Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Sabtu 18 Juli 2009
SEBERAPA sering kita melintasi jalan-jalan di kota Yogyakarta , begitu sering kita menyaksikan anak-anak kecil yang berpanas-panas ria. Tidak hanya di siang hari, di pagi hari pun kadang mereka menampakkan wajah welas-nya. Di perempatan jalan, kita sering kali melihat keberadaan anak-anak kecil yang mencoba mengais nafkah. Di antara mereka ada yang meminta-minta, mengelap kendaraan tanpa diminta, ataupun menjual koran. Malah sering kali mereka juga bersama orang tuanya. Meskipun hampir dijumpai di setiap kota , fenomena anak jalanan di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar tentu perlu mendapatkan perhatian seksama.
Siapapun pasti memahami bahwa anak merupakan sosok manusia yang memiliki hari depan yang panjang. Anak yang dilahirkan tentu memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ruang kondusif bagi tumbuh kembang anak adalah keniscayaan. Orang tua sekaligus masyarakat sekitar tak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan ruang tumbuh kembang secara kondusif sehingga anak dapat melewati perjalanan hidupnya dengan perhatian seksama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak sesuai tahapan perkembangan jelas tak terelakkan.
Namun demikian, ruang tumbuh berkembang anak menjadi memprihatinkan dengan fenomena yang sering kali terlihat di berbagai perempatan jalan di kota Yogyakarta . Boleh jadi perasaan hati kita begitu iba ketika seorang anak yang usianya setingkat sekolah dasar rela berpanas-panas di jalan. Lebih-lebih seorang anak kecil perempuan yang boleh jadi melakukan pekerjaan di jalan tak sesuai dengan keinginan hatinya. Ya, itulah fakta yang masih terjadi di kota Yogyakarta . Pertanyaannya, layakkah jika anak-anak kecil itu “berkeliaran” di jalan dan bekerja?
Persoalan anak yang dipekerjakan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Menjelang abad 20, misalnya, pekerja anak di Indonesia sudah bermunculan ketika penjajah Belanda mulai mengembangkan sektor perkebunan dan industri gula modern. Pekerja anak terus bertambah seiring perkembangan zaman dan ketidakmerataan kemakmuran ekonomi penduduk. Biasanya keluarga miskin mengambil jalan keluar untuk mengikutsertakan anak dalam usaha pencarian nafkah. Bahkan, dalam komunitas masyarakat tertentu, anak yang diikutkan sebagai bagian dari sumber ekonomi keluarga sudah dianggap wajar. Dalam studinya, Koentjraningrat (1969) menyebutkan bahwa anak berusia 8 tahun yang membantu orang tua mencari nafkah adalah hal biasa, terutama di wilayah pedesaan.
Pastinya, istilah anak yang bekerja dan pekerja anak perlu diberi garis pembeda. Pekerja anak lebih berkonotasi eksploitatif. Ukuran usia anak di sini adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun (UU Perlindungan Anak No 23/2002). Anak boleh saja melakukan pekerjaan di rumah untuk membantu orang tua dalam upaya mengembangkan kepribadian dan ketrampilan hidup asalkan orangtua tidak terlalu mengeksploitasi anak. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Anak sekolah menengah kejuruan yang berusia sekitar 15-18 tahun boleh bekerja di sebuah instansi untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan bidang jurusannya. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa anak paling sedikit berusia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Meskipun boleh saja bekerja, ada persyaratan yang juga perlu diperhatikan, yakni anak diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Dengan demikian, persoalan anak yang bekerja sebenarnya tidak hitam putih. Artinya, anak boleh saja bekerja, tapi tetap ada garis batasnya. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan anak-anak yang sering kali melakukan pekerjaan di perempatan jalan di kota pelajar Yogyakarta ? Anak-anak yang meminta-minta, menjual koran, ikut orang tuanya mencari nafkah.
Yang jelas, anak-anak seusia mereka semestinya dihindarkan dari beban pekerjaan seperti itu. Mereka seharusnya dapat mengenyam kehidupan yang selayaknya sekaligus mendapatkan pendidikan yang memadai. Anak-anak berhak memperoleh perlindungan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selain itu, anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas anak-anak yang saban hari “berkeliaran” di jalan mengalami ruang aktualisasi yang terhambat. Anak-anak tentu saja perlu mendapatkan perlindungan dari setiap eksploitasi meskipun dengan alasan faktor ekonomi keluarga sekalipun.
Sesuai Pasal 66 UU Perlindungan Anak, anak yang mendapatkan perlakuan eksploitasi ekonomi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Boleh jadi kenyataan adanya anak yang hidup di jalanan di kota Yogyakarta akibat kondisi keluarga yang terhimpit secara ekonomi (atau mungkin kemiskinan kultural). Karenanya, pemerintah provinsi DIY maupun pemerintah kota Yogyakarta harus bertindak nyata.
Di sisi lain, masyarakat Yogyakarta tidak bisa bersikap abai menyaksikan anak-anak jalanan. Tak dimungkiri ada masyarakat yang mendiamkan saja ketika anak-anak tetangganya hidup menggelandang dan menjadi pengemis. Maka, tanggung jawab sosial masyarakat menjadi keniscayaan sehingga ikut mengatasi permasalahan anak-anak jalanan. Amat tidak manusiawi jika ada anak-anak kecil yang hidup mengemis dan menggelandang di jalanan, tapi masyarakat yang kadang adalah tetangganya sendiri malah tidak malu. Jika turunnya anak-anak di jalanan akibat kemiskinan, tentu saja dalam satu kampung tidak semuanya miskin. Kenapa yang kaya tidak mengentaskan beban tetangganya yang miskin? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Sabtu 18 Juli 2009
SEBERAPA sering kita melintasi jalan-jalan di kota Yogyakarta , begitu sering kita menyaksikan anak-anak kecil yang berpanas-panas ria. Tidak hanya di siang hari, di pagi hari pun kadang mereka menampakkan wajah welas-nya. Di perempatan jalan, kita sering kali melihat keberadaan anak-anak kecil yang mencoba mengais nafkah. Di antara mereka ada yang meminta-minta, mengelap kendaraan tanpa diminta, ataupun menjual koran. Malah sering kali mereka juga bersama orang tuanya. Meskipun hampir dijumpai di setiap kota , fenomena anak jalanan di kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar tentu perlu mendapatkan perhatian seksama.
Siapapun pasti memahami bahwa anak merupakan sosok manusia yang memiliki hari depan yang panjang. Anak yang dilahirkan tentu memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ruang kondusif bagi tumbuh kembang anak adalah keniscayaan. Orang tua sekaligus masyarakat sekitar tak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan ruang tumbuh kembang secara kondusif sehingga anak dapat melewati perjalanan hidupnya dengan perhatian seksama. Tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak sesuai tahapan perkembangan jelas tak terelakkan.
Namun demikian, ruang tumbuh berkembang anak menjadi memprihatinkan dengan fenomena yang sering kali terlihat di berbagai perempatan jalan di kota Yogyakarta . Boleh jadi perasaan hati kita begitu iba ketika seorang anak yang usianya setingkat sekolah dasar rela berpanas-panas di jalan. Lebih-lebih seorang anak kecil perempuan yang boleh jadi melakukan pekerjaan di jalan tak sesuai dengan keinginan hatinya. Ya, itulah fakta yang masih terjadi di kota Yogyakarta . Pertanyaannya, layakkah jika anak-anak kecil itu “berkeliaran” di jalan dan bekerja?
Persoalan anak yang dipekerjakan sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Menjelang abad 20, misalnya, pekerja anak di Indonesia sudah bermunculan ketika penjajah Belanda mulai mengembangkan sektor perkebunan dan industri gula modern. Pekerja anak terus bertambah seiring perkembangan zaman dan ketidakmerataan kemakmuran ekonomi penduduk. Biasanya keluarga miskin mengambil jalan keluar untuk mengikutsertakan anak dalam usaha pencarian nafkah. Bahkan, dalam komunitas masyarakat tertentu, anak yang diikutkan sebagai bagian dari sumber ekonomi keluarga sudah dianggap wajar. Dalam studinya, Koentjraningrat (1969) menyebutkan bahwa anak berusia 8 tahun yang membantu orang tua mencari nafkah adalah hal biasa, terutama di wilayah pedesaan.
Pastinya, istilah anak yang bekerja dan pekerja anak perlu diberi garis pembeda. Pekerja anak lebih berkonotasi eksploitatif. Ukuran usia anak di sini adalah mereka yang berusia sampai 18 tahun (UU Perlindungan Anak No 23/2002). Anak boleh saja melakukan pekerjaan di rumah untuk membantu orang tua dalam upaya mengembangkan kepribadian dan ketrampilan hidup asalkan orangtua tidak terlalu mengeksploitasi anak. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Anak sekolah menengah kejuruan yang berusia sekitar 15-18 tahun boleh bekerja di sebuah instansi untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan bidang jurusannya. Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa anak paling sedikit berusia 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Meskipun boleh saja bekerja, ada persyaratan yang juga perlu diperhatikan, yakni anak diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Dengan demikian, persoalan anak yang bekerja sebenarnya tidak hitam putih. Artinya, anak boleh saja bekerja, tapi tetap ada garis batasnya. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana dengan anak-anak yang sering kali melakukan pekerjaan di perempatan jalan di kota pelajar Yogyakarta ? Anak-anak yang meminta-minta, menjual koran, ikut orang tuanya mencari nafkah.
Yang jelas, anak-anak seusia mereka semestinya dihindarkan dari beban pekerjaan seperti itu. Mereka seharusnya dapat mengenyam kehidupan yang selayaknya sekaligus mendapatkan pendidikan yang memadai. Anak-anak berhak memperoleh perlindungan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selain itu, anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Jelas anak-anak yang saban hari “berkeliaran” di jalan mengalami ruang aktualisasi yang terhambat. Anak-anak tentu saja perlu mendapatkan perlindungan dari setiap eksploitasi meskipun dengan alasan faktor ekonomi keluarga sekalipun.
Sesuai Pasal 66 UU Perlindungan Anak, anak yang mendapatkan perlakuan eksploitasi ekonomi merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya. Boleh jadi kenyataan adanya anak yang hidup di jalanan di kota Yogyakarta akibat kondisi keluarga yang terhimpit secara ekonomi (atau mungkin kemiskinan kultural). Karenanya, pemerintah provinsi DIY maupun pemerintah kota Yogyakarta harus bertindak nyata.
Di sisi lain, masyarakat Yogyakarta tidak bisa bersikap abai menyaksikan anak-anak jalanan. Tak dimungkiri ada masyarakat yang mendiamkan saja ketika anak-anak tetangganya hidup menggelandang dan menjadi pengemis. Maka, tanggung jawab sosial masyarakat menjadi keniscayaan sehingga ikut mengatasi permasalahan anak-anak jalanan. Amat tidak manusiawi jika ada anak-anak kecil yang hidup mengemis dan menggelandang di jalanan, tapi masyarakat yang kadang adalah tetangganya sendiri malah tidak malu. Jika turunnya anak-anak di jalanan akibat kemiskinan, tentu saja dalam satu kampung tidak semuanya miskin. Kenapa yang kaya tidak mengentaskan beban tetangganya yang miskin? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta