(Menggugat) Jiwa Sosial Kita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Senin 20 Desember 2010

Hidup adalah perjuangan, memanglah benar. Banyak masyarakat miskin yang terus berjuang menyambung kebutuhan hidup dengan bekerja keras. Setiap saat membanting tulang untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang bisa dikatakan kaya dan tanpa pusing memenuhi kebutuhan. Uang melimpah yang dimiliki menjamin ketercukupan, bahkan tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar semata.

Sekelompok masyarakat kaya begitu cepatnya mengambil uang dan membelanjakannya. Dalam sehari, tak soal jika keluar minimal Rp 1 juta, bahkan lebih dari itu. Lapisan masyarakat kaya ini tak perlu repot-repot membelanjakan uang, karena sepertinya simpanan uangnya tak pernah susut. Di sisi kehidupan lain, ada sekelompok masyarakat yang kesulitan mendapatkan uang. Untuk belanja kebutuhan pokok sehari-hari, pikirannya kusut. Bayangkan dengan penghasilan yang tak menentu, sekelompok masyarakat miskin harus menyediakan kebutuhan dasarnya secara berkesinambungan untuk makan dan kebutuhan lainnya.

Dengan penghasilan Rp 5000, misalnya, ada sekelompok masyarakat miskin harus berpikir agar dapat makan. Belum lagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang menuntut ketersediaan dana. Penghasilan Rp 5000 setiap hari belum tentu didapatkan, bahkan sehari bisa saja tak mendapatkan sepeser pun uang. Kenyataan ini tidaklah mengada-ada. Coba kita tanyakan kepada tukang-tukang becak yang dalam sehari belum tentu mendapatkan penumpang. Kita juga bisa menengok kehidupan masyarakat yang bekerja serabutan. Masyarakat yang berwiraswasta pun kerap tak jauh beda. Para petani dan pedagang sering kali mengalami kerugian dalam usahanya. Penghasilan tak menentu, bahkan tak menjamin ada. Lebih-lebih bagi sekelompok masyarakat yang tak mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan seolah-olah impian di siang bolong. Lantas, bagaimanakah kita membayangkan ini?

Kriminalitas adalah anak dari kemiskinan. Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Dengan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang melonjak, masyarakat tak mungkin tak makan dalam seminggu. Tak mungkin menahan lapar berhari-hari meskipun penghasilan tak mencukupi. Solusinya adalah berhutang. Berhutang diakui telah menjadi tradisi dalam kehidupan sosial kita. Dalam membiayai anak-anak sekolah, banyak masyarakat yang berhutang. Tak hanya menggadaikan barang, tapi juga meminjam uang kesana kemari. Kebutuhan selain pendidikan pun sering kali berhutang.

Tentu berhutang memiliki kewajiban untuk mengembalikan. Hal ini kerap menimbulkan persoalan. Bagaimana jika tak mampu mengembalikan uang setelah berhutang? Dengan penghasilan yang minim dan tak menentu, masyarakat miskin dilanda kebingungan. Belum hutang terlunasi, masih harus memenuhi kebutuhan hidup di hari-hari berikutnya. Kriminalitas mungkin menjadi solusi. Tanpa berprasangka negatif, fakta ini tak perlu ditutupi. Kita bisa merasakan betapa susahnya menjalani hidup hanya dengan penghasilan Rp 5000-Rp 10.000 setiap hari. Malah penghasilan sebesar itu bisa jadi didapatkan sepekan. Pencurian, penjambretan, perampokan, dan bentuk kriminalitas lainnya sebenarnya bisa menggambarkan belum terjaminnya kebutuhan hidup sebagian masyarakat. Kriminalitas tak melulu dimaknai sebagai tindakan kejahatan, tapi juga sebuah gambaran untuk memahami realitas sosial.

Memaknai kriminalitas seperti itu perlu dilakukan. Kriminalitas memang tindakan tak terpuji, tapi kita perlu memaknai secara lebih mendalam. Siapakah yang salah jika ada yang mencuri uang karena uang di tangannya tak mencukupi untuk membeli beras? Siapakah yang salah jika ada yang bunuh diri karena hutang, nyatanya penghasilannya tak pernah ada untuk melunasi hutang yang menjadi beban?

Ada sekelompok masyarakat di negeri ini yang hidup bermewah-mewah. Sekelompok masyarakat kaya yang membeli makanan tak pernah habis dimakan lalu dibuang di tong sampah. Orang-orang miskin yang menjadi gelandangan memungutinya untuk mengganjal perut seharian. Sekelompok masyarakat yang menampakkan mobil mewah di hadapan anak-anak yang berpeluh di jalanan. Para penyelenggara negara pun seolah-olah membutakan mata, para elite menyiasati anggaran negara untuk melipatkan gaji dan tunjangan di tengah anak-anak putus sekolah. Para elite pun menyaksikan jutaan rakyat terjerat kemelaratan, tapi itu hanya dijadikan tema berebut kursi kekuasaan. Di mulut mengatakan anggaran negara terbatas, tapi tanpa bersalah plesiran ke negeri manca. Berbelanja ke luar negeri dengan harga berbandrol tinggi, padahal masih dijumpai penduduk yang terlilit kelaparan. Elite kekuasaan begitu bangganya melakukan korupsi yang berdampak kian menjeritnya derita masyarakat miskin.

Pada titik ini, jiwa profetik perlu ditumbuhkan. Kebersamaan sebagai sebuah masyarakat dan bangsa harus bermakna substantif Begitu banyak dari kita yang tekun menjalani ritual keagamaan, tapi kita bukan hidup untuk membangun kesalehan pribadi semata. Laku spiritual yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tidaklah bermakna tanpa gerak amal dalam kehidupan. Keimanan harus menggerakkan laku humanisasi dan liberasi untuk membangun kehidupan. Kesenjangan dan ketimpangan sosial adalah kesalahan kita yang tak mampu menyadari kehadiran sesama dan realitas sosial. Kepedulian, solidaritas, dan empati sosial haruslah berjangka panjang.

Jiwa profetik yang berlandaskan transendensi mengarahkan kita membangun kehidupan. Membebaskan sekelompok masyarakat miskin dari keterpurukan dan ketidakberdayaan merupakan sebentuk ibadah. Kita perlu memanusiakan manusia. Jiwa profetik menghendaki kita merasakan denyut kehidupan masyarakat yang masih diselimuti kenestapaan, lalu bertindak memerdekakannya agar sejahtera. Begitu pula para penyelenggara negara berkewajiban dan memiliki tanggung jawab mengatasi kemiskinan dengan membangun sistem yang berkeadilan sosial. Tidak melakukan korupsi, karena korupsi merupakan sebentuk pelanggaran amanat Tuhan yang menyebabkan masyarakat kian menderita. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
PEGIAT TRANSFORM INSTITUTE&FUNGSIONARIS FORUM INDONESIA