Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Di Balik Buku Jawa Pos, Minggu 10 Oktober 2010
SEJARAH memiliki makna. Sejarah tak sekadar rentetan peristiwa dan tokoh masa lalu. Sejarah mengandung pelajaran. Bukti bahwa sejarah itu perlu, kata Kuntowijoyo, adalah kenyataan sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan di sepanjang waktu. Pentingnya (mempelajari) sejarah menghendaki pentingnya menjaga sejarah lewat tulisan. Meskipun bisa dijadikan acuan dan referensi, bahasa tutur memiliki kelemahan terkait keterjagaan dan keaslian. Sifat lupa manusia adalah dalil sahih untuk menyelamatkan sejarah dalam teks.
Untuk dapat menulis sejarah tentu tak selalu menjadi perkara mudah. Sumber-sumber referensial dibutuhkan untuk menepatkan penulisan. Menelusuri data-data masa lalu memerlukan keuletan, kesabaran, dan ketekunan. Betapa sulitnya menulis sejarah bukan berarti tak bisa dilakukan. Buku-buku sejarah yang diterbitkan merupakan tanda bahwa sejarah bisa dituliskan. Apalagi riwayat penulisan di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lampau yang bisa dijadikan kajian dan telaah sejarah.
Terkait penulisan sejarah tentu tak melulu soal peristiwa. Tokoh-tokoh yang pernah ada dan hadir di masa lalu bisa menjadi tema penulisan tersendiri. Hal ini telah dilakukan seperti penulisan biografi Teuku Umar oleh Hazil Tansil. Buku biografi Soekarno juga telah ditulis oleh penulis dalam negeri dan luar negeri. Tokoh-tokoh lainnya tak lupa ditulis dan dibiografikan, seperti Mohammad Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’arie, dan lain-lain. Bahkan, biografi tokoh dalam bentuk novel pernah beredar seperti Cermin Kaca Soekarno karangan Mayong Sutrisno dan Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil karya Remy Silado. Lewat tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya Ananta Toer sebenarnya juga memaparkan satu sosok Tirto Adi Soerjo. Meskipun novel biografi bukan buku sejarah, namun bisa menjadi acuan membaca tokoh yang diceritakan.
Dari banyaknya buku biografi dituliskan, namun ternyata masih memunculkan kegelisahan. Pasalnya, penulisan biografi tokoh-tokoh perempuan di masa lalu harus diakui minim. Kartini bisa dikatakan terbantu dengan kumpulan surat-suratnya yang dipublikasikan lewat Door Duisternis Tot Licht. Penerbitan surat-surat Kartini yang dilakukan J.H. Abendanon pada 1911 itu sedikit banyak menyokong penulisan biografi Kartini. Dengan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, masyarakat umum pun bisa membaca pikiran dan perasaan perempuan kelahiran Jepara itu. Sosok Kartini pun tak lepas dari buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Biografi Kartini telah banyak ditulis, termasuk oleh Pramoedya Ananta Toer dengan judul Panggil Aku Kartini Saja. Sitisoemandari Soeroto pernah menulis buku Kartini: Sebuah Biografi.
Selain Kartini, Cut Nyak Dien juga menduduki porsi besar dalam penulisan tokoh perempuan masa lalu. Tak hanya nonfiksi, tapi juga ditulis dalam bentuk novel oleh Ragil Soewarno. Dapat disaksikan bahwa pemaparan perihal Cut Nyak Dien begitu banyak dibandingkan pemaparan tokoh perempuan Aceh lainnya. Tokoh perempuan seperti Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, dan Rasuna Said kerap mewarnai buku biografi singkat para pahlawan Indonesia yang diberikan di bangku pendidikan. Kendati tokoh perempuan masa lalu tak dilupakan dalam penulisan sejarah, penulisan yang lebih fokus tak banyak dilakukan. Dalam buku sejarah di sekolah pun hanya sekilas diungkapkan. Lantas, bagaimanakah generasi masa kini bisa membaca kiprah perempuan di masa lalu ketika penulisan sejarah lebih dominan pada tokoh laki-laki?
Dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah terbitan LP3ES Jakarta, ada satu-satunya sosok perempuan yang diprofilkan: Rahmah el-Yunusiyah. Perempuan yang lahir di Sumatera Barat, 20 Desember 1900, ini tercatat sebagai pendiri perguruan agama khusus putri. Rahmah el-Yunusiyah menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar syaikhah dari Universitas Al-Azhar Kairo pada 1957. Dari penelusuran buku sejarah yang diberikan di sekolah, sosok perempuan satu ini ternyata tak terpapar. Rohana Kudus asal Sumatera Barat yang lahir 20 Desember 1884 juga tak terpapar dalam buku sejarah di sekolah. Pengelola surat kabar perempuan pertama Soenting Melaju ini diakui tak begitu populer di mata publik. Perjuangannya sebagai perempuan, apalagi terjun di kancah pers, patut mendapat tempat tersendiri dalam penulisan sejarah. Tamardjaya pernah menulis biografi Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, namun biografi itu seperti hilang akibat tak ada reproduksi buku-buku terbitan lama. Minim atau tak adanya proyek penerbitan buku-buku lama memang menjadi kendala membaca sejarah yang pernah dituliskan. Pada titik ini, ikhtiar Reni Nuryanti menulis buku Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Ganarsih (2007) menjadi apresiasi tersendiri. Kisah hidup salah satu istri Bung Karno itu sebelumnya pernah dituturkan Ramadhan KH dalam buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno.
Menapaktilasi masa lalu, negeri ini memiliki banyak tokoh perempuan yang gemilang di zamannya. Tokoh perempuan yang bisa menjadi cermin. Sebut saja Keumalahayati yang menjadi laksamana laut. Di medan laut, perempuan Aceh ini telah menunjukkan kepiawaiannya. Konon, ia adalah pemimpin armada laut perempuan pertama. Suatu ketika ia memiliki armada perempuan yang dinamakan inong balee (ada yang menulis inong bale). Ia sempat memimpin dan melatih para perempuan janda untuk turut terjun dalam kancah perjuangan. Teuku H. Ainal Mardhiyah Aly dalam tulisan “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Kini” pernah menuliskan, “Laksamana Malahayati seorang wanita yang telah berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederich Houtman 1006 H (1599 M). Sering sekali Armada Inong Bale ikut bertempur di Selat Malaka dan pantai-pantai Sumatera Timur dan Melayu.”(Ismail Suny et.al, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1980), hlm. 286).
Di masa lalu, ada tokoh perempuan yang telah menjadi seorang pemimpin besar, salah satunya adalah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin yang memimpin kesultanan Aceh dari tahun 1641 sampai 1675. Harsja W. Bahtiar (dalam Adian Husaini, 2009) menuturkan bahwa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, ia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansury, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Di telisik lebih jauh, masih banyak tokoh-tokoh perempuan lain yang telah menggoreskan jejak cemerlang. Negeri ini sebenarnya tak miskin sosok perempuan yang berpikir dan berkarya besar. Maka, perhatian terhadap penulisan sejarah perempuan menjadi niscaya. Perempuan adalah satu bagian yang telah berkiprah dan tak boleh dilupakan dalam perjalanan panjang sejarah. Hal ini bukan berarti mengkultuskan, namun untuk mengingatkan sekaligus meletakkan cermin bagi generasi kemudian. Proyek penulisan biografi tokoh perempuan bisa dilakukan pemerintah maupun pihak swasta. Penerbit-penerbit buku perlu mengambil ranah ini menjadi bagian dari penerbitannya. Penulisan biografi tokoh perempuan bisa pula dikerjakan secara individul dengan kerja telaten dan penuh keuletan demi “menghadirkan” kiprah dan perjuangan perempuan-perempuan Indonesia.
Dengan bercermin pada perempuan-perempuan besar di masa lalu yang layak menjadi teladan, perempuan-perempuan kini dan di masa mendatang bisa mengambil pelajaran. Tokoh-tokoh perempuan yang dibiografikan meliputi setiap zaman. Meminjam Ahmad Mansur Suryanegara, bila sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. Penulisan biografi (tokoh) perempuan dengan kiprah dan perjuangannya diperlukan sebagai spirit, motivasi, dan inspirasi generasi bangsa. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta
Dimuat di Di Balik Buku Jawa Pos, Minggu 10 Oktober 2010
SEJARAH memiliki makna. Sejarah tak sekadar rentetan peristiwa dan tokoh masa lalu. Sejarah mengandung pelajaran. Bukti bahwa sejarah itu perlu, kata Kuntowijoyo, adalah kenyataan sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan di sepanjang waktu. Pentingnya (mempelajari) sejarah menghendaki pentingnya menjaga sejarah lewat tulisan. Meskipun bisa dijadikan acuan dan referensi, bahasa tutur memiliki kelemahan terkait keterjagaan dan keaslian. Sifat lupa manusia adalah dalil sahih untuk menyelamatkan sejarah dalam teks.
Untuk dapat menulis sejarah tentu tak selalu menjadi perkara mudah. Sumber-sumber referensial dibutuhkan untuk menepatkan penulisan. Menelusuri data-data masa lalu memerlukan keuletan, kesabaran, dan ketekunan. Betapa sulitnya menulis sejarah bukan berarti tak bisa dilakukan. Buku-buku sejarah yang diterbitkan merupakan tanda bahwa sejarah bisa dituliskan. Apalagi riwayat penulisan di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lampau yang bisa dijadikan kajian dan telaah sejarah.
Terkait penulisan sejarah tentu tak melulu soal peristiwa. Tokoh-tokoh yang pernah ada dan hadir di masa lalu bisa menjadi tema penulisan tersendiri. Hal ini telah dilakukan seperti penulisan biografi Teuku Umar oleh Hazil Tansil. Buku biografi Soekarno juga telah ditulis oleh penulis dalam negeri dan luar negeri. Tokoh-tokoh lainnya tak lupa ditulis dan dibiografikan, seperti Mohammad Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’arie, dan lain-lain. Bahkan, biografi tokoh dalam bentuk novel pernah beredar seperti Cermin Kaca Soekarno karangan Mayong Sutrisno dan Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil karya Remy Silado. Lewat tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya Ananta Toer sebenarnya juga memaparkan satu sosok Tirto Adi Soerjo. Meskipun novel biografi bukan buku sejarah, namun bisa menjadi acuan membaca tokoh yang diceritakan.
Dari banyaknya buku biografi dituliskan, namun ternyata masih memunculkan kegelisahan. Pasalnya, penulisan biografi tokoh-tokoh perempuan di masa lalu harus diakui minim. Kartini bisa dikatakan terbantu dengan kumpulan surat-suratnya yang dipublikasikan lewat Door Duisternis Tot Licht. Penerbitan surat-surat Kartini yang dilakukan J.H. Abendanon pada 1911 itu sedikit banyak menyokong penulisan biografi Kartini. Dengan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, masyarakat umum pun bisa membaca pikiran dan perasaan perempuan kelahiran Jepara itu. Sosok Kartini pun tak lepas dari buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Biografi Kartini telah banyak ditulis, termasuk oleh Pramoedya Ananta Toer dengan judul Panggil Aku Kartini Saja. Sitisoemandari Soeroto pernah menulis buku Kartini: Sebuah Biografi.
Selain Kartini, Cut Nyak Dien juga menduduki porsi besar dalam penulisan tokoh perempuan masa lalu. Tak hanya nonfiksi, tapi juga ditulis dalam bentuk novel oleh Ragil Soewarno. Dapat disaksikan bahwa pemaparan perihal Cut Nyak Dien begitu banyak dibandingkan pemaparan tokoh perempuan Aceh lainnya. Tokoh perempuan seperti Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, dan Rasuna Said kerap mewarnai buku biografi singkat para pahlawan Indonesia yang diberikan di bangku pendidikan. Kendati tokoh perempuan masa lalu tak dilupakan dalam penulisan sejarah, penulisan yang lebih fokus tak banyak dilakukan. Dalam buku sejarah di sekolah pun hanya sekilas diungkapkan. Lantas, bagaimanakah generasi masa kini bisa membaca kiprah perempuan di masa lalu ketika penulisan sejarah lebih dominan pada tokoh laki-laki?
Dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah terbitan LP3ES Jakarta, ada satu-satunya sosok perempuan yang diprofilkan: Rahmah el-Yunusiyah. Perempuan yang lahir di Sumatera Barat, 20 Desember 1900, ini tercatat sebagai pendiri perguruan agama khusus putri. Rahmah el-Yunusiyah menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar syaikhah dari Universitas Al-Azhar Kairo pada 1957. Dari penelusuran buku sejarah yang diberikan di sekolah, sosok perempuan satu ini ternyata tak terpapar. Rohana Kudus asal Sumatera Barat yang lahir 20 Desember 1884 juga tak terpapar dalam buku sejarah di sekolah. Pengelola surat kabar perempuan pertama Soenting Melaju ini diakui tak begitu populer di mata publik. Perjuangannya sebagai perempuan, apalagi terjun di kancah pers, patut mendapat tempat tersendiri dalam penulisan sejarah. Tamardjaya pernah menulis biografi Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, namun biografi itu seperti hilang akibat tak ada reproduksi buku-buku terbitan lama. Minim atau tak adanya proyek penerbitan buku-buku lama memang menjadi kendala membaca sejarah yang pernah dituliskan. Pada titik ini, ikhtiar Reni Nuryanti menulis buku Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Ganarsih (2007) menjadi apresiasi tersendiri. Kisah hidup salah satu istri Bung Karno itu sebelumnya pernah dituturkan Ramadhan KH dalam buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno.
Menapaktilasi masa lalu, negeri ini memiliki banyak tokoh perempuan yang gemilang di zamannya. Tokoh perempuan yang bisa menjadi cermin. Sebut saja Keumalahayati yang menjadi laksamana laut. Di medan laut, perempuan Aceh ini telah menunjukkan kepiawaiannya. Konon, ia adalah pemimpin armada laut perempuan pertama. Suatu ketika ia memiliki armada perempuan yang dinamakan inong balee (ada yang menulis inong bale). Ia sempat memimpin dan melatih para perempuan janda untuk turut terjun dalam kancah perjuangan. Teuku H. Ainal Mardhiyah Aly dalam tulisan “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Kini” pernah menuliskan, “Laksamana Malahayati seorang wanita yang telah berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederich Houtman 1006 H (1599 M). Sering sekali Armada Inong Bale ikut bertempur di Selat Malaka dan pantai-pantai Sumatera Timur dan Melayu.”(Ismail Suny et.al, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1980), hlm. 286).
Di masa lalu, ada tokoh perempuan yang telah menjadi seorang pemimpin besar, salah satunya adalah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin yang memimpin kesultanan Aceh dari tahun 1641 sampai 1675. Harsja W. Bahtiar (dalam Adian Husaini, 2009) menuturkan bahwa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, ia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansury, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Di telisik lebih jauh, masih banyak tokoh-tokoh perempuan lain yang telah menggoreskan jejak cemerlang. Negeri ini sebenarnya tak miskin sosok perempuan yang berpikir dan berkarya besar. Maka, perhatian terhadap penulisan sejarah perempuan menjadi niscaya. Perempuan adalah satu bagian yang telah berkiprah dan tak boleh dilupakan dalam perjalanan panjang sejarah. Hal ini bukan berarti mengkultuskan, namun untuk mengingatkan sekaligus meletakkan cermin bagi generasi kemudian. Proyek penulisan biografi tokoh perempuan bisa dilakukan pemerintah maupun pihak swasta. Penerbit-penerbit buku perlu mengambil ranah ini menjadi bagian dari penerbitannya. Penulisan biografi tokoh perempuan bisa pula dikerjakan secara individul dengan kerja telaten dan penuh keuletan demi “menghadirkan” kiprah dan perjuangan perempuan-perempuan Indonesia.
Dengan bercermin pada perempuan-perempuan besar di masa lalu yang layak menjadi teladan, perempuan-perempuan kini dan di masa mendatang bisa mengambil pelajaran. Tokoh-tokoh perempuan yang dibiografikan meliputi setiap zaman. Meminjam Ahmad Mansur Suryanegara, bila sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. Penulisan biografi (tokoh) perempuan dengan kiprah dan perjuangannya diperlukan sebagai spirit, motivasi, dan inspirasi generasi bangsa. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta