Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Kamis, 15 Maret 2012
Membaca itu penting. Sebagian kita telah menyadari hal tersebut. Di sisi lain, keprihatinan terkait rendahnya budaya membaca masyarakat di negeri ini kerapkali mencuat. Upaya menumbuhkan minat membaca pun terus-menerus dilakukan. Dalam hal ini, ada satu hal yang tampaknya penting untuk diulas, yakni bagaimana pengajaran membaca terhadap anak ketika masih kecil?
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Kamis, 15 Maret 2012
Membaca itu penting. Sebagian kita telah menyadari hal tersebut. Di sisi lain, keprihatinan terkait rendahnya budaya membaca masyarakat di negeri ini kerapkali mencuat. Upaya menumbuhkan minat membaca pun terus-menerus dilakukan. Dalam hal ini, ada satu hal yang tampaknya penting untuk diulas, yakni bagaimana pengajaran membaca terhadap anak ketika masih kecil?
Siapa pun kita tidaklah seketika dapat membaca. Kita tentu masih ingat ketika pertama kali belajar dan merasa kesulitan untuk sekadar mengenal huruf A, B, C, dan seterusnya. Kita pun belajar membaca satu huruf, satu kata, satu kalimat, bahkan belajar mengeja. Pada umumnya, pengajaran membaca terlebih dahulu dilakukan dengan membaca keras dan perlahan bisa membaca dalam hati. Disadari atau tidak, belajar membaca saat usia kanak-kanak sedikit banyak akan mempengaruhi minat dan kemampuan membaca ketika menginjak usia dewasa. Rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia dimungkinkan akibat ketidakberhasilan dalam proses belajar membaca di masa kanak-kanak.
Dalam proses belajar membaca, sesungguhnya kemampuan membaca tidak sekadar bisa mengetahui huruf dan bunyi dari kata. Seiring peningkatan usia dan kelas dalam jenjang pendidikan formal, kemampuan membaca juga diarahkan pada keaktifan membangun makna dan merefleksikan bahan bacaan. Sejak dasawarsa 1990-an, kemampuan membaca dipandang sebagai sebuah proses konstruksi dan interaksi. Minimal ada tiga aspek dalam kemampuan membaca, yakni aspek “proses memahami”, “tujuan membaca”, dan “sikap dalam membaca”. Pada titik ini, tekanannya tidak lagi “belajar membaca”, tetapi “membaca untuk belajar (hidup)” (H Witdarmono: 2006).
Kemampuan membaca tentu harus dimiliki anak. Untuk keperluan studi, membaca sangat dibutuhkan tidak hanya ketika anak masih duduk di jenjang pendidikan dasar, tetapi akan berlanjut sampai jenjang pendidikan selanjutnya. Bahkan, membaca dibutuhkan siapa pun sepanjang kehidupan. Agar dapat menjamin perbaikan dalam kemampuan membaca anak-anak di sekolah, bahan bacaan harus dibuat bertingkat-tingkat sesuai kematangan dan minat. Anak diharapkan dapat membaca dengan baik dan memahami isi dari apa yang dibacanya. Yang perlu juga diperhatikan adalah perbedaan setiap individu anak (individual differences) dalam belajar membaca. Jika diketahui kelemahan dan kekurangan anak dalam belajar membaca, guru perlu mengatasi dan menanggulanginya. Upaya ini terutama harus dilakukan pada jenjang pendidikan paling dasar. Berbagai strategi dan teknik bisa diterapkan untuk membentuk kemampuan membaca anak (Lihat, Lester D. Crow&Alice Crow, Educational Psychology, (Surabaya: PT Bina Ilmu,1948), hlm. 91-100).
Perbedaan anak dalam belajar membaca merupakan fakta yang tidak mungkin dihindari. Ada anak yang bisa cepat, ada pula yang lambat. Mungkin sebagian anak bisa cepat beralih ke bacaan yang lebih tinggi tingkatannya, tetapi sebagian anak yang lain masih kesulitan. Perbedaan ini juga terkait dengan pemahaman terhadap bacaan dan aktivitas refleksi terhadap bacaan. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memahami perkembangan proses membaca setiap anak. Belajar membaca pada tahap awal yang kurang memperhatikan perbedaan individu bisa menghambat kemampuan membaca anak. Mungkin karena tuntutan studi, guru tidak memiliki kesabaran dan ketelatenan sehingga terkesan “memaksa” anak membaca bacaan yang sebenarnya masih berat bagi anak. Akibatnya, anak bisa saja bosan dan malas membaca. Dampak dari hal tersebut bisa berjangka panjang. Di perguruan tinggi, misalnya, kerapkali ditemukan adanya mahasiswa yang justru tidak tertarik dengan buku-buku teori terkait disiplin keilmuannya. Mahasiswa melihat buku yang berhalaman tebal saja seringkali sudah merasa malas. Dampak tersebut juga dapat dilihat pada lingkup masyarakat akibat pola pikir yang telah tertanam sejak lama bahwa membaca itu kurang menarik dan merepotkan.
Tanggung jawab dalam proses membangun kemampuan membaca anak tentu tidak hanya di pundak guru, tetapi juga orangtua. Pada dasarnya, orangtua yang terlebih dahulu membentuk kemampuan membaca anak daripada guru di sekolah. Orangtua yang menyadari hal ini akan bisa menumbuhkan minat membaca dan selanjutnya membangun budaya membaca terhadap anaknya. Sebut saja dengan membacakan dongeng atau cerita kepada anaknya sebagai pengantar tidur (bedtime stories). Meskipun anak belum bisa membaca sendiri, budaya membaca anak telah terbangun ketika orangtua melakukan hal tersebut (Fuad Hassan: 2004). Bahkan, orangtua bisa membacakan bahan bacaan kepada anak sejak dalam kandungan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa 4.000-12.000 kosakata baru bisa diperoleh anak dalam setahun melalui bahan bacaan yang dibacakan untuknya (H Witdarmono: 2006). Dapat dibayangkan seberapa besar jumlah kosakata yang dimiliki seorang anak apabila orangtua konsisten membacakan bahan bacaan sejak dalam kandungan sampai duduk di bangku sekolah. Penguasaan kosakata merupakan salah satu modal penting membentuk kemampuan membaca anak. Ketersediaan bahan bacaan di rumah turut menunjang terbangunnya budaya membaca. Orangtua hendaknya bisa menjadi teladan dalam kegemaran dan ketekunan membaca.
Budaya membaca memang perlu terus-menerus disemai dan ditumbuhkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengajaran membaca yang berjalan baik dan tidak mengabaikan perbedaan kecakapan dan pemahaman anak bisa membentuk kebiasaan membaca dan memupuk minat membaca. Perhatian terhadap proses belajar membaca anak ketika masih berusia dini perlu dilakukan, karena sedikit banyak turut mempengaruhi budaya membaca masyarakat di kemudian hari. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO