Titik Kritis Pendidikan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis 18 Juni 2009

HASIL ujian nasional (UN) SMA/MA/SMK telah diumumkan akhir pekan lalu (13/6). Adapun untuk siswa-siswa SMP/MTs akan diumumkan akhir pekan ini (20/6). Bagi siswa-siswa yang telah mengetahui hasil UN akan menerima dengan perasaan suka ria sekaligus duka. Perasaan suka ria bagi yang dinyatakan lulus, perasaan duka bagi yang tidak lulus. Angka kelulusan yang meningkat tentu menjadi kebanggaan pemerintah (Depdiknas) yang memang bagaikan karang terus bersikukuh mempertahankan UN sebagai indikator kelulusan. Dilihat dari sisi akademik, kelulusan siswa dalam UN sepertinya merupakan prestasi membanggakan. Terlepas dilakukan dengan cara seperti apa, kelulusan UN telah menjadi tujuan bagi siswa dan pihak sekolah. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang harus bersedih menyaksikan fakta UN dengan hasil seperti apapun selain siswa yang tidak lulus?

Pendidikan di negeri ini harus dikatakan tengah mengalami titik kritis. Tanpa kesadaran dari berbagai pihak, wajah negara di masa mendatang akan turut merasakan dampaknya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan dan karakterisasi bangsa seolah-olah kehilangan makna akibat pendewaan angka. Memang perolehan angka kuantitatif penting, tapi menyempitkan tujuan pendidikan pada ”keelokan” angka-angka di lembar ijazah bisa menciptakan bumerang. Siapa pun layak bersedih menyaksikan proses pendidikan di sekolah sekadar menggenjot siswa pada kemampuan menghafal, bahkan malah sekadar latihan soal-soal ujian.

Pendidikan yang berada pada titik kritis sebenarnya sudah tampak di lapangan dan seharusnya menjadi perenungan. Kita saksikan, misalnya, luapan kegembiraan siswa-siswa yang lulus UN seakan-akan miskin empati terhadap siswa-siswa yang tidak lulus. Dengan perasaan bangga, siswa-siswa yang lulus UN berhura-hura di jalanan. Paradigma kompetisi yang ditanamkan kuat melalui proses pendidikan telah menciptakan penyakit individualisme. Siapa pun berpikir untuk dirinya dan kegagalan orang lain bukan urusannya. Wajah masyarakat yang tiada saling peduli tak dimungkiri merupakan dampak dari pendidikan selama ini yang lebih menekankan persaingan dan kepuasan prestasi secara individual. Sikap mental pragmatis pun didapatkan dari pendidikan di sekolah dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan kelulusan. Tanpa disadari, pendidikan malah menjadi produsen calon-calon koruptor di masa depan. Pendidikan yang berada pada titik kritis juga tampak dari tak meredanya tawuran antar pelajar, pelajar yang berlagak sok preman, dan keterlibatan pelajar dalam kriminalitas.

Siapa pun yang memahami pendidikan tentu menyadari bahwa pendidikan tidak sekadar berpikir untuk saat ini dan hari ini. Berpikir mengenai pendidikan berarti juga berpikir untuk masa depan bangsa dan negara. Wajah pendidikan saat ini akan berimbas pada wajah kehidupan bangsa dan negara di masa mendatang. Pendidikan berfungsi untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Seperti apa kehidupan bangsa dan negara yang ideal di masa mendatang ditentukan oleh seperti apa proses pendidikan diselenggarakan saat ini. Jika kita mengidealkan kehidupan bangsa dan negara yang bersih korupsi, penuh toleransi, memiliki semangat kebersamaan, dan diliputi kesejahteraan, maka kita perlu mengusahakan melalui penyelenggaraan pendidikan di masa kini.

Pada titik ini, makna pendidikan dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas harapannya tidak sekadar teks nihil praktik. Sekolah sebagai lembaga formal pendidikan dituntut mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Ada capaian-capaian dari proses pendidikan di sekolah agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah juga perlu menanamkan nilai-nilai, tidak sekadar melulu mengejar target perolehan angka kuantitatif.

Pendidikan yang hanya sekadar ajang berburu angka-angka kelulusan pastinya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pendidikan harus sesegera mungkin dikembalikan pada hakikatnya sebagai proses memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Proses membangun karakter bangsa melalui pendidikan harus dijalankan sebagaimana mestinya jika kita tidak ingin melihat wajah bangsa ini terus dilanda keterpurukan. Potensi akal (al-’aql), hati (al-qalb), dan jasad (al-jasad) yang dimiliki individu manusia perlu dikembangkan dan diarahkan menuju kebaikan positif melalui proses pendidikan di sekolah.

Maka, pendidikan masa depan adalah pendidikan yang membangun karakter bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwadarminta, hlm. 189) karakter dimaknai sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, watak, atau kepribadian. Pada dasarnya, karakter bangsa yang hendak dibentuk lewat proses pendidikan telah jelas tertera dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Karakter yang hendak dicapai dalam proses pendidikan adalah lahirnya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan Ratna Megawangi (2003) bahwa kualitas karakter meliputi (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) Jujur/amanah dan arif; (4) Hormat dan santun; (5) Dermawan, suka menolong, dan gotong-royong; (6) Percaya diri, kreatif dan pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai, dan kesatuan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan aspek penting dalam membangun tatanan masyarakat di masa mendatang. Esensi pendidikan adalah proses pembudayaan dan karakterisasi bangsa. Keberhasilan pendidikan tidak semata terletak dari diraihnya gelar dalam ajang olimpiade tingkat dunia, tapi pada tumbuhnya kesadaran kolektif peserta didik sebagai agen perbaikan bangsa dan negara. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pendidikan anak-anak bangsa tentu harus menyikapi serius titik kritis pendidikan ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta