Pendidikan dalam Keluarga, Lupakah?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Kamis 12 November 2009

Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan tidak hanya di sekolah formal. Dalam kehidupan keluarga, pendidikan juga harus berjalan. Pendidikan dalam keluarga memiliki peran penting membangun kualitas manusia.

Namun sayang, pendidikan dalam keluarga seakan-akan terlupakan. Kita sering kali hanya memasrahkan pendidikan anak kepada sekolah. Kadang kita serta-merta menyalahkan pihak sekolah jika ternyata anak tidak berkelakuan baik. Kita cukup membiayai anak sekolah dan tidak memberikan pendidikan yang baik dalam lingkungan keluarga. Padahal, baik buruknya anak tidak mutlak kesalahan pihak sekolah. Ketika anak berkelakuan buruk, keluarga juga bertanggung jawab. Kenakalan anak boleh jadi akibat dari kenakalan orang tua. Tentu saja, orang tua perlu melakukan introspeksi ketika menjumpai anaknya tidak berperilaku mulia. Pihak sekolah jangan terus disalahkan!

Maka, kesadaran pentingnya pendidikan dalam keluarga menjadi niscaya. Di lingkungan keluargalah pertama kali anak membentuk konsep diri dan konsep moral. Mulanya kecerdasan anak terbentuk di lingkungan keluarga. Pendidikan dalam keluarga dan pendidikan di sekolah perlu berjalan beriringan. Dengan sinergi pihak keluarga dan pihak sekolah semoga mampu membangun kualitas anak sebagai indivudu manusia dan anggota masyarakat.

Pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah—meminjam Muhammad Natsir—berperan sebagai sarana memimpin dan membimbing anak mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, menjadikan anak memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak mulia, menjadikan anak sebagai manusia yang jujur dan benar, mengarahkan anak menjadi hamba Allah SWT, menjadikan anak yang dalam segala perilaku atau interaksi vertikal maupun horisontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan mendorong sifat-sifat kesempurnaan anak, bukan menghilangkan dan menyesatkan sifat- sifat kemanusiaan (lihat Abuddin Nata dalam Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 2005).

Pertanyaannya, siapkah kita menjadikan lingkungan keluarga sebagai ruang pendidikan anak? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Guru dalam Kritik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Minggu 8 November 2009
Profesionalisme guru merupakan harga mati. Upaya meningkatkan profesionalisme guru dilakukan diantaranya melalui program sertifikasi guru yang digulirkan pemerintah. Namun, guru memperoleh teguran. Diakui atau tidak, program sertifikasi guru ternyata tak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja guru.

Di sinilah guru tampaknya kita perlu melakukan introspeksi. Hasil survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menunjukkan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi masih belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Motivasi kerja ini dengan harapan segera mendapat sertifikasi berikut uang tunjangan profesi. Dalam survei yang dilansir 7 Oktober 2009 itu, baru 16 provinsi dari 28 provinsi yang diolah datanya oleh PGRI. Lantas, bagaimana guru menyikapi hal ini?

Memang benar apa yang diungkapkan Ketua Umum PGRI Sulistiyo bahwa para guru mesti terus membangun citra guru, mulai dengan bekerja sungguh-sungguh, meningkatkan kualitas diri, dan menjadi teladan. Namun, pastinya menyikapi fenomena yang diperlihatkan dalam survei tentu tak bisa mengabaikan faktor internal guru. Dengan kata lain, guru perlu mengkritisi diri sendiri. Dengan tetap menghormati guru yang bekerja sepenuh jiwa, tidak semua guru memiliki kesadaran internal untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ada guru yang tertantang mengasah kompetensinya dengan jaminan kesejahteraan, tapi ada juga guru yang kualitasnya tidak berkembang meskipun sudah cukup mapan secara finansial.

Di sisi lain, kelanjutan dari program sertifikasi guru memang cenderung tidak jelas. Jika sertifikasi guru sekadar berhenti dengan diperolehnya tunjangan profesi, maka upaya peningkatan kualitas guru boleh dikatakan bersifat parsial. Di sinilah persoalannya. Maka, tak ada salahnya pemerintah memprogramkan uji sertifikasi guru secara periodik. Artinya, guru-guru yang telah mendapatkan sertifikat pendidik tetap perlu diuji lagi agar tetap terjaga kepemilikan kualitasnya. Namun, sekali lagi, kesadaran internal guru tetaplah penting. Guru perlu mengkritisi diri sendiri. Apakah telah meningkatkan kompetensi dengan membaca buku-buku terkait dengan bidang profesi? Apakah kegiatan-kegiatan ilmiah dan berbagai jenis kegiatan peningkatan kapasitas lainnya diikuti? Apakah guru telah melakukan kinerja secara baik dan bertanggung jawab? Wallahu a’lam.

Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Kemaslahatan Rakyat, Kewajiban Anda!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Pos, Kamis, 5 November 2009

PENYUSUNAN Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II menuai pro dan kontra. Dengan 34 menteri dan tiga pejabat negara yang mendukung pekerjaan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengepakkan sayap optimisme bahwa KIB Jilid II mampu bekerja efektif untuk menggulirkan dan menyukseskan program kerja. Optimisme yang juga selayaknya dimiliki bangsa ini. Optimisme bahwa KIB Jilid II akan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi laju perkembangan bangsa dan negara.

Jika pun mencuat sikap kontra dalam penyusunan kabinet, itu sah-sah saja. Adanya sikap kontra merupakan sebentuk kontrol agar KIB Jilid II bisa bekerja sebaik-baiknya. Artinya, tanggapan kontra perlu disikapi sebagai pelecut spirit KIB Jilid II untuk mempersembahkan kerja-kerja membangun kemaslahatan kehidupan rakyat. Jajaran KIB Jilid II harus membuktikan kemampuannya dan melakukan unjuk kerja positif. Keraguan berbagai pihak terkait KIB Jilid II harus dijawab dengan bukti-bukti nyata kinerja cemerlang kabinet.

Pastinya, kinerja positif kabinet menjadi hal yang penting. Silahkan KIB Jilid II bekerja dan membuktikan janji dan komitmennya. Jajaran KIB Jilid II harus menyadari bahwa tugas-tugasnya tidaklah ringan. Ketika telah diamanahi menduduki posisi menteri dalam KIB Jilid II, amanah itu wajib dijalankan sepenuh jiwa dan pengabdian.

Dalam hal ini, jajaran KIB Jilid II seyogianya benar-benar menghayati dan menjiwai maksud didirikannya pemerintahan negara Republik Indonesia . Ada empat hal. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia . Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat hal itu harus dihayati sehingga setiap kebijakan presiden ataupun menteri tetap dalam koridor maksud didirikannya pemerintahan.
Di sisi lain, lembaga legislatif harus melakukan fungsionalisasi pengontrolan dan pengawasan terhadap kinerja kabinet. KIB Jilid II akan bekerja baik jika lembaga legislatif juga berfungsi secara baik. Anggota parlemen dan anggota kabinet harus membedakan fungsi dan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Meskipun banyak menteri kabinet yang berasal dari parpol, itu bukan berarti menteri sebagai wakil parpol. Ketika menduduki posisi sebagai menteri, maka bendera parpol dilepas dan digantikan “bendera merah putih”. Parpol dalam parlemen tidak ada kepentingan membela kader-kadernya dalam kabinet jika menunjukkan kinerja buruk. Anggota-anggota parlemen wajib menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif secara benar dan bertanggung jawab!

Kini saatnya bagi jajaran KIB Jilid II menunjukkan kontribusi nyata membangun kemaslahatan kehidupan rakyat. Singsingkan lengan baju dan mulailah bekerja keras! Saksikan kehidupan masyarakat dengan terjun langsung di lapangan. Rasakanlah denyut nadi kehidupan masyarakat! Di antara sekitar 235 juta penduduk negeri ini, ada sebagian rakyat yang kurang terjamin kehidupannya. Rakyat merindukan kesejahteraan dan tingkat penghidupan yang layak. Di antara penduduk negeri ini, ada sebagian rakyat yang masih sulit mengembangkan potensi diri akibat terhambat mengakses jenjang pendidikan. Maka, bekerjalah KIB Jilid II dan jangan membiarkan sebagian penduduk negeri ini kelaparan! Tunjukkan kinerja Anda sebaik-baiknya. Tunjukkan kinerja Anda sebenar-benarnya untuk membangun kemaslahatan kehidupan rakyat! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009110506501866

Belajar Maju dari Negeri Sakura

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu, 1 November 2009

Judul Buku: Spirit Jepang: 30 Inspirasi&Kunci Sukses Orang-orang Jepang
Penulis: Taufik Adi Susilo Penerbit: Garasi, Yogyakarta Cetakan: I, Maret 2009 Tebal:204 hlm
BERBICARA mengenai Jepang, ingatan kita mungkin mengarah pada zaman prakemerdekaan dimana Jepang pernah menjajah Indonesia. Adanya pikiran itu sah-sah saja karena merupakan fakta. Tapi, buku yang ditulis Taufik Adi Susilo ini bukan untuk mengarahkan pikiran kita terkait penjajahan Jepang. Melalui buku ini, kita diajak untuk menyelami kunci sukses masyarakat Jepang yang kini mampu meraih kemajuan. Dengan minimnya sumber daya alam, Jepang ternyata tampil luar biasa sebagai negara yang diperhitungkan di dunia. Berbagai julukan disandang Jepang mulai dari Matahari Terbit, Macan Asia sampai Negeri Sakura.
Dikatakan penulis buku, hidup bagi orang-orang Jepang adalah belajar dan bekerja. Tiada hari tanpa belajar dan bekerja. Masyarakat Jepang disiplin dan menaruh penghargaan tinggi terhadap waktu. Pentingnya semangat belajar ditekankan kepada masyarakat Jepang yang tampak dari pemanfaatan waktu secara efisien untuk tekun melahap bahan bacaan. Di Jepang, produksi buku per tahun bisa mencapai 60.000-70.000 judul buku. Toko buku dan perpustakaan sangat mudah dijumpai sehingga membentuk budaya membaca masyarakat. Di Jepang, pengembangan riset dan ilmu pengetahuan sangat ditekankan di semua jenjang pendidikan. Perguruan tinggi menjadi penghasil sumber daya manusia spesialis dan lembaga penelitian yang menghasilkan inovasi-inovasi teknologi. Pemerintah Jepang mendukungnya dengan memberi anggaran pendidikan yang tinggi. Untuk keperluan penelitian saja, negara menganggarkan 20% dari keseluruhan anggaran pendidikan. Tak heran jika jumlah peneliti di Jepang adalah hampir sepertiga peneliti di dunia (hlm. 73).
Membaca buku ini, kita diajak menyelami sisi kehidupan masyarakat Jepang dan faktor-faktor apa saja yang menjadikan Jepang disegani di mata dunia. Buku ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk setidaknya menggali nilai-nilai positif dari negeri Jepang yang harapannya bisa menginspirasi kemajuan negeri kita: Indonesia.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Komunitas Gapura Trans-F UNY

Sumpah Pemuda dan Pendidikan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Kamis 29 Oktober 2009

Tahun ini kita akan memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.

Adapun sebagian isi tulisan itu, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…….Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”. Pemuda Tionghoa juga hadir dalam kongres itu, yakni Kwee Thiam Hong (sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda adalah rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

Di akhir kongres, para pemuda mengucapkan sumpah setelah menggelar rapat intensif selama dua hari yang diketuai Soegondo Djojopoespito. Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah bidang pendidikan menjadi pembahasan dalam kongres itu? Bagaimana para pemuda membahas persoalan pendidikan?

Dalam Kongres Pemuda II, aspek pendidikan menjadi pembahasan menarik dan disebut oleh Muhammad Yamin sebagai salah satu faktor pemerkuat persatuan Indonesia. Saat rapat pada hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Sabtu, 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin juga menyebut faktor selain pendidikan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, dan kemauan. Muncul juga pemikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pendidikan dalam rapat hari kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang menarik kita hayati: (1). Anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2). Harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3). Anak juga harus dididik secara demokratis. Masih terkait dengan aspek pendidikan, Soenario yang juga tampil sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ditegaskan Ramelan dalam Kongres Pemuda II bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian merupakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Adanya peran penting pendidikan bagi kebangunan bangsa dan negara, siapa pun tentu tak memungkiri. Bangkitnya kesadaran para pemuda yang menggagas dan menggelar Sumpah Pemuda 1928 pun disebabkan dari tempaan proses pendidikan Menurut Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928 cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Atas dasar itu, kita pun menyadari bahwa aspek pendidikan memegang peranan penting mencerahkan alam pikiran anak bangsa. Pendidikan mampu memberikan kesadaran bagi anak bangsa untuk memberikan kontribusi bagi kebangunan bangsanya.

Pendidikan yang mampu melahirkan insan-insan yang peduli terhadap bangsanya tentu saja adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Kesimpulan pendapat Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam Kongres Pemuda II bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Pendidikan kebangsaan adalah pendidikan yang mendidik anak bangsa agar mencintai bangsanya, memiliki kehendak untuk berkarya dan membangun bangsanya. Pada dasarnya konsep ini sudah termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan tak sekadar membangun tingkat intelektualitas, tapi juga mampu melahirkan anak bangsa sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk itu, pendidikan kebangsaan perlu diimplementasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan kebangsaan bukan berarti meniadakan nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal perlu diajarkan dan ditanamkan, tapi anak-anak bangsa juga perlu ditanamkan kesadaran sebagai satu bangsa yang hidup dan berpijak di tanah Indonesia. Kesadaran yang akhirnya menghasilkan tindakan positif untuk berkontribusi nyata bagi perbaikan bangsanya. Tanggung jawab melakukan itu tentu saja tidak melulu berada di pundak sekolah. Artinya, pihak keluarga juga bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar memiliki nilai-nilai kebangsaan.
Sinergisitas pihak keluarga dan sekolah diperlukan untuk mendidik anak-anak bangsa sehingga kelak akan lahir—meminjam Fahri Hamzah (2002)—pemuda dalam semangat, kesucian diri, kecerdasan, kecemerlangan, kejujuran, keberanian, pikiran dan jiwa besar, kepercayaan diri dan mental yang terbuat dari baja, kejujuran dan patriotisme terhadap bangsa Indonesia. Seperti tutur Ki Hajar Dewantara, “Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara kita.”

Pungkasnya, Sumpah Pemuda memang selalu identik dengan semangat kebangsaan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa pondasi untuk menanamkan hal itu adalah melalui pendidikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta