Berjuang di Tengah Keterbatasan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 26 Februari 2012

Judul Buku:
Berjalan Menembus Batas Penulis: A. Fuadi, dkk. Penerbit: PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta Tahun: I, Januari 2012 Tebal: xvi+172 halaman

Kisah yang tertuang dalam buku ini bukan kisah politisi ataupun artis yang saban hari menguasai media massa. Buku ini hanya mengisahkan perjuangan hebat manusia-manusia biasa yang hidup nyata tanpa kepalsuan membangun citra. Dan, kisah dalam buku ini, urai A. Fuadi, mengingatkan kita pada kisah kebanyakan anak bangsa yang ingin maju, tetapi kemajuan kerap dihambat oleh batas-batas.

Bagi kita, keterbatasan dalam hidup kerapkali dianggap permasalahan besar yang menghambat cita-cita. Sebut saja kemiskinan harta, penyakit, cacat fisik, dan sebagainya. Dengan membaca buku ini, kita dapat menyaksikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang. Manusia-manusia yang menceritakan atau diceritakan dalam buku ini selalu berjuang di tengah keterbatasan hidup. Kisah dari mereka menegaskan bahwa impian dan cita-cita bukan sekadar angan-angan, tetapi harus diperjuangkan.

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Terbagi dalam tiga bagian, yakni melawan keterbatasan harta, menahan rasa sakit, dan menembus batas usaha. Kisah dalam buku ini akan memberikan inspirasi, spirit, dan motivasi bagi kita untuk berpikir lebih tangkas, bergerak lebih giat, dan bekerja lebih keras. Kita mampu mewujudkan apapun selama kita memiliki mimpi dan tindakan besar disertai doa memanjang.

Menembus batas, tutur A. Fuadi, memang hanya bisa dilakukan dengan tidak berhenti ketika derita datang, tetapi terus tegak, bangkit, dan bangun mengatasi semua cobaan. Banyak alasan dalam hidup ini yang bisa membuat kita menyerah pada nasib. Namun, kita selayaknya tidak menyerah. Kita harus terus melangkah, menabrak batas-batas semu yang diciptakan problem dan persepsi orang. Hadiah bagi para penembus batas, kata A. Fuadi, adalah keberhasilan, ketenangan, dan kemenangan. Selamat menembus batas! (HENDRA SUGIANTORO, penikmat buku, tinggal di Yogyakarta).

bisnis syariah

Kita Manusia Hebat

Bangsa ini sepertinya selalu melihat dunia serba kacau dan terpuruk. Padahal, ada kebaikan di sekitar kita setiap harinya. Mungkin pernyataan itu memang benar. Sebut saja kasus korupsi yang terus-menerus terjadi tanpa jeda. Kekerasan pun marak di mana-mana. Pelanggaran terhadap hak setiap manusia untuk hidup dan berkembang kerapkali mencuat. Kemiskinan menjadi wajah getir. Tawuran pun menggejala. Ada pula penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Begitu banyak hal menyedihkan lainnya yang terpampang di depan mata.

Namun, sesungguhnya bangsa ini tidaklah sepi dari manusia-manusia hebat. Lihat saja kita yang menyayangi dan mendidik anak dengan penuh asa. Kita yang terus membanting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Kita yang tanpa letih menjajakan dagangan di pasar. Kita yang penuh dedikasi mendidik murid-murid. Kita yang tekun menuntut ilmu. Kita yang menolak cara instan mendapatkan prestasi studi maupun karir. Kita yang tak mau berlaku curang untuk memperoleh laba perusahaan. Kita yang menjaga kelancaran dan ketertiban lalu lintas. Kita yang menjadi pemimpin penuh integritas.

Sesungguhnya kita memang manusia hebat yang giat berjuang tanpa kesah dan keluh. Kitalah manusia hebat yang tak sudi menggadaikan kejujuran dengan jutaan rupiah. Kitalah manusia hebat yang terus memberikan manfaat positif bagi kehidupan. Kitalah manusia hebat yang memberanikan diri menentang kemungkaran. Kitalah manusia hebat yang begitu bahagia apabila bisa membuat orang lain bahagia. Kitalah manusia hebat yang memberikan segala potensi untuk kebangunan masyarakat.

Bangsa ini memang membutuhkan kita sebagai manusia hebat. Manusia hebat yang menampakkan kehebatannya sehari-hari.
Kehebatan ini, kata Stephen Covey (2006), berkaitan dengan watak dan kontribusi. Sesungguhnya kehebatan bukanlah gelar akademik yang tertera dalam nama. Kehebatan utama bukanlah kekayaan dan jabatan yang tinggi. Kehebatan yang sejati adalah sikap dan peilaku untuk menampakkan kebaikan sehari-hari. Apapun kemampuan yang dimiliki, kitalah manusia hebat yang berkarakter dan memiliki kontribusi positif. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Mahasiswa dan Keterampilan Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Sabtu 25 Februari 2012

The Liang Gie (1984) memaparkan bahwa melakukan studi hampir identik dengan membaca. Pernyataan ini benar adanya. Apalagi bagi mahasiswa di perguruan tinggi, aktivitas membaca merupakan harga mati yang tak mungkin ditawar. Mahasiswa dituntut untuk dapat memperkaya dan mengembangkan kapasitas pemikiran dan pengetahuannya dengan mengkaji berbagai bahan bacaan dari beragam sumber. Pertanyaannya, bagaimana aktivitas membaca mahasiswa pada umumnya?

Begitu banyak opini yang menyebutkan bahwa budaya membaca yang dimiliki mahasiswa masih rendah. Namun, rendahnya budaya membaca mahasiswa tidak bisa digeneralisasi. Di samping ada mahasiswa yang malas membaca, ada pula mahasiswa yang memiliki tradisi membaca yang baik. Bagi mahasiswa yang tekun membaca, tugas-tugas perkuliahan dipastikan dapat dikerjakan secara maksimal. Dalam ujian, mahasiswa memiliki kepercayaan diri untuk menjawab setiap soal yang diberikan. Dari awal menempuh bangku kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir untuk mendapatkan gelar akademik, membaca jelas tidak bisa ditinggalkan.

Sebaliknya, bagi mahasiswa yang malas membaca, kepercayaan diri cenderung tidak dimiliki. Mahasiswa yang malas membaca mengandalkan mahasiswa lainnya dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Perilaku mencontek pun dilakukan saat menghadapi ujian. Bahkan, ketika menghadapi ujian yang bersifat open book, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya kepada peserta ujian lainnya. Fatalnya, tugas akhir untuk menamatkan jenjang pendidikan tinggi meminta pihak lain untuk mengerjakan. Tanpa tradisi membaca, mahasiswa cenderung pasif dan memiliki rasa ingin tahu yang rendah.

Persoalan minimnya tradisi membaca di kalangan mahasiswa tentu membutuhkan perhatian dan solusi. Mahasiswa perlu terus diinspirasi, dimotivasi, dan diagitasi agar tekun dan giat membaca. Demi kemajuan studi, membaca merupakan keterampilan pokok yang terus-menerus diperlukan oleh mahasiswa (Pujiati Suyata: 1990). Pada titik ini, tidak ada kata terlambat bagi mahasiswa untuk terus melatih dan mengasah keterampilan membaca. Dalam konteks mahasiswa di perguruan tinggi, keterampilan membaca pemahaman merupakan keterampilan membaca yang ditekankan. Menurut konsep dari Nurhadi (dalam Eti Nurhayati: 2011), keterampilan membaca pemahaman memiliki tiga tingkatan, yakni keterampilan membaca literal, keterampilan membaca kritis, dan keterampilan membaca kreatif.

Pada keterampilan membaca literal, mahasiswa hanya memiliki kecakapan mengenal dan menangkap bahan bacaan yang tertera secara eksplisit. Mahasiswa hanya memperhatikan setiap baris kalimat dan berusaha menghafalnya. Berbeda dengan tingkatan pertama, keterampilan membaca kritis telah melibatkan aspek berpikir kritis. Mahasiswa berusaha menyelami apa yang tertera dalam bahan bacaan dan mencoba menggali makna. Tentu tak sekadar dihafal, mahasiswa dengan keterampilan membaca kritis dimungkinkan tidak menerima apa yang dipaparkan. Bahkan, mahasiswa memahami konsep dari apa yang dibacanya. Adapun mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif tak sekadar membaca bahan bacaan, namun mencoba menerapkan apa yang dinilai positif. Dengan kata lain, membaca untuk hidup. Mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif mempraktikkan apa yang dibacanya, bahkan terdorong untuk menghasilkan tulisan-tulisan akibat proses interaksi dan refleksi atas bahan bacaan.

Keterampilan membaca bagi mahasiswa tampaknya perlu diasah, dilatih, dan ditingkatkan. Glenn Doman (dalam Ummu Shofi: 2008) menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia dari semua makhluk hidup di dunia ini, karena hanya manusialah yang dapat membaca. Membaca juga merupakan salah satu fungsi penting dalam hidup. Semua proses belajar dapat dikatakan didasarkan pada proses membaca. Dengan kata lain, mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan membaca dapat dikatakan belum benar-benar memfungsikan otaknya. Dengan membaca, mahasiswa melakukan aktivitas pencarian informasi lalu diproses hingga mengendap menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri akhirnya menjadi dasar untuk dinamisasi kehidupan, memperlihatkan eksistensi kehidupan, berjuang mempertahankan hidup, dan mengembangkannya dalam bentuk sains dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia (Dede Endang M: 1990).

Sesungguhnya membaca tidak sekadar untuk kepentingan studi semata. Dalam kehidupan, mahasiswa perlu memiliki budaya membaca yang baik. Sesungguhnya membaca dapat mengembangkan kemampuan empati untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, memasuki ruang sosial dan berinteraksi dengan dunia-dunia baru yang lebih luas, menajamkan kemampuan memecahkan persoalan, mendorong perencanaan untuk melakukan tindakan-tindakan produktif, dan membangkitkan rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi dan eksperimen (Jalaluddin Rakhmat: 2005).

Untuk dapat mendapatkan manfaat membaca di atas, keterampilan membaca tentu harus dimiliki. Dalam hal ini, mahasiswa perlu memiliki motivasi dan kesadaran internal untuk mengembangkan keterampilan membacanya. Masih ada harapan membaca! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP Universitas PGRI Yogyakarta

Kejujuran Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 18 Februari 2011

Kejujuran barangkali merupakan karakter yang paling “mahal” sekarang ini. Betapa sulitnya menemukan kejujuran (Ki Supriyoko: 2008, Marzuki: 2010). Tak hanya di ranah kekuasaan dengan perilaku koruptifnya, tetapi juga di dunia pendidikan. Kejujuran telah hilang dari hati nurani insan-insan terdidik. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, fakta tersebut tak mungkin dimungkiri. Ketidakjujuran menggejala di mana-mana, bahkan menjangkiti mahasiswa sebagai salah satu insan terdidik di perguruan tinggi.

Bukti sahih ketidakjujuran itu dapat disaksikan saat perhelatan ujian tengah semester (UTS) atau ujian akhir semester (UAS). Tanpa merasa takut, malu, dan bersalah, ada sebagian mahasiswa yang berani mencontek. Memang ada pengawas ujian, namun mahasiswa seolah-olah tak mempedulikan. Mahasiswa sepertinya kurang percaya diri dengan kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri. Bahkan, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya dengan peserta ujian lainnya meskipun ujian bersifat open book!

Pada dasarnya, perilaku ketidakjujuran tak hanya terkait dengan UTS ataupun UAS. Dalam pengerjaan tugas kuliah pun masih dijumpai mahasiswa yang tak bisa jujur. Dalam hal ini, ada peristiwa menarik yang ingin penulis ceritakan. Dalam suatu perkuliahan yang diikuti penulis, dosen meminta seluruh mahasiswa menyusun makalah secara individual. Ketika pengumpulan tugas makalah, dosen tersebut memeriksa satu persatu makalah. Mungkin apa yang dilakukan dosen tersebut tidak pernah diperkirakan oleh mahasiswa. Apa yang terjadi? Dosen tersebut menemukan beberapa makalah yang isinya sama persis. Artinya, lebih dari satu mahasiswa mengumpulkan makalah yang isinya tidak berbeda meskipun tugas makalah bersifat individual! Salutnya, dosen tersebut juga mengetahui makalah-makalah mahasiswa lainnya yang sekadar copy paste dari internet.

Apa yang diutarakan di atas hanya sebagian contoh dari banyaknya kasus ketidakjujuran lainnya. Mahasiswa tentu memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa ketidakjujuran merupakan sikap dan perilaku yang tidak dihalalkan. Fungsi pengontrolan dan pengawasan memang diperlukan agar mahasiswa bisa berlaku jujur. Namun, apakah mahasiswa harus dikontrol dan diawasi selamanya agar bisa menegakkan kejujuran?

Sebagai individu manusia dewasa, mahasiswa selayaknya bisa bertanggung jawab 100% atas perilakunya sendiri. Mahasiswa tentu tidak perlu diajari lagi tentang etika dan moralitas, karena mahasiswa pastinya telah mengetahui mana perilaku yang positif dan mana perilaku yang tidak positif. Ketidakjujuran merupakan perilaku tidak positif. Thomas Lickona (1992) menyebut membudayanya ketidakjujuran sebagai salah satu tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran (Dwi Budiyanto: 2011; Agus Wibowo: 2012). Artinya, apabila mahasiswa sebagai agent of change dan iron stock telah membiasakan perilaku tidak jujur, maka mahasiswa turut berperan menghancurkan bangsa ini.

Maka, kejujuran sebagai sebuah perbuatan utama selayaknya tidak berhenti pada pengetahuan semata, tetapi hendaknya menjadi pola sikap dan tindakan yang dimiliki mahasiswa. Mengacu pada Hukum Kekekalan Energi, setiap perilaku yang tak baik sebenarnya akan memberikan dampak yang tidak baik. Dampak yang terjadi itu bisa dirasakan saat ini atau malah di masa mendatang. Ketidakjujuran mahasiswa mungkin bisa membuat prestasi akademiknya memuaskan dan lulus dengan baik, namun mahasiswa akan menerima akibat buruknya suatu saat. Dalam khazanah Jawa dikenal pepatah yen ora jujur ajur. Pepatah ini memiliki makna yang perlu diresapi oleh mahasiswa secara mendalam.

Menurut penulis, untuk dapat menegakkan kejujuran, mahasiswa tidak perlu mencari dalih di luar dirinya, misalnya “menyalahkan” pemimpin dan pejabat publik yang kurang dapat dijadikan teladan dalam hal kejujuran. Memang keteladanan itu penting, namun mahasiswa sebagai individu dewasa perlu menantang dirinya agar bisa menunjukkan sikap dan perilaku yang patut dicontoh. Mahasiswa perlu mendidik dirinya sendiri menjadi insan yang berkarakter positif. Berdasarkan hasil survei sebuah lembaga leadership internasional The Leadership Chalenge pada tahun 1987, 1995, dan 2002 di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia (dalam Budiyanto: 2008), pribadi yang jujur merupakan salah satu kompetensi diri dari sebuah karakter yang positif itu.

Mungkin ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa akibat bersemayamnya mentalitas pragmatis. Mahasiswa ditengarai mulai terjebak pada kepentingan hasil semata tanpa memperhatikan proses. Ketidakjujuran bisa juga karena rendahnya motivasi berprestasi. Djamaludin Ancok (2004) menerangkan adanya kaitan antara motivasi berprestasi dengan perilaku individu. Rendahnya motivasi berprestasi yang dimiliki mahasiswa (low achievement motivation) memungkinan terciptanya perilaku tidak jujur. Sebaliknya, mahasiswa yang motivasi berprestasinya tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, mengerjakan sesuatu dengan sejujur-jujurnya. Semoga mahasiswa selalu menegakkan kejujuran di mana pun. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta

Sejarah dalam Catatan Kecil Rosihan Anwar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku HARIAN JOGJA, Kamis, 16 Februari 2012

Judul Buku: Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 4 Penulis: Rosihan Anwar Penerbit: Kompas, Jakarta Tahun: I, 2010 Tebal: xiv+282 halaman Harga: Rp. 54.000,00

Pada 17 Februari 1946, turun hujan lebat di Jakarta. Di tengah cuaca seperti itu diperingati enam bulan berdirinya Republik Indonesia. Saat itu surat kabar Merdeka di mana Rosihan Anwar turut bekerja menerbitkan sebuah edisi peringatan. Peringatan di berbagai kota memiliki warna tersendiri. Sejak proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia memang belum benar-benar aman.

Ketika itu, Sutan Sjahrir, yang menjabat perdana menteri, mengeluarkan pesan, “Kejadian-kejadian selama enam bulan yang lalu itu adalah gambaran yang nyata daripada perjalanan penghidupan kita. Segala penderitaan yang pahit adalah sebenarnya sumbangan belaka bagi perjuangan kita yang telah kita pilih, yakni lepas dari perbudakan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Meskipun masa yang akan datang akan lebih sesak bagi kita sekalian, marilah kita membulatkan niat selama masih bernafas akan terus-menerus memberikan sumbangan untuk mendapatkan kedudukan yang bagus dalam alam kemerdekaan dan kedewasaan bangsa dan negara.”

Rosihan Anwar yang dikenal sebagai wartawan empat zaman yang mumpuni diakui tak pernah lupa untuk mencatat setiap detail peristiwa. Buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia membuktikan hal itu. Sejak terbit jilid 1 hingga kini jilid 4, buku ini bisa memberikan gambaran terkait kejadian-kejadian yang mungkin kita anggap kecil, tetapi turut menentukan sejarah eksistensi Indonesia. Sebut saja peristiwa saat sidang panitia kemerdekaan pada Minggu, 19 Agustus 1945. Pemerintahan dibentuk tidaklah seketika, tetapi disertai ketegangan, ribuan tanda tanya, kegelisahan, dan pembicaraan yang tersendat.

Diceritakan Rosihan Anwar, keputusan ketika itu sulit dirumuskan. Diketuai Soekarno, suasana sidang tak terlalu cerah. Wakil rakyat dari seluruh Indonesia hadir di dalamnya. Wakil Bali, Mr. Poedje, jarang buka mulut. Dr Amir, wakil dari Sumatera, sepertinya tak ada minat. Kiai Wahid Hasyim suka berdiri dari kursinya dan mondar-mondar keluar. Sajuti Melik mengajukan pertanyaan yang tak mudah dijawab.

Rosihan Anwar juga bercerita saat mendapatkan kunjungan dari A.A. Navis, seorang sastrawan terkenal Indonesia. A.A Navis bercerita telah mengunjungi arsip nasional di negeri Belanda dan membaca dokumen-dokumen mengenai usaha Belanda membentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Sejak Konferensi Malino pada Juli 1946, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook memang getol dengan ide menyusun suatu negara Indonesia Serikat untuk mengimbangi Republik Indonesia. Belanda pun mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) yang dipimpin Presiden Sukawati, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dipimpin Sultan Pontianak Hamid Alkadri, Negara Pasundan dengan Wali Negara Wiranatakusuma, Daerah Istimewa Sumatera Timur dipimpin Dr. Tengku Mansur. Belanda juga hendak membentuk Negara Jawa Tengah, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX yang akan diangkat sebagai pemimpin menolak sehingga Negara Jawa Tengah tak berhasil dibentuk. Nah, rupanya untuk Sumatera Barat juga akan dibentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Karena tak ada tokoh pemimpin yang menonjol dari daerah itu, maka usaha Belanda gagal.

Selain itu, Rosihan Anwar juga memaparkan soal munculnya istilah angkatan 45 dalam sastra Indonesia, peristiwa show of force tentara pada 17 Oktober 1952, dan hal lainnya yang layak kita simak. Ada juga cerita tentang Soedjatmoko, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Lewat buku ini, kita mungkin akan mendapatkan kisah yang tercecer dan jarang terungkapkan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta