Guru dalam Karya Pena


Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 30 Desember 2012 

Judul Buku: Bila Guru Mau Menulis Penulis: C. Cahayaningsih, dkk. Penerbit: Pohon Cahaya, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: 102 halaman 

Ada banyak hal yang diungkapkan para guru lewat buku ini. Sebut saja pengalaman Cahayaningsih yang pernah menjadi guru di Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). Penyesuaian terhadap tradisi dan budaya setempat perlu beliau lakukan. Beliau yang kini mengajar di SMP N 4 Pakem menceritakan kisahnya, “Murid-muridku yang sederhana di pelosok telah menunggu. Begitu motor kusandarkan, mereka berjajar rapi menyalamiku. Begitu terharu dibuatnya. Aku mengajar di sekolah yang letaknya jauh dari kota Dili, sehingga jauh dari hiruk-pikuk politik waktu itu”.


Ada juga pengalaman dari Retno Widyastuti. Ibu guru di SMP Pangudi Luhur ini pernah menjadi wali kelas di mana salah satu muridnya adalah cucu Sri Sultan HB X. Sebagai guru, beliau tentu tidak boleh membeda-bedakan murid. Kejadian yang menurut beliau berkesan adalah ketika bisa mencium cincin hijau milik Sri Sultan HB X. Saat itu ada acara di sekolahnya yang dihadiri Sri Sultan HB X. 


Selain dua guru di atas, ada enam guru lainnya yang menuangkan tulisan dalam buku ini.  Tak hanya berbagi pengalaman unik dan berkesan, para guru dalam buku ini juga menulis opini demi kemajuan dunia pendidikan dan pembelajaran siswa. Ada juga tulisan fiksi berupa cerpen dan puisi. Buku ini berniat menggugah semua guru, terutama di DIY, untuk mulai mengangkat pena. Saling menginspirasi, saling berbagi pengalaman, saling belajar bersama lewat pena.


Memberdayakan Sarjana, Membangun Kampung

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 26 Desember 2012 
 
Tidak seluruh masyarakat di negeri ini bisa merasakan jenjang pendidikan tinggi. Kemampuan dan kemauan memang dibutuhkan untuk mengambil pilihan menempuh bangku kuliah. Dengan lulus dari jenjang pendidikan tinggi, ada harapan untuk menghadapi hari depan yang lebih baik. Kini menyandang gelar sarjana seolah-olah merupakan keniscayaan demi menjalani profesi. Wartawan, misalnya, mensyaratkan minimal lulusan S1. Tak terkecuali bagi guru yang mengajar di sekolah. Jenjang pendidikan juga bisa menentukan pemerolehan gaji dalam dunia pekerjaan formal.


Setiap tahun, pekerjaan formal memang menanti ribuan lulusan jenjang pendidikan tinggi. Lowongan pekerjaan setiap saat senantiasa dipublikasikan di media cetak, media elektronik maupun cyberjournalism. Namun, harapan untuk menjalani pekerjaan formal tak selalu berujung manis. Ada lulusan jenjang pendidikan tinggi yang terpontang-panting menembus dunia pekerjaan formal. Muncullah istilah pengangguran sarjana atau pengangguran intelektual. Berbagai opini pun menguak sebab-musabab terjadinya pengangguran di kalangan sarjana. Kewirausahaan, misalnya, menjadi salah satu solusi agar lulusan jenjang pendidikan tinggi tak semata mencari pekerjaan (job seeker), tetapi memiliki orientasi menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).

Apabila berpikir jernih, pekerjaan itu selalu ada. Pengangguran bisa terjadi di antaranya karena paradigma yang memandang pekerjaan sekadar pada ranah formal. Malah ada lulusan pendidikan tinggi yang enggan bekerja sesuai disiplin keilmuannya, padahal mampu melakukan pekerjaan itu. Dalam hal ini, ada yang menggelitik penulis, mengapa lulusan pendidikan tinggi tidak diberdayakan untuk membangun kampung? Disadari atau tidak, sebenarnya begitu banyak yang harus dikerjakan dalam upaya membangun masyarakat. Potensi lulusan pendidikan tinggi dengan kompetensinya merupakan aset berharga yang perlu diberdayakan agar bisa memberikan dampak positif. 
 
Untuk memberdayakan sarjana itu, pengorganisasian dari pihak kelurahan niscaya diperlukan. Pihak kecamatan bisa saja melakukan hal ini, namun jangkauannya terlalu luas dalam urusan manajemen kampung. Hal pertama perlu dilakukan adalah mendata lulusan pendidikan tinggi di setiap kampung, baik yang telah memiliki pekerjaan formal maupun yang masih dalam tahap pencarian profesi. Tidak kalah penting, peta permasalahan di setiap kampung perlu dirumuskan. Permasalahan yang dijumpai di setiap kampung bisa serupa dan bisa saja berbeda. Dalam geraknya, sarjana-sarjana disatupadukan. Dalam menyusun program kerja, sarjana-sarjana diikutsertakan. Para pakar juga dilibatkan untuk mendiskusikan permasalahan kampung dan mencari alternatif solusi pemecahannya. Sarjana-sarjana bekerja lintas kampung dalam satu kelurahan; menyapa masyarakat di setiap kampung untuk memberikan pendidikan, penyadaran, pencerahan, dan apapun yang dibutuhkan masyarakat. Jika diperlukan, sarjana bisa saja bergerak lintas kelurahan.

Dalam pandang penulis, alangkah menakjubkan apabila sarjana-sarjana bisa digerakkan dan diberdayakan untuk membangun kampung. Sarjana-sarjana yang terorganisasi itu pastinya bisa memberikan kontribusi positif. Program kerja yang digulirkan bisa beraneka macam. Terhadap masyarakat yang berprofesi sebagai petani, penyuluhan pertanian dan pendampingan dalam usaha bercocok tanam bisa dilakukan dengan melibatkan sarjana-sarjana pertanian. Sarjana psikologi bisa diarahkan untuk menyapa masyarakat kampung dalam mengatasi problematika kehidupannya. Di tengah laju kehidupan ini, permasalahan yang menghinggapi manusia sangat beragam. Sarjana psikologi bisa turut membangun aspek kejiwaan masyarakat.

Begitu pula dengan sarjana hukum yang bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait hukum. Tak dimungkiri apabila masih ada masyarakat yang buta terhadap hukum dan perundang-undangan. Sarjana kesehatan bisa turut memberikan kesadaran hidup sehat atau menangani persoalan kesehatan di tengah masyarakat. Sarjana pendidikan bisa memberikan pendidikan kepada masyarakat secara nonformal. Tak terkecuali dengan sarjana-sarjana lainnya yang perlu juga menyapa dan membangun kehidupan masyarakat di kampung. Dalam program kerja tertentu, sarjana yang bergerak bisa dari beragam disiplin ilmu sesuai dengan peta permasalahannya. 
 
Upaya memberdayakan sarjana membangun kampung tentu saja tidak terlepas dari tersedianya dana. Pemerintah daerah bisa memberikan anggaran dana kepada setiap kelurahan terkait hal tersebut. Perusahaan-perusahaan maupun pihak swasta bisa diajak untuk menegakkan tanggung jawab sosialnya. Bahkan, dana bisa didapatkan dari iuran warga di setiap kampung. Harapannya, program kerja yang digulirkan bisa berjalan berkesinambungan. Sistem penggajian bagi sarjana yang membangun kampung perlu juga dirumuskan. Sarjana memang bisa bekerja dengan dalih pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, sarjana juga memiliki tuntutan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pungkasnya, potensi lulusan jenjang pendidikan tinggi perlu diberdayakan. Masih begitu banyak permasalahan di tengah masyarakat yang selayaknya menggugah para sarjana untuk aktif memberikan kontribusi. Dengan membangun kampung, para sarjana dengan sendirinya ikut menopang pembangunan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

Menempa Perilaku Anak Usia Dini

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu 23 Desember 2012 
 
Judul Buku: Mendesain Perilaku Anak Sejak Dini Penulis: Nur Faizah Rahmah, S.Psi. Psi. Penerbit: Adi Citra Cemerlang, Solo Cetakan: I, 2012 Tebal: xiv+170 halaman ISBN: 978-602-19782-1-4

Buku ini mengajak kita membentuk perilaku anak-anak kita sejak dini agar menjadi pribadi yang positif, baik, dan mulia. Sebab, usia dini memang usia emas (golden age) yang menentukan arah dan kualitas hidup manusia selanjutnya.
 
Ditegaskan penulis buku, pengalaman indah, positif, dan bermanfaat perlu diperoleh anak-anak dalam usia prasekolah. Mereka sedang dalam masa peka untuk belajar; mulai dari bergaul, berbahasa, berdisiplin, dan masih banyak lagi. Persoalannya, masih banyak dari kita yang keliru dalam mempersepsi kebutuhan dan kemampuan mereka, sehingga mengakibatkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang optimal dan maksimal. Kalau kita perhatikan, anak usia prasekolah memiliki perilaku khas, seperti egosentrisme, banyak bicara, ingin bermain melulu, ekspresif dan spontan, rasa ingin tahunya besar, dan kaya imajinasi. Mereka berkeinginan untuk belajar berempati dan memecahkan masalah. Menurut penulis buku, mengetahui perilaku khas itu penting dilakukan agar kita bisa mengarahkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak (halaman 21-29).
 
Dalam masa prasekolah, perilaku buruk anak juga muncul. Dijelaskan penulis buku, perilaku buruk pada anak usia prasekolah menuntut kita memahami situasi yang dihadapi anak. Sebut saja perilaku buruk tantrum atau temper tantrum, yakni luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Manifestasi tantrum beragam, dari merengek dan menangis saja, menjerit-jerit, mengguling-gulingkan badan di lantai, menendang, memukul, mencakar, dan sebagainya. Tantrum kerapkali muncul pada anak usia 2 tahun sampai 3 tahun, atau lebih cepat lagi pada usia 16 bulan. Biasanya tantrum menghilang dengan sendirinya setelah anak berusia 4 tahun. Menyaksikan itu, kita hendaknya tidak menggunakan kekerasan secara fisik maupun psikis untuk mengatasinya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak di kemudian hari.
 
Terkait tantrum, kita perlu memahami bahwa emosi merupakan hal yang lumrah. Anak justru harus diberi kesempatan menghayati dan merasakan kekecewaan, kesedihan, dan kemarahannya. Kita hanya berperan mendampingi, memeluk (jika dibutuhkan), dan menyatakan pengertian kita atas perasaan yang sedang dialami anak tanpa memberikan intervensi apalagi berusaha menghentikan emosi tersebut. Intervensi dilakukan bila tantrum telanjur muncul dalam perilaku yang membahayakan dan berpotensi menimbulkan kerusakan. Kunci mengatasinya dengan komunikasi yang positif. Meskipun dalam situasi tantrum, anak sebenarnya dapat diajak bicara apabila telah tenang emosinya. Tantrum protes, tantrum sosial, tantrum merengek, dan tantrum tidak kooperatif dari anak perlu dihadapi secara bijak (halaman 81-88).
 
Selain tantrum, perilaku buruk lainnya yang perlu dipahami adalah cekcok dan bertengkar, berbohong, mencuri, berkata kasar dan jorok, membangkang dan membantah, menjadi penakut, mempunyai sahabat khayalan, senang memegang alat kelamin, dan memiliki kebiasaan tertentu yang kurang baik. Lewat buku ini, kita diajak agar bisa bijak mengatasinya. Kita perlu “bersahabat” dengan perilaku buruk anak prasekolah. Kata-kata larangan, memojokkan anak atau dengan kekerasan bukanlah solusi, tetapi malah melanggengkan perilaku buruk itu di kemudian hari. Ketidakjujuran, tawuran, kriminalitas, dan kasus negatif di sekitar kita bisa disebabkan ketidakberhasilan kita mengatasi perilaku buruk yang muncul pada anak usia prasekolah.(HENDRA SUGIANTORO).

Bercita-cita Besarlah Meski Miskin

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bisik MINGGU PAGI No. 37 TH 65 Minggu III Desember 2012

Meskipun ukuran miskin bagi setiap orang relatif, kemiskinan tetaplah kenyataan di tengah masyarakat. Sebagian dari kita mungkin masih terpontang-panting sekadar memenuhi kebutuhan pokok. Siapa pun tentu bisa mengubah nasib hidup. Kuncinya adalah ketekunan berusaha disertai doa yang memanjang. Hidup miskin bukan alasan untuk tak bercita-cita besar. Untuk mencapai kemapanan hidup, jangan pernah menyerah.

 
Di dunia ini, banyak kita saksikan orang-orang yang berhasil di tengah hidup yang serba miskin. Kalau kita pergi ke toko, coba perhatikan produk yang bertuliskan Nestle. Itu adalah nama orang, Henri Nestle. Bayangkan, ia dulunya miskin. Ia anak ke-11 dari 14 bersaudara. Konon setiap hari orangtuanya hanya mampu memberikan sesendok coklat hangat bagi anak-anaknya. Akibat kemiskinan, banyak dari anggota keluarganya yang meninggal karena kekurangan gizi. Dengan kenyataan itu, Nestle terlecut untuk merubah nasib hidup. Ia tak lupa menimba ilmu dan berjuang keras. Sampai akhirnya ia berhasil membangun pabrik susu yang kita kenal selama ini. Ia memiliki misi agar produk susunya itu bisa membantu perkembangan kesehatan anak-anak seluruh dunia.
 
Dahlan Iskan dulunya juga miskin. Sewaktu kecil, ia tak mampu memiliki sepatu. Ia nyeker berjalan berkilo-kilo menuju sekolahnya. Orangtuanya tak cukup dana untuk sekadar membelikan sepatu. Namun, Dahlan Iskan tetap menikmati kemiskinannya dalam kesyukuran. Ia bekerja keras untuk ikut menopang ekonomi keluarganya. Hidup sederhana adalah keniscayaan dengan terus menggenggam impian taraf hidup yang lebih baik. 

Ada pepatah Arab, “Al-jaddu bil-jiddi wal hirmanu bil-kasali, fanshab tushib an-qariibin ghayatal-‘amali”. Artinya kurang lebih, “Rezeki diperoleh dengan bekerja keras dan kemiskinan diperoleh karena kemalasan. Maka, bekerja keraslah niscaya engkau akan memperoleh apa yang engkau cita-citakan.” Bekerja keras perlu disertai dengan kesediaan belajar. Dalam derap zaman, perubahan itu pasti, namun pertumbuhan adalah pilihan. Untuk bisa bertumbuh, kuncinya adalah belajar. Belajar agar bertumbuh ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Belajar agar bertumbuh kapasitas keterampilan. Belajar agar bertumbuh kualitas diri. Tanpa mau meng-“up grade” kualitas diri, zaman yang senantiasa berubah pesat bisa-bisa akan menggilas kita. 

Jadi, meskipun miskin, tetaplah bercita-cita besar. Tekun dalam ikhtiar dan senantiasa dekat dengan Sang Pencipta. Jika pun ada hambatan dan tantangan, itu adalah cara Tuhan untuk mematangkan diri kita agar lebih tangguh dan lebih hebat menjalani kehidupan. Fokuslah pada tujuan hidup sesuai cita-cita besar yang telah dipancangkan. Wallahu a’lam.

Guru Tidak Hanya Mengajar



Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu, 16 Desember 2012


Judul Buku: Guru Bukan Tukang Mengajar Penulis: Sudaryanto, S.Pd., M.Hum Penerbit: Pedagogia, Yogyakarta Cetakan: I, 2012 Tebal: vi+210 halaman
           
Keberadaan guru dalam dunia pendidikan memang begitu penting. Secara definitif, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No. 14/2005 Tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1). Namun, disadari atau tidak, selama ini guru cenderung hanya mengajar. Tugas utama seperti mendidik sepertinya cenderung terabaikan. 

Lewat buku ini, Sudaryanto ingin mengingatkan fungsi penting guru yang terlupakan itu. Karena guru lebih sebagai tukang mengajar, pendidikan di sekolah belum mengarahkan siswa pada tindakan yang bersifat reflektif. Padahal, para siswa sangat membutuhkan inspirasi pada sosok gurunya di kelas. Guru yang sekadar melakukan transfer ilmu pengetahuan mengakibatkan lulusan dari bangku pendidikan sekolah tidak bisa terlalu diharapkan menjadi agen perubahan sosial. Guru semestinya menerapkan pola pembelajaran yang bersifat reflektif. 

Dipaparkan penulis buku, pembelajaran yang reflektif tidak sebatas kognitif, tetapi juga menyentuh penentuan sikap dan komitmen dalam melakukan tindakan. Jika pendidikan itu dimaknai rangkaian tindakan para guru, maka guru harus bisa menjadi teladan bagi siswanya, dan terutama tidak sekadar menjadi tukang mengajar. Pasalnya, setiap perilaku guru akan dilihat dan ditiru oleh siswanya. Sesuai dengan petuah Ki Hajar Dewantara, guru harus bersikap ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, guru harus mampu memberi contoh bagi siswanya, mampu menciptakan peluang bagi siswanya untuk berkreasi, dan mampu memberi dorongan bagi siswanya untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Buku yang berisi kumpulan artikel ini menarik disimak demi mengubah persepsi bahwa guru hanya sebagai tukang mengajar yang tertanam di benak sebagian guru. Padahal, tugas guru juga mendidik, memberikan motivasi, mengaktualisasikan potensi, dan menjadi teladan siswanya. Tak kalah menarik, penulis juga menyampaikan gagasan dan pemikirannya terkait pengembangan budaya membaca dan menulis di kalangan guru.