Pesohor (Bukan) Panutan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Selasa, 26 Februari 2013

Adanya pesohor yang bersikap dan berperilaku kurang mulia memang kerapkali mengundang getir. Banyak pihak memvonis miskinnya keteladanan dalam diri public figure. Begitu pula dengan “artis” politik yang mengabaikan dan menihilkan etika kekuasaan. Keteladanan tidak didapatkan dari politisi-politisi busuk yang berbuat korupsi dan tak jelas kinerjanya bagi kemaslahatan rakyat.
Membaca figur publik dikaitkan dengan faktor keteladanan, menurut penulis, seyogianya perlu perubahan cara pandang kita. Selama ini yang tertanam di benak kita adalah “manusia malaikat” dalam diri pesohor. Pesohor harus berperlaku benar, bersikap baik, dan layak menjadi panutan. Hal tersebut tidaklah salah, sebab mereka disaksikan oleh orang-orang banyak. Popularitas mereka pun turut ditopang oleh keberadaan media massa yang meliput dan mewartakan sepak terjang mereka. Mereka dituntut dapat menjadi panutan di tengah masyarakat luas. Namun, diakui atau tidak, ada ketidakadilan dalam cara pandang kita itu. Jarang kita menyadari, ujar Ignas Kleden (2007), bahwa memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan.

Sejatinya figur publik tetaplah manusia biasa, tak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Siapa pun manusia melakukan perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai positif dan mulia dalam dirinya di tengah tarikan kebaikan dan keburukan. Keteladanan tak melulu harus melihat pada diri figur publik. Artinya, siapa pun bisa menjadi panutan. Yang perlu disadari, sesungguhnya ruang kehidupan merupakan ruang pendidikan, di mana salah satu unsurnya adalah peneladanan. Keteladanan bisa didapatkan dari tukang-tukang becak, ibu-ibu pedagang di pasar, buruh bangunan, pekerja sosial, bahkan anak kecil sekali pun. Dalam hal ini, siapa pun kita selayaknya memandang faktor keteladanan bukan pada nama besar atau popularitas seseorang, namun unsur-unsur kebajikan dan kebaikan yang ditampakkan seseorang yang memang layak untuk diteladani. 

Maka, betapa pentingnya sikap kritis dan objektif kita untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Sikap dan perilaku figur publik yang salah dan tercela tidaklah perlu ditiru. Kita hanya meneladani sikap dan perilaku positif dari figur publik. Hal tersebut tidaklah sulit dan rumit dilakukan, karena kesadaran moral sedikit banyak telah meresap dalam diri kita. Hati nurani kita telah memahami hal-hal yang positif dan hal-hal yang negatif. Di tengah tarikan keburukan dan kebaikan, maka kita sebagai manusia tentu saja perlu terus-menerus berusaha memperbaiki diri. Siapa pun kita perlu berjuang membangun sikap dan perilaku positif. Sejak zaman silam, hanya dua pilihan untuk kita pilih dalam hidup ini: kebaikan atau keburukan.

Pada titik ini, kita selayaknya tidak mengalpakan pendidikan moral terhadap anak-anak sebagai generasi masa depan bangsa. Orangtua selayaknya mengambil peran dan tanggung jawab dalam peneladanan ini. Keteladanan positif yang diberikan orangtua memberikan dampak signifikan bagi pembentukan kepribadian dan karakter anak. Penanaman nilai-nilai positif seyogianya dilakukan terhadap anak-anak, sehingga dapat menolak, melawan, dan mengenyahkan setiap hal yang negatif. Moralitas yang teresap pada diri anak akan menjadi perisai diri untuk tak terhanyut pada sikap dan perilaku tidak terpuji. Keteladanan juga perlu diberikan oleh para pendidik di luar rumah, sehingga anak tidak hanya mendapatkan pengajaran moral, tetapi juga model perilaku yang bermoral.

Jadi, kita hendaknya tidak perlu lagi berlelah-lelah menghakimi para pesohor yang miskin keteladanan. Masyarakat tentu telah memahami moralitas dan mampu memilah mana yang pantas diteladani dan mana yang tidak pantas diteladani. Justru masing-masing diri kitalah yang selayaknya perlu berusaha menjadi panutan. Kita memperbaiki diri kita, bersikap dan berperilaku baik. Kita tentu saja menginginkan diri kita bisa menjadi inspirasi, motivasi, dan spirit kebaikan bagi siapa pun. 

Sesungguhnya kehidupan yang kita jalani akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Apapun profesi dan pengabdian kita, kita bertanggungjawab menjadi sosok panutan pada hal-hal positif. Itu mungkin tak semudah mencabut sehelai rambut dari kulit kepala. Maka, di antara kita, ada kaidah untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Begitu. Wallahu a’lam.

Mendukung Pelajar Gemar Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di REPUBLIKA DIY-JATENG, Selasa, 19 Februari 2013

Gerakan 10 menit membaca diluncurkan dalam Festival Pelajar Yogyakarta 2012 pada Minggu (6/5) lalu. “Melalui gerakan ini, kami ingin mengajak pelajar dan masyarakat untuk bisa melakukan kebiasaan baik dengan membaca setidaknya 10 menit sebelum beraktivitas,” kata Koordinator Seksi Acara Festival Pelajar Yogyakarta Salma Karima (Republika Online, 6/5).

Apakah gerakan yang dimotori Forum Komunikasi Pengurus OSIS (FKPO) dan Forum Antar-Kerohanian Islam (Farohis) pelajar se-Kota Yogyakarta tersebut bisa berjalan maksimal?
Fuad Hassan (2004) pernah berujar bahwa budaya baca hanya bersemi manakala kita secara sadar mengisi waktu (to fill time) dengan membaca, bukan membaca sekadar untuk menghabiskan waktu (to kill time). Membaca tentu tak bisa dibatasi waktu. Siapa pun bisa mengisi waktunya dengan membaca kapan saja dan di mana saja. Dalam hal ini, peluncuran gerakan 10 menit membaca tetap perlu diapresiasi. Poin pentingnya adalah adanya kesadaran pelajar membudayakan membaca. Diharapkan agar guru-guru di sekolah memberi respons. Seperti apakah?
            Faktor keteladanan tentu penting. Guru juga harus gemar membaca. Di samping itu, dengan mengelola kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Pertama, guru menganjurkan pelajar untuk membaca buku. Kedua, guru menceritakan satu kejadian yang dibaca dari berbagai sumber (misalnya buku, koran, majalah) sebagai titik tolak pembelajaran. Ketiga, guru meminta pelajar menceritakan peristiwa yang pernah mereka baca. Keempat, memberi tugas membaca kepada pelajar secara berkesinambungan (Wardani dalam Farida Rahim, 2007).

Di dalam kelas, guru tak melulu meminta pelajar terus mencatat apa diterangkan atau yang ditulis di papan tulis. Suasana diskusif juga diperlukan. Sebab, papar Said Tuhuleley (2004), dengan melakukan itu pelajar akan merasa perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya. Pelajar semakin memperdalam pengetahuannya. Pelajar akan merasa risih apabila dalam setiap kesempatan bertanya atau berdialog hanya duduk diam karena keterbatasan wawasannya. Pastinya guru bertugas membangun suasana dialogis di dalam kelas agar semua pelajar terangsang untuk berpartisipasi.
Pada dasarnya, banyak alternatif bisa dilakukan guru disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saatnya pihak sekolah mengoptimalkan fungsi perpustakaan. Langkah progresif perlu dilakukan dengan memosisikan perpustakaan sebagai “jantung sekolah”. Lokasi perpustakaan, bangunan perpustakaan, petugas perpustakaan, ketersediaan bahan bacaan, dan hal terkait lainnya perlu diperhatikan. Jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah, saran Asosiasi Membaca Internasional (1999), adalah 20 kali jumlah murid.
Terkait penyediaan buku di perpustakaan tampaknya perlu kerja sama pihak-pihak lainnya, seperti dengan Bank Buku Jogja yang dikelola Perpustakaan Kota Yogyakarta. Penerbit-penerbit buku di Yogyakarta tak ada salahnya menyumbangkan sekian persen dari produksi bukunya yang sesuai dengan kebutuhan pelajar. Jika ada kemauan, ada jalan lainnya yang bisa ditempuh. Pungkasnya, mari kita dukung budaya membaca pelajar Yogyakarta yang istimewa. Wallahu a’lam.

Buku Harian yang Menggoncang Jiwa Istri

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu, 17 Februari 2013

Judul Buku: Diary Suamiku Penulis: Vanny Chrisma W. Penerbit: Najah (Diva Press Group), Yogyakarta
Cetakan: I, 2012 Tebal: 340 halaman ISBN: 978-602-191-218-8
 
Setiap laki-laki dituntut untuk kuasa memahami sisi psikologi seorang perempuan. Apalagi dengan istrinya, suami tak mungkin seenaknya mengabaikan. Seorang istri memang membutuhkan nafkah lahir, namun harta benda kerapkali menyisakan kehampaan apabila tak disertai kedekatan, perhatian, dan kasih sayang suaminya.

Novel ini mengisahkan tokoh bernama Nilad Dunya yang bersuamikan pengusaha tekstil. Suaminya, Sulthan Tammimah, yang berambisi meluaskan pasar dagangnya justru membuat istrinya merana. Kesibukan suaminya membuat Nilad kesepian. Pernikahan keduanya tengah berjalan sebulan pun, Sulthan harus meninggalkan Nilad. Sulthan melakukan perjalanan jauh selama tujuh bulan ke negeri-negeri seberang untuk memperluas area dagangnya. Lebih memilukan, selama suaminya pergi, Nilad tak boleh keluar rumah. Nilad hanya sanggup terdiam (halaman 21-25). 

Saat suaminya pergi itulah terjadi konflik batin dalam diri Nilad. Lebih-lebih lagi ketika Nilad melihat buku kecil di laci meja suaminya. Ada keinginan kuat untuk mengetahui isi buku kecil itu yang seperti diary. Setelah dibuka, ada goresan pena yang menceritakan tentang seorang putri di Tibet. Tanpa berpikir jernih, Nilad menduga suaminya telah mendua. Nilad pun menelepon suaminya untuk meminta penjelasan. Ternyata, setelah telepon diangkat yang menerima adalah seorang perempuan. Berkecamuklah hati Nilad dengan dugaan kalau suaminya benar-benar berselingkuh (halaman 35-48). 

Ingin mengetahui lebih lanjut isi buku itu, Nilad bertambah terhenyak karena ada tulisan yang menceritakan perempuan lainnya bernama Samina. Adanya dua perempuan dalam buku kecil itu, dugaan Nilad bahwa suaminya berselingkuh kian kuat. Tak beberapa lama kemudian, lewat yahoo messenger, perempuan bernama Samina itu mengejutkan Nilad. Samina mengontak Nilad dan mengaku bahwa dirinya telah hamil. Kegelisahan, kegeraman, dan kemarahan Nilad kepada suaminya pun kian memuncak (halaman 69-93). 
 
Kondisi kejiwaan Nilad yang semakin labil akhirnya menemukan titik terang ketika suaminya berusaha menjelaskan semuanya. Siapakah putri dari Tibet itu, siapakah Samina? Benarkah suaminya telah berselingkuh? Benarkah suaminya yang kerapkali bepergian untuk urusan bisnis hanya sebagai alasan menemui perempuan-perempuan simpanannya? Terlepas dari itu, novel ini memberikan pelajaran bagi siapa pun untuk lebih memaknai ikatan suami-istri. Dalam pikiran bijak seorang istri, janji-janji materi tidaklah terlalu penting. Lebih penting dari itu adalah kebersamaan dalam rumah tangga dengan komunikasi yang berjalan intensif, sehingga terhindar dari keretakan, kecurigaan, dan konflik yang tak perlu. Seorang suami boleh saja sibuk berbisnis, namun seorang istri adalah belahan jiwa yang harus dihormati kedudukannya.

Heroisme Seorang Ibu Tak Tamat SD

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 13 Februari 2013 

Judul Buku: Ibuk, Penulis: Iwan Setyawan Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: 293 halaman ISBN: 978-979-22-8568-0
 
Di tengah kehidupan masyarakat, adanya kemiskinan tak dimungkiri. Masih banyak penduduk di negeri ini yang masih terpontang-panting sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Lewat novel yang diangkat dari kisah nyata ini, kita akan melihat kemiskinan dari sebuah keluarga yang tinggal di Batu, Malang, Jawa Timur. Sebuah keluarga yang digerakkan oleh seorang perempuan yang memaknai kemiskinan bukanlah penderitaan, tetapi sebuah perjuangan. Seorang perempuan itu dipanggil oleh kelima anaknya dengan panggilan Ibuk. Nama aslinya adalah Ngatinah, yang tak sempat menamatkan jenjang sekolah dasar (SD). 

Harapan melanjutkan sekolah sirna, ia tinggal di rumah dan membantu orangtuanya mengurus adik-adiknya. Ketika berusia 16 tahun, ia membantu neneknya berjualan baju bekas di Pasar Batu. Di pasar itulah seorang kernet angkot menaruh hati padanya. Hanya berbekal keberanian untuk menjalani hidup bersama, mereka akhirnya menikah (halaman 1-25).

Isa, anak pertama, pun lahir ketika Ibuk berusia 18 tahun, lalu disusul kelahiran anak berikutnya, yakni Nani, Bayek, Rini, dan Mira. Lima anak sudah terlahir. lima kali pula Ibuk melalui ambang batas antara hidup dan mati. Lima anak yang menjadi cahaya terang dalam hidup Ibuk. Ia menjaga lima anaknya siang malam, tanpa jeda, tanpa lelah. Ibuk selalu mencurahkan cintanya (halaman 29-38). Dengan penghasilan suami yang pas-pasan, Ibuk menjalankan rumah tangga dengan kesederhanaan. Anak-anak dilatih hidup sederhana. Apa yang terjadi dalam keluarga itu adalah sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan yang sederhana nan perkasa. Seorang perempuan yang mungkin melahirkan anak tanpa rencana, namun yakin bahwa setiap anak datang membawa berkah. Ibuk memberikan apapun yang dimiliki untuk mereka (halaman 42).
Karena penghasilan suaminya yang minim, Ibuk mengelola keuangan keluarga secermat mungkin. Berhemat dilakukannya. Suaminya yang semula sebagai kernet akhirnya memiliki angkot sendiri. Namun, berhemat dan sekeras apapun sang suami bekerja kerapkali belum mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga. Maka, apapun dilakoni Ibuk, seperti menggadaikan atau menjual barang, bahkan berhutang. Memang itu penuh risiko, tapi Ibuk dengan kecermatan mengatur uang bisa mencicil hutang-hutangnya. Apa yang dilakukannya itu demi anak-anaknya agar menggapai masa depan yang cemerlang. Ketika anak-anaknya mulai menginjak bangku SD, yang terlintas di benak Ibuk adalah agar kelima anaknya tak berhenti sekolah. Bahkan, Ibuk bercita-cita membawa anak-anaknya bisa kuliah. Bagi Ibuk, betapa pentingnya pendidikan agar kehidupan anak-anaknya lebih baik dan lebih sejahtera. Sebuah impian yang dibarengi ketulusan dan kesyukuran dalam menjalani hidup yang apa adanya.

Urusan sekolah anak-anaknya diatur Ibuk secara baik. Buku sekolah dimiliki anak-anaknya secara turun-temurun, dari kakak ke adik-adiknya. Sepatu rusak sebisa mungkin diperbaiki. Membeli sepatu hanya ketika benar-benar jebol. Biaya sekolah diatur Ibuk agar tak telat. Semuanya disiasati Ibuk agar anak-anaknya tetap percaya diri dan tak memiliki masalah dalam bersekolah. Ketulusan cinta dan perjuangan Ibuk dihayati benar-benar oleh anak-anaknya. Kelima anaknya tak hanya tekun belajar, tetapi juga berprestasi di luar bidang akademik dan mencoba berwirausaha membantu orangtua.

Sebuah keputusan yang dibuat Ibuk yang paling mengejutkan adalah ketika Bayek tamat SMA dan diterima di jurusan Statistika ITB Bogor. Demi anak laki-lakinya itu bisa kuliah, Ibuk dengan penuh percaya diri memutuskan agar angkot dijual. Keputusan yang berani karena angkot adalah kendaraan penopang ekonomi keluarga. Suaminya pun mencari pekerjaan lain (halaman 132-134). Keputusan Ibuk itu tak sia-sia, karena Bayek berhasil lulus kuliah dan tak lama kemudian bekerja di Nielsen Jakarta. Beberapa tahun kemudian, Bayek dipercaya bekerja di Nielsen International Research di New York. Perubahan hidup pun terjadi. Bayek mampu merubah kehidupan keluarganya.

Novel ini bisa menjadi pelajaran betapa pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup. Diangkat dari kisah nyata, novel ini memberikan motivasi dan spirit bagi setiap keluarga di Indonesia untuk bisa maju, semiskin apapun secara materi. Dengan perjuangan, impian yang mulia, dan doa yang memanjang, kehidupan yang lebih baik bisa saja tercapai.(Hendra Sugiantoro)

Impian Sekolah Berkualitas

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Selasa, 12 Februari 2013
 
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang telah menyedot anggaran triliunan rupiah sejak digulirkan pada tahun ajaran 2006/2007 kini tinggallah kenangan. Yang tersisa dari kontroversi RSBI adalah tidak surutnya impian untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

Kini, sampai berakhir tahun ajaran 2012/2013, sebagaimana ditegaskan Mohammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), terjadi masa transisi pada sekolah berlabel RSBI. Langkah tersebut sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai Pasal 50 Ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 sebagai payung hukum penyelenggaraan RSBI tidak sesuai konstitusi. Masa transisi diperlukan sebab sekolah RSBI sudah memiliki anggaran dan rencana kerja selama satu tahun anggaran. Selain itu, sekolah RSBI juga sudah menampung sumbangan dari wali murid dan orangtua siswa. Maka, kata Mohammad Nuh, rencana kerja dan anggaran RSBI tahun ajaran ini harus dijalankan terlebih dahulu. Sesuai dengan putusan MK, Mendikbud melarang pungutan sumbangan baru di sekolah eks-RSBI. Sekolah eks-RSBI juga diwajibkan untuk melepaskan label dan atribut RSBI (www.jurnas.com, 22 Januari 2013). 

Bagaimana pun, kita tentu perlu mengapresiasi setiap ikhtiar pemerintah (cq. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Kemdikbud) meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kita tidak mungkin menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian masyarakat menilai kebijakan RSBI bertentangan dengan prinsip keadilan dan persamaan pendidikan. Penolakan terhadap sekolah dengan label RSBI hendaknya dimaknai pemerintah sebagai bentuk harapan masyarakat di negeri ini untuk menjadikan institusi sekolah sebagai wahana meniti masa depan yang lebih baik. Bagaimana pun juga, sekolah tetap diharapkan untuk menciptakan perubahan sosial.
 
Dengan jutaan anak bangsa yang memiliki potensi di negeri ini, pemerintah memang menghadapi tantangan besar agar seluruh anak bangsa bisa berkembang dan mengaktualisasikan potensi dirinya. Pemerintah masih berikhtiar sepenuh daya untuk melunasi janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah tetap dihayati pemerintah sebagai wahana memajukan anak-anak bangsa agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, persepsi antara pemerintah dan para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan nasional kerapkali berlainan. Maka, lewat tulisan ini, penulis mencoba urun rembuk terkait peningkatan kualitas pendidikan, terutama pendidikan di sekolah di negeri ini.
 
Prinsip bahwa setiap warga negara harus memperoleh kesempatan belajar yang sama tentu saja telah dimengerti oleh pemerintah. Hanya saja, sebisa mungkin soal kualitas sekolah selayaknya tak ada diskriminasi. Apalagi dengan kebijakan ujian nasional (UN), amat tidak masuk akal apabila siswa-siswa yang berada di sekolah yang kualitasnya tidak sama harus menempuh UN yang sama. Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan, dijelaskan Doni Koesoema (2007), adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan melaksanakan kegiatan belajar. Di sekolah, siswa mendapatkan metode pengajaran yang berkualitas dengan materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.
 
Untuk meningkatkan kualitas sekolah, daya dukung anggaran tidak mungkin diabaikan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa tingkat korupsi terbesar pada tahun 2012 lalu terjadi di dunia pendidikan perlu dijadikan evaluasi Kemdikbud. Naiknya anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) disinyalir sebagai pemicu kasus korupsi. Upaya peningkatan kualitas sekolah tentu memerlukan manajemen anggaran secara akuntabel dan transparan.

Dalam meningkatkan kualitas sekolah, Kemdikbud memang diharapkan dapat mengimplementasikan standar pendidikan nasional di setiap sekolah. Standar nasional itu meliputi standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Namun, yang perlu digarisbawahi, standarisasi tetap perlu memperhatikan potensi dan kekhasan masing-masing daerah di negeri ini. Proses dan isi penyelenggaraan pendidikan sekolah di daerah dengan potensi kelautan, misalnya, tidak perlu disamaratakan dengan daerah-daerah agraris. Begitu pula potensi dan kekhasan budaya adiluhung masing-masing daerah perlu diperhatikan. Muatan lokal pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodasi kekhasan masing-masing daerah di Indonesia, namun harus diakui pelaksanaannya belum berjalan secara baik. 

Jadi, proses pendidikan sekolah perlu memasukkan potensi dan kekhasan masing-masing daerah, sehingga mampu membekali kemampuan siswa-siswanya untuk membangun dan memajukan daerahnya. Sejatinya kemajuan daerah yang digerakkan oleh putra dan putri daerahnya akan turut menopang kemajuan bangsa dan negara ini. Contoh menarik barangkali bisa melihat Australia. Menurut Ki Supriyoko (2010), kurikulum sekolah di Australia bisa berbeda apabila provinsi atau teritorinya berbeda. Billanook School dan Trinity School yang dikenal sebagai sekolah berkualitas di Australia memiliki perbedaan dalam ukuran kualitasnya.

Tentu, bicara peningkatan kualitas sekolah, kebijakan yang tepat dari Kemdikbud amat sangat dinantikan. Hal-hal yang beraroma diskiriminasi dan komersialisasi, sebagaimana pengalaman selama ini, cenderung sensitif dan disikapi negatif oleh masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah masih menjadi pekerjaan tak mudah. Namun, optimisme harus terus tercipta untuk melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Selamat bekerja Kemdikbud. Wallahu a’lam.