Perhatikan Pendidikan Rakyat!

Oleh:HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Forum Media Indonesia, Kamis 29 Oktober 2009
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono telah resmi menjadi pemimpin nasional 2009-2014. Agenda-agenda membangun negara yang akan digulirkan pemimpin nasional pastinya akan dinantikan masyarakat. Salah satu tugas penting SBY-Boediono ke depan adalah berjalannya program pendidikan untuk rakyat. Artinya, pendidikan yang benar-benar diperuntukkan bagi rakyat dan benar-benar memberdayakan rakyat.

Bidang pendidikan memang harus mendapatkan perhatian pemimpin nasional 2009-2014. Hal ini tak bisa ditawar-tawar karena pendidikan merupakan pilar membangun generasi bangsa berpuluh-puluh tahun mendatang. Dengan pendidikan yang baik, maka akan terlahir generasi yang baik. Lebih dari itu, pendidikan sudah sepatutnya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan tidak hanya untuk lapisan masyarakat tertentu, tapi untuk setiap warga negara di republik ini. Pemimpin nasional dituntut mampu menciptakan pendidikan untuk semua (education for all).

Dengan komitmen mewujudkan pendidikan untuk semua, maka pemimpin nasional berkewajiban melindungi masyarakat dari kesulitan mengakses pendidikan. Program sekolah gratis bukan sekadar proyek pencitraan, tapi memang didasari pembacaan bahwa sebagian masyarakat di negeri ini masih terpuruk secara ekonomi. Masyarakat yang masih terpuruk secara ekonomi itu tetap harus mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pun, masyarakat dari segala lapisan berhak untuk dapat mengenyam jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Bangku perguruan tinggi yang kian mahal bukanlah wajah ramah bagi lapisan masyarakat miskin, maka pemimpin nasional berkewajiban membendungnya. Sekali lagi, hal ini disebabkan fakta bahwa masih ada lapisan masyarakat di negeri ini yang kurang berdaya secara ekonomi.

Untuk mampu memberikan akses pendidikan secara merata, alangkah hebatnya jika pemimpin nasional menentang keras kebijakan pendidikan yang beraroma kapitalistik dan neolib. Pemimpin nasional hendaknya mengingat perjuangan Hasyim Asy’arie, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan bapak-bapak bangsa lainnya yang dulunya berjuang mati-matian agar masyarakat di negeri ini dapat memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Tokoh-tokoh bangsa itu menyadari bahwa pendidikan amatlah penting bagi masyarakat. Pendidikan memang penting! Belajar dari negara-negara maju, kemajuan negara tidak sekadar diwujudkan dengan terbangunnya pemerintahan yang bersih, tapi juga pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya.

Pendidikan bagi rakyat bukan berpikir menciptakan klasifikasi sekolah: sekolah berstandar internasional, sekolah berstandar nasional, atau sejenisnya. Bukan! Pendidikan bagi rakyat menghendaki pendidikan bermutu bagi semua. Seluruh rakyat di negeri ini harus mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa harus dibedakan berada di sekolah X atau di sekolah Y. Tegasnya, setiap warga negara tanpa terkecuali harus mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu agar mencapai taraf insani sehingga dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri—meminjam Driyarkara. Pendidikan bagi rakyat akan mampu seperti Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi. Saatnya pendidikan benar-benar memihak rakyat! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Jogja dan Spirit Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Bernas Jogja, Kamis 29 Oktober 2009
SEJARAH Sumpah Pemuda adalah sejarah kebangunan kesadaran anak-anak bangsa. Kesadaran itu tumbuh karena suasana batin para pemuda menyatu dalam denyut kepedihan rakyat. Begitu sengsaranya kehidupan rakyat akibat penjajahan sehingga para pemuda menyingkirkan ego kelompok untuk mengumandangkan satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia.

Bangkitnya pemuda dari tidur pulas dalam sekat-sekat kesukuan memberikan darah segar mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang merdeka. Sekitar 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan negeri ini benar-benar menjadi nyata. Disadari atau tidak, kemerdekaan negeri ini mungkin saja masih jalan terjal jika para pemuda sebagai agen perubahan tak memiliki inisiatif menyatukan langkah dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta), 27-28 Oktober 1928. Kaki tangan penjajah boleh jadi masih menginjak-injak dan mencengkeram kehidupan bangsa jika para pemuda tidak memiliki konsep cerdas mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, menurut Safari Daud (2006), cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa.

Bertemu dan berkumpulnya pemuda dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya pada saat itu sedikit banyak menunjukkan kejiwaan Indonesia yang kokoh. Berbagai suku dari wilayah Indonesia tak sekadar menggelar rapat intensif selama dua hari, tapi mereka juga melakukan tindakan nyata dalam melawan dan mengusir koloni Belanda. Pertanyaannya, apakah keterkaitan Sumpah Pemuda 81 tahun silam dengan kota Yogyakarta di era kini?

Diakui bahwa kota Yogyakarta dihuni oleh berbagai kalangan serba multi: multi etnis, multi agama, multi budaya, dan seterusnya. Banyak pelajar/mahasiswa menyinggahi kota ini untuk menempuh jenjang pendidikan. Tidak hanya dari seputar wilayah Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang), tapi juga didatangi mahasiswa dari luar Pulau Jawa. Seperti kita saksikan, asrama-asrama mahasiswa di kota ini bertebaran, ada yang satu suku dan ada pula yang asrama plural. Maksud asrama plural adalah asrama yang dihuni tidak hanya satu etnis, tapi dihuni beragam latar belakang budaya.

Dari kenyataan itu, Yogyakarta sering kali disebut sebagai kota multikultural. Tidak banyak kota yang menyamai kota Yogyakarta dalam hal keragaman latar belakang budaya. Meskipun masyarakatnya berbeda-beda latar belakang, Yogyakarta tetap dikenal dengan semangat toleransinya. Memang pernah terjadi amuk massa yang dilakukan mahasiswa berbeda etnis, tapi itu bukanlah “api yang terus membara”. Yogyakarta dikenal sebagai kota yang mampu menegakkan semangat kerukunan dalam perbedaan. Yogyakarta juga dihuni olek kelompok masyarakat yang beretnis Tionghoa.

Seperti kita ingat pada 1928 lalu, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie adalah pemuda-pemuda Tionghoa yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda 1928 di rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Kerukunan dengan masyarakat Tionghoa tampak di Yogyakarta. Dengan kelompok masyarakat Tionghoa, masyarakat pribumi bisa guyup rukun, minim gejolak, dan saling menanamkan pengertian. Peristiwa Mei 1998 bisa kita ambil contoh. Ketika di sebagian daerah lain kelompok pribumi “perang-perangan” dengan etnis Tionghoa, perdamaian tetap bersemayam di Yogyakarta. Di kota Yogyakarta banyak tempat usaha yang dikelola oleh kelompok etnis Tionghoa. Apa jadinya jika sebelas tahun lalu areal Malioboro, misalnya, bergejolak? Nyatanya Yogyakarta tetap adem ayem dan diliputi perasaan aman.

Itulah wajah Yogyakarta. Terkait dengan 81 tahun Sumpah Pemuda, mahasiswa yang menempuh studi di kota pendidikan ini selayaknya mengambil pelajaran. Berkumpulnya para mahasiswa dari beragam etnis di kota Yogyakarta tentu harapannya tidak sekadar menyelesaikan studi akademik semata. Para mahasiswa dengan latar belakang budaya perlu memiliki semangat keindonesiaan yang sama seperti para pemuda angkatan 1928. Artinya, semangat keindonesiaan hendaknya menjadi orientasi dalam menempuh pendidikan di kota Yogyakarta. Semangat keindonesiaan untuk membangun negeri Indonesia. Mahasiswa sebagai pemuda perlu menyadari peran pentingnya sebagai subyek perubahan.

Mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual terdidik memang tidak bisa abai terhadap kondisi bangsanya. Dengan pendidikan yang tinggi, mahasiswa semestinya memiliki kecerdasan, keberanian, kepekaan dan kepedulian sosial, jiwa pengorbanan, kesadaran, dan semangat yang besar untuk memberikan kontribusi nyata. Kondisi Indonesia yang masih dalam kondisi memprihatinkan setidaknya membangkitkan nurani mahasiswa untuk menjadi problem solver, menjadi pemecah masalah bangsa. Ketika mahasiswa dari beragam daerah di kota Yogyakarta selesai menempuh pendidikan dan kembali ke daerah asalnya, mahasiswa tentunya akan menyaksikan beragam permasalahan yang menerpa masyarakat di daerahnya. Kemiskinan merata dimana-mana, pengangguran masih menggejala, korupsi belum mereda, masih ada penduduk yang buta aksara, sumber daya alam belum dikelola secara maksimal, dan sebagainya. Terhadap permasalahan itu, mahasiswa perlu melibatkan diri dengan bekal kompetensi yang dimilikinya. Mahasiswa yang dikatakan Arbi Sanit (1985) sebagai kelompok yang memperoleh pendidikan terbaik dan memiliki pandangan yang luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat harapannya bisa membawa pencerahan bagi kehidupan masyarakat. Mahasiswa luar daerah harus membangun daerahnya setelah meninggalkan kota Yogyakarta!

Dengan semangat Sumpah Pemuda, mahasiswa dari beragam daerah yang berkumpul di kota Yogyakarta perlu mengumandangkan kembali sumpah setia sebagaimana diucapkan para pemuda angkatan 1928. Mahasiswa dari beragam latar belakang daerah di Yogyakarta bersumpah bertanah satu: tanah Indonesia; berbangsa satu: bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Dari Yogyakarta, semangat Sumpah Pemuda lahir kembali untuk mewujudkan “kemerdekaan” bagi negeri ini. Kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan untuk terciptanya negeri Indonesia yang berjati diri dan bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta

Menantikan Kinerja SBY-Boediono

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Telaah KR Bisnis, Selasa, 27 Oktober 2009

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden telah resmi mengendalikan kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pun telah disusun dan ditetapkan. Dengan kehadiran pemimpin nasional 2009-2014 beserta jajaran kabinetnya harapannya mampu membawa negeri ini lebih baik. Sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agar mampu mengelola negeri ini agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Disamping menuntaskan pekerjaan di tengah kompleksitas permasalahan, pemimpin ke depan juga dituntut bergerak cepat memacu perkembangan kehidupan bangsa dan negara. SBY-Boediono dan jajaran KIB Jilid II pastinya ditunggu kinerjanya ke depan. Pada titik ini, paradigma profetik menjadi titik penting bagi SBY-Boediono dalam menjalankan roda pemerintahan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti SBY-Boediono harus menantikan wahyu dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahan.

Maksud dari paradigma profetik adalah kepemilikan pola pikir pemimpin yang siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Seperti halnya Nabi yang diutus Tuhan, pemimpin nasional memiliki peran membawa masyarakat pada tatanan kehidupan yang ideal, adil, makmur, dan sejahtera. Para Nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a, tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan—kata Ali Syari’ati. Pemimpin harus hidup bersama masyarakat dan berjuang memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Termasuk dalam hal ini adalah membebaskan masyarakat dari keterhimpitan ekonomi.

Paradigma profetik ini penting mengingat masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tidak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah lingkungan pendidikan. Sikap mental pragmatis menjangkiti kehidupan masyarakat yang lebih menghargai gaya hidup instan ketimbang kepemilikan etos berproses dan daya juang. Persaingan kehidupan juga menyebarkan virus individualisme di benak masyarakat sehingga tidak ada lagi sikap saling menanggung beban dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, SBY-Boediono sebagai pemimpin nasional 2009-2014 perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Humanisasi sebagai memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang merasakan denyut nadi masyarakatnya dan tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan.

Dengan semangat liberasi, pemimpin nasional harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan.

Spirit humanisasi dan liberasi pemimpin dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap upaya mengangkat martabat manusia dan membebaskan manusia dari ketertindasan mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin nasional merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Akhirnya kita berharap agar kepemimpinan nasional 2009-2014 mampu melakukan transformasi menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berjati diri, bermartabat, dan bernilai. Kita nantikan kinerja SBY-Boediono dalam kepemimpinan negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta