Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Senin 21 Mei 2012
Tumbuhnya kesadaran nasional di era
1900-an tak terlepas dari peran dan kiprah pemuda. Kesadaran nasional ini tak
tumbuh seketika, tetapi melewati proses yang panjang. Pemuda mendidik diri,
bergerak, membaca, menulis, dan saling berinteraksi. Akhirnya, Indonesia yang
awalnya masih samar-samar sebagai konsep bangsa-tanah air terwujud nyata pada
1928. Proses pun berlanjut dengan kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Dalam sejarah dunia, peran pemuda
dalam kebangkitan dan kebangunan bangsa-negara memang tak dimungkiri. Namun,
fakta juga menunjukkan tak semua pemuda terpanggil membangun bangsa-negaranya.
Ketika Bung Karno berseru pada 1932 bahwa dengan sepuluh pemuda akan mampu
menggemparkan dunia, itu pemuda yang bersemangat dan berapi-api kecintaannya
terhadap bangsa, tanah air, dan tumpah darahnya. Pemuda yang tak memiliki
spirit mencintai bangsa-negaranya tentu takkan mampu menggoncang dunia.
Terlepas dari itu, peran pemuda
tentu saja selalu dibutuhkan. Dengan pendidikan yang baik, pemuda perlu
terus-menerus menempa diri. Pemuda pada era pergerakan nasional pada awal abad
ke-20 yang akhirnya memimpin negeri ini di era kemerdekaan juga dimatangkan
lewat proses pendidikan. Indonesia membutuhkan pemuda yang memiliki rasa
tanggung jawab untuk berpikir dan bertindak besar bagi bangsa-negaranya. Pemuda
perlu siap menderita untuk kebaikan dan kemajuan Indonesia.
Pungkasnya, mari simak penggalan
pidato Bung Hatta di depan pengadilan Belanda pada 1928, “Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk,
hinggap di bibirku: ‘Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia
berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku”. Pemuda Indonesia,
lancarkan usaha itu! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro