Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Sabtu 25 Februari 2012
The Liang Gie (1984) memaparkan bahwa melakukan studi hampir identik dengan membaca. Pernyataan ini benar adanya. Apalagi bagi mahasiswa di perguruan tinggi, aktivitas membaca merupakan harga mati yang tak mungkin ditawar. Mahasiswa dituntut untuk dapat memperkaya dan mengembangkan kapasitas pemikiran dan pengetahuannya dengan mengkaji berbagai bahan bacaan dari beragam sumber. Pertanyaannya, bagaimana aktivitas membaca mahasiswa pada umumnya?
Begitu banyak opini yang menyebutkan bahwa budaya membaca yang dimiliki mahasiswa masih rendah. Namun, rendahnya budaya membaca mahasiswa tidak bisa digeneralisasi. Di samping ada mahasiswa yang malas membaca, ada pula mahasiswa yang memiliki tradisi membaca yang baik. Bagi mahasiswa yang tekun membaca, tugas-tugas perkuliahan dipastikan dapat dikerjakan secara maksimal. Dalam ujian, mahasiswa memiliki kepercayaan diri untuk menjawab setiap soal yang diberikan. Dari awal menempuh bangku kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir untuk mendapatkan gelar akademik, membaca jelas tidak bisa ditinggalkan.
Sebaliknya, bagi mahasiswa yang malas membaca, kepercayaan diri cenderung tidak dimiliki. Mahasiswa yang malas membaca mengandalkan mahasiswa lainnya dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Perilaku mencontek pun dilakukan saat menghadapi ujian. Bahkan, ketika menghadapi ujian yang bersifat open book, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya kepada peserta ujian lainnya. Fatalnya, tugas akhir untuk menamatkan jenjang pendidikan tinggi meminta pihak lain untuk mengerjakan. Tanpa tradisi membaca, mahasiswa cenderung pasif dan memiliki rasa ingin tahu yang rendah.
Persoalan minimnya tradisi membaca di kalangan mahasiswa tentu membutuhkan perhatian dan solusi. Mahasiswa perlu terus diinspirasi, dimotivasi, dan diagitasi agar tekun dan giat membaca. Demi kemajuan studi, membaca merupakan keterampilan pokok yang terus-menerus diperlukan oleh mahasiswa (Pujiati Suyata: 1990). Pada titik ini, tidak ada kata terlambat bagi mahasiswa untuk terus melatih dan mengasah keterampilan membaca. Dalam konteks mahasiswa di perguruan tinggi, keterampilan membaca pemahaman merupakan keterampilan membaca yang ditekankan. Menurut konsep dari Nurhadi (dalam Eti Nurhayati: 2011), keterampilan membaca pemahaman memiliki tiga tingkatan, yakni keterampilan membaca literal, keterampilan membaca kritis, dan keterampilan membaca kreatif.
Pada keterampilan membaca literal, mahasiswa hanya memiliki kecakapan mengenal dan menangkap bahan bacaan yang tertera secara eksplisit. Mahasiswa hanya memperhatikan setiap baris kalimat dan berusaha menghafalnya. Berbeda dengan tingkatan pertama, keterampilan membaca kritis telah melibatkan aspek berpikir kritis. Mahasiswa berusaha menyelami apa yang tertera dalam bahan bacaan dan mencoba menggali makna. Tentu tak sekadar dihafal, mahasiswa dengan keterampilan membaca kritis dimungkinkan tidak menerima apa yang dipaparkan. Bahkan, mahasiswa memahami konsep dari apa yang dibacanya. Adapun mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif tak sekadar membaca bahan bacaan, namun mencoba menerapkan apa yang dinilai positif. Dengan kata lain, membaca untuk hidup. Mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif mempraktikkan apa yang dibacanya, bahkan terdorong untuk menghasilkan tulisan-tulisan akibat proses interaksi dan refleksi atas bahan bacaan.
Keterampilan membaca bagi mahasiswa tampaknya perlu diasah, dilatih, dan ditingkatkan. Glenn Doman (dalam Ummu Shofi: 2008) menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia dari semua makhluk hidup di dunia ini, karena hanya manusialah yang dapat membaca. Membaca juga merupakan salah satu fungsi penting dalam hidup. Semua proses belajar dapat dikatakan didasarkan pada proses membaca. Dengan kata lain, mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan membaca dapat dikatakan belum benar-benar memfungsikan otaknya. Dengan membaca, mahasiswa melakukan aktivitas pencarian informasi lalu diproses hingga mengendap menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri akhirnya menjadi dasar untuk dinamisasi kehidupan, memperlihatkan eksistensi kehidupan, berjuang mempertahankan hidup, dan mengembangkannya dalam bentuk sains dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia (Dede Endang M: 1990).
Sesungguhnya membaca tidak sekadar untuk kepentingan studi semata. Dalam kehidupan, mahasiswa perlu memiliki budaya membaca yang baik. Sesungguhnya membaca dapat mengembangkan kemampuan empati untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, memasuki ruang sosial dan berinteraksi dengan dunia-dunia baru yang lebih luas, menajamkan kemampuan memecahkan persoalan, mendorong perencanaan untuk melakukan tindakan-tindakan produktif, dan membangkitkan rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi dan eksperimen (Jalaluddin Rakhmat: 2005).
Untuk dapat mendapatkan manfaat membaca di atas, keterampilan membaca tentu harus dimiliki. Dalam hal ini, mahasiswa perlu memiliki motivasi dan kesadaran internal untuk mengembangkan keterampilan membacanya. Masih ada harapan membaca! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP Universitas PGRI Yogyakarta