Belajarlah dari Sejarah Gunung Merapi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 19 November 2010

GUNUNG Merapi diciptakan Allah SWT tentu tidaklah sia-sia. Terkait gunung, beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan gunung sebagai pasak. Salah satunya dalam surat An-Naba’ ayat 6-7, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?”. Dengan adanya gunung mencegah kita dari goncangan, “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak guncang bersama kamu...”(Qs. An-Nahl:15). Gunung Merapi dan gunung-gunung lainnya di Indonesia dan di seluruh dunia menjadi pasak yang berdiri kokoh untuk menunjang kehidupan di muka bumi. Adanya gunung yang aktif dan meletus juga dapat dilihat dari makna ayat tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, ada lubang kepundan pada gunung berapi sebagai tempat keluarnya magma dan gas ke permukaan bumi. Magma bersuhu lebih dari 1000 derajat celcius. Suhu ini terus meningkat, bahkan bisa mencapai 9000 derajat celcius sampai 14.000 derajat celcius (Hendra Wisesa, 2010). Agar bumi tak hancur, magma harus dikeluarkan. Ada beberapa manfaat didapatkan dari letusan gunung berapi. Gunung Merapi dan gunung-gunung berapi lainnya bekerja dengan dasar itu. Masyarakat tentu perlu memiliki pengetahuan lebih lanjut tentang hal ini yang disampaikan para ahli dengan bahasa mudah dan jelas dimengerti.

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Allah SWT harus menciptakan magma yang bersuhu sangat tinggi? Mengapa harus ada gunung berapi? Allah SWT pastinya menciptakan segala sesuatunya dengan kaidah keseimbangan untuk kemaslahatan manusia. Begitu juga perlu ada Gunung Merapi dan gunung berapi lainnya yang menjaga keseimbangan alam. Menurut penulis, ada tugas kita untuk mensyukuri keberadaan Gunung Merapi dan gunung-gunung lainnya. Bagaimana agar kodrat Gunung Merapi yang meletus tidak menjadi bencana? Pada titik ini, kita perlu memahami bahwa letusan Gunung Merapi merupakan hal yang wajar. Yang disebut bencana bukan pada letusannya, namun pada dampaknya yang dianggap buruk. Maka, manusia sebagai khalifatullah fi ardhi perlu memikirkan lebih jauh agar bisa satu jiwa dengan kodrat Gunung Merapi.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Masyarakat tentu perlu memiliki kesadaran bencana, karena Gunung Merapi bisa sewaktu-waktu meletus. Di samping itu, masyarakat juga perlu memiliki kesadaran sejarah. Menurut penulis, kepemilikan kesadaran sejarah justru akan menguatkan kesadaran bencana masyarakat. Ada ungkapan historia docet, sejarah itu memberi pelajaran kepada kita (Shindunata, 2007). Masyarakat perlu belajar dari sejarah untuk lebih baik lagi menghadapi letusan Gunung Merapi dan meminimalisir risiko bencana.

Letusan Gunung Merapi yang terbilang dahsyat pada tahun ini merupakan salah satu pelajaran. Sebagaimana kita saksikan, beberapa orang meninggal dunia, tempat tinggal penduduk rusak berat, sumber nafkah penduduk porak-poranda, dan dampak-dampak lainnya menyertai siklus alam meletusnya Gunung Merapi. Kejadian seperti ini bukan kali pertama, karena sebelumnya letusan Gunung Merapi juga menimbulkan dampak bagi kehidupan, entah dalam skala kecil maupun besar.

Menapaktilasi sejarah, kita perlu menyaksikan kejadian letusan Gunung Merapi beberapa masa sebelumnya. Banyak yang menyebutkan letusan pertama terjadi pada tahun 1006 di mana abu vulkaniknya bisa menyelimuti bagian tengah Pulau Jawa. Tak ada catatan jumlah korban jiwa yang bisa dirujuk pada letusan tahun 1006. Tahun 1006 sebagai letusan pertama ini memang masih menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli, namun substansinya adalah kesadaran sejarah bahwa Gunung Merapi telah meletus berabad-abad lampau. Pada tahun 1786, 1822, 1872, dan 1930, Gunung Merapi juga pernah meletus dalam skala besar. Letusan Gunung Merapi kadang menyebabkan nyawa meninggal dunia meskipun tidak selalu ada korban jiwa.

Berdasarkan riwayat, rata-rata Gunung Merapi meletus dalam siklus pendek dan menengah. Siklus pendek antara 2-5 tahun dan siklus menengah antara 5-7 tahun. Meskipun Gunung Merapi pernah tidak meletus begitu lama dari tahun 1587-1658 yang termasuk siklus panjang , namun siklus pendek dan menengah ini perlu dijadikan antisipasi. Gunung Merapi meletus pada tahun 2006, lalu pada tahun ini, itu berarti memang letusan Gunung Merapi memiliki siklus pendek. Masyarakat perlu menyadari fakta sejarah ini.

Betapa pun letusan Gunung Merapi kadangkala menimbulkan kepiluan dan kepedihan, masyarakat tak harus melupakannya. Justru pelajaran bisa dipetik agar siap menghadapi dan menghindari bencana yang diakibatkan letusan Gunung Merapi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini waktu dan besaran letusan gunung berapi sedikit banyak bisa diperkirakan. Pasrah terhadap takdir memang benar, namun pasrah harus dibarengi dengan ikhtiar mengantisipasi dan menghindari bencana yang mungkin terjadi. Perubahan status dari Waspada, Siaga, dan Awas pada Gunung Merapi sekiranya perlu mendapatkan perhatian masyarakat. Bagi para peneliti sains maupun teknolog, teknologi untuk menghadapi ancaman dan bahaya Gunung Merapi lebih lanjut lagi, misalnya teknologi menghadapi awan panas, bukan tidak mungkin bisa ditemukan. Begitu pula sarana prasarana evakuasi dan pengungsian warga di wilayah bencana perlu dipikirkan agar lebih mendukung dan representatif.

Allah SWT memang menguji manusia dalam setiap musibah, namun Allah SWT juga menitahkan kita sebagai khalifah. Selain sinyal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bencana juga menjadi sinyal agar kita mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang terakhir inilah yang kerap dialpakan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pengelola Pena Profetik Yogyakarta

Merapi 1930

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Jum'at 12 November 2010

Sebagai salah satu gunung yang aktif, letusan Gunung Merapi telah terjadi semenjak berabad-abad lampau. Pada tahun ini, letusan Gunung Merapi kembali terjadi. Banyak yang menyebutkan letusan pertama Gunung Merapi terjadi pada tahun 1006, namun tahun 1006 sebagai awal meletusnya Gunung Merapi masih menimbulkan perdebatan hingga kini. Terlepas dari itu, Gunung Merapi memang telah menghadirkan fenomena.

Dari sejarah meletusnya Gunung Merapi, ada catatan menarik pada letusannya pada tahun 1930. Pada saat itu, dunia tengah menghadapi zaman krisis yang kerap disebut zaman malaise. P. Swantoro dalam bukunya Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu menuturkan, “Pada awal masa malaise itu, pada 18 Desember 1930, terjadilah suatu bencana besar di Jawa Tengah: Gunung Merapi meletus! Tidak kurang dari 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati. Berhektar-hektar sawah serta ladang hancur, dan ratusan rumah terbakar atau roboh.” (P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cetakan I 2002), hlm. 36). Apa yang dipaparkan P. Swantoro itu terdapat dalam laporan G. Vriens dalam majalah Claverbond tahun ke-43, 1931, halaman 85-109. Laporan G. Vriens tentang letusan Gunung Merapi pada tahun 1930 diberi judul “De Merapi”.

Apa yang dialami masyarakat pada tahun 1930 tentu sangat memprihatinkan karena saat itu kondisi kehidupan memang lagi sekarat akibat krisis global. Kehidupan penduduk yang telah mencekam pun kian bertambah mencekam ketika sumber penghidupan luluh lantak. Apa yang dialami masyarakat pada tahun 1930 tentu tak persis dengan kondisi pada tahun 2010. Namun demikian, kita perlu memiliki kesadaran bahwa Gunung Merapi memiliki kodrat untuk meletus. Kesadaran inilah yang menghendaki kita mampu berpikir agar kodrat Gunung Merapi yang meletus itu tak lagi menimbulkan dampak keprihatinan bagi masyarakat. Bagaimana caranya? Perubahan pandangan dan perilaku masyarakat tentang Gunung Merapi dan kreasi teknologi mungkin bisa dilakukan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta