Menghormati Orang yang Lebih Tua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Selasa, 27 Desember 2011

Dalam buku Cerita Kecil Saja (2009) karya Stephie Kleden-Beetz, ada sebuah kisah yang menarik direnungkan. Pada suatu hari ada perempuan renta dan seorang ayah dengan anak-anaknya yang sedang antre di stasiun. Saat mengantre, si ayah itu tak bersedia mendahului dan justru mempersilakan agar perempuan tua berada di barisan depan. Karena kagum atau terkejut dengan sikap tersebut, perempuan tua bertanya kepada si ayah siapa yang mengajarinya. Apa jawab si ayah? Ibulah yang mengajari saya menghormati orang yang lebih tua ketika saya duduk di kelas 4 SD, jawab si ayah.

Kisah yang telah saya modifikasi itu bisa menjadi refleksi kita. Pada dasarnya, menghormati orang yang lebih tua merupakan budi pekerti luhur, namun tampaknya mulai mengalami erosi. Apakah kita yang duduk di angkutan umum memberikan tempat duduk kita kepada nenek atau kakek yang tampak berdiri? Apakah kita bergegas membantu manakala menyaksikan orang yang lebih sepuh kerepotan? Apakah kita masih menaruh hormat kepada guru-guru kita? Banyak pertanyaan sejenisnya yang bisa kita jawab dalam hati.

Dari kisah di atas, kita dapat menyaksikan si ayah ternyata tak melupakan ajaran budi pekerti dari gurunya. Perempuan renta di stasiun itu tak ingat lagi bahwa si ayah adalah muridnya di sekolah dasar. Menariknya, si ayah tak sekadar memahami sikap hormat, tetapi juga mempraktekkannya meskipun telah besar dan berkeluarga. Apa yang dilakukan si ayah di stasiun itu juga memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.

Sikap dan perilaku menghormati orang yang lebih tua tentu perlu dimiliki anak-anak dan generasi muda.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Potensi Menulis Siswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Sabtu, 24 Desember 2011

PADA 11 Desember 2011 lalu diselenggarakan Festival Anak Jogja oleh Hima PGSD Kampus II FIP UNY. Kegiatan ini juga bekerja sama dengan Kedaulatan Rakyat. Dengan tema ”Kado Istimewa untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, salah satu acaranya adalah lomba menulis. Siswa-siswa SD mengikuti lomba menulis ini.

Sebagai juri, saya mengagumi karya-karya siswa SD itu. Mereka bisa menuangkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan lewat kalimat-kalimat yang terangkai. Apapun tulisannya, kita harus mengapresiasi secara positif. Saya berani berkata, siapa pun siswa memiliki potensi menulis.

Di SKH Kedaulatan Rakyat setiap hari Minggu, kita bisa membaca tulisan-tulisan siswa SD di rubrik Kawanku. Yang menjadi pertanyaan, mengapa seringkali dinyatakan, tradisi menulis di Indonesia rendah? Bukankah menulis telah menjadi bagian dari aktivitas belajar-mengajar sejak siswa menempuh jenjang pendidikan dasar?

Potensi menulis siswa cenderung tak berkembang karena beberapa faktor. Pertama, ruang aktualisasi yang terbatas. Ruang aktualisasi ini tak sekadar pembuatan majalah dinding di sekolah, tetapi juga peluang menulis di luar sekolah. Ada sekolah dan guru yang kurang mengakses informasi, sehingga buta dengan banyaknya peluang yang memungkinkan siswa berkarya lewat tulisan. Kedua, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah kerap kali tidak fungsional membentuk kemampuan berbahasa siswa. Teori-teori memang penting, namun kemampuan berbahasa hendaknya tidak diabaikan. Selain berbahasa lisan, kemampuan berbahasa itu adalah berbahasa tulis.

Ketiga, anggapan, menulis sekadar pilihan profesi masa depan. Menurut saya, apapun profesi siswa di kemudian hari, menulis merupakan bagian dari profesi itu. Menulis adalah sarana mengikat ilmu, menyampaikan ilmu. Menulis untuk berbagi wawasan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Lewat tulisan, uneg-uneg, pendapat, dan semacamnya bisa disampaikan.

Siswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa. Dunia pendidikan memiliki tantangan untuk mendorong dan memberikan ruang aktualisasi menulis yang memadai. JK Rowling yang fenomenal dengan karya Harry Potter-nya telah menulis buku pertamanya pada usia 5 atau 6 tahun. Buku pertama itu bercerita tentang seekor kelinci yang sakit dan dihibur oleh seekor lebah (John Vivian: 2008). Amat memungkinkan siswa SD berhasil menulis buku. Bahkan, siswa yang kini duduk di SD dimungkinkan juga meraih Nobel di bidang sastra di masa mendatang.(HENDRA SUGIANTORO, motivator kepenulisan)

Budi Pekerti Cegah HIV/AIDS

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Rabu 21 Desember 2011

Wabah HIV/AIDS terus menghantui masyarakat dunia, termasuk di negeri ini. Yang memiriskan, konon penyebarannya di Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Entah benar atau tidak, fakta ini perlu dianggap warning. Efek HIV/AIDS bisa memperlemah sumber daya manusia yang tentu berkaitan dengan masa depan bangsa.

Menurut penulis, kepemilikan budi pekerti merupakan keniscayaan sebagai bagian dari upaya pencegahan. Memang ada perawatan antiretrovirus yang dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun keberhasilannya tidak 100%. Justru budi pekerti yang baik merupakan penangkal untuk menciptakan tatanan masyarakat yang sehat.

Mari kita simak data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Disebutkan sampai September 2009 ada 18.442 kasus AIDS; 13.654 kasus laki-laki, 4.701 kasus perempuan, dan 87 kasus tak diketahui jenis kelaminnya. Dari jumlah kasus perempuan, 60% adalah ibu rumah tangga biasa. Berdasarkan data yang sama pada 2002-2009, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV naik dari 40% menjadi 60% (Paulus Mujiran: 2011). Dari jumlah kasus, yang terinfeksi mayoritas masih laki-laki
. Kian banyak ibu rumah tangga yang tertular penyakit ini pada umumnya tertular oleh suami.

Untuk mengenyahkan wabah HIV/AIDS, budi pekerti untuk menghargai keberadaan tubuh perlu dimiliki. Tubuh perempuan selayaknya diperlakukan semestinya, baik oleh
pihak perempuan sendiri maupun pihak laki-laki. Kebutuhan seksual perlu disalurkan secara tepat. Berganti-ganti pasangan adalah cermin tak dimilikinya budi pekerti yang luhur. Laki-laki yang telah bersuami wajib mencintai istrinya sepenuh hati. Kesetiaan dalam rumah tangga perlu diperkuat. Bagi yang belum berumah tangga, tubuh harus dijaga dengan tak mengumbar nafsu seksual secara bebas. Menghargai tubuh berarti menghargai kehidupan. Tak hanya untuk kehidupan diri, tetapi juga kehidupan anak-anak sebagai generasi masa depan. Begitu juga tubuh perlu dihargai dengan tak merusaknya lewat obat-obatan terlarang. Ajaran agama maupun ajaran lokal yang adiluhung mengajarkan: menjaga dan menghargai tubuh adalah salah satu budi pekerti luhur yang perlu dimiliki masyarakat. Bukankah begitu?
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Plagiarisme, Sebuah Pelanggaran!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 18 Desember 2011

Judul Buku: Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika Penulis: Dr. Henry Soelistyo, SH. LL.M Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: 308 halaman

Kasus plagiarisme kerapkali mencuat. Untuk memahami seluk-beluk plagiarisme, buku karya Henry Soelistyo ini bisa dijadikan pegangan. Doktor Hukum UGM yang terlibat tekun dalam bidang hak kekayaan intelektual ini mengupas secara mendalam persoalan plagiarisme dikaitkan dengan aspek hukum dan etika. Berbagai pengertian plagiarisme dijabarkan untuk memberikan titik tegas perilaku menyimpang ini.

Dari tipe-tipenya, plagiarisme bisa meliputi plagiarisme ide (plagiarism of ideas), plagiarisme kata demi kata (word for word plagiarism), plagiarisme atas sumber (plagiarism of source), dan plagiarisme kepengarangan (plagiarism of authorship). Dipaparkan penulis buku, dalam kaitannya dengan karya tulis, bentuk plagiarisme yang relevan adalah tipe plagiarisme kata demi kata dan plagiarisme atas sumber. Maksud dari plagiarisme kata demi kata adalah mengutip karya orang lain secara kata demi kata tanpa menyebutkan sumbernya. Plagiarisme atas sumber adalah tidak menyebutkan referensi yang dirujuk dalam kutipan secara lengkap. Apakah penulis yang mempublikasikan satu tulisannya di banyak media massa bisa dianggap sebagai plagiarisme? Hal tersebut dapat disimak dalam penjelasan tentang self plagiarisme.

Plagiarisme sebagai ketidakjujuran pastinya menyalahi etika. Menurut penulis buku, plagiarisme juga merupakan pelanggaran UU Hak Cipta yang sepatutnya mendapatkan sanksi hukum yang sepantasnya. Tindak pelanggaran Hak Cipta lebih menyangkut pelanggaran Hak Moral yang berdimensi etika. Dalam buku ini, konsepsi perlindungan hak cipta di Indonesia dan Peraturan Mendiknas No. 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi coba dijelaskan. Penulis buku juga memaparkan langkah-langkah teknis dan akademis mencegah plagiarisme. Pencegahan dan penanggulangan plagiarisme tentu tak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga di lingkup lainnya. Siapa bisa menjamin plagiarisme tak terjadi di instansi pemerintahan? Bahkan, sebagian guru juga disinyalir melakukan tindakan plagiat demi menunjang karirnya. Banyak pelajaran bisa diperoleh lewat buku ini untuk mengedepankan etika dalam menciptakan karya tulis.

HENDRA SUGIANTORO

Mohammad Natsir dalam Jejak Pena

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Horizon RADAR SURABAYA, Minggu 18 Desember 2011

Natsara artinya penulis kalam atau bertaburan. Konon kata “Natsir” berasal dari kata itu. Dengan diberi nama Natsir, ada harapan tersirat agar anak dari rahim Khadijah ini bisa menjadi seorang penulis yang bertaburan hasil karyanya. Dalam konteks lebih luas, Mohammad Natsir (1908-1993) diharapkan juga bertabur jasanya bagi bangsa dan agama. Benarkah maksud dari pemberian nama Natsir itu? Idris Sutan Saripado, ayah Mohammad Natsir, tentu yang lebih tahu. Atau tanyakan ke Khadijah, ibu yang melahirkan Mohammad Natsir.

Mohammad Natsir tidak hanya dilahirkan sejarah, tetapi juga melahirkan sejarah. Sepanjang usia hidupnya, kiprah Mohammad Natsir tak hanya dalam satu bidang. Ia adalah seorang pejuang, pendidik, politisi, dan juru dakwah. Banyak hal bisa dibahas untuk membicarakan Mohammad Natsir. Dalam tulisan ini, kiprah beliau dalam kancah jurnalistik dan kepenulisan sedikit banyak akan coba diuraikan.

Mohammad Natsir mulai menulis tentunya ketika telah mampu menulis. Kemampuan menulis Mohammad Natsir tidak dimungkiri terus meningkat kualitasnya beriringan dengan akses belajar dan bangku pendidikan yang ditempuhnya. Jika benar Mohammad als Profeet (1929) yang ditulis dalam bahasa Belanda merupakan karya pertama beliau dalam bentuk buku, maka Mohammad Natsir telah menghasilkan buku pada usia sekitar 21 tahun.

Mohammad Natsir telah menghasilkan begitu banyak tulisan. Ketika berkecimpung di organisasi Persatuan Islam (Persis), beliau telah menulis dalam majalah Persis Pembela Islam. Pernah ketika mengenyam pendidikan di Algemene Middlebare School (AMS) Bandung, beliau menulis dengan analisis tajam soal pabrik tebu kolonial. Tugas dari sekolah itu boleh jadi tulisan ilmiah-akademis pertama Mohammad Natsir.

Pada dasarnya, jejak kepenulisan Mohammad Natsir dalam surat kabar-surat kabar di zamannya begitu banyak. Tak hanya di Pembela Islam, beliau juga turut menulis di Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Al-Manar, dan sebagainya. Pemimpin Pandji Islam dan Al-Manaar, ZA Ahmad, pernah berujar, “Tulisannya (baca: Mohammad Natsir) yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan karena lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.”

Disebutkan di atas bahwa Mohammad als Profeet merupakan karya pertama Mohammad Natsir dalam bentuk buku dengan menggunakan bahasa Belanda. Adapun Cultuur Islam (1934) merupakan buku pertama beliau dalam bahasa Indonesia.

Mohammad Natsir dalam jejak kepenulisannya pernah berpolemik dengan Soekarno. Polemik ini tidak terlepas dari kondisi pergerakan nasional saat itu yang seolah-olah membelah dalam dua kubu: Islam dan nasionalisme sekuler. Awalnya Soekarno berpolemik dengan Haji Agus Salim sejak tahun 1920-an. Sampai akhirnya Mohammad Natsir turut masuk dalam perdebatan tersebut. Yang perlu dicatat, Soekarno juga mempublikasikan tulisannya lewat surat kabar Islam, seperti Pandji Islam. Soekarno dan Mohammad Natsir berbicara tentang Islam dengan konsepnya masing-masing. Tulisan-tulisan Soekarno antara lain berjudul Memudahkan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, dan ‘Masjarakat Onta’ dan ‘Masjarakat Kapal-udara’.

Tulisan-tulisan Soekarno mencemaskan dalam pandangan Natsir. Menanggapi tulisan Soekarno, Mohammad Natsir menulis dengan judul, antara lain Tjinta Agama dan Tanah Air, Ichwanu’ Shafaa, Rasionalisme dalam Islam, Islam dan Akal Merdeka, dan Persatuan Agama dengan Negara. Saat Indonesia merdeka, Mohammad Natsir terus aktif menulis di pelbagai surat kabar. Majalah Abadi, Hikmah, Media Dakwah, dan Suara Masjid adalah surat kabar yang pernah mempublikasikan tulisan beliau. Buku-buku beliau berjumlah puluhan, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit jejak kepenulisan Mohammad Natsir. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Guru BK Bukan Polisi Sekolah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Selasa 13 Desember 2011

Fakta di lapangan, keberadaan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah identik dengan masalah yang dihadapi siswa. Banyak siswa yang dianggap bermasalah diarahkan ke guru BK atau biasa disebut konselor untuk ditangani. Hal ini tidaklah salah, namun juga tak terlalu tepat. Ada kecenderungan guru BK ibarat polisi sekolah yang tugasnya menghukumi siswa bermasalah. Bahkan, siswa merasa tak nyaman berhubungan dengan guru BK, karena malu dan takut dianggap bermasalah oleh siswa-siswa lainnya. Seperti itukah wajah BK di sekolah?

Kenyataan tak dimungkiri apabila siswa kerapkali menjumpai masalah dalam kehidupannya. Masalah itu bisa berupa masalah pribadi, sosial, karir, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada titik ini, ada individu siswa yang bisa mengatasi masalahnya tanpa intervensi pihak lain. Di sisi lain, ada individu siswa yang membutuhkan intervensi pihak lain untuk menyelesaikan masalahnya.

Terkait perlunya intervensi pihak lain dalam upaya mengatasi masalah individu siswa, keberadaan BK di sekolah menemukan fungsi dan perannya. BK, papar Eti Nurhayati (2011), adalah ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Artinya, BK memang berupaya membantu individu siswa mengatasi masalahnya, namun BK juga berfungsi melakukan usaha preventif agar individu siswa terhindar dari masalah.

Menurut Dedi Supriadi (2004: 209-210), ada beberapa alasan mengenai pentingnya layanan BK di sekolah. Pertama, perbedaan antara individu. Setiap siswa mempunyai perbedaan antara satu dengan lainnya, di samping persamaannya. Perbedaan menyangkut kapasitas intelektual, keterampilan (skills), motivasi, persepsi, sikap, kemampuan, minat, dan lain-lain. Kedua, siswa-siswa menghadapi masalah-masalah dalam pendidikan. Masalah-masalah tersebut bisa masalah-masalah pribadi, hubungan dengan orang lain (guru, teman), masalah kesulitan belajar, dan lain-lain. Dalam penyelesaiannya seringkali tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk berdialog. Orang lain maksudnya adalah orang yang mau mengerti diri siswa dan mengetahui cara penyelesaiannya. Dalam setting sekolah, konselor adalah orang yang dituntut untuk dapat memberikan bantuan tersebut.

Ketiga, masalah belajar. Siswa datang ke sekolah dengan harapan agar bisa mengikuti pendidikan dengan baik. Tidak selamanya demikian. Ada berbagai masalah yang mereka hadapi, bersumber dari stress karena tugas-tugas, ketidakmampuan mengerjakan tugas, keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, ingat kepada keluarga (homesick), persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual yang kurang, motivasi belajar yang lemah, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut tidak selalu diselesaikan dalam setting belajar-mengajar di kelas, melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh konselor melalui konsultasi pribadi.

Ditinjau lebih jauh, banyak hal yang sebenarnya perlu digarap guru BK di sekolah. Pembentukan konsep diri siswa perlu dilakukan. Bagaimana pun, perbedaan-perbedaan individu (individual differences) antara siswa satu dengan siswa yang lain tak terhindarkan. Siswa dengan konsep diri yang baik dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Adakanya siswa merasa rendah diri dengan bentuk fisik atau faktor lainnya, sehingga menghambat pencapaian tujuan belajarnya. Melihat nilai mata pelajarannya rendah dibandingkan siswa-siswa lainnya, ada siswa yang patah semangat dan kehilangan motivasi sehingga malas berangkat ke sekolah. Guru BK berkepentingan membangun konsep diri siswa, sehingga tak menyebabkan siswa memiliki masalah di kemudian hari. Jika siswa memiliki masalah, guru BK melakukan upaya identifikasi untuk membantu siswa menyelesaikan masalahnya secara tepat.

Tak bisa dimungkiri apabila persoalan-persoalan siswa cukup kompleks. Masalah yang dialami siswa memiliki kompleksitas tersendiri yang tak mungkin dihadapi dengan metode yang sama. Siswa bukan individu yang terpisah dari lingkungan. Permasalahan siswa dimungkinkan akibat faktor lingkungan, seperti lingkungan teman sebaya, keluarga, dan masyarakat. Terpaan arus informasi dan media massa yang kurang positif juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian siswa. Maka, tantangan yang dihadapi guru BK tidaklah ringan. Kasus kenakalan siswa seperti penggunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seks bebas perlu juga mendapatkan fokus tersendiri oleh guru BK di sekolah.

Terkait stigma guru BK sebagai polisi sekolah dimungkinkan akibat keberadaan guru BK di sekolah yang tidak diberikan tugas sebagaimana fungsinya. Hal ini karena kekurangpahaman pihak sekolah atau kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan terkait fungsi BK di sekolah. Di sisi lain, wajah cerah guru BK bukannya tak ada. Ada sekolah yang mengalokasikan jam khusus bagi guru BK untuk memberikan layanan kepada siswa secara klasikal di kelas. Di sekolah, ruangan BK semestinya representatif untuk pelaksanan tugas guru BK. Interaksi guru BK dengan siswa selayaknya bersahabat, sehingga siswa merasakan kenyamanan berkomunikasi atau mengungkapkan masalahnya. Kompetensi dan profesionalisme guru BK perlu ditingkatkan agar dapat melaksanakan layanan secara baik.

Sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah, BK memiliki peranan penting. BK bertujuan membantu siswa mengenal dan memahami dirinya, menerima dan mengarahkan dirinya, dan dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai potensi dan kemampuan objektifnya. Guru BK bisa memprogramkan layanan untuk membangun motivasi dan kepercayaan diri siswa dalam mewujudkan keberhasilan meraih cita-citanya. Kondisi siswa yang telah baik perlu juga dipelihara dan dijaga, bahkan dikembangkan lebih baik lagi. Dengan layanan BK di sekolah, siswa harapannya dapat menemukan makna dalam dirinya sebagai individu manusia yang berharga untuk menjalankan kehidupan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, pemerhati pendidikan pada Universitas PGRI Yogyakarta

Perempuan dengan Jantung Berkatup Platina

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu
4 Desember 2011

Judul Buku: Hingga Detak Jantungku Berhenti Penulis: Nurul F. Huda Penerbit: Jendela, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: 272 halaman

Buku ini menarik disimak. Nurul F. Huda mengisahkan sendiri jalan hidupnya yang harus menderita penyakit kelainan jantung. Perempuan yang pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menerima kelainan jantungnya sebagai ujian dari Sang Maha Kuasa. Jika awalnya ia mempertanyakan nasibnya, itu manusiawi. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mampu ikhlas dan memantapkan kesabaran. Ia tegar dan tabah menghadapi kelainan jantungnya sejak kelas 5 SD. Perawatan medis dan ikhtiar pengobatan pun dilakukan. Kedua orangtuanya telah menjadi sosok yang mendorong dan menguatkan dirinya.

Perempuan yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, ini bisa dikatakan sebagai salah satu dari banyak perempuan yang tak sudi menyerah dan putus asa. Ia jalani takdir hidupnya dengan penerimaan total. Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta menjadi salah satu saksi pemeriksaan penyakitnya. Saat duduk di kelas 2 SMP, ia akhirnya menjalani operasi di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Katup jantungnya yang bermasalah diganti dengan katup platina.

Membaca buku ini, rasa haru mungkin kita rasakan. Lebih dari itu, kita bisa menyaksikan arti dari perjuangan hidup yang sesungguhnya. Meskipun kondisi fisik tak lagi normal, Nurul F. Huda tetap menjalankan aktivitas dan berkehendak kuat memberikan kontribusi bagi kehidupan. Studinya berjalan lancar, kegiatan di kampus maupun sosial tetap ia lakukan. Ia menikah dan memiliki dua anak. Dengan kelainan jantung yang dihadapi, ia berhasil melahirkan kedua anaknya dalam keadaan normal.

Nurul F. Huda merupakan seorang penulis yang produktif berkarya. Buku yang ditulisnya ada puluhan lebih. Pada 18 Mei 2011, Allah SWT telah memanggilnya. Di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, Allah SWT telah menghentikan detak jantungnya. Membaca buku ini, semoga kita bisa mensyukuri seperti apapun kesehatan dan fisik kita dengan tetap berkarya dalam bingkai kebaikan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Mahasiswa dan Kemandirian Belajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 26 November 2011

MAHASISWA yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tentu memiliki potensi dan kemampuan masing-masing. Perbedaan individu mahasiswa bisa berkaitan dengan kapasitas intelektual.

Di tengah perbedaan kapasitas intelektual, mahasiswa tetap dituntut dapat meraih capaian belajar secara optimal dan maksimal. Kewajiban belajar bagi seorang mahasiswa merupakan harga mati. Ketika memilih jurusan dan program studi, mahasiswa diasumsikan telah memiliki minat dan motivasi untuk bergelut pada disiplin ilmu yang dipilihnya.

Persoalan yang terjadi, mahasiswa kerapkali kehilangan etos belajar saat menemui kesulitan memahami mata kuliah tertentu. Kemampuan belajar dan memahami materi mata kuliah berbeda antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya. Menghadapi kondisi tersebut, jalan pintas seringkali menjadi solusi, seperti copy paste tugas kuliah dan menyontek saat ujian close book. Pertanyaannya, apakah ketidakmampuan mahasiswa mempelajari mata kuliah tertentu merupakan permakluman dengan dalih perbedaan kemampuan individu?

Mahasiswa yang umumnya telah berusia sekitar 18 tahun dikategorikan sebagai individu dewasa. Perilaku belajar selayaknya bukan lagi karena tuntutan akademik, tetapi kebutuhan untuk mengembangkan diri. Bagi mahasiswa, kemandirian belajar merupakan keniscayaan. Menurut Mujiman (dalam Eti Nurhayati: 2011), kemandirian belajar adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah, dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki, baik dalam menetapkan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar maupun evaluasi belajar yang dilakukan oleh pembelajar sendiri.

Kemampuan Belajar

Untuk mencapai kemandirian belajar, mahasiswa dituntut dapat memahami dirinya, menerima dirinya, mengarahkan dirinya, dan mengaktualisasikan dirinya.

Artinya, mahasiswa perlu memahami kemampuan belajarnya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Mahasiswa pun menerimanya sebagai kenyataan objektif.

Kekurangannya dalam kemampuan belajar perlu dicarikan pemecahan. Dalam hal ini, mahasiswa bisa mengarahkan dirinya agar kekurangannya itu tidak berdampak pada rendahnya prestasi belajar. Kelebihan yang dimiliki seyogianya terus dijaga agar tidak mengalami kemandulan.

Pada dasarnya, pemahaman terkait kemampuan belajar begitu penting. Ada mahasiswa yang langsung memahami apa yang diterangkan dosen di depan kelas, tetapi ada juga yang lambat memahami. Ketika membaca dan mengkaji buku teks ada mahasiswa yang cepat mengerti, namun ada mahasiswa yang perlu membaca berulang-ulang agar menemukan makna dari yang dibaca.

Dengan tujuan menguasai suatu kompetensi dari mata kuliah, mahasiswa mau tidak mau harus membangun konsep belajarnya secara mandiri. Dengan memahami kemampuan belajar, mahasiswa bisa merumuskan cara belajar. Masing-masing mahasiswa dimungkinkan berbeda cara belajarnya, termasuk terkait dengan penentuan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, dan tempo belajar.

Kesulitan dalam memahami materi mata kuliah bukanlah alasan untuk menyerah dan putus asa. Motivasi sangat penting untuk menumbuhkan etos belajar. Kesulitan-kesulitan dalam belajar selayaknya tidak mematahkan arang untuk terus menguasai mata kuliah yang diajarkan.

Mahasiswa yang memiliki kapasitas biasa-biasa saja bisa melebihi mahasiswa yang berkapasitas lebih apabila tekun belajar dan memiliki konsep belajar yang jelas. Justru di tengah kesulitan belajar ada kekuatan tersembunyi yang bisa meledak apabila mahasiswa memiliki etos belajar tinggi, sehingga menciptakan capaian-capaian luar biasa dalam belajar.

Kemandirian belajar bukan berarti berperilaku individualistik. Belajar bersama dengan mahasiswa lainnya dalam kelompok-kelompok studi perlu juga dilakukan. Sesungguhnya mahasiswa mengemban status ‘’maha’’ yang selayaknya memiliki kapasitas keilmuan yang lebih. (24)

Hendra Sugiantoro

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/11/26/167780/Kemandirian-Belajar


Menyambut Hari Guru Nasional: Menguatkan Panggilan Jiwa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuar di Opini RADAR JOGJA, Jum'at, 25 November 2011

TENTU tidak berlebihan jika dikatakan masa depan anak-anak berada di pundak guru. Anak-anak yang sedang tumbuh berkembang bisa diarahkan kemana pun oleh guru yang mengajar dan mendidik di sekolah. Peran guru dalam memberikan jalan hidup bagi anak-anak tentu saja menegaskan sebuah makna yang tak sederhana. Guru tidak sekadar masuk kelas dan mengajar, tetapi juga dituntut mampu memberikan cahaya bagi anak-anaknya untuk bersinar di hari depan.

Untuk melihat sosok guru, kita bisa menyimak sosok guru Bu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Bu Muslimah menjadi guru karena panggilan jiwa. Tak menjadi soal berapa materi yang didapatkan dengan mengajar di sebuah sekolah reot SD Muhammadiyah Gantong, Belitong. Dengan jumlah murid yang tak sesuai dengan jumlah ideal dalam satu kelas, Bu Muslimah tetap menunjukkan spirit guru yang mengajar, mengarahkan, membimbing, dan mendidik. Karena panggilan jiwa, Bu Muslimah tidak memiliki pikiran selintas pun untuk pindah sekolah yang lebih menjanjikan. Bu Muslimah mampu memotivasi sepuluh anak dalam Laskar Pelangi, melihat potensi-potensi mereka untuk dijadikan energi keberhasilan.

Menjadi guru dengan penuh pengabdian memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di seantero Indonesia ini, sosok guru seperti Bu Muslimah sebenarnya tidaklah sedikit. Masih banyak sosok lain di luar Bu Muslimah yang memiliki pengabdian luar biasa. Di pulau-pulau terpencil, di sudut-sudut desa, ataupun pelosok jauh tak terjangkau mata, sosok guru yang memiliki pengabdian dan menjadi guru karena panggilan jiwa boleh jadi tidak pernah kita bayangkan sedikit pun.

Disadari atau tidak, kehadiran guru dalam pendidikan anak-anak melampaui pentingnya penggunaan internet yang saat ini sudah mewabah hingga masuk sekolah. Anak-anak sebagai manusia memerlukan pendekatan manusiawi oleh sosok guru yang tidak bisa digantikan oleh benda apapun. Maka, tidak salah jika guru dalam leksikon Jawa diakronimkan dengan ungkapan “digugu lan ditiru”. Guru harapannya bisa dipegang kebenaran kata dan bisa diteladani perilakunya. Dari guru, anak-anak didik belajar akan makna hidup, motivasi, semangat, dan mentalitas. Gurulah yang melahirkan sosok-sosok besar yang berpikir dan bertindak besar dalam kehidupan. Kesadaran itulah yang mengilhami KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan lembaga pendidikan khasnya. Saat ditahan di Bengkulu, Soekarno mengajari anak-anak sejumlah pelajaran dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Pernah juga Jendral Soedirman menjadi guru dan kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Selain mereka, masih banyak tokoh-tokoh bangsa yang merelakan hidup sebagai guru demi terlahirnya anak-anak bangsa yang bernurani, cendekia, sekaligus memiliki kemandirian dan kemerdekaan.

Pilihan hidup menjadi seorang guru tentu tak sekadar materi yang ingin didapatkan. Guru bukanlah politisi yang terus berburu popularitas atau mencari status sosial terhormat di masyarakat. Menjadi guru adalah panggilan jiwa untuk mewujudkan peradaban yang bermartabat. Melalui tangan-tangan guru, anak-anak bangsa tumbuh menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru adalah sosok yang memainkan peran untuk memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Motivasi dan tujuan luhur inilah yang seyogianya mendasari siapa pun ketika membulatkan tekad dan langkah menjadi guru.

Pungkasnya, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menjadi guru adalah jalan juang yang menyimpan kemuliaan. Di tangan guru, eksistensi bangsa dan negara dipertaruhkan. Menjadi guru adalah sebuah bentuk keberanian untuk membawa anak-anak bangsa menuju cita-cita. Menjadi guru adalah sebuah bentuk pengorbanan demi terlahirnya manusia Indonesia yang kuasa belajar dari masa lalu, berinteraksi dengan masa kini, dan mampu beradaptasi dengan masa depan. Tegasnya, menjadi guru adalah kemuliaan untuk tidak meninggalkan generasi lemah di negeri yang kita cintai ini. Maka, sebuah keniscayaan jika saatnya menjadi guru karena panggilan jiwa. Guru yang tulus mengabdi tanpa henti. Guru yang memang layak disebut pahlawan karena berharap ridha dan pahala Tuhan. Setelah itu, pahlawan tak ada salahnya diberi “tanda jasa” oleh pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Selamat Hari Guru, 25 November. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO


Pemuda dan Etos Kerja

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Kamis 10 November 2011

Kenyataan tak dimungkiri jika ada sebagian pemuda justru bangga menjadi “pengacara” (pengangguran banyak acara). Pemuda luntang-luntung kesana-kemari tak jelas peran dan karyanya. Kadangkala sehari-hari hanya disibukkan dengan nongkrong tak ada manfaat. Pada dasarnya, nongkrong bukan menjadi masalah jika bermaksud positif, seperti nongkrong untuk berdiskusi dan belajar atau hal positif lainnya. Namun, nongkrong sebagaimana sering terjadi justru pemborosan uang dan waktu. Ada pemuda yang menghabiskan sebungkus-dua bungkus rokok dan minuman sembari “menikmati malam” dan esok harinya tidur sampai siang. Untuk urusan uang, pemuda tanpa pernah rikuh selalu meminta uang orangtuanya.

Fenomena
adanya pemuda yang menganggur memang terjadi di sekitar kita. Yang menjadi persoalan adalah minimnya semangat pemuda untuk bekerja apa saja asalkan halal. Kadangkala ada pemuda yang merasa gengsi jika bekerja hanya ala kadarnya. Jika bekerja, maka harus “ngantor” atau “tidak berkeringat”. Padahal, pekerjaan selalu ada apabila pemuda memiliki kemauan dan kreativitas. Daripada terus-menerus bergantung kepada orang tua, bekerja serabutan tak menjadi masalah. Yang juga membuat miris, ada pemuda yang masih saja tak mau membantu pekerjaan orangtuanya. Jika diminta membantu pekerjaan orangtua, pemuda aras-arasen, seperti menjaga warung, membantu pekerjaan bengkel, dan pekerjaan orangtua lainnya. Padahal, membantu pekerjaan orangtua bisa menambah pengalaman yang tentunya berharga.

Pada titik ini, sekiranya penting membangun budaya dan etos kerja para pemuda. Pemuda harus memiliki budaya dan etos kerja yang tinggi
, sehingga tertantang untuk memiliki kemampuan usaha dan menafkahi dirinya. Pemuda perlu mewajibkan dirinya untuk mandiri secara ekonomi. Semangat dan etos kewirausahaan menjadi urgen, sehingga pemuda tak menambah persoalan sosial. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Jogjakarta