Guru untuk Anak

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at 18 Maret 2011

Dalam upaya mendidik anak, orang tua di lingkungan keluarga jelas merupakan pendidik pertama, bahkan pendidik utama. Namun demikian, orang tua juga tetap perlu memiliki pendidik-pendidik lain untuk anaknya. Orang tua dan pendidik-pendidik lainnya itu adalah mitra bersama demi memaksimalkan pendidikan bagi anak. Pendidik-pendidik lain itu di antaranya adalah guru di sekolah.

Dengan adanya guru di sekolah selain orang tua di lingkungan keluarga, anak harapannya memang bisa memperoleh pendidikan yang baik. Namun demikian, orang tua tak bisa begitu saja memasrahkan pendidikan anaknya kepada guru yang belum tentu memiliki jaminan kualitas. Untuk menilai kualitas guru memang tidak mudah. Mungkin orang tua bisa menilai kualitas guru dari latar belakang pendidikan ataupun tempatnya mengajar. Namun, hal tersebut ternyata tak juga mudah. Belum tentu seluruh guru yang mengajar di sekolah menjalankan pengabdian secara profesional dan baik. Ada juga guru yang asal-asalan menjadi guru. Lalu, bagaimana orang tua harus mencari guru bagi anaknya?

Diutarakan Ibnu Sina (908-1037 M) bahwa sebaiknya seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang memiliki kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya. Apa yang dikatakan Ibnu Sina itu tampaknya tepat. Pasalnya, orang tua tentu tak hanya mengharapkan anaknya memiliki kecerdasan akademik, tapi juga mampu berperilaku mulia. Orang tua juga tak ingin anaknya mendapatkan guru yang berlaku kasar menggunakan kekerasan. Maka, orang tua perlu memasukkan anaknya ke sekolah yang baik, sehingga nasib pendidikan anak dimungkinkan juga baik. Ukuran baik bukan berarti harus mahal.

Selain itu, orang tua juga perlu melakukan kontrol. Cara kontrol bisa dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan anak tentang guru-gurunya di sekolah. Lewat kontrol ini, orang tua bisa mengadukannya ke kepala sekolah. Pada titik ini, kepala sekolah harus bijak menerima masukan dengan tetap mengedepankan chek and rechek, karena informasi dari orang tua boleh jadi tak terlalu tepat. Ada tugas kepala sekolah yang perlu diperhatikan, yakni mengontrol dan memastikan guru-guru di sekolah menjadi guru yang baik.

Disadari atau tidak, guru yang kurang baik bisa mempengaruhi perkembangan jiwa anak tanpa pernah disadari. Hal ini juga menjadi tantangan dan motivasi guru untuk lebih baik lagi dalam mendidik anak-anak di sekolah. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Menjadi Manusia Profetik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Kamis 17 Maret 2011

Proses menjadi manusia telah bermula dari kehidupan di alam rahim. Manusia terus berproses tanpa jeda sebelum titik akhir kematian. Dalam proses ini, jalan manusia tidaklah mulus. Manusia telah mendapat titah beribadah, namun dunia menghadirkan godaan. Sepenuh perjalanan manusia melangkah, ujian adalah keniscayaan. Manusia hidup di dunia bukan tanpa tantangan. Manusia mesti menghadapi ujian sebagai pembuktian. Manusia memang bukan malaikat, bahkan bukan jin ataupun setan. Manusia adalah makhluk dengan jenis dan rupa tersendiri yang dihadirkan menjadi khalifah fil ardh.

Persoalan menjadi manusia ini ternyata memang tak mudah. Dalam melewati kehidupan di alam dunia, manusia berhadapan dengan pilihan-pilihan. Manusia bisa mencapai taraf tertinggi, manusia bisa berada di titik terendah. Hal ini merupakan pilihan bebas manusia ingin menjadi apa dan seperti apa. Kehidupan dunia dengan keniscayaan ujian menghadirkan jalan kebaikan dan keburukan. Manusia bebas menentukan pilihan, namun juga mengerti takkan bebas tanpa pertanggungjawaban.

Wajah kebaikan dan keburukan memang mewarnai dunia semenjak pada mulanya manusia diciptakan. Pertarungan antara yang benar dan yang salah terus bertalu. Sejak zaman Adam, kebaikan dan keburukan ada. Tuhan dengan kemahaan-Nya tak pernah tinggal diam ketika manusia lupa pada hakikat penciptaan. Diutusnya “manusia-manusia pilihan” menjadi kehendak Tuhan untuk mengingatkan dan menjelaskan kebenaran.

Manusia-manusia pilihan Tuhan (baca: para Nabi) diutus menjadi pelita yang menerangi kegelapan. Dalam teks sejarah dan agama telah berlalu banyak Nabi dengan kerja-kerjanya membangun kehidupan. Musa yang bekerja dengan arahan Tuhan, Nuh yang beratus-ratus tahun melakukan kerja kenabian. Ibrahim yang bekerja sebagai Nabi, begitu pula dengan Isa. Selain mereka, ada begitu banyak Nabi yang terungkap dalam teks atau tak pernah tersebutkan. Pegangan hidup berupa kitab suci pun diturunkan, seperti Daud dengan Zabur, Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil, Muhammad dengan Al-Qur’an.

Setiap Nabi yang diberi wahyu oleh Tuhan bertugas menjalankan kerja kenabian (profetik). Misi utama dari kerja profetik itu adalah mengajak dan mengarahkan manusia untuk satu penyembahan kepada Tuhan semata. Jika kini ada kecenderungan manusia menghamba pada materi, itu sebenarnya telah berlangsung berabad-abad. Bentuk-bentuk penghambaan materi ini memiliki ragam sesuai wajah, kondisi, dan perkembangan zaman. Para raja dan penguasa pun bisa menjadi “berhala”. Intinya, manusia meninggalkan Tuhan, mengabaikan dan alpa terhadap titah untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta. Sejak zaman dahulu, manusia juga kerapkali menghamba pada uang dan tahta. Dengan kerja profetik, manusia diarahkan untuk mentauhidkan Tuhan.

Kerja profetik yang memiliki misi utama agar manusia beriman kepada Tuhan tentu membangun keimanan penuh makna. Artinya, keimanan dapat mengarahkan manusia untuk bergerak membangun kehidupan. Percaya kepada Tuhan tidak berhenti pada pengakuan hati dan lisan semata. Keimanan harus menjadi landasan dan arah dari kerja profetik selanjutnya. Adanya keimanan berarti mengakui tak ada kebesaran selain kebesaran Tuhan. Manusia diciptakan tanpa perbedaan dan setara dalam pandangan Sang Pencipta. Tugas manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan. Atas kesadaran itu, humanisasi dan liberasi dijalankan. Dengan mengacu pada surat Ali ‘Imran ayat 110, Kuntowijoyo merumuskan amar ma’ruf sebagai humanisasi, nahi munkar sebagai liberasi, dan tu’minuna billah sebagai transendensi. Transendensi, humanisasi, dan liberasi sebagai kerja-kerja profetik saling bertalian dan saling menopang untuk melakukan transformasi kehidupan.

Meskipun kini Tuhan tak lagi menghadirkan Nabi, bukan berarti kerja profetik usai. Risalah kenabian tidaklah tamat setelah “manusia-manusia pilihan” wafat, namun terus menjadi pedoman hingga kiamat. Manusia-manusia yang hidup di zaman kini adalah penerus dan pelanjut dari cita-cita dan risalah kenabian. Kehidupan terus berjalan, manusia-manusia perlu juga menjalankan kerja profetik. Ketika mampu menjadi manusia profetik, maka proses menjadi manusia telah mencapai taraf tertinggi. Hal ini bukan berarti manusia zaman kini menjadi Nabi. Manusia zaman kini jelas bukan Nabi dan takkan mungkin menjadi Nabi. Namun, manusia profetik menyadari adanya kerja-kerja profetik untuk membangun kehidupan. Persoalan kini, adakah manusia-manusia profetik?

Pertanyaan di atas tentu menjadi refleksi. Menjadi manusia profetik meniscayakan peneladanan terhadap sifat dan karakter Nabi sebagai sosok teladan. Begitu pula diperlukan penghayatan dan pemaknaan dari kerja-kerja profetik. Di tengah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang masih berada dalam “terowongan gelap”, negeri ini merindukan hadirnya manusia-manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Manusia profetik yang membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan. Manusia profetik dituntut untuk mampu mempersembahkan kontribusi positif bagi kehidupan.

Di tengah negeri ini yang masih berkubang kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterbelakangan, kehadiran manusia profetik dirindukan. Di negeri ini, penyembahan terhadap uang dan kekuasaan menggejala, politik tak dijalankan untuk kemaslahatan, hukum tak ditegakkan untuk keadilan, kehidupan masyarakat terpuruk, kesenjangan sosial menganga, maka siapakah manusia profetik? Aku, kamu, dan kita perlu mulai belajar menjadi manusia profetik. Kita memperbaiki diri dan mengajak siapa pun untuk memaknai ibadah kepada Tuhan dan memakmurkan kehidupan secara lebih sejati. Sesungguhnya kitalah sang pengubah zaman. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta