Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis 5 Maret 2009
Menarik mencermati kegelisahan terkait dunia perguruan tinggi. Selama ini beragam opini beredar yang intinya mengkritisi matinya budaya intelektual kampus. Sebut saja persoalan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah. Di sisi lain, mahasiswa yang bertipikal main enaknya saja merupakan fakta yang tak dimungkiri. Budaya belajar di tingkat perguruan tinggi boleh dikatakan masih kalah jauh dengan angkatan Bung Karno dan kawan-kawan. Sebagian mahasiswa ada yang dihinggapi penyakit malas membaca dan mengkaji literatur mata kuliah. Mengerjakan tugas-tugas kuliah sekadar menyomot dari karya tulis orang lain dan mengabaikan kaidah penulisan secara tepat. Belum lagi menggejalanya perilaku mencontek saat ujian close book yang dilakukan sebagian mahasiswa.
Belum lagi yang terjadi di kalangan dosen. Sebagaimana dikatakan Mahfud MD, dunia akademik makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau disertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu (Agus Wibowo:2008). Adanya sebagian dosen yang sekadar melakukan rutinitas perkuliahan dan kurang melakukan pengembangan spesialisasi keilmuannya bukanlah rahasia lagi. Dalam memeriksa tugas-tugas mahasiswa, tak ada jaminan seorang dosen akan memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa dan melakukan penilaian obyektif.
Kondisi yang terkesan menyedihkan itu jelas kian bertambah dengan minimnya hasil karya tulis dari mahasiswa dan juga dosen, baik yang berupa artikel di media massa maupun karya ilmiah di jurnal ilmiah. Padahal, hal itu bermanfaat untuk berlatih memecahkan permasalahan-permasalahan, baik dalam kancah keilmuan maupun dalam kancah kehidupan sosial. Daya pikir mahasiswa dan dosen pun akan terasah sekaligus mempertajam pemikiran kritis. Dengan menghasilkan karya tulis akan berguna bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Totok Djuroto&Bambang Suprijadi:2003). Pertanyaan kemudian, benarkah dengan paparan fakta di atas menjatuhkan kesimpulan pada matinya intelektual kampus?
Meskipun terpapar fakta-fakta di atas, iklim intelektualitas di dunia perguruan tinggi tidak bisa dikatakan mati sama sekali. Ada dosen dan mahasiswa yang masih menyalakan tradisi intelektual yang sebenarnya bisa kita jumpai. Dosen tidak hanya cakap berkoar-koar di panggung seminar dengan materi itu-itu saja, tapi ada juga dosen yang mengabadikan pemikirannya lewat karya tulis. Di perguruan tinggi, dharma pendidikan, dharma penelitian, dan dharma pengabdian kepada masyarakat tidak sepenuhnya menghilang. Masih bisa kita jumpai konsistensi menegakkan tri dharma perguruan tinggi itu. Sebagaimana kehidupan, ada gelap dan ada terang. Di tengah fakta inteletualitas dunia perguruan tinggi yang seolah-olah gelap itu masih dijumpai cahaya terang.
Pastinya, mahasiswa dan dosen sebagai kaum akademisi yang notabene berpendidikan tinggi belum sepenuhnya bisa disebut seorang intelektual. Darmanto Djojodibroto (2004) menjelaskan bahwa tidak semua sarjana bisa digolongkan sebagai intelektual. Pun, seorang intelektual tidak harus menjadi sarjana. Artinya, lulusan perguruan tinggi tidak serta merta diakui sebagai seorang intelektual jika tidak memenuhi persyaratan. Dari sekian ratus ribu lulusan perguruan tinggi barang kali hanya sebagiannya saja yang pantas disebut seorang intelektual, selebihnya hanya sekadar membanggakan gelar sarjananya. Ada hal lain yang perlu dimiliki seorang intelektual, yakni berminat atau peduli pada masalah-masalah yang menyangkut nasib manusia yang berkaitan dengan moral dan politik. Selain itu, seorang intelektual juga harus mampu menyatakan hasil pemikirannya secara lisan dan secara tertulis. Seorang intelektual hidup dalam dunia idealita dan ingin melakukan perbaikan terhadap tatanan kehidupan yang jauh dari idealita.
