Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Jum'at, 27 Januari 2012
Harus diakui jika permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan masalah yang terus mencuat. Dana bantuan operasional sekolah dianggap belum mencukupi. Fakta yang terlihat, banyak sekolah seringkali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat selalu ditemui protes.
Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Perguruan tinggi diasumsikan melakukan komersialisasi pendidikan. Ditinjau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggungjawaban publik (Pasal 24 Ayat 3). Namun persoalannya, tak masyarakat memiliki sumber daya memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup.
Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi apabila berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tak sampai jenjang perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs (Bab VI Pasal 17).
Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan setelah jenjang pendidikan dasar. Memang takkan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan. Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20% pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Amhar (dalam Yusuf Wibisono: 2006), terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini. Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3). Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.
Lantas, bagaimana merumuskan model pembiayaan pendidikan di Indonesia? Dalam konteks Indonesia, menurut penulis, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) bisa dibiayai penuh negara berdasarkan pada UUD 1945. Dalam UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Bab VIII Pasal 34 (2)). Untuk jenjang pendidikan tinggi, kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan tampaknya diperlukan. Pihak perguruan tinggi bisa menggandeng pihak swasta. Yang perlu ingat, kreasi dan inovasi tidak identik dengan menarik dana dari masyarakat.
Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting. Konsep tabungan pendidikan, misalnya, bisa disosialisasikan kepada masyarakat yang dikelola di setiap RT/kecamatan/kelurahan. Tabungan pendidikan ini bisa digunakan untuk membantu masyarakat setempat yang kesulitan dalam pembiayaan pendidikan. Wallahu a’lam.
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Jum'at, 27 Januari 2012
Harus diakui jika permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan masalah yang terus mencuat. Dana bantuan operasional sekolah dianggap belum mencukupi. Fakta yang terlihat, banyak sekolah seringkali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat selalu ditemui protes.
Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Perguruan tinggi diasumsikan melakukan komersialisasi pendidikan. Ditinjau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggungjawaban publik (Pasal 24 Ayat 3). Namun persoalannya, tak masyarakat memiliki sumber daya memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup.
Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi apabila berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tak sampai jenjang perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs (Bab VI Pasal 17).
Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan setelah jenjang pendidikan dasar. Memang takkan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan. Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20% pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan.
Menurut Amhar (dalam Yusuf Wibisono: 2006), terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini. Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3). Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.
Lantas, bagaimana merumuskan model pembiayaan pendidikan di Indonesia? Dalam konteks Indonesia, menurut penulis, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) bisa dibiayai penuh negara berdasarkan pada UUD 1945. Dalam UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Bab VIII Pasal 34 (2)). Untuk jenjang pendidikan tinggi, kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan tampaknya diperlukan. Pihak perguruan tinggi bisa menggandeng pihak swasta. Yang perlu ingat, kreasi dan inovasi tidak identik dengan menarik dana dari masyarakat.
Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting. Konsep tabungan pendidikan, misalnya, bisa disosialisasikan kepada masyarakat yang dikelola di setiap RT/kecamatan/kelurahan. Tabungan pendidikan ini bisa digunakan untuk membantu masyarakat setempat yang kesulitan dalam pembiayaan pendidikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati pendidikan pada Universitas PGRI Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar