovatif. Ada sekitar 60 profesor/guru besar dari berbagai bidang ilmu yang sudah siap mengajar secara sukarela di sekolah dari jenjang SD, SMP sampai SMA pada tahap awal peluncuran program ini.

Adanya program PMS ini sudah barang tentu bukan hal baru. Di luar negeri, program PMS sudah biasa diterapkan. Munculnya PMS merupakan inisiatif Gubernur DIY Sri Sultan HB X yang menyaksikan hubungan dekat profesor dengan sekolah di Jepang. Berdasarkan catatan, kemajuan pendidikan di Jerman juga tak terlepas dari kedekatan profesor dengan sekolah. Dikatakan BJ Habibie, profesor di Jerman mau mengajar di tingkat pendidikan dasar. Ki Supriyoko (2009) pernah menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Taipei Vocational School pada 1990-an bahwa di sekolah menengah kejuruan itu terdapat 6 orang doktor dan 2 profesor yang mengajar.

Meskipun di luar negeri sudah biasa diterapkan, dunia pendidikan Yogyakarta dengan program PMS ini setidaknya berani mengawali langkah agar guru besar di perguruan tinggi tidak semata berdiam di kampus, tapi juga berbagi ilmu pengetahuan dan wawasan di jenjang pendidikan bawahnya. Disamping itu, dunia pendidikan Yogyakarta juga diharapkan semakin berkualitas. Profesor yang nantinya mengajar di sekolah akan berbagi wawasan dan ilmu pengetahuan yang mungkin belum didapatkan guru di sekolah. Dengan demikian, kapasitas keilmuan guru di sekolah semakin bertambah. Para siswa yang sehari-hari berinteraksi dengan guru-guru pastinya menemukan wajah pembelajaran baru dengan program PMS ini. Tidak hanya menjalin interaksi pembelajaran dengan guru, siswa juga berinteraksi dengan sosok guru besar perguruan tinggi. Seperti dituturkan Sri Sultan HB X saat peluncuran program PMS bahwa kehadiran guru besar bersama guru di sekolah diharapkan dapat memberikan pencerahan dan meningkatkan kualitas siswa.

Belajar Berinteraksi
Meskipun idealisme perlu dimiliki, namun pelaksanaan program ini bukannya tanpa tantangan. Pola pembelajaran di perguruan tinggi yang berbeda dengan pola pembelajaran di sekolah harus dimengerti guru besar sehingga mampu menjalin interaksi yang komunikatif dengan siswa. Para guru besar yang terjun di sekolah tentu tidak bisa menerapkan penyampaian materi seperti model seminar atau perkuliahan karena perbedaan karakteristik antara mahasiswa dan siswa di sekolah. Dengan terjun di sekolah, guru besar sebenarnya juga belajar berinteraksi dengan siswa agar penyampaian materi dapat benar-benar dipahami dan diresapi. Dalam mengajar siswa, guru besar tentu perlu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan menghindari istilah-istilah ilmiah yang masih asing di telinga siswa. Pola pembelajaran partisipatif dari guru besar diharapkan terjadi dimana siswa diposisikan sebagai mitra belajar. Pada titik ini, guru besar juga melakukan semacam pembelajaran bagi guru dalam pola interaksi belajar mengajar. Tidak dimungkiri jika pembelajaran di sekolah masih kurang melibatkan siswa secara aktif dengan penyampaian materi yang monoton dari guru. Harapannya, guru di sekolah bisa belajar dari guru besar terkait pola pembelajaran yang interaktif dan menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran.

Secara kapasitas keilmuan, guru besar pastinya tidak diragukan. Penghargaan layak ditujukan kepada guru besar yang bersedia ”turun gunung” ke sekolah-sekolah. Persoalannya sebagaimana diutarakan di muka bahwa pola pembelajaran perlu menyesuaikan dengan karakteristik siswa yang bukan mahasiswa sehingga ilmu pengetahuan yang disampaikan bisa berjalan efektif. Di sisi lain, guru besar bisa melakukan pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi riil sekolah-sekolah. Jika selama ini guru besar terkesan ada jarak dengan sekolah, maka program PMS akan mendekatkan guru besar dengan sekolah. Dikatakan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi DIY Prof Dr Suwarsih Madya bahwa proses saling belajar antara profesor dengan sekolah diharapkan terjadi melalui program PMS sehingga para profesor tidak merasa ilmunya begitu tinggi dan menganggap remeh ilmu yang diajarkan di sekolah.

Membentuk Karakter
Hal lain yang seyogianya diperhatikan, program ini tidak sekadar memberikan asupan ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tapi juga membentuk karakter peserta didik. Para guru besar yang mengajar di sekolah perlu menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik sehingga pembelajaran semakin bermakna. Dengan turunnya guru besar di sekolah, keberhasilan tidak hanya diukur secara materi, tapi juga sebaliknya. Mungkin ada target capaian yang hendak dituju seperti kemampuan peserta didik menguasai bidang ilmu sehingga berhasil dalam studi dan mendapatkan prestasi akedemis membanggakan, namun capaian imaterial tidak boleh diabaikan.

Dengan kehadiran guru besar di sekolah, pendidikan nilai-nilai seyogianya ditanamkan. Budaya belajar di lingkungan sekolah yang mulai menipis belakangan ini diharapkan bisa dibangkitkan kembali. Profesor yang merupakan jabatan akademik di perguruan tinggi perlu juga belajar dari guru-guru di sekolah. Boleh jadi guru-guru di sekolah memiliki pengalaman berharga karena intensitas keterlibatannya di jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas. Temuan-temuan inovatif bagi dunia pendidikan mungkin saja muncul dari perjumpaan guru besar dengan kondisi riil sekolah. Pastinya, program PMS yang pertama kali diterapkan di Yogyakarta perlu dilakukan evaluasi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada agar bisa berjalan baik.

Singkat kata, profesor/guru besar memang diharapkan ”turun gunung” alias tidak melulu suntuk di kampus. Selain memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah, profesor berkewajiban menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang perlu sentuhan profesor. Tidak hanya di Yogyakarta, kota lain kapan menyusul? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Redaktur Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=74350

Sudahkah Anak-anak Gemar Membaca?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pendapat Guru Kedaulatan Rakyat, Kamis, 23 Juli 2009
HAMPIR selalu diperbincangkan bahwa kegemaran membaca masyarakat di negeri ini belum menggembirakan. Disadari atau tidak, rendahnya budaya membaca masyarakat tidak terlepas dari kebiasaan yang ditumbuhkan sejak kecil. Pada titik ini, kita bisa melihat seberapa besar budaya membaca ditumbuhkan kepada anak-anak sejak di bangku sekolah, bahkan dari lingkungan keluarga.

Mungkin kita bisa mengatakan bahwa penanaman budaya membaca bagi anak-anak seusia sekolah begitu minim. Ada beragam faktor yang seringkali dikatakan, seperti perpustakaan sekolah yang kurang menunjang dengan persediaan buku terbatas. Faktor lainnya, orangtua yang memang tidak membiasakan anak-anaknya gemar membaca. Tontonan televisi seringkali lebih dominan dalam lingkungan keluarga, sehingga anak-anak di rumah jauh dari kegiatan membaca.

Terkait perpustakaan sekolah, upaya tentu saja perlu terus dilakukan agar perpustakaan sekolah benar-benar berdaya guna bagi pengembangan kemampuan membaca anak-anak sekolah.Iktikad pihak sekolah bersama pemerintah untuk mengembangkan perpustakaan sekolah sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan wawasan perlu mendapatkan dukungan.

Sebagaimana diutarakan di atas, pembiasaan membaca sejak kecil tidak bisa diabaikan. Orangtua sebenarnya memiliki peran penting menjadikan anaknya gemar membaca. Bahkan, orangtua perlu menanamkan kegemaran membaca anak-anak sejak dalam kandungan. Meskipun anak belum lahir, orangtua bisa membacakan bahan bacaan. Membacakan bahan bacaan sejak dari kandungan sampai anak-anak menginjak bangku TK memiliki dampak baik bagi pembentukan kemampuan membaca.

Kita mungkin bisa membayangkan seberapa banyak kosakata bisa dikuasai anak-anak sebelum duduk di kelas 1 SD. Dari penelitian disebutkan bahwa 4.000 - 12.000 kosakata baru bisa didapatkan seorang anak dalam satu tahun melalui buku-buku yang dibacakan untuknya. Betapa luar biasanya. Artinya, anak-anak memiliki sekitar 24.000 - 72.000 kosakata ketika menginjak sekitar usia 6 tahun.

Dengan demikian, peran keluarga dalam menumbuhkan kegemaran membaca begitu penting. Penyediaan bahan bacaan di rumah sesuai tingkat perkembangan dan usia anak tentu saja perlu dilakukan orangtua. Hal ini selaras dengan UU No 43/2007 pasal 48 yang menyebutkan bahwa tidak hanya satuan pendidikan dan masyarakat yang bertanggung jawab terhadap pembudayaan kegemaran membaca, tapi juga pihak keluarga.
Kegemaran membaca anak-anak yang tertanam di rumah perlu terus dikuatkan ketika duduk di bangku sekolah. Selain menambah pengetahuan dan wawasan, budaya membaca memiliki beragam manfaat seperti memperluas cakrawala berpikir dan meningkatkan kepercayaan diri anak-anak. Bahkan, anak-anak yang memiliki kemampuan membaca tinggi cenderung tidak berlaku agresif dan menjadi pribadi yang santun dan kalem. Ada kecenderungan anak-anak yang kemampuan membacanya rendah semakin mudah frustrasi. Sebagaimana dikatakan Sarah Miles dan Deborah Stipek, bahwa anak-anak kelas 1 SD yang rendah kemampuan membacanya cenderung tinggi agresivitasnya saat kelas 3 SD. Anak-anak kelas 3 SD yang kemampuan membacanya rendah cenderung memiliki sikap agresif saat kelas 5 SD.

Apa yang dikatakan Sarah Miles dan Deborah Stipek tampaknya bisa menjadi perenungan. Dari 1996 sampai 2002, Sarah Miles dan Deborah meneliti dan mengikuti perkembangan 400 anak TK dan SD di pedesaan dan wilayah kota miskin di AS. Dalam penelitian selama 6 tahun ditemukan keterkaitan antara kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian itu, sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, yakni suka berkelahi, tidak sabaran, suka mengganggu dan kebiasaan menekan anak lain/bullying (H Witdarmono: 2006). Pada simpul ini, maraknya kasus bullying, tawuran pelajar, kenakalan remaja dan semacamnya bisa diredam dengan menumbuhkan kemampuan membaca anak-anak sejak dini.
Intinya, kegemaran membaca perlu ditumbuhkan sejak dini. Dengan pembudayaan membaca sejak dini, kelak akan tercipta masyarakat yang membaca. Masyarakat yang gemar membaca dengan sendirinya akan membangun peradaban. Wallahu a’lam. q - g
*) Penulis, Pustakawan El-pena Yogyakarta,
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=202720&actmenu=43

Menelusuri Jejak Hidup Hatta

Oleh HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu 19 Juli 2009

Judul Buku: Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980 Penulis: Salman Alfarizi Penerbit: Garasi, Ar-Ruzz Media Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2009 Tebal: 244 halaman Harga: Rp.35.000,00
Begitu banyak tokoh-tokoh bangsa yang lahir di negeri ini. Tokoh-tokoh bangsa itu tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tapi mengambil tanggung jawab sejarah memikirkan dan berjuang untuk bangsanya. Di antara banyaknya tokoh bangsa itu, kita bisa menyebut Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia. Hatta merupakan tokoh bangsa yang berperan dan memberikan kontribusi sejak zaman prakemerdekaan. Dari sosok Hatta, kita bisa mengambil keteladanan. Hatta dikenal sebagai sosok teguh, jujur, bersih, dan antikorupsi.

Dalam buku yang ditulis Salman Alfarizi berjudul Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980 ini, kita bisa menelusuri kehidupan Hatta yang dilahirkan di Bukit Tinggi pada 12 Agustus 1902. Ayah Hatta bernama Haji Mohammad Djamil dan ibunya bernama Siti Saleha. Hatta kecil memang telah ditempa untuk memiliki karakter dan sikap mental yang kuat. Pada usia 5 tahun, Hatta sudah bisa membaca-menulis dan mulai bersekolah di Sekolah Rakyat saat berusia 6 tahun sampai tahun ketiga. Karena kepintaran dan dapat berbahasa Belanda dengan baik, Hatta pindah ke Europese Lagere School (ELS) di Bukit Tinggi. Setamat ELS pada 1916, ia melanjutkan pendidikannnya di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Padang. Hatta dapat dengan mudah mengikuti pelajaran sekolah karena ia rajin mengulang pelajaran dan sangat gemar membaca. Kebiasaan membaca bagi Hatta memang luar biasa. Perkenalan Hatta dengan buku secara formal adalah ketika duduk sebagai siswa sekolah menengah dagang di Batavia dimana kerabat orang tuanya membawa ia ke toko buku dan membelikannya tiga buku: Staathuishoudkunde 2 jilid, De Socialisten 6 jilid, dan Het Jaar 2000. Kata Hatta, ketiga buku itu yang bermula dimiliki dan menjadi dasar perpustakaannya.

Kegemaran Hatta membaca buku memang patut diteladani. Saat kuliah di Belanda, kegiatan mengumpulkan buku dan membacanya terus-menerus dilakukan. Betapa menyatunya Hatta dengan buku sehingga tidak mengherankan jika Hatta membawa 16 peti berisi buku saat pulang ke Indonesia seusai kuliah di Belanda. Kebiasaan membaca Hatta ini tak mengenal mati meskipun beberapa kali harus keluar masuk penjara. Bahkan, hadiah pengantin Hatta kepada Rahmi Rachim saat pernikahan adalah sebuah buku yang baru selesai ditulisnya, yaitu Alam Pikiran Yunani. Yang menarik, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada usia 43 tahun, tepatnya pada 18 November 1945. Hatta memang pernah bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Pernikahannya itupun karena dijodohkan oleh Soekarno. Rahmi Rachim yang saat menikah dengan Hatta berusia 19 tahun adalah putri sulung Abdul Rachim, teman Soekarno. Selain membaca, Hatta juga menjadi penulis. Karya pertama Hatta dimuat di majalah Jong Sumatra pada 1920 dengan judul ”Namaku Hindania!”. Banyak tulisan yang telah dihasilkan Hatta yang sedikit banyak mencerminkan pemikiran-pemikirannya yang juga diutarakan dalam buku ini, seperti pemikiran Hatta tentang kebangsaan, hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi kerakyatan, hubungan Islam dan politik, dan politik luar negeri. Dijelaskan dalam buku ini, Hatta dalam kiprahnya sebagai pejabat negara selalu menekankan pentingnya demokrasi ekonomi kerakyatan yang berbasis pada koperasi, pendidikan politik dan politik luar negeri yang bebas aktif. Pergolakan intelektual Hatta sebagai pemimpin bagi rakyatnya tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945. Penegasan akan isi dari pasal tersebut disajikan dalam sebuah tulisan Ekonomi Indonesia di Masa Depan yang merupakan penafsiran asli dari Pasal 33 UUD 1945 secara yuridis-historis. Tulisan itu merupakan pidato Hatta sebagai wakil presiden yang disampaikan saat Konferensi Ekonomi Indonesia di Yogyakarta pada 1946.

Meskipun hanya biografi singkat, buku yang ditulis Salman Alfarizi ini bisa dikatakan merangkum hal-hal yang substansial dari sosok dan pemikiran Hatta. Riwayat organisasi Hatta juga dipaparkan dalam buku ini dimana tampak kepedulian Hatta terhadap kemerdekaan dan kemajuan negeri ini. Dengan buku ini, sebagaimana dikatakan Salman Alfarizi, harapannya bisa menggugah siapa pun untuk berkarya bagi negeri ini. Semangat hidup, cara bekerja, kesederhanaan, dan juga kejujuran Hatta tentu bisa dijadikan teladan.
Hendra Sugiantoro
Penggiat Komunitas El-Pena Yogyakarta

Anak Jalanan di Kota Pelajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Sabtu 18 Juli 2009

SEBERAPA sering kita melintasi jalan-jalan di kota Yogyakarta , begitu sering kita menyaksikan anak-anak kecil yang berpanas-panas ria. Tidak hanya di siang hari, di pagi hari pun kadang mereka menampakkan wajah welas-nya. Di perempatan jalan, kita sering kali melihat keberadaan anak-anak kecil yang mencoba mengais nafkah. Di antara mereka ada yang meminta-minta, mengelap kendaraan tanpa diminta, ataupun menjual koran. Malah sering kali mereka juga bersama orang tuanya. Meskipun hampir dijumpai di setiap kota , fenomena anak jalanan di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar tentu perlu mendapatkan perhatian seksama.

Siapapun pasti memahami bahwa anak merupakan sosok manusia yang memiliki hari depan yang panjang. Anak yang dilahirkan tentu memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ruang kondusif bagi tumbuh kembang anak adalah keniscayaan. Orang tua sekaligus masyarakat sekitar tak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan ruang tumbuh kembang secara kondusif sehingga anak dapat melewati perjalanan hidupnya dengan perhatian seksama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak sesuai tahapan perkembangan jelas tak terelakkan.

Namun demikian, ruang tumbuh berkembang anak menjadi memprihatinkan dengan fenomena yang sering kali terlihat di berbagai perempatan jalan di kota Yogyakarta . Boleh jadi perasaan hati kita begitu iba ketika seorang anak yang usianya setingkat sekolah dasar rela berpanas-panas di jalan. Lebih-lebih seorang anak kecil perempuan yang boleh jadi melakukan pekerjaan di jalan tak sesuai dengan keinginan hatinya. Ya, itulah fakta yang masih terjadi di kota Yogyakarta . Pertanyaannya, layakkah jika anak-anak kecil itu “berkeliaran” di jalan dan bekerja?

Persoalan anak yang dipekerjakan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Menjelang abad 20, misalnya, pekerja anak di Indonesia sudah bermunculan ketika penjajah Belanda mulai mengembangkan sektor perkebunan dan industri gula modern. Pekerja anak terus bertambah seiring perkembangan zaman dan ketidakmerataan kemakmuran ekonomi penduduk. Biasanya keluarga miskin mengambil jalan keluar untuk mengikutsertakan anak dalam usaha pencarian nafkah. Bahkan, dalam komunitas masyarakat tertentu, anak yang diikutkan sebagai bagian dari sumber ekonomi keluarga sudah dianggap wajar. Dalam studinya, Koentjraningrat (1969) menyebutkan bahwa anak berusia 8 tahun yang membantu orang tua mencari nafkah adalah hal biasa, terutama di wilayah pedesaan.

Pastinya, istilah anak yang bekerja dan pekerja anak perlu diberi garis pembeda. Pekerja anak lebih berkonotasi eksploitatif. Ukuran usia anak di sini adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun (UU Perlindungan Anak No 23/2002). Anak boleh saja melakukan pekerjaan di rumah untuk membantu orang tua dalam upaya mengembangkan kepribadian dan ketrampilan hidup asalkan orangtua tidak terlalu mengeksploitasi anak. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Anak sekolah menengah kejuruan yang berusia sekitar 15-18 tahun boleh bekerja di sebuah instansi untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan bidang jurusannya. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa anak paling sedikit berusia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Meskipun boleh saja bekerja, ada persyaratan yang juga perlu diperhatikan, yakni anak diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Dengan demikian, persoalan anak yang bekerja sebenarnya tidak hitam putih. Artinya, anak boleh saja bekerja, tapi tetap ada garis batasnya. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan anak-anak yang sering kali melakukan pekerjaan di perempatan jalan di kota pelajar Yogyakarta ? Anak-anak yang meminta-minta, menjual koran, ikut orang tuanya mencari nafkah.

Yang jelas, anak-anak seusia mereka semestinya dihindarkan dari beban pekerjaan seperti itu. Mereka seharusnya dapat mengenyam kehidupan yang selayaknya sekaligus mendapatkan pendidikan yang memadai. Anak-anak berhak memperoleh perlindungan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selain itu, anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas anak-anak yang saban hari “berkeliaran” di jalan mengalami ruang aktualisasi yang terhambat. Anak-anak tentu saja perlu mendapatkan perlindungan dari setiap eksploitasi meskipun dengan alasan faktor ekonomi keluarga sekalipun.

Sesuai Pasal 66 UU Perlindungan Anak, anak yang mendapatkan perlakuan eksploitasi ekonomi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Boleh jadi kenyataan adanya anak yang hidup di jalanan di kota Yogyakarta akibat kondisi keluarga yang terhimpit secara ekonomi (atau mungkin kemiskinan kultural). Karenanya, pemerintah provinsi DIY maupun pemerintah kota Yogyakarta harus bertindak nyata.

Di sisi lain, masyarakat Yogyakarta tidak bisa bersikap abai menyaksikan anak-anak jalanan. Tak dimungkiri ada masyarakat yang mendiamkan saja ketika anak-anak tetangganya hidup menggelandang dan menjadi pengemis. Maka, tanggung jawab sosial masyarakat menjadi keniscayaan sehingga ikut mengatasi permasalahan anak-anak jalanan. Amat tidak manusiawi jika ada anak-anak kecil yang hidup mengemis dan menggelandang di jalanan, tapi masyarakat yang kadang adalah tetangganya sendiri malah tidak malu. Jika turunnya anak-anak di jalanan akibat kemiskinan, tentu saja dalam satu kampung tidak semuanya miskin. Kenapa yang kaya tidak mengentaskan beban tetangganya yang miskin? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta

Pilpres Buruk Jika Pelanggaran Dilupakan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Kritis Mengawal Hasil Pilpres" Harian Seputar Indonesia,Jum'at 17 Juli 2009

SUKSESI kepemimpinan nasional telah dilakukan di negeri ini lewat mekanisme prosedural pemilihan umum setiap lima tahun. Dari hasil penghitungan suara versi quick count dapat terlihat salah satu pasangan unggul mutlak dibandingkan dua pasangan lainnya. Sejak proses Pilpres dari deklarasi pasangan, kampanye, dan pemungutan suara, masyarakat telah menjadi saksi sejarah pelaksanaan Pilpres untuk menghadirkan pemimpin nasional lima tahun mendatang.

Dengan melihat hasil penghitungan suara versi quick count, kita memang bisa memastikan siapa pemenang Pilpres 2009. Namun demikian, Pilpres belumlah selesai. Aturan perundang-undangan menyebutkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki hak otoritatif mengumumkan hasil penghitungan suara secara resmi dan menetapkan presiden-wakil presiden terpilih. Maka, siapa pun perlu menunggu seperti apa perolehan suara masing-masing pasangan presiden-wakil presiden yang diumumkan KPU.

Pada titik ini, kita seyogianya bisa berpikir jernih. Ada beberapa koreksi yang layak diajukan ketika sebagian media massa justru berani membuat pernyataan presiden terpilih. Apa yang dilakukan media massa itu memang tidaklah salah, namun menunjukkan ketidakpatuhan pada mekanisme yang berlaku. Bahkan, pada hari pemungutan suara telah terjadi pelanggaran aturan ketika hasil quick count ditayang sebelum pemungutan suara selesai. Anehnya, tidak seluruh media massa terutama televisi meminta maaf terkait apa yang telah dilakukan. Media massa seakan-akan merasa hebat dan paling benar meskipun harus menabrak aturan. Hal ini bukan berarti tidak menghargai hasil quick count, namun mengajak siapa pun untuk taat pada aturan. Kecurangan dan pelanggaran juga dapat terlihat saat hari pemungutan suara di berbagai tempat.

Diakui atau tidak, kecenderungan mengabaikan setiap kecurangan dan pelanggaran memang begitu kentara. Siapa pun memang berhak mengapresiasi pelaksanaan Pilpres, namun janganlah melupakan setiap kecurangan dan pelanggaran yang terjadi. Kita seyogianya berpikir arif karena melihat kecurangan dan pelanggaran sebagai hal yang wajar merupakan sikap abai terhadap pembangunan karakter positif bangsa. Di kemudian hari, kecurangan dan pelanggaran bisa berjalan masif karena dianggap biasa tanpa penanganan secara hukum. Apapun hasil Pilpres, kita tidak bisa mengatakan hajatan Pilpres berjalan baik sebelum kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama Pilpres ditangani. Seberapa besar kuantitas dan kualitas kecurangan dan pelanggaran, bangsa ini perlu dibelajarkan untuk hidup tertib, taat aturan, dan berkesadaran hukum! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Pendidikan Sekadar Angka-angka?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Selasa 14 Juli 2009

PENDIDIKAN merupakan aspek penting mengembangkan individu manusia menjadi insan tangguh yang mampu mendayagunakan potensinya. Melalui pendidikan, potensi akal (al-’aql), hati (al-qalb), dan jasad (al-jasad) yang dimiliki individu manusia dikembangkan dan diarahkan menuju kebaikan positif. Pengembangan ketiga potensi dasar itu tentu saja harus berjalan beriringan. Dengan kata lain, pendidikan yang hanya mengutamakan akal saja akan mengakibatkan individu manusia menjadi tidak seimbang.

Dalam hal ini, peserta didik sebagai individu manusia di lingkup sekolah perlu mendapatkan pengembangan keseluruhan potensi. Namun, fakta penyelenggaraan pendidikan nasional dewasa ini justru melupakan aspek hati demi sekadar mengejar target perolehan angka kuantitatif. Dengan bahasa lain, dunia pendidikan sepertinya mendewakan angka-angka sebagai ukuran kualitas. Berhasil atau tidaknya peserta didik ditentukan oleh angka-angka dalam lembaran rapor dan ijazah. Akhirnya guru pun terjebak pada pola-pola mengajar sebatas transfer ilmu pengetahuan dan melupakan pendidikan nilai-nilai. Kondisi ini tidak mutlak kesalahan guru, tapi juga pengaruh dari kebijakan otoritatif kekuasaan yang menjadikan angka-angka kuantitatif sebagai standar keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.

Kebijakan ujian nasional, misalnya, menyebabkan pihak sekolah dan guru berlomba-lomba menjejali peserta didik dengan beragam latihan soal. Makna pendidikan pun tereduksi ketika hanya diartikan menjawab a, b, c, atau d dalam lembaran jawaban. Disadari atau tidak, pola-pola semacam itu tidaklah mengembangkan aspek intelektual peserta didik secara utuh. Peserta didik hanya memahami konsep ilmu dan pengetahuan secara parsial, bahkan tidak memiliki pehamaman yang komprehensif. Kenyataan itu tentu memprihatinkan dan bisa dikatakan sebagai ”keprihatinan kuadrat”. Pertama, keprihatinan karena aspek hati atau pendidikan nilai-nilai kurang diperhatikan. Kedua, keprihatinan karena pengembangan aspek akal atau kemampuan intelektual berjalan tidak mendalam. Akibatnya, keluaran dari dunia pendidikan formal menjadi krisis kemampuan dan nurani.

Apa yang terjadi dalam realitas sosial di negeri ini seharusnya menyadarkan pemangku kepentingan pendidikan untuk melakukan refleksi. Koruptor-koruptor di negeri ini tentu saja pernah mendapatkan mata pelajaran Matematika di bangku sekolah bahwa 10-4=6 bukan 4. Para perusak lingkungan pun telah menempuh mata pelajaran IPA di bangku sekolah bahwa lingkungan harus dipelihara untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Karena proses pendidikan sekadar mengejar perolehan angka kuantitatif, mata pelajaran yang dipelajari di bangku sekolah melupakan pembentukan sikap dan perilaku. Dampaknya, perilaku-perilaku merusak dan tidak konstruktif bagi tatanan kehidupan begitu mengemuka.

Untuk itu, pendidikan harus diorientasikan (kembali) untuk menyeimbangkan pengembangan potensi peserta didik. Pendidikan agama di sekolah pun tidak akan mampu membentuk perilaku mulia peserta didik jika hanya berkutat pada menghafal dan menjawab soal-soal ujian. Dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas pun sudah ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah perlu menanamkan nilai-nilai, tidak sekadar melulu mengejar target angka kuantitatif.

Dalam melakukan hal itu, guru tentu saja memiliki peran menentukan. Kalau dilihat, pendidikan nasional sebenarnya tidak diarahkan sekadar penguasaan kecakapan intelektual. Dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dapat kita saksikan pengembangan potensi peserta didik menjadi tujuan dari pendidikan nasional. Pengembangan potensi itu diarahkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru berperan untuk mewujudkan pengembangan potensi itu (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6).

Disadari atau tidak, tugas penting dunia pendidikan nasional saat ini tidak sekadar memenangkan ajang olimpiade internasional dalam bidang ilmu pengetahuan. Tugas penting dunia pendidikan bukan sekadar memperbanyak lulusan bergelar sarjana dan doktor. Lebih dari itu, pendidikan nasional memiliki tugas besar melahirkan individu-individu manusia yang mampu menerima titah langit sebagai khalifah di muka bumi. Penyelenggaran pendidikan nasional harus melahirkan individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki daya jasmani, luas wawasan berpikirnya, mampu memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaaan, mampu memelihara waktunya untuk hal yang berguna, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.

Menjadi penting di sini adalah membingkai proses penyelenggaraan pendidikan dalam upaya mewujudkan kemampuan individu manusia untuk beribadah kepada Allah SWT. Setiap proses penyelenggaraan pendidikan diarahkan agar individu manusia mampu menghayati tugas utamanya di muka bumi. Ilmu pengetahuan yang dipelajari diarahkan agar manusia dapat memakmurkan kehidupan, bukan malah berbuat kerusakan. Potensi akal, hati, dan jasad harus dikembangkan menuju pada kebaikan sehingga individu-individu manusia yang lahir dari proses pendidikan dapat membangun peradaban Indonesia yang adiluhung dan bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=75228

Catatan untuk Calon Pemimpin

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Rabu 8 Juli 2009

HARI pemilihan presiden (Pilpres) hampir menjelang. Sesaat lagi masyarakat negeri ini akan menentukan pemimpinnya untuk periode lima tahun ke depan. Siapa pun tentu berharap agar pelaksanaan Pilpres berjalan lancar, jujur, dan adil. Bagi masyarakat yang memiliki hak pilih sudah seyogianya menimbang dan menilai siapakah nantinya yang bakal dipilih. Dengan pilihan penuh kesadaran, masyarakat akan menempatkan salah satu dari tiga pasangan capres-cawapres di kursi kepemimpinan 2009-2014.

Pada titik ini, tidak ada harapan lain bagi kita agar pemimpin terpilih nantinya mampu menjalankan roda pemerintahan sebaik-baiknya. Calon presiden terpilih nantinya harus siap berjuang dan berkorban untuk terwujudnya kemaslahatan kehidupan rakyat. Ketika masing-masing pasangan capres-cawapres senantiasa berteriak dan berjanji untuk menyejahterakan rakyat saat kampanye, itu memang sudah menjadi kewajibannya. Tanpa berjanji pun, presiden sebagai pemimpin tidak boleh membiarkan kehidupan rakyatnya tertindas dan diliputi kenestapaan.

Maka, siapa pun calon presiden yang kelak terpilih sudah sewajarnya hidup bersama rakyat dan merasakan keprihatinan rakyatnya. Jika ada rakyatnya yang hidup kekurangan, seorang pemimpin tentu harus merasa bersalah. Seorang pemimpin akan merasakan kesedihan jika masih ada dari sebagian rakyatnya kelaparan. Jika sebagian rakyat di negeri ini masih hidup terpuruk tanpa kepastian masa depan, seorang pemimpin pastinya tidak bisa tidur nyenyak. Tidak berhenti pada kesedihan dan merasakan penderitaan semata, pemimpin harus segera bertindak nyata membebaskan rakyatnya dari penderitaan dan keterpurukan.

Sebagaimana Rasulullah SAW pernah berkata bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan, maka calon presiden terpilih nantinya harus siap mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Seorang presiden sebagai pemimpin negara memiliki kewajiban mengurusi rakyatnya dan mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih baik. Calon presiden yang nantinya terpilih perlu menyadari bahwa pertanggungjawaban kepemimpinannya itu tidak kepada manusia semata, tapi juga kepada Allah SWT. Apapun kebijakan yang diambil seorang pemimpin pasti dimintai pertanggungjawaban sehingga sudah sepatutnya menggariskan kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyatnya. Ya, kita memang berharap semoga pemimpin yang dihasilkan melalui Pilpres 2009 benar-benar menyejahterakan rakyat. Tidak sekadar retorika, tapi benar-benar bertindak nyata agar seluruh rakyat di negeri ini bisa hidup secara layak. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 52281

Memilih dengan Kejernihan Hati

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Jurnal Nasional, Selasa 7 Juli 2009

PEMILIHAN presiden (Pilpres) akan digelar Rabu (8/6) nanti. Hajatan Pilpres untuk menentukan pemimpin nasional periode 2009-2014 merupakan titik penting arah perjalanan bangsa dan negara ke depan. Untuk itu, masyarakat yang memiliki hak pilih perlu mencermati hajatan Pilpres sebagai upaya memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin yang tepat memiliki berbagai kriteria, di antaranya kemampuan membaca kondisi zaman dan menakar kemampuan bangsa, berpikir visioner bagi kemajuan bangsa, dan mampu menginspirasi bangsa untuk bersama mewujudkan kemajuan.

Namun demikian, memilih pemimpin yang tepat tidaklah semudah mencabut sehelai rambut dari kulit kepala. Dari tiga pasangan Capres-Cawapres memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Janji-janji program selama kampanye yang lalu tak ada jaminan direalisasikan. Masing-masing pasangan mengklaim bahwa perjuangan yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Lantas, apa yang mesti diperbuat masyarakat pemilih di hari H nanti?

Kecenderungan masyarakat memilih pemimpin berdasarkan kultus individu seyogianya dihilangkan. Paradigma ”pejah gesang ndherek panjenengan” bukan zamannya lagi dipertahankan. Amat naif jika masyarakat melihat calon pemimpin sebagai titisan kekuatan masa lalu. Saat ini masyarakat perlu melihat calon pemimpin dari sisi kemampuan beserta rekam jejaknya. Terkait rekam jejak, setiap pasangan tentu memiliki rekam jejak yang tidak seluruhnya baik, maka yang perlu diperhatikan adalah kesadaran calon pemimpin akan kelemahannya. Calon pemimpin yang menyadari kekurangannya tentu lebih baik daripada calon pemimpin yang merasa benar padahal apa yang dilakukan salah. Kesadaran akan kelemahan membuat pemimpin mengoreksi kesalahan untuk kemudian memperbaiki diri.

Dalam hal ini, masyarakat memang dituntut kritis dan tidak asal memilih. Kampanye Pilpres yang menyuguhkan visi, misi, dan program pasangan Capres-Cawapres bisa dijadikan bahan renungan sebelum menggunakan hak pilihnya. Di tengah ”pembodohan” kaum intelektual dan agamawan dengan argumentasi yang sering kali dipaksakan untuk membela pasangan tertentu, masyarakat bisa menjadi otonom dalam bersikap dan menentukan pilihan. Pada titik ini, masyarakat tak ada salahnya meminta fatwa pada hati dalam memilih pemimpinnya. Dengan kata lain, kejernihan hati diperlukan masyarakat di tengah silang-sengkarut obsesi kekuasaan. Kebersihan hati disertai dengan doa sebagai ekspektasi rabbani selayaknya dilakukan masyarakat. Dengan meminta fatwa pada hati, masyarakat berdaya upaya menghadirkan pemimpin yang tepat untuk Indonesia ke depan. Akhirnya siapa pun berharap agar pemimpin terpilih memang benar-benar mampu membangun politik kemaslahatan bagi kebangunan dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 52281
Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id

Memuliakan Perempuan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 26 Juni 2009
Kita sering kali menjumpai fakta kekerasan terhadap perempuan. Hak hidup perempuan ada yang dilecehkan. Perempuan dalam kehidupan masyarakat sering kali mendapatkan perlakuan tidak layak. Meskipun zaman telah dikatakan menapak dalam kemajuan, kultur yang mendiskreditkan perempuan tidaklah hilang. Adanya fenemona tersebut tentu menimbulkan keprihatinan.

Melihat dengan kacamata jernih, perlakuan sewenang-wenang terhadap perempuan jelas tidak dibenarkan. Islam justru membingkai kehidupan antara laki-laki dan perempuan dalam sikap saling menghormati dan menghargai kedudukan masing-masing. Laki-laki dan perempuan dipersilakan untuk mengembangkan diri, mengais penghidupan, dan beramal sesuai kemampuan yang dimiliki. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan menopang dalam membangun kehidupan. Islam datang untuk mewajibkan siapa pun agar memuliakan perempuan sebagai makhluk Allah SWT.

Dalam hal ini, sikap merendahkan derajat perempuan yang masih terjadi dalam kehidupan perlu dikoreksi. Perilaku kekerasan terhadap perempuan, misalnya, menampakkan cara pandang keliru terhadap keberadaan perempuan. Adanya diskriminasi dan pelecehan terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat berpenduduk muslim sekali pun menunjukkan perilaku tidak memuliakan perempuan. Padahal, ketika Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sangat menolak perilaku yang merendahkan derajat perempuan. Dikatakan Syamsuddin Umar (1996) bahwa pelecehan dan diskriminasi terhadap perempuan dikatakan sebagai adat dan kultur jahiliyah. Islam menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia dan sejajar dengan laki-laki. Lebih dari itu, Islam juga menjamin ruang aktualisasi bagi perempuan untuk berkiprah membangun masyarakat dan negaranya. Pergaulan perempuan tidak hanya dibatasi tembok rumah, tapi berhak mengaktualisasikan potensinya dimanapun selama tidak melanggar batas-batas. Ulama Islam seperti Muhammad Abduh, misalnya, memandang penting perempuan mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi agar memahami hak-hak dan tanggung jawabnya sebagai seorang muslimah dalam pembangunan umat. Seperti juga diungkapkan Hasan at Turabi bahwa Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, ikut pemilu, berdagang, menghadiri shalat berjama’ah, ikut ke medan perang, dan lainnya.

Pada titik ini, kewajiban kita adalah membangun tatanan masyarakat yang mampu menghargai keberadaan perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi mulia. Adapun bagi perempuan, kebebasan perempuan tentu saja tetap berlandaskan aturan-aturan yang telah digariskan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan memahami konsep sebagai hamba Allah SWT, perempuan akan memainkan peran-perannya untuk memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati Agama pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Capres, Jangan Merasa Paling Benar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Kritik Antar-Capres yang Membangun" Harian Seputar Indonesia, Kamis 25 Juni 2009

KONDISI perpolitikan menjelang Pilpres kian memanas. Setiap pasangan capres-cawapres dibantu tim suksesnya terus bergeliat melakukan kampanye guna merebut simpati publik. Dengan bantuan konsultan pencitraan, pasangan capres-cawapres juga memantapkan citra diri lewat iklan-iklan politik. Bagaimana pun, keputusan ada di tangan masyarakat pemilih pada 8 Juli 2009 nanti. Masyarakat berhak menentukan siapa pasangan capres-cawapres yang kelak akan dipilih.

Seperti kita saksikan, kampanye Pilpres dibumbui dengan aroma kritik. Pada dasarnya kritik tidak dilarang. Jika dalam kampanye terjadi kritik antar-kandidat, maka perlu disikapi secara bijak. Kritik diperlukan untuk membedakan arahan kebijakan dan program dari masing-masing kandidat. Di bidang ekonomi, misalnya, ada kandidat mengklaim memiliki kebijakan ekonomi berbeda sehingga mengkritik kandidat lain yang kebijakan ekonominya tak sejalan. Dalam strategi program mengatasi permasalahan bangsa pun kadang dijumpai sisi berbeda sehingga dengan saling kritik bisa diketahui secara lebih jelas perbedaan dari masing-masing kandidat.

Namun demikian, kritik bukanlah sekadar kritik, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Masing-masing kandidat boleh saling mengkritik, tapi seyogianya memiliki argumentasi rasional. Tanpa argumentasi yang rasional berdasarkan fakta dan data, kritik justru kontraproduktif. Kritik malah menjadi tontonan anak kecil karena sifatnya hanya saling menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan kandidat lain.

Di sisi lain, pihak yang terkena kritik harus bersedia introspeksi. Bagi pihak incumbent, misalnya, kritik yang dilancarkan kandidat lain hendaknya menjadi masukan. Memang wajar bagi pihak yang dikritik melakukan mekanisme pertahanan dan pembelaan diri, tapi hendaknya juga bersedia membuka ruang untuk mengevaluasi kelemahan-kelemahan jalannya pemerintahan selama ini. Bagaimana pun, pemerintahan tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, maka kritik kekuasaan tetap diperlukan. Adanya sikap merasa paling benar dan tidak bersedia dikritik justru mencerminkan kekuasaan yang arogan.

Kita pastinya berharap Pilpres 2009 menghasilkan pemimpin nasional yang amanah dan mampu menjalakan roda pemerintahan secara baik. Masing-masing kandidat memiliki kelebihan sekaligus kekurangan sehingga tidak perlu merasa paling benar. Alangkah lebih bijak jika masing-masing kandidat legawa menerima kritik. Disamping itu, kesediaan meminta maaf kepada rakyat perlu ditumbuhkan karena siapa pun kandidat pernah memerintah dan pasti tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Penggajian Guru, Tak Ada Diskriminasi!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Senin 22 Juni 2009

Meskipun dikatakan “pahlawan”, guru tetap manusia. Guru seperti manusia lainnya. Guru membutuhkan makan. Guru perlu memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Maka, amat wajar jika guru menuntut kesejahteraan. Bahkan, tanpa dituntut pun selayaknya pemerintah memberikan jaminan kesejahteraan kepada setiap guru tanpa diskriminatif.

Pada titik ini, kita hargai kehendak pemerintah untuk menyejahterakan guru dengan gaji minimal Rp 2 juta–yang katanya–mulai tahun 2009, bahkan gaji guru akan dinaikkan sebesar 100%. Kita hargai rencana pemerintah itu sebagai bukti kepemilikan perhatian terhadap profesi guru. Namun, membedakan guru PNS dengan guru bukan PNS perlu mendapatkan koreksi. Pemerintah selayaknya meninjau kembali Recommendation Concerning The Status of Teachers yang dirumuskan pada 5 Oktober 1966. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh UNESCO dan ILO itu menghendaki agar guru tetap maupun guru tidak tetap memperoleh penggajian yang sama secara proporsional (Pasal 60).

Mengenai penggajian guru didasarkan bahwa guru adalah pekerja yang memiliki hak sebagai seorang pekerja. Karena merupakan hak seorang pekerja, penentuan penggajian tidak bisa dikaitkan dengan penilaian atas kualitas guru (Pasal 124). Pastinya, rekomendasi yang berisi 13 bab dan 146 pasal itu perlu direnungkan pemerintah (dan juga DPR) sebagai policy maker di negeri ini. Amat ironis jika masih ada guru yang hanya bergaji Rp 25.000 sampai Rp 100.000 per bulan. Dalam soal penggajian, semua guru digaji tanpa memperhatikan embel-embel: PNS atau non-PNS, guru tetap atau tidak tidak tetap.

Pertanyaannya, bisakah itu dilakukan? Jika pemerintah benar-benar memposisikan guru sebagai profesi yang bermartabat, maka seharusnya tak ada perbedaan dalam hal penggajian. Semua guru apapun statusnya memiliki fungsi dan tugas yang sama dalam upaya mendidik anak-anak bangsa. Kemajuan peradaban bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh guru berstatus PNS, tapi oleh semua guru yang bekerja nyata di setiap jenjang pendidikan. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Alamat Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
No HP 085228438047

Titik Kritis Pendidikan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis 18 Juni 2009

HASIL ujian nasional (UN) SMA/MA/SMK telah diumumkan akhir pekan lalu (13/6). Adapun untuk siswa-siswa SMP/MTs akan diumumkan akhir pekan ini (20/6). Bagi siswa-siswa yang telah mengetahui hasil UN akan menerima dengan perasaan suka ria sekaligus duka. Perasaan suka ria bagi yang dinyatakan lulus, perasaan duka bagi yang tidak lulus. Angka kelulusan yang meningkat tentu menjadi kebanggaan pemerintah (Depdiknas) yang memang bagaikan karang terus bersikukuh mempertahankan UN sebagai indikator kelulusan. Dilihat dari sisi akademik, kelulusan siswa dalam UN sepertinya merupakan prestasi membanggakan. Terlepas dilakukan dengan cara seperti apa, kelulusan UN telah menjadi tujuan bagi siswa dan pihak sekolah. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang harus bersedih menyaksikan fakta UN dengan hasil seperti apapun selain siswa yang tidak lulus?

Pendidikan di negeri ini harus dikatakan tengah mengalami titik kritis. Tanpa kesadaran dari berbagai pihak, wajah negara di masa mendatang akan turut merasakan dampaknya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan dan karakterisasi bangsa seolah-olah kehilangan makna akibat pendewaan angka. Memang perolehan angka kuantitatif penting, tapi menyempitkan tujuan pendidikan pada ”keelokan” angka-angka di lembar ijazah bisa menciptakan bumerang. Siapa pun layak bersedih menyaksikan proses pendidikan di sekolah sekadar menggenjot siswa pada kemampuan menghafal, bahkan malah sekadar latihan soal-soal ujian.

Pendidikan yang berada pada titik kritis sebenarnya sudah tampak di lapangan dan seharusnya menjadi perenungan. Kita saksikan, misalnya, luapan kegembiraan siswa-siswa yang lulus UN seakan-akan miskin empati terhadap siswa-siswa yang tidak lulus. Dengan perasaan bangga, siswa-siswa yang lulus UN berhura-hura di jalanan. Paradigma kompetisi yang ditanamkan kuat melalui proses pendidikan telah menciptakan penyakit individualisme. Siapa pun berpikir untuk dirinya dan kegagalan orang lain bukan urusannya. Wajah masyarakat yang tiada saling peduli tak dimungkiri merupakan dampak dari pendidikan selama ini yang lebih menekankan persaingan dan kepuasan prestasi secara individual. Sikap mental pragmatis pun didapatkan dari pendidikan di sekolah dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan kelulusan. Tanpa disadari, pendidikan malah menjadi produsen calon-calon koruptor di masa depan. Pendidikan yang berada pada titik kritis juga tampak dari tak meredanya tawuran antar pelajar, pelajar yang berlagak sok preman, dan keterlibatan pelajar dalam kriminalitas.

Siapa pun yang memahami pendidikan tentu menyadari bahwa pendidikan tidak sekadar berpikir untuk saat ini dan hari ini. Berpikir mengenai pendidikan berarti juga berpikir untuk masa depan bangsa dan negara. Wajah pendidikan saat ini akan berimbas pada wajah kehidupan bangsa dan negara di masa mendatang. Pendidikan berfungsi untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Seperti apa kehidupan bangsa dan negara yang ideal di masa mendatang ditentukan oleh seperti apa proses pendidikan diselenggarakan saat ini. Jika kita mengidealkan kehidupan bangsa dan negara yang bersih korupsi, penuh toleransi, memiliki semangat kebersamaan, dan diliputi kesejahteraan, maka kita perlu mengusahakan melalui penyelenggaraan pendidikan di masa kini.

Pada titik ini, makna pendidikan dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas harapannya tidak sekadar teks nihil praktik. Sekolah sebagai lembaga formal pendidikan dituntut mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Ada capaian-capaian dari proses pendidikan di sekolah agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah juga perlu menanamkan nilai-nilai, tidak sekadar melulu mengejar target perolehan angka kuantitatif.

Pendidikan yang hanya sekadar ajang berburu angka-angka kelulusan pastinya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pendidikan harus sesegera mungkin dikembalikan pada hakikatnya sebagai proses memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Proses membangun karakter bangsa melalui pendidikan harus dijalankan sebagaimana mestinya jika kita tidak ingin melihat wajah bangsa ini terus dilanda keterpurukan. Potensi akal (al-’aql), hati (al-qalb), dan jasad (al-jasad) yang dimiliki individu manusia perlu dikembangkan dan diarahkan menuju kebaikan positif melalui proses pendidikan di sekolah.

Maka, pendidikan masa depan adalah pendidikan yang membangun karakter bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwadarminta, hlm. 189) karakter dimaknai sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, watak, atau kepribadian. Pada dasarnya, karakter bangsa yang hendak dibentuk lewat proses pendidikan telah jelas tertera dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Karakter yang hendak dicapai dalam proses pendidikan adalah lahirnya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan Ratna Megawangi (2003) bahwa kualitas karakter meliputi (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) Jujur/amanah dan arif; (4) Hormat dan santun; (5) Dermawan, suka menolong, dan gotong-royong; (6) Percaya diri, kreatif dan pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai, dan kesatuan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan aspek penting dalam membangun tatanan masyarakat di masa mendatang. Esensi pendidikan adalah proses pembudayaan dan karakterisasi bangsa. Keberhasilan pendidikan tidak semata terletak dari diraihnya gelar dalam ajang olimpiade tingkat dunia, tapi pada tumbuhnya kesadaran kolektif peserta didik sebagai agen perbaikan bangsa dan negara. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pendidikan anak-anak bangsa tentu harus menyikapi serius titik kritis pendidikan ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta