Hapus Hak Veto DK PBB!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Pembaca Era Muslim, Kamis, 15 Januari 2009

Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Anggota Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sejak berdirinya PBB, hak veto itu dimiliki oleh Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia (dulu Uni Soviet), Perancis, dan China (yang menggantikan Republik China (Taiwan) pada tahun 1979). Dengan dimilikinya hak veto, maka masing-masing perwakilan yang berada di PBB dari kelima negara tersebut berhak membatalkan keputusan atau resolusi yang diajukan PBB atau DK PBB.

Bertepatan dengan berkecamuknya agresi Israel di wilayah Gaza saat ini, hak veto yang dimiliki Anggota Tetap DK PBB terasa menarik untuk dibahas dan dikaji ulang. Tak dimungkiri jika hak veto sering kali menjadi alat salah satu negara (baca: AS) untuk melegalkan penindasan Israel terhadap sebuah negara (baca: Palestina). Padahal jelas, hampir mayoritas negara mengecam dan mengutuk aksi brutal Israel di wilayah Gaza. Bahkan, Riyad Mansoir yang merupakan peninjau tetap Palestina di PBB memperingatkan agar perang segera dihentikan karena ribuan warga sipil Palestina akan meninggal atau cedera. Sejak meletus agresi Israel, sidang DK PBB pada akhir pekan lalu sudah ketiga kalinya dan hasilnya selalu nihil untuk meredakan serangan ke wilayah Gaza yang sudah hampir berlangsung dua pekan.
Jika kita berpikir jernih, penggunaan hak veto yang dimiliki Anggota Tetap DK PBB seakan-akan bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. Adakalanya sebuah keputusan yang telah ditetapkan dalam forum PBB dibatalkan oleh negara pemilik hak veto. Tidak hanya sekali-dua kali hak veto digunakan AS untuk melapangkan jalan bagi Israel melancarkan perang, tapi sudah berulang kali terutama menyangkut Timur Tengah. Pada tahun 2006 lalu, misalnya, AS juga sering menggunakan hak vetonya untuk menolak keputusan agar Israel menghentikan serangannya ke Lebanon.
Pada dasarnya, adanya hak veto itu bukan menjadi masalah jika digunakan sebagaimana mestinya. Persoalannya adalah jika penggunaan hak veto justru bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran atau malah mencederai hukum PBB sendiri. Jika mau jujur, agresi Israel ke wilayah Gaza sebenarnya sudah melanggar hukum-hukum humaniter internasional yang ditetapkan PBB, tapi karena adanya hak veto justru membiarkan hukum-hukum humaniter internasional itu dilanggar oleh Israel.
Maka, kita perlu menyuarakan agar hak veto dikaji ulang. Seperti kita ketahui, pemberian hak veto bagi Anggota Tetap DK PBB tidak terlepas dari faktor Perang Dunia II dimana negara-negara pemenang perang memiliki hak veto dan dikuatkan melalui Pasal 27 Piagam PBB. Artinya, pemberian hak veto sedikit banyak merupakan ambisi negara-negara pemenang perang untuk tetap memiliki kekuatan mengendalikan jalannya dunia.
Melihat ke belakang, ide penghapusan hak veto sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Mantan Sekjend PPB Kofi Annan pun pernah mengusulkan penghapusan hak veto karena menjadi penghambat reformasi di tubuh PBB. Berpikir bijak, keputusan PBB menyangkut urusan apapun tetap berada di Majelis Umum (MU) sebagai representasi seluruh anggota tanpa intervensi negara-negara di DK PBB. Pungkasnya, kita dituntut untuk menyuarakan penghapusan hak veto itu secara konsisten termasuk mendesak kelima negara pemilik hak veto agar bersedia melepaskan hak vetonya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
pekerja media di Universitas Negeri Yogyakarta
Karangmalang Yogyakarta 55281

Zionisme, Nazisme Zaman Modern?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Radar Jogja, Kamis, 15 Januari 2009

Siapapun memahami bahwa konstitusi negara ini telah menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Lahirnya kalimat itu tentu berangkat dari pengalaman empiris negeri ini yang pernah mengalami penjajahan selama 3,5 abad lebih. Dengan spirit konstitusi itu, para pendahulu negeri ini juga memainkan perannya di dunia internasional untuk memerdekakan negara-negara yang masih berkubang dalam jeratan kaum kolonial, sebut saja upaya dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung pada tahun 1955. KAA yang dihadiri 29 negara dari Asia dan Afrika itu merumuskann Komunike Akhir Konferensi, “Mengingat ketegangan di Timur Tengah yang disebabkan oleh keadaan di Palestina serta ketegangan tersebut dapat membahayakan perdamaian dunia, Konferensi Asia - Afrika menyatakan dukungannya terhadap hak-hak penduduk Arab Palestina dan menyerukan agar resolusi tentang Palestina dilaksanakan serta dicapainya penyelesaian damai persoalan Palestina.” Perjuangan memerdekakan Palestina ini juga terus berkumandang dan menjadi spirit dalam KAA pada 23-24 April 2005 di Jakarta.

Melihat agresi Israel ke wilayah Gaza saat ini kita boleh jadi akan merasakan keheranan, pasalnya masih ada penjajahan dan penindasan di abad 21 ini di negara yang termasuk dalam wilayah Asia-Afrika. Pada masa yang dikatakan telah maju dan modern saat ini masih saja ada sebuah entitas yang mengangkat senjata dan melajukan kendaraan militer ke wilayah negara lain. Memori kita pun seakan-akan diingatkan kembali pada penjajahan Belanda tempo lalu dimana pesawat-pesawat tempur dan tank-tank menghujani negeri ini dengan tembakan dan bom. Jika penduduk Indonesia saat itu menderita, penduduk di wilayah Gaza Palestina saat ini tentu merasakan hal yang sama. Lantas, apa yang perlu kita telaah mendalam terkait masih adanya perang angkat senjata yang dilakukan pihak militer Israel ?
Kita memang perlu berpikir jernih menyikapi agresi Israel yang tidak hanya terjadi pada saat ini. Tak bisa dimungkiri jika kita akan betanya-tanya, mengapa ada tentara melakukan pembunuhan terhadap ratusan nyawa? Apakah militer Israel merasa tidak berdosa melakukan serangan ke wilayah Gaza dan mengakibatkan anak-anak meninggal dunia? Diakui atau tidak, apa yang terjadi wilayah Gaza sudah dikategorikan pembantaian secara sadis dengan korban ratusan orang.
Pada titik tertentu, kita seolah-olah diajak mengingat peristiwa di zaman Hitler atau Stalin yang tega melakukan pembantaian terhadap ratusan nyawa, bahkan jutaan. Karena merasa menjadi bangsa lebih unggul, bangsa Aria dikatakan Hitler berhak memusnahkan bangsa lainnya. Stalin yang berjuluk “Manusia Baja” konon pernah memerintahkan pembunuhan sekitar 30 juta penduduk Uni Soviet dan negara-negara di sekitarnya.
Kita kaitkan dengan pembunuhan nyawa warga Gaza oleh Israel saat ini. Dalam mayoritas literatur, berdirinya negara Israel pada tahun 1948 tak terlepas dari ide Zionisme. Awalnya ide itu digagas oleh seorang wartawan asal Austria bernama Theodore Herzl. Karena mungkin seorang wartawan boleh jadi bacaannya luas sehingga bisa memunculkan konsep Zionisme. Doktrin Zionisme itulah yang menghendaki berdirinya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi. Artinya, orang-orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia perlu disatukan dalam satu wilayah. Dalam Kongres Zionis I di Basel Swiss pada 29-31 Agustus 1897, wilayah Palestina akhirnya dipilih sebagai tempat untuk menyatukan orang-orang Yahudi.
Ditelisik lebih jauh, tokoh penggagas Zionisme bukanlah orang Yahudi yang taat. Mereka yang berkumpul dalam kongres sekitar 101 tahun lalu itu bukanlah orang-orang Yahudi yang memiliki kadar keimanan tinggi. Maka, kita tak heran jika Kongres Zionis I malah diselenggarakan di tempat perjudian yang jelas-jelas dilarang oleh Taurat. Jika disimpulkan, Zionisme hanyalah semacam ideologi yang menggunakan topeng agama Yahudi untuk memuluskan rencananya mendirikan tanah air. Kita pun tidak heran jika saat ini kita saksikan terdapat orang-orang Yahudi yang justru mengecam tindakan Israel . Beberapa puluh tahun lalu, tepatnya 3 Oktober 1978, seorang agamawan Yahudi di surat kabar Washington Post pernah mengatakan bahwa Zionisme melakukan penyimpangan jika mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa. Menurut catatan Tiar Anwar Bachtiar (2006), gerakan Zionisme bukanlah murni gerakan keagamaan Yahudi. Zionisme merupakan gerakan nasionalisme bermotif duniawi yang menginginkan bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri dengan merampas
Yang perlu diperhatikan, paham Zionisme tidak terlepas dari pengaruh paham darwinisme sosial yang memang menghangat pada abad itu. Dalam Zionisme, Yahudi bukanlah agama, tapi adalah sebuah ras yang merasa lebih unggul dibandingkan bangsa lainnya dan berhak memusnahkan bangsa selainnya. Maka, mereka pun tak sudi menyatu dengan masyarakat Eropa dan ingin menciptakan tanah air sendiri dengan topeng agama di wilayah Timur Tengah. Pada titik ini, kita semoga bisa memahami mengapa tentara Israel begitu tega membunuh untuk tidak dikatakan membantai ratusan warga Palestina di Gaza, pun warga Lebanon pada 2006 lalu.
Dari penjelasan di atas, kita perlu berpikir jernih dalam menyelesaikan persoalan Palestina. Tidak hanya Palestina, wilayah lainnya di Timur Tengah juga tak luput dari pendudukan negara Israel yang memiliki konsep Negara Israel Raya. Jika ada tuntutan menyeret pejabat tinggi militer Israel ke Mahkamah Internasional untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, itu jelas tidaklah salah. Tidak hanya pejabat saat ini, tapi juga pejabat-pejabat militer dan pemimpin Israel sebelumnya. Tuntutan hancurkan Zionis yang sering kali berkumandang selayaknya ditindaklanjuti. Sesungguhnya kita tidak menghancurkan bangsa Israel , karena mereka tetap berhak hidup sebagai bangsa. Yang kita hancurkan adalah paham Zionisme yang menghalalkan segala cara untuk memusnahkan bangsa lainnya sekadar untuk mendirikan sebuah tanah air. Sebagaimana pada Nazizme ala Hitler, paham Zionisme pun pasti musnah dengan perjuangan tentunya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Profetik Student Center Universitas Negeri Yogyakarta