Keberhasilan Milik Siapa pun

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Selasa, 8 November 2011

Jalan hidup masing-masing diri kita tak selamanya mulus. Tak ada di antara kita yang sempurna. Setiap diri kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Ujian dan cobaan dalam kehidupan merupakan keniscayaan. Namun, tak banyak dari kita yang memaknai kehidupan secara cerdas. Kita yang selalu saja melihat kekurangan dan akhirnya rendah diri dalam menjalani kehidupan.

Kita juga mudah putus asa dan menyerah dengan pelbagai rintangan. Hambatan-hambatan yang menerpa menjadikan kita merasa tidak yakin akan jalan keberhasilan. Banyak dari kita yang berdalih pada takdir ketika hidup dalam kemiskinan dan keterpurukan, padahal belum mencurahkan usaha optimal. Lebih memilukan ketika kita miskin harapan dan cita-cita, sehingga hidup dibiarkan mengalir apa adanya.
Siapa pun tentu memiliki hak untuk menggapai keberhasilan hidup. Mungkin kita tak pernah membayangkan Thomas Alva Edison(1847-1931) bisa menjadi populer dan dikatakan berjasa sampai saat ini. Meskipun tidak menikmati pembelajaran di bangku sekolah secara tuntas karena dianggap amat bodoh, Edison memiliki mimpi besar. Mimpi dibarengi dengan ketekunan dan kerja keras akhirnya menghantarkan Edison menemukan lampu pijar yang membuat malam benderang. Kegagalan demi kegagalan dialami Edison sebelum penemuannya, namun ia tetap memiliki keteguhan prinsip untuk senantiasa berupaya. Konon ia berhasil menemukan bola lampu pada percobaannya yang ke-2.000!

Kesuksesan tentu tak hanya milik Thomas Alva Edison. S
iapa pun diri kita perlu mendekap keberhasilan hidup. Kita harus memiliki harapan dan cita-cita. Setiap diri kita harus bertindak dan bekerja keras membangun kehidupan. Potensi yang kita miliki pada dasarnya luar biasa. Allah SWT menciptakan kita sebagai manusia dibekali dengan potensi. Memang tak ada manusia yang sama dalam hal kemampuan, namun tidak ada satu manusia pun yang tak memiliki kemampuan. Apapun kemampuan itu perlu dikembangkan dan diaktualisasikan secara positif dalam kehidupan. Bahkan, keterbatasan bukan hambatan dan ganjalan untuk meraih kesuksesan. Masih ingatkah dengan kisah Helen Keller?

Helen Keller(1880-1968) bisa menjadi contoh luar biasa dari perjuangan seorang perempuan dengan keterbatasan fisik. Sejak berusia 19 bulan, ia mengalami kebutaan
, ketulian, dan kebisuan akibat suatu penyakit. Menghadapi kondisi seperti Helen Keller, apa yang kita bayangkan? Helen Keller pun menampakkan sisi manusiawi ketika harus berhadapan dengan kondisi yang tak diduganya. Ia merasa benci dengan kondisinya, marah, tak terima, dan semacamnya. Perempuan yang lahir pada 27 Juni 1880 di Tuscumbia, Amerika Serikat, itu akhirnya menemukan kehidupan kembali ketika datang seorang guru bernama Annie Sullivan. Saat usia Helen Keller menjelang 7 tahun, Annie Sullivan telah memulai langkah untuk membimbing, mengajar, dan memotivasi Helen Keller.

Perjalanan Helen Keller dengan gurunya telah menampakkan tanda bahwa siapa pun manusia memiliki potensi. Dengan keterbatasan fisik, Helen Keller bisa menempuh jenjang pendidikan tinggi di Radcliffe College dan lulus dengan predikat mengagumkan. Ia lulus dari perguruan tinggi khusus perempuan yang merupakan cabang dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu pada usia sekitar 24 tahun. Bahkan, Helen Keller konon sebagai perempuan buta-tuli-bisu pertama dalam sejarah yang berhasil menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Helen Keller memiliki riwayat
yang layak dikenang sampai akhir hayatnya. Ia telah menghasilkan karya tulis, termasuk menulis pengalaman hidupnya dalam The Story of My Life dan Midstream: My Later Life. Ia sempat berkeliling dunia untuk mengkampanyekan keadilan bagi warga dunia yang mengalami keterbatasan fisik. Bagi pendidikan anak-anak dengan keterbatasan fisik, ia juga beraktivitas untuk menghimpun dana.

Begitulah kisah Helen Keller. Bagi kita yang memiliki keterbatasan fisik
bukan berarti tidak memiliki potensi dahsyat. Perempuan buta, tuli, dan bisu seperti Helen Keller ternyata bisa lulus dari perguruan tinggi. Helen Keller juga bisa berbahasa berbagai bahasa, seperti Perancis, Jerman, dan Yunani. Keberhasilan milik siapa pun yang mau berusaha dan bekerja keras tanpa peduli kondisi fisik yang dimiliki. Keberhasilan adalah konsekuensi logis dari perjuangan yang kita lakukan. Justru perjuangan akan menampakkan makna berbeda pada individu-individu yang berada dalam keterbatasan. Kita yang diberi kelengkapan fisik tentu harus malu apabila tak mampu mengembangkan diri dan berkontribusi bagi kehidupan. Kita perlu terus berusaha dan memanjangkan doa kepada Sang Pencipta.

Meminjam istilah
Pariman Siregar(2009), kesuksesan hidup tak lagi menjadi hak (success is right), tetapi sebuah keharusan (success isn’t a right but it’s a must). Pelajar, mahasiswa, tukang becak, pedagang di pasar, tukang bakso, pekerja kantor, ibu rumah tangga, guru di sekolah, dan siapa pun kita harus menjemput kesuksesan. Siapa pun kita hanya dituntut untuk terus berpikir, berjuang, dan berkarya dengan sebenar-benarnya. Bukankah tak ada orang yang mengetahui takdirnya sebelum benar-benar terjadi? Takdir keberhasilan hidup milik siapa pun.

Dalam meraih keberhasilan, kita tentu harus mencintai proses. Kita bisa belajar dari pohon bambu yang menjulang ke atas setelah sekian lama menguatkan akarnya ke tanah. Pertumbuhan pohon bambu tak datang seketika pada tahun-tahun awal. Namun, lihatlah pohon bambu meliuk diterpa angin dan tetap tertancap kokoh. Maka, kesuksesan tak perlu ditempuh dengan mengambil jalan pintas atau menghalalkan cara salah. Kesuksesan kita akan bertahan kokoh ketika kita bersedia mencintai proses meskipun terhadang kesulitan. Kini saatnya kita menjemput kesuksesan. Bahkan, untuk meraih kesuksesan itu, kita harus bangun lebih cepat, bekerja lebih giat, berpikir lebih keras, bergerak lebih tangkas dari biasanya manusia-manusia lain lakukan. Dan, kesuksesan kita harus memberikan hal yang bermanfaat bagi kehidupan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta

Wajah Perbudakan di Deli

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Media MAJALAH PEWARA DINAMIKA UNY, Edisi Oktober 2011

Judul Buku: Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract Penulis: Emil W. Aulia Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan: I, 2006 Tebal: viii+261 halaman

Apapun alasannya, perbudakan tak bisa ditolerir. Begitu malangnya nasib rakyat yang diperas keringat, tenaga, bahkan darahnya demi kepentingan penjajah kapitalis. Dapat disimak dalam novel ini, manusia dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan. Rakyat kecil ada yang ditipu dengan imajinasi pohon berdaun uang di tanah Deli. Mungkin karena keluguan dan malah kebodohan, rakyat kecil percaya saja.

Dikisahkan dalam novel, pelbagai perusahan yang mendatangkan manusia-manusia sebagai pekerja di perkebunan Deli menyebar agen-agennya. Rakyat kecil—terutama dari Pulau Jawa—menjadi sasaran untuk dijadikan kuli. Di awal novel ini diceritakan tentang agen itu yang mempengaruhi rakyat kecil dengan mulut manisnya. “Di Deli....Di Deli....pohon-pohonnya berdaun uang!” “Kerja kalian hanya mengurusi pohon-pohon itu. Kalau ada uang yang jatuh dari pohon, silakan ambil. Itu upah bagi kalian. Nah, semakin banyak pohon yang kalian urus, maka uang kalian akan semakin banyak. Dan kalian tahu, itu semua belum cukup. Setiap akhir bulan kalian juga akan mendapat upah yang besar. Nah, bagaimana? Hebat, bukan?”

Soal pohon berdaun uang itu pun menyebar dari mulut ke mulut. Rakyat yang miskin dan bodoh mudah percaya meskipun ada juga yang menyangsikan. Nalar jelas meragukan ada pohon bisa menjatuhkan uang, namun kepercayaan rakyat adalah fakta telanjang sebuah kebodohan. Pohon berdaun uang merupakan salah satu dari pelbagai muslihat mendatangkan kaum pekerja untuk menuju Deli. Ada pula yang dipaksa secara halus sampai akhirnya tersadar telah menjadi kuli kontrak. Di kantor emigrasi, rakyat yang tak cakap baca tulis hanya melongo membubuhkan cap jempol pada selembar surat kontrak yang sejatinya merugikan mereka.

Novel ini boleh jadi berhasil menyajikan kegetiran di tanah Deli. Manusia yang dijadikan kuli itu tak bebas menghirup kebebasan. Kekerasan menyeruak dalam pemaksaan kerja. Kondisi ketercekaman dan ketidakadilan di tanah Deli berangsur-angsur menjadi perhatian publik ketika tulisan berjudul Millioenen uit Deli terpublikasikan. Karya Mr. J. Van den Brand pada 1902 itu menyulut polemik, baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Lewat novel ini, kekuatan tulisan tersebut dapat disimak. Ketidakadilan dan kekejaman di tanah Deli dibeberkan Van den Brand. Pejabat pemerintah dan pengusaha di tanah Deli berusaha membalikkan opini dengan menuduh Van den Brand melakukan fitnah dan kebohongan. Di negeri Belanda, fakta kebobrokan yang terjadi di Deli dijadikan amunisi kubu sosialis yang tergabung dalam Sociaal-Democratische Arbeiders Partij.

Perjuangan Van den Brand tak surut. Novel ini mengisahkan sepak terjangnya menguliti topeng pejabat pemerintah dan pengusaha yang telah berbuat zalim terhadap para pekerja di Deli. Baginya, keadilan harus ditegakkan—kalau perlu dikejar. Karena tulisannya yang menggemparkan itu, ia dikucilkan dalam pergaulan masyarakat Eropa di Deli. Ia pun pulang ke negeri Belanda untuk melakukan strategi politik dengan menjadi anggota Majelis Rendah, namun gagal terpilih. Tak kehabisan akal, ia terus melakukan perlawanan terhadap fakta penindasan. Millioenen uit Deli yang ditulisnya sedikit banyak mulai menampakkan perubahan di Deli. Ia juga menulis Nogs Een: Millioenen uit Deli sebagai tanggapan atas semua tuduhan dan polemik yang muncul akibat Millioenen uit Deli.

HENDRA SUGIANTORO, pembaca novel, tinggal di Yogyakarta

Bahasa Persatuan, Bukan Berbahasa Satu!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Sabtu 29 Oktober 2011
Bulan Oktober identik dengan bulan bahasa. Hal ini tidak terlepas dari sejarah Sumpah Pemuda pada tahun 1928 silam. Saat itu para pemuda dari berbagai daerah berkumpul untuk menyatukan pikiran dan sikap dalam Kongres Pemuda II di Jakarta (dulu Batavia). Selama dua hari, 27-28 Oktober 1928, para pemuda berhasil menghasilkan tiga rumusan penting yang menegaskan keindonesiaan.

Isi rumusan yang dikenal dengan Sumpah Pemuda itu tampaknya perlu diluruskan. Rumusan itu dalam perjalanan waktu ada yang mengotak-atik, khususnya dalam hal bahasa. Berikut teks Sumpah Pemuda:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Coba perhatikan pada rumusan yang ketiga, “...menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Kita malah kerapkali mendengar perubahan teks itu menjadi,“...mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Pelajaran-pelajaran di jenjang pendidikan formal dan pengucapannya setiap kali pembacaan Sumpah Pemuda saat upacara bendera semakin menguatkan kekeliruan itu. Selama ini perubahan teks itu bukannya tanpa kritik dan koreksi, namun hanya dianggap angin lalu.
Padahal, perumusan Sumpah Pemuda yang dilakukan para pemuda pada tahun 1928 silam tidak asal-asalan, tetapi berdasarkan pemikiran matang. Bahasa Indonesia yang tercipta lewat perkembangan tahap demi tahap dari bahasa Melayu hendak dijadikan identitas kebangsaan dan bahasa nasional. Teks asli Sumpah Pemuda menegaskan makna bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dengan menghargai bahasa-bahasa lainnya. Tidak ada dalam pikiran para pemuda peserta kongres pada tahun 1928 untuk meyatukan bahasa. Bahasa-bahasa daerah tetap memiliki posisi tersendiri sebagai bagian dari khazanah Indonesia yang bersuku-suku bangsa.

Menurut Ajip Rosidi (1977), rumusan Sumpah Pemuda 1928 merupakan sebuah rumusan yang paling bijaksana. Apabila rumusan “Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia” yang ditawarkan, maka bukanlah persatuan Indonesia yang akan tercapai, tetapi malah sebaliknya. Fakta di lapangan, bahasa yang paling banyak penggunanya ketika itu justru bahasa Jawa. Bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia belum kuat kedudukannya meskipun telah lama digunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di seluruh kepulaaan Nusantara.

Berpikir jernih, ada kearifan yang ditunjukkan para pemuda peserta kongres pada tahun 1928. Kita tidak bisa membayangkan apabila perwakilan dari Jong Java memaksakan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional dengan alasan masyarakat penggunanya paling banyak. Pengguna bahasa Sunda pun bisa memiliki alasan serupa karena pengguna bahasa Sunda konon yang terbanyak nomor dua setelah bahasa Jawa.

Keputusan para pemuda pada tahun 1928 itu juga bisa dipandang sebagai suatu sikap dan pendirian yang otonom. Kita bisa melihat perbedaan Indonesia dengan negara-negara yang pernah terjajah lainnya. Bahasa kaum penjajah pada umumnya menjadi bahasa utama atau bahasa kedua di negara-negara terjajah. Namun, di Indonesia, bahasa Belanda lenyap dalam bahasa komunikasi seiring perjalanan waktu. Meskipun kaum terdidik yang mengenyam lembaga pendidikan bentukan Belanda lewat politik etisnya masih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi pasca-1945, namun tidak berpengaruh signifikan. Bahasa Belanda lambat laun hilang dari peredaran. Bahasa Indonesia semakin berkembang dan tertanam di tengah masyarakat.

Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memang telah dikuasai sebagian besar masyarakat di negeri ini. Bahkan, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang jumlah penuturnya nomor empat terbanyak di dunia setelah bahasa Cina, Inggris, dan Spanyol (Zol Viandri Koto, 2008). Fakta ini bisa dikatakan fenomenal. Diakui atau tidak, bahasa Indonesia menjadi bahasa belum berlangsung lama, bahkan belum seabad! Bandingkan dengan bahasa Cina (yang populer disebut dengan bahasa Mandarin), bahasa Inggris, dan bahasa Spanyol yang telah memiliki sejarah peradaban panjang.

Dengan spirit Sumpah Pemuda, kita yang hidup di tanah Indonesia perlu untuk mengapreasi bahasa Indonesia. Di sisi lain, bahasa-bahasa daerah tetap memiliki ruang untuk berkembang. Pengajaran bahasa Indonesia di jenjang pendidikan formal perlu juga direvitalisasi agar tidak sekadar teori dan pengetahuan, tetapi harus produktif. Artinya, pengajaran bahasa Indonesia juga harus membangun kemampuan berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peserta
Kuliah Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Jogjakarta