Belajar Menjual dari Sun Tzu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 7 Januari 2012


Judul:
Menjadi Penjual Profesional ala Sun Tzu Penulis: Frans M Royan Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Tahun: I, 2011 Tebal: xvi 235 halaman Harga: Rp45.000


Sun Tzu adalah panglima perang China yang hidup pada tahun 403-221 SM. Sosok yang fenomenal ini adalah ahli strategi dalam memenangkan peperangan. Tak hanya di bidang militer, banyak pihak mengacu pada pemikiran dan sepak terjangnya untuk berbagai bidang ilmu lainnya.


Buku karya Franz M Royan ini memberi gambaran penerapan strategi Sun Tzu dalam bidang bisnis, terutama pada penjualan produk. Dalam buku seni perangnya berjudul Sun Tzu Ping Fa, Sun Tzu mengajarkan kepada prajuritnya strategi agar selalu menang perang, bahkan dalam 100 peperangan sekalipun.
Lantas, apakah para penjual tak boleh gagal?

Mungkin terasa berlebihan apabila dalam penjualan tak boleh gagal. Belajar dari Sun Tzu, papar penulis buku ini, kata "kegagalan" semestinya tak keluar dari bibir penjual, sebab penjual telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum menemui konsumen.
Berhasil dalam 100 penjualan atau lebih bisa saja dicapai apabila ada persiapan matang. Jadi, yang ditekankan jika bisa berhasil, mengapa harus gagal?

Dengan pemaparan yang mudah dicerna, Frans M Royan, yang berpengalaman di sales and marketing selama 24 tahun, mengajak kita menyelami strategi Sun Tzu.
Setiap penjual harus memiliki perencanaan. Hal ini tak jauh berbeda dengan yang diajarkan Sun Tzu sebelum berperang. Di dalam manajemen perencanaan, tertuang planning, organizing, actuating, and controlling, sedang Sun Tzu menggunakan plan, do, check, and action. Apabila diterapkan pada penjualan, para penjual harus merencanakan, melakukan, kontrol, dan bertindak. Dengan begitu, para penjual dapat memaksimalkan penjualannya.

Mereka yang telah membaca bukunya tahu bahwa Sun Tzu mengajarkan kepada prajurit bahwa jika ingin menang perang, tak perlu mengadakan peperangan.
Itu seperti dalam penjualan produk. Sebagaimana Sun Tzu yang akan selalu berusaha memenangkan 100 peperangan untuk memuaskan sang raja, para penjual dituntut bisa memuaskan pelanggan, sebab konsumen adalah bos para penjual. Tanpa konsumen, perusahaan akan bangkrut.

Penulis buku juga memaparkan Sun Tzu memiliki kemampuan mengelabui. Ia akan memancing musuh turun gunung, dan prajurit Sun Tzu menghancurkannya. Prajurit Sun Tzu akan membuat api yang jumlahnya banyak, lalu dimatikan satu per satu. Musuh mengira pasukan Sun Tzu sedang mundur.
Namun ketika musuh menyerbu, mereka kocar-kacir disergap pasukan Sun Tzu. Kegiatan ini seperti memancing konsumen datang untuk membeli produk yang murah, dengan tujuan dapat mengundang konsumen untuk membeli produk lainnya. Banyak hal lainnya bisa dipelajari dari buku ini.
Hendra Sugiantoro, penulis lepas tinggal di Yogyakarta

Mahasiswa Tidak Plagiat?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Jum'at, 6 Januari 2012

Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/ atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Itulah pengertian plagiat yang tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) No. 17/2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi Bab I Pasal 1.

Tindakan plagiat jelas menyalahi etika akademik. Dalam pemberitaan media massa, tindakan plagiat kerapkali dilakukan staf pengajar perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah mahasiswa tak pernah plagiat dalam membuat karya tulis? Perilaku ambil jalan pintas yang menggejala di kalangan mahasiswa ditengarai juga merambah dalam kepenulisan. Begitu juga dengan faktor minimnya aktivisme menulis yang memungkinkan tindakan plagiat terjadi. Ketika diketahui melakukan plagiat, ada sanksi bagi mahasiswa yang paling ringan sampai yang berat. Sanksi tersebut secara berurutan adalah teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa, pemberhentian dengan hormat dari status mahasiswa, pemberhentian tidak dengan hormat dari status mahasiswa, atau pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program (Peraturan Mendiknas No. 17/2010 Bab VI Pasal 12 (1)).

Dalam Bab V Pasal 10 Ayat (1) dari peraturan tersebut diterangkan apabila mahasiswa ditengarai melakukan plagiat, maka ketua jurusan/departemen/bagian membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya dan/ atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa. Untuk melakukan persandingan tersebut, karya tulis yang dihasilkan mahasiswa pastinya telah diperiksa dan dikoreksi oleh dosen bersangkutan. Namun, hal ini dimungkinkan jarang dilakukan. Tak ada jaminan dosen memeriksa karya tulis mahasiswa secara keseluruhan akibat kesibukan ataupun kuantitas mahasiswa yang diampu. Jika pun diperiksa secara keseluruhan dengan teliti, tindakan plagiat masih bisa terjadi. Dosen tetap memiliki keterbatasan menguasai referensi dan mengetahui isi dari berbagai literatur.

Untuk membangun budi pekerti terkait kejujuran dan penegakan etika akademik, pencegahan plagiat di kalangan mahasiswa—tidak hanya dosen—menjadi salah satu fokus penting. Meskipun kunci mengatasi plagiarisme pada dasarnya terletak pada hati nurani mahasiswa, namun upaya dari pihak jurusan perlu juga dilakukan, seperti mengadakan pelatihan kepenulisan sebagai pembinaaan mahasiswa. Dari segi kurikulum, mata kuliah Bahasa Indonesia bisa diselenggarakan. Pelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi hendaknya tak sekadar berkaitan dengan aspek-aspek Bahasa Indonesia yang harus dikuasai, tetapi juga berkaitan dengan kaidah tulis-menulis (Sunarti: 2009). Organisasi kemahasiswaan seperti penelitian bisa turut berperan.

Di samping itu, pembukuan karya tulis mahasiswa sekiranya perlu diprogramkan. Mahasiswa biasanya diberi tugas oleh dosen untuk menyusun karya tulis. Tidak hanya untuk dipresentasikan di depan kelas, karya tulis itu juga perlu dibukukan. Jadi, mahasiswa bisa menghasilkan satu buku ketika usai menempuh satu mata kuliah. Dengan target dibukukan, mahasiswa menjaga pekerjaan menulisnya dilakukan secara jujur. Dosen juga perlu memantau dan memeriksa secara teliti. Pembuatan buku untuk diterbitkan akan menjadi taruhan bagi mahasiswa. Satu karya tulis yang disusun seorang mahasiswa yang tak memenuhi kaidah dan etika penulisan bisa mencoreng wajah dosen dan seluruh mahasiswa. Maka, penerbitan buku ini bisa menjadi kontrol. Masing-masing mahasiswa membangun integritas dengan saling menjaga, mengingatkan, mengoreksi, dan merevisi karya tulis satu sama lain. Diskusi-diskusi intensif bisa dilakukan agar bisa menghasilkan karya tulis berkualitas. Karya tulis mahasiswa yang telah dibukukan bisa dibawa ke penerbit atau diterbitkan dengan biaya sendiri.
Meskipun berisi karya tulis mahasiswa, dosen bukan berarti lepas tanggung jawab ketika buku diterbitkan. Pada titik ini, dosen membuat kata pengantar pada buku sekaligus menjelaskan bahwa karya tulis di dalamnya merupakan karya mahasiswanya. Ketika karya tulis di dalamnya ternyata ditengarai beraroma plagiarisme oleh publik, maka citra dosen ikut terkena getahnya. Dengan demikian, dosen akan bertanggung jawab membimbing mahasiswa dari awal sampai akhir ketika menyusun karya tulis.

Apa yang diutarakan di atas adalah alternatif mencegah plagiat di kalangan mahasiswa. Banyak cara bisa dilakukan demi membentuk budi pekerti dan karakter mahasiswa yang mengedepankan kejujuran dan antiplagiat. Plagiator-plagiator di perguruan tinggi perlu dicegah agar tak menjelma koruptor di kemudian hari Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta