Selamatkan Anak Balita Kulonprogo

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Senin 16 Maret 2009
SUNGGUH memilukan membaca berita mengenai anak-anak balita yang didera gizi buruk di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Anak-anak yang masih dalam usia emas untuk tumbuh dan berkembang harus menghadapi kenyataan keminiman asupan gizi. Tentu saja, efek dari gizi buruk itu akan membahayakan masa depan anak-anak.
Kebutuhan makanan bergizi yang sebenarnya menjadi prioritas ternyata tidak didapatkan secara memadai. Sekitar 23 anak yang dikabarkan menderita gizi buruk di Kecamatan Kokap pada akhir Februari lalu hanyalah sepenggal kisah nestapa anak-anak balita Kulonprogo yang kekurangan asupan gizi.
Tanggung jawab utama kasus gizi buruk yang terjadi di Kulonprogo jelas berada di pundak pemerintah daerah. Pemerintah daerah Kulonprogo tentu harus bekerja keras mengatasi kasus gizi buruk di daerahnya. Apalagi menyangkut anak-anak balita yang merupakan aset potensial regenerasi sebuah masyarakat, penanganan kasus gizi buruk perlu dijadikan program darurat. Selain di Kecamatan Kokap, di Kecamatan Sentolo juga dilaporkan ada sekitar delapan anak menderita gizi buruk dan 32 anak berstatus rawan gizi buruk pada akhir bulan lalu.

Kasus gizi buruk sebagai fenomena sosial memang harus dijadikan permasalahan serius. Kasus gizi buruk dapat mengakibatkan lost generation yang tentu saja tidak diharapkan. Di Kulonprogo, pada tahun 2008 lalu tercatat sekitar 215 anak menderita gizi buruk dari sekitar 21.547 anak yang terdata.
Meskipun jumlahnya menurun dari tahun ke tahun, tetapi penurunannya tidak signifikan. Tak dimungkri pula jika kasus gizi buruk ibarat gunung es yang tak seluruhnya bisa diketahui secara pasti.
Terkait dengan faktor penyebab kasus gizi buruk, kemiskinan selalu ditempatkan sebagai faktor utama. Kemiskinan sering kali menyebabkan penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar sekalipun. Di Kecamatan Sentolo, misalnya, ada empat desa dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni Desa Demangrejo, Srikayangan, Tuksono, dan Salamrejo. Kemiskinan memang menjadi persoalan pelik penduduk untuk dapat bertahan hidup. Kebutuhan makan sehari-hari saja harus dipenuhi dengan pikiran dan tenaga yang berlipat-lipat. Dalam keluarga dengan jumlah anggota keluarga banyak, kemiskinan tentu menimbulkan persoalan pelik. Tidak hanya soal kebutuhan makan, kebutuhan dasar lainnya sering kali terlupakan. Fakta adanya anak-anak yang harus bekerja menyambung hidup keluarga sudah bukan rahasia lagi.
Kemiskinan juga mengakibatkan tidak terjaminnya kesehatan ibu. Ibu yang mengandung kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Asupan gizi ibu yang mengandung terabaikan dan dengan sendirinya berdampak terhadap bayi yang dikandungnya. Air susu ibu pun menjadi kurang memadai bagi bayi yang dilahirkan, padahal air susu ibu merupakan kebutuhan penting bagi tumbuh kembang anak di masa awal kehidupannya.

Institut PendidikanSelain persoalan kemiskinan, tingkat pendidikan penduduk juga berpengaruh terhadap kasus gizi buruk di Kulonprogo seperti dikatakan Bambang Haryatno. Direktur RSUD Wates itu memaparkan fakta bahwa seluruh pasien gizi buruk adalah penduduk pinggiran, jauh dari berbagai fasilitas, dan kurang mampu. Faktor ekonomi yang buruk dan pendidikan yang kurang mengakibatkan kurangnya kesadaran ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan saat mengandung, termasuk juga memperhatikan kesehatan anak-anak balitanya (Suara Merdeka, 27/2).
Pada dasarnya, dana penanganan gizi buruk di Kulonprogo telah dianggarkan, namun sepertinya belum mampu menjadi solusi. Kebutuhan gizi penduduk Kulonprogo belum sepenuhnya ter-cover dengan besarnya dana penanangan gizi buruk yang digelontorkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu semaksimal mungkin mendayagunakan dana tersebut untuk mengatasi kasus gizi buruk.
Anggaran sekitar 600 juta yang kabarnya disediakan pada tahun ini selayaknya dapat terserap maksimal agar derita gizi buruk lenyap dari bayang-bayang anak-anak Kulonprogo. Jika memang kemiskinan menjadi faktor penyebab kasus gizi buruk, maka pemerintah daerah tentu saja tidak bisa cuci tangan meningkatkan taraf hidup penduduk di daerahnya.
Selain itu, permasalahan gizi buruk di Kulonprogo hendaknya menjadi tanggung jawab sosial kemanusiaan seluruh warga Kulonprogo dan warga DIY.
Meskipun terdapat penduduk miskin dan malah super miskin, warga di Kulonprogo tentu saja ada yang berkemampuan secara ekonomi. Kepedulian sosial sudah seharusnya ditunjukkan karena permasalahan gizi buruk menyangkut nasib dan keberlanjutan generasi. Masyarakat yang secara finansial memadai tak ada salahnya menanggung beban masyarakat yang lemah secara ekonomi.
Di sisi lain, penumbuhan kesadaran penduduk untuk memperhatikan kondisi kesehatan dan asupan gizi bagi anak-anak balita tidak boleh dilupakan. Bukan rahasia jika ada keluarga yang pengeluaran sehari-harinya begitu besar, tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan yang sifatnya kurang penting dan mendesak. Tak ketinggalan organisasi sosial kemasyarakat bisa turun ke lapangan untuk menumbuhkan kesadaran terkait pemenuhan gizi anak-anak balita. Begitu pun pentingnya kesadaran ibu yang mengandung agar menjaga kondisi kesehatan dan janinnya. Upaya-upaya promotif dan preventif kasus gizi buruk setidaknya lebih diutamakan ketimbang pada upaya yang lebih bersifat kuratif. Kecenderungan bergerak dan bertindak saat kasus gizi buruk merebak semestinya ditinggalkan.
Kasus gizi buruk di Kulonprogo yang menimpa anak-anak sudah sewajarnya ditangani secara serius. Masa depan keberlanjutan generasi ada dipundak anak-anak Kulonprogo yang mungkin saat ini sedang berhadapan dengan keadaan gizi memprihatinkan. Potensi kecerdasan anak-anak Kulonprogo tidak harus menjadi lemah akibat gizi buruk yang menerpa. Anak-anak Kulonprogo adalah bagian dari anak-anak Indonesia yang tidak boleh ditelantarkan kebutuhan gizinya untuk dapat menggapai kehidupan cerah di hari depannya. Wallahu a'lam. (35)
—Hendra Sugiantoro, aktivis Transform Institute (Trans-F) di Universitas Negeri Yogyakarta