Membaca, Apa Repotnya?

OLeh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Kamis 1 Oktober 2009
Ada yang menganggap bahwa membaca merupakan pekerjaan orang-orang tertentu saja. Membaca dianggap pekerjaan yang tak perlu dilakukan. Tanpa membaca, hidup masih berjalan dan normal-normal saja. Tanpa membaca masih bisa bekerja dan mencari penghasilan. Itulah yang terdapat dalam benak kita. Sungguh hal yang patut dikoreksi!

Terkait rendahnya budaya membaca masyarakat tentu tak mengagetkan lagi. Kesadaran membaca yang rendah akhirnya berdampak pada pemikiran, sikap dan perilaku hidup. Wawasan dan pengetahuan tidak berkembang. Kedewasaan berpikir, berperilaku, dan bertindak sulit didapatkan. Memang hidup bisa berjalan normal-normal saja, tapi stagnan! Mengapa tidak gelisah jika sehari tidak mendapatkan asupan ilmu, wawasan, dan pengetahuan? Mengapa bisa hidup nyaman tanpa menelusuri kalimat demi kalimat dalam bacaan?

Pentingnya membaca telah banyak disuarakan. Dalam agama pun telah diperintahkan membaca (iqra’). Menurut Quraish Shihab dalam “Membumikan Al-Qur’an” (1999), perintah iqra’ dalam surat Al-‘Alaq ayat 1 menunjukkan pentingnya membaca. Begitu pentingnya membaca sehingga diulang sampai dua kali. Perintah iqra’(membaca) itu tidak hanya ditujukan kepada Muhammad SAW semata, tetapi juga untuk seluruh manusia sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Membaca merupakan syarat utama membangun peradaban. Membaca merupakan sarana yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Jika agama menegaskan pentingnya membaca, mengapa masih enggan membaca?

Mungkin malas membaca karena kesombongan telah menguasai ilmu dan pengetahuan yang berlimpah. Tak perlu membaca karena keangkuhan telah memiliki wawasan mengagumkan. Benarkah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Kota Pendidikan dengan Tradisi Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pendapat Guru Kedaulatan Rakyat, Rabu 30 September 2009
“Sulit membangun peradaban tanpa (budaya) tulis dan buku,” (TS Elliot)

Maju mundurnya peradaban ditentukan oleh tradisi membaca masyarakatnya. Membaca merupakan sarana meraih dan memperkaya ilmu pengetahuan. Tidak hanya mencerdaskan akal, membaca juga merupakan sarana memberikan makanan bagi jiwa. Semakin tinggi budaya membaca masyarakat, maka semakin maju peradaban. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah tradisi membaca masyarakat Yogyakarta?

Pada dasarnya, aktivitas membaca bukan hanya tuntutan bagi kalangan akademisi, tapi semestinya menjadi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya anak-anak usia sekolah dan mahasiswa yang harus membaca, tapi juga ibu-ibu rumah tangga dan para pekerja di kantor. Aktivitas membaca bukan hanya milik tenaga pendidik dan pengajar, tapi siapa pun berkewajiban untuk mentradisikan kebiasaan membaca. Untuk melihat tradisi membaca masyarakat Yogyakarta, tradisi membaca masyarakat Jepang tampaknya bisa menjadi perbandingan. Di negeri Jepang, aktivitas membaca telah mengakar kuat. Aktivitas membaca menjadi gaya hidup keseharian. Dimanapun selalu dijumpai ketekunan membaca, entah di kereta, saat antre atau di tempat manapun. Perilaku membaca masyarakat Jepang berbeda jauh dengan masyarakat Yogyakarta. Ketika menunggu bus di halte, duduk di dalam bus atau di ruang tunggu rumah sakit amat jarang dijumpai masyarakat Yogyakarta melakukan aktivitas membaca.

Dalam hal ini, apa yang ditunjukkan masyarakat Jepang dengan budaya membacanya bisa dijadikan contoh. Kebiasaan dan tradisi membaca masyarakat Jepang tentu tidak datang seketika, tapi melewati proses yang panjang. Jepang dijadikan contoh karena negeri yang minim sumber daya alam itu mampu tampil memukau di hadapan negara-negara lainnya. Jepang adalah sebuah negara yang kemajuan teknologi, ekonomi, dan bidang lainnya diakui sebagai kekuatan di dunia. Proses Jepang membentuk tradisi membaca masyarakatnya bisa dikatakan telah diawali sejak Restorasi Meiji ketika Kaisar Meiji menginstruksikan kalangan akademisi untuk menerjemahkan buku-buku asing dalam bahasa Jepang. Hebatnya, karya terjemahan itu dijual dengan harga terjangkau sehingga masyarakat Jepang tidak kesulitan membacanya. Sampai kini produksi buku di Jepang terbilang menakjubkan yang didukung ketersediaan perpustakaan dan toko buku yang memadai hampir di setiap tempat dan daerah. Masyarakat Jepang yang gemar membaca tidak merasa sulit menemukan bahan bacaan, bahkan buku-buku asing sudah diterjemahkan secara cepat setelah diterbitkan dari negeri asalnya.

Untuk menuju kehidupan masyarakat dengan tradisi membaca yang kuat pastinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pada titik ini, ada tantangan besar untuk menguatkan tradisi membaca. Kata-kata TS Elliot di atas bisa menjadi perenungan bahwa tidak mudah membangun peradaban dengan mengabaikan budaya membaca. Dengan kata lain, perubahan dan kebangkitan negeri ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi membaca.

Jika Jepang mampu membangun peradaban yang salah satunya lewat tradisi membaca, maka Yogyakarta pastinya juga bisa. Dengan kuatnya tradisi membaca, sebutan kota pelajar dan pendidikan tentu akan lebih bermakna. Membaca merupakan kunci peradaban, maka saatnya kita tekadkan: dari Yogyakarta menuju kebangunan Indonesia dengan tradisi membaca. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pustakawan El-Pena Yogyakarta