Membingkai Masa Lalu dalam Serentetan Surat

Oleh: Hendra Sugiantoro
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Jum'at, 1 Maret 2013 

Judul Buku: Surat Cinta untuk Kisha Penulis: Bintang Berkisah Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2013 Tebal: 374 halaman ISBN: 978-602-7640-55-9
Hidup masa kini adalah perjalanan dari masa lalu. Banyak suka dan duka dialami di masa silam itu. Masa lalu memang akan menjadi kenangan. Dalam novel ini, kita akan mendapati masa lalu yang dibingkai Ramu dalam 17 surat yang ditujukan kepada Kisha. Serentetan surat ditulis dan dikirimkan Ramu menjelang eksekusi matinya karena kejahatan terorisme.

Ramu dan Kisha saling bersahabat di kampung dan di sekolah ketika kecil. Keduanya cerdas dan berprestasi di sekolahnya. Karena keluarga Ramu berpindah ke Gulama, mereka akhirnya terpisah (halaman 119-141). Kehidupan di Gulama terus berjalan sampai suatu kasus menimpa ayah Ramu. Ayahnya dipecat karena ketahuan menjual beberapa bahan baku perusahaan secara gelap. Meskipun tak habis pikir dengan perbuatan tercela itu, menurut Ramu tak hanya kesalahan ayahnya. Bagaimana pun, ayahnya telah bekerja keras mencukupi kebutuhan keluarga. Istri dan anak-anaknya yang kerapkali tak mau tahu betapa sulitnya mencari uang dan hanya menuntut segala hal terpenuhi. Akibat kasus itu, ayahnya limbung. Sampai suatu hari ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya (halaman 227-246). 

Setelah kematian sang ayah, Ramu mencari nafkah untuk keluarganya. Ibunya juga berharap Ramu menikah. Lewat suratnya kepada Kisha, Ramu menceritakan pilihan pasangan hidupnya yang bernama Sofia. Dari pernikahan itu lahir seorang anak. Namun, fakta getir tak bisa ditolak. Tak beberapa lama kemudian, ibunya meninggal dunia. Ramu seperti kehilangan besar karena merasa belum membahagiakan ibunya. Ramu bertambah kalut ketika anaknya menderita demam berdarah dan tak mampu diselamatkan. Dalam waktu berdekatan, ibu dan anak yang disayanginya meninggal dunia. Bahkan, rumah tangganya tak bisa dipertahankan. Ramu bercerai dengan istrinya (halaman 270-290).
 
Menyadari getirnya kehidupan, respons setiap manusia cenderung tak sama. Kadangkala manusia terjerembab pada hal-hal negatif akibat tak kuat menghadapi ujian hidup. Namun, Ramu justru memperoleh pemahaman religius yang lebih terang. Menurutnya, sejatinya segala keindahan di dunia ini hanyalah fatamorgana. Tak seharusnya dia tergantung pada arus perputaran dunia yang melulu sekadar persoalan nafsu dan materi. Ramu menemukan kesadaran untuk lebih mensyukuri nikmat Tuhan. Dia pun memiliki pemahaman bahwa tak ada kebahagiaan yang lebih sempurna selain melakukan kebaikan, kebajikan, dan kepedulian disertai ketulusan dan hati yang lapang. Setelah kematian ibu dan anaknya serta perceraian dengan istrinya, Ramu seolah mengalami titik balik yang mampu mengubah sikap, pola hidup, tujuan, dan pandangan hidupnya. Dia menjadi manusia yang banyak memberi dan meluaskan kebaikan (halaman 295-300). 

Namun, jalan hidup fatal justru dialami Ramu ketika ikut jaringan terorisme. Bukan karena pemahaman agama yang dangkal, tapi kebenciannya terhadap koruptor. Ramu kerapkali menyaksikan pejabat negara yang hanya mengenyangkan perutnya sendiri dan melalaikan rakyat. Apatismenya terhadap pejabat negara membuncah. Pengeboman dilakukan ketika dilangsungkan pertemuan di sebuah restoran yang dihadiri banyak pejabat negara dan duta besar dari negara manca. Yang tewas, 200 orang lebih (halaman 343-360).

Tak sekadar soal perasaan cinta Ramu kepada Kisha, novel ini menyajikan fakta sosial dan geografis di daerah terpencil tempat tinggal Ramu dengan kegetiran dan keindahannya. Ramu menjadi bagian dari banyak manusia di negeri ini yang geram terhadap pejabat negara yang tak jelas kinerjanya bagi rakyat. Namun sayangnya, kemarahannya lewat aksi terorisme itu justru membuat permasalahan tak terselesaikan. Lewat serentetan surat Ramu kepada Kisha, kita bisa memetik pelajaran hidup di tengah tarikan kebaikan dan keburukan di dunia ini. Masa lalu mengandung hikmah bahwa hidup di dunia ini sementara. Tak ada yang abadi, begitu pula dengan kebahagiaan dan kegetiran yang dialami seseorang.
Hendra Sugiantoro
penikmat novel, tinggal di Yogyakarta