Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Selasa 8 September 2009
Bulan Ramadan adalah bulan yang suci. Bulan ini tak sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tapi bulan yang seyogianya mendidik masyarakat. Namun, televisi telah menjadi musuh bulan Ramadan. Meskipun ada tayangan berbungkus Ramadan, namun tak lebih dari sampah. Televisi memberikan "makanan sampah" kepada masyarakat yang tengah menjalankan ibadah puasa. Rasa haus dan lapar seolah-olah bisa dikenyangkan dengan hiburan tak bernilai, guyonan konyol, dan tontonan tanpa tuntunan. Melalui televisi, masyarakat tak memperoleh sesuatu pun yang bermakna bagi peningkatan keimanan dan pembangunan karakter. Televisi cukup masif memanfaatkan kecanduan masyarakat terhadap tayangan audio-visual. Maka, puasa Ramadan tak ubahnya ritual tahunan yang kelak tak membekas. Sikap dan perilaku masyarakat tak mengalami perubahan positif meskipun telah melewati pendidikan Ramadan.
Televisi hendaknya menyadari bahwa bulan Ramadan adalah bulan ilmu. Masyarakat melalui televisi seyogianya bisa bertambah ilmu., wawasan, dan pengetahuan. Pengetahuan keagamaan yang disuguhkan televisi lebih penting ketimbang hura-hura saat sahur atau berjubelnya sinetron saat buka puasa. Televisi bukan memberikan "makanan sampah", tapi makanan jiwa. Televisi adalah media pendidikan yang seyogianya berperan membangun akhlak masyarakat. Kegilaan masyarakat terhadap televisi jangan sekadar dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan material. Porsi tayangan yang memberikan ilmu, wawasan, dan pengetahuan keagamaan seharusnya lebih dominan, tidak hanya satu jam atau sekadar lima menit. Sungguh ironis, ketika masyarakat seolah-olah tak ada waktu memberi makanan jiwa di masjid-masjid, namun waktunya dipenuhi "makanan sampah" oleh televisi. Wallahu a'lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Selasa 8 September 2009
Bulan Ramadan adalah bulan yang suci. Bulan ini tak sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tapi bulan yang seyogianya mendidik masyarakat. Namun, televisi telah menjadi musuh bulan Ramadan. Meskipun ada tayangan berbungkus Ramadan, namun tak lebih dari sampah. Televisi memberikan "makanan sampah" kepada masyarakat yang tengah menjalankan ibadah puasa. Rasa haus dan lapar seolah-olah bisa dikenyangkan dengan hiburan tak bernilai, guyonan konyol, dan tontonan tanpa tuntunan. Melalui televisi, masyarakat tak memperoleh sesuatu pun yang bermakna bagi peningkatan keimanan dan pembangunan karakter. Televisi cukup masif memanfaatkan kecanduan masyarakat terhadap tayangan audio-visual. Maka, puasa Ramadan tak ubahnya ritual tahunan yang kelak tak membekas. Sikap dan perilaku masyarakat tak mengalami perubahan positif meskipun telah melewati pendidikan Ramadan.
Televisi hendaknya menyadari bahwa bulan Ramadan adalah bulan ilmu. Masyarakat melalui televisi seyogianya bisa bertambah ilmu., wawasan, dan pengetahuan. Pengetahuan keagamaan yang disuguhkan televisi lebih penting ketimbang hura-hura saat sahur atau berjubelnya sinetron saat buka puasa. Televisi bukan memberikan "makanan sampah", tapi makanan jiwa. Televisi adalah media pendidikan yang seyogianya berperan membangun akhlak masyarakat. Kegilaan masyarakat terhadap televisi jangan sekadar dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan material. Porsi tayangan yang memberikan ilmu, wawasan, dan pengetahuan keagamaan seharusnya lebih dominan, tidak hanya satu jam atau sekadar lima menit. Sungguh ironis, ketika masyarakat seolah-olah tak ada waktu memberi makanan jiwa di masjid-masjid, namun waktunya dipenuhi "makanan sampah" oleh televisi. Wallahu a'lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281