Yang perlu digarisbawahi, dunia perguruan tinggi tidak sekadar melahirkan sarjana formal bertoga, tapi juga memiliki tugas penting melahirkan kader-kader intelektual dengan menumbuhsuburkan budaya intelektual. Dengan kata lain, dunia perguruan tinggi hanyalah medan penempaan bagi terbentuknya kaum intelektual. Jika perguruan tinggi mampu melahirkan kader-kader intelektual, maka kita sudah saatnya menghapus istilah pengangguran terdidik. Bagi sarjana yang berjiwa intelektual tentu tidak akan menjadi pembuat masalah dengan menambah deret panjang pengangguran, tapi justru menjadi pemecah persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kita berharap semoga kampus mampu melahirkan intelektual yang menyala terang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Direktur Transform Institute (Trans-F) pada Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis 5 Maret 2009
Menarik mencermati kegelisahan terkait dunia perguruan tinggi. Selama ini beragam opini beredar yang intinya mengkritisi matinya budaya intelektual kampus. Sebut saja persoalan jual beli ijazah dan pemalsuan ijazah. Di sisi lain, mahasiswa yang bertipikal main enaknya saja merupakan fakta yang tak dimungkiri. Budaya belajar di tingkat perguruan tinggi boleh dikatakan masih kalah jauh dengan angkatan Bung Karno dan kawan-kawan. Sebagian mahasiswa ada yang dihinggapi penyakit malas membaca dan mengkaji literatur mata kuliah. Mengerjakan tugas-tugas kuliah sekadar menyomot dari karya tulis orang lain dan mengabaikan kaidah penulisan secara tepat. Belum lagi menggejalanya perilaku mencontek saat ujian close book yang dilakukan sebagian mahasiswa.
Belum lagi yang terjadi di kalangan dosen. Sebagaimana dikatakan Mahfud MD, dunia akademik makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau disertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu (Agus Wibowo:2008). Adanya sebagian dosen yang sekadar melakukan rutinitas perkuliahan dan kurang melakukan pengembangan spesialisasi keilmuannya bukanlah rahasia lagi. Dalam memeriksa tugas-tugas mahasiswa, tak ada jaminan seorang dosen akan memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa dan melakukan penilaian obyektif.
Kondisi yang terkesan menyedihkan itu jelas kian bertambah dengan minimnya hasil karya tulis dari mahasiswa dan juga dosen, baik yang berupa artikel di media massa maupun karya ilmiah di jurnal ilmiah. Padahal, hal itu bermanfaat untuk berlatih memecahkan permasalahan-permasalahan, baik dalam kancah keilmuan maupun dalam kancah kehidupan sosial. Daya pikir mahasiswa dan dosen pun akan terasah sekaligus mempertajam pemikiran kritis. Dengan menghasilkan karya tulis akan berguna bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Totok Djuroto&Bambang Suprijadi:2003). Pertanyaan kemudian, benarkah dengan paparan fakta di atas menjatuhkan kesimpulan pada matinya intelektual kampus?
Meskipun terpapar fakta-fakta di atas, iklim intelektualitas di dunia perguruan tinggi tidak bisa dikatakan mati sama sekali. Ada dosen dan mahasiswa yang masih menyalakan tradisi intelektual yang sebenarnya bisa kita jumpai. Dosen tidak hanya cakap berkoar-koar di panggung seminar dengan materi itu-itu saja, tapi ada juga dosen yang mengabadikan pemikirannya lewat karya tulis. Di perguruan tinggi, dharma pendidikan, dharma penelitian, dan dharma pengabdian kepada masyarakat tidak sepenuhnya menghilang. Masih bisa kita jumpai konsistensi menegakkan tri dharma perguruan tinggi itu. Sebagaimana kehidupan, ada gelap dan ada terang. Di tengah fakta inteletualitas dunia perguruan tinggi yang seolah-olah gelap itu masih dijumpai cahaya terang.
Pastinya, mahasiswa dan dosen sebagai kaum akademisi yang notabene berpendidikan tinggi belum sepenuhnya bisa disebut seorang intelektual. Darmanto Djojodibroto (2004) menjelaskan bahwa tidak semua sarjana bisa digolongkan sebagai intelektual. Pun, seorang intelektual tidak harus menjadi sarjana. Artinya, lulusan perguruan tinggi tidak serta merta diakui sebagai seorang intelektual jika tidak memenuhi persyaratan. Dari sekian ratus ribu lulusan perguruan tinggi barang kali hanya sebagiannya saja yang pantas disebut seorang intelektual, selebihnya hanya sekadar membanggakan gelar sarjananya. Ada hal lain yang perlu dimiliki seorang intelektual, yakni berminat atau peduli pada masalah-masalah yang menyangkut nasib manusia yang berkaitan dengan moral dan politik. Selain itu, seorang intelektual juga harus mampu menyatakan hasil pemikirannya secara lisan dan secara tertulis. Seorang intelektual hidup dalam dunia idealita dan ingin melakukan perbaikan terhadap tatanan kehidupan yang jauh dari idealita.
Yang perlu digarisbawahi, dunia perguruan tinggi tidak sekadar melahirkan sarjana formal bertoga, tapi juga memiliki tugas penting melahirkan kader-kader intelektual dengan menumbuhsuburkan budaya intelektual. Dengan kata lain, dunia perguruan tinggi hanyalah medan penempaan bagi terbentuknya kaum intelektual. Jika perguruan tinggi mampu melahirkan kader-kader intelektual, maka kita sudah saatnya menghapus istilah pengangguran terdidik. Bagi sarjana yang berjiwa intelektual tentu tidak akan menjadi pembuat masalah dengan menambah deret panjang pengangguran, tapi justru menjadi pemecah persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kita berharap semoga kampus mampu melahirkan intelektual yang menyala terang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Direktur Transform Institute (Trans-F) pada Universitas Negeri Yogyakarta