Oleh; HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Rabu 6 Oktober 2010
SARJANA berarti sosok yang telah lulus dari bangku perguruan tinggi (baca: Strata 1/S-1). Arti sarjana adalah lulusan S-1 boleh dikatakan telah mengalami penyempitan makna. Dalam Kamus Jawa-Belanda susunan Th Pigeaud, misalnya, “wong sarjana” adalah geleerde, artinya orang terpelajar. Mengacu pada pengertian ini, orang terpelajar berarti sarjana. Sarjana adalah orang yang terpelajar apapun pendidikannnya. Lebih canggih lagi jika mengacu pada Tesaurus Bahasa Indonesia, istilah sarjana mengandung arti cendekiawan, intelektual, jauhari, sastrawan, akademikus, ilmuwan.
Namun, sarjana memang lebih identik dengan lulusan S-1. Dengan berbagai gelarnya, negeri ini pastinya telah melahirkan jutaan sarjana. Sejak zaman belum merdeka, entah berapa banyak sarjana. Bung Karno adalah seorang sarjana teknik yang lulus dari Technische Hoge School (THS) di Bandung (kini Institut Teknologi Bandung, ITB). Dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II saat ini, menteri-menterinya juga sarjana. Dengan banyaknya sarjana, negeri ini sepatutnya bangga. Namun, di sisi lain, banyaknya sarjana justru membuat gelisah. Pasalnya, banyak sarjana menganggur.
Lihat saja isu yang kerap mengemuka ketika membicarakan sarjana: sarjana dan pengangguran. Kata Wakil Mendiknas, Fasli Jalal (Sabtu, 25/9), jumlah sarjana di negeri ini sedikitnya 14 juta sarjana dan 2 juta di antaranya menjadi penganggur setelah lulus. Meskipun ada sarjana menganggur, ada juga sarjana yang tidak menganggur. Pertanyaannya, sarjana yang tidak menganggur itu kenapa tidak sering diungkap? Apakah tidak membanggakan? Mungkin membanggakan, mungkin saja tidak membanggakan. Sarjana yang bekerja mungkin saja menjadi problem ketika tidak menunjukkan “kesarjanaannya”. Sarjana hanya gelar semata, tapi tak mampu membawa perubahan positif dalam dunia pekerjaan. Ada sarjana bekerja di birokrasi pemerintahan, namun nyaman dengan perilaku negatif yang telah menggejala, seperti korupsi, kolusi, malas, dan lupa memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Kalau begini, persoalan sarjana tidak hanya yang menganggur. Sarjana yang sudah bekerja, tapi miskin prestasi dan rendah integritas juga problem.
Terkait pengangguran sarjana, solusi problem sebenarnya sudah dilakukan. Perguruan tinggi menjalin kerja sama dengan pihak industri untuk mensinkronkan lulusan dengan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, kini kewirausahaan (enterpreneurship) telah mengemuka menjadi tema sentral di perguruan tinggi. Malah pinjaman modal bagi mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa digulirkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas lewat Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Melalui program ini, mahasiswa secara individual ataupun kelompok dilatih berwirausaha. Ada beberapa tujuan dari pengguliran program ini. Pertama, menumbuhkan motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Kedua, membangun sikap mental kewirausahaan, yakni percaya diri, sadar akan jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras, kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik, memiliki kemampuan empati dan ketrampilan sosial. Ketiga, meningkatkan kecakapan dan ketrampilan para mahasiswa khususnya sense of business. Keempat, menumbuhkembangkan wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan tinggi. Kelima, menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keenam, membangun jejaring bisnis antarpelaku bisnis, khususnya antara wirausaha pemula dan pengusaha yang sudah mapan. Terdapat program lain untuk menumbuhkan spirit kewirausahaan mahasiswa di perguruan tinggi.
Adanya program tersebut dan program lainnya untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa pastinya perlu diapresiasi. Semoga program kewirausahaan berdampak positif bagi pembangunan karakter mahasiswa. Mahasiswa harapannya tidak berorientasi mencari kerja semata (job seeker), tapi berdaya menciptakan lapangan pekerjaan (job creator). Ketika lulus dari bangku universitas, para sarjana tidak melulu berburu lowongan pekerjaan, namun sudah mampu mandiri. Setelah lulus, seorang sarjana mampu turut serta mengatasi permasalahan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat. Seorang sarjana bukan malah menambah deret panjang pengangguran. Tapi, apakah persoalan akan selesai?
Ternyata pola pikir masyarakat perlu juga dirombak. Orang tua dan masyarakat tak dimungkiri masih menghargai orang yang bekerja di kantoran. Orang tua terus menuntut anaknya tak bosan menelusuri iklan lowongan pekerjaan untuk dapat menjadi “orang kantoran”. Masyarakat juga mengukuhkan pola pikir dan cara pandang ini. Tak begitu banyak orang yang menaruh apresiasi terhadap sarjana yang bekerja di sektor nonformal/informal. Repot, bukan?
Sarjana harus bekerja, ini tak bisa diganggu gugat. Entah apapun pekerjaannya, sarjana hanya perlu memberikan kontribusi bagi kebangunan masyarakat. Ketika telah bekerja, “kesarjanaannya” perlu ditunjukkan. Yang bernasib menjadi “orang kantoran”, perlu bekerja penuh kesungguhan dan tidak sekadar asal-asalan. Yang menduduki birokrasi pemerintahan, ada tugas penting: memperbaiki tatanan yang saat ini masih amburadul. Tidak memakan gaji buta, tapi perlu menampilkan pelayanan prima dan menghilangkan perilaku kolusi, korupsi, dan perilaku buruk lainnya. Di lapangan pekerjaan mana pun, sarjana dinantikan kiprahnya untuk turut melakukan pemberdayaan dan pendidikan terhadap masyarakat. Sarjana perlu manjing ing sajroning kahanan dan merubah zaman kalabendu menjadi zaman keemasan Indonesia. Sarjana perlu hidup dengan “menghidup-hidupi” negeri ini. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute& Kontributor Pewara Dinamika UNY
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Rabu 6 Oktober 2010
SARJANA berarti sosok yang telah lulus dari bangku perguruan tinggi (baca: Strata 1/S-1). Arti sarjana adalah lulusan S-1 boleh dikatakan telah mengalami penyempitan makna. Dalam Kamus Jawa-Belanda susunan Th Pigeaud, misalnya, “wong sarjana” adalah geleerde, artinya orang terpelajar. Mengacu pada pengertian ini, orang terpelajar berarti sarjana. Sarjana adalah orang yang terpelajar apapun pendidikannnya. Lebih canggih lagi jika mengacu pada Tesaurus Bahasa Indonesia, istilah sarjana mengandung arti cendekiawan, intelektual, jauhari, sastrawan, akademikus, ilmuwan.
Namun, sarjana memang lebih identik dengan lulusan S-1. Dengan berbagai gelarnya, negeri ini pastinya telah melahirkan jutaan sarjana. Sejak zaman belum merdeka, entah berapa banyak sarjana. Bung Karno adalah seorang sarjana teknik yang lulus dari Technische Hoge School (THS) di Bandung (kini Institut Teknologi Bandung, ITB). Dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II saat ini, menteri-menterinya juga sarjana. Dengan banyaknya sarjana, negeri ini sepatutnya bangga. Namun, di sisi lain, banyaknya sarjana justru membuat gelisah. Pasalnya, banyak sarjana menganggur.
Lihat saja isu yang kerap mengemuka ketika membicarakan sarjana: sarjana dan pengangguran. Kata Wakil Mendiknas, Fasli Jalal (Sabtu, 25/9), jumlah sarjana di negeri ini sedikitnya 14 juta sarjana dan 2 juta di antaranya menjadi penganggur setelah lulus. Meskipun ada sarjana menganggur, ada juga sarjana yang tidak menganggur. Pertanyaannya, sarjana yang tidak menganggur itu kenapa tidak sering diungkap? Apakah tidak membanggakan? Mungkin membanggakan, mungkin saja tidak membanggakan. Sarjana yang bekerja mungkin saja menjadi problem ketika tidak menunjukkan “kesarjanaannya”. Sarjana hanya gelar semata, tapi tak mampu membawa perubahan positif dalam dunia pekerjaan. Ada sarjana bekerja di birokrasi pemerintahan, namun nyaman dengan perilaku negatif yang telah menggejala, seperti korupsi, kolusi, malas, dan lupa memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Kalau begini, persoalan sarjana tidak hanya yang menganggur. Sarjana yang sudah bekerja, tapi miskin prestasi dan rendah integritas juga problem.
Terkait pengangguran sarjana, solusi problem sebenarnya sudah dilakukan. Perguruan tinggi menjalin kerja sama dengan pihak industri untuk mensinkronkan lulusan dengan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, kini kewirausahaan (enterpreneurship) telah mengemuka menjadi tema sentral di perguruan tinggi. Malah pinjaman modal bagi mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa digulirkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas lewat Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Melalui program ini, mahasiswa secara individual ataupun kelompok dilatih berwirausaha. Ada beberapa tujuan dari pengguliran program ini. Pertama, menumbuhkan motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Kedua, membangun sikap mental kewirausahaan, yakni percaya diri, sadar akan jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras, kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik, memiliki kemampuan empati dan ketrampilan sosial. Ketiga, meningkatkan kecakapan dan ketrampilan para mahasiswa khususnya sense of business. Keempat, menumbuhkembangkan wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan tinggi. Kelima, menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keenam, membangun jejaring bisnis antarpelaku bisnis, khususnya antara wirausaha pemula dan pengusaha yang sudah mapan. Terdapat program lain untuk menumbuhkan spirit kewirausahaan mahasiswa di perguruan tinggi.
Adanya program tersebut dan program lainnya untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa pastinya perlu diapresiasi. Semoga program kewirausahaan berdampak positif bagi pembangunan karakter mahasiswa. Mahasiswa harapannya tidak berorientasi mencari kerja semata (job seeker), tapi berdaya menciptakan lapangan pekerjaan (job creator). Ketika lulus dari bangku universitas, para sarjana tidak melulu berburu lowongan pekerjaan, namun sudah mampu mandiri. Setelah lulus, seorang sarjana mampu turut serta mengatasi permasalahan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat. Seorang sarjana bukan malah menambah deret panjang pengangguran. Tapi, apakah persoalan akan selesai?
Ternyata pola pikir masyarakat perlu juga dirombak. Orang tua dan masyarakat tak dimungkiri masih menghargai orang yang bekerja di kantoran. Orang tua terus menuntut anaknya tak bosan menelusuri iklan lowongan pekerjaan untuk dapat menjadi “orang kantoran”. Masyarakat juga mengukuhkan pola pikir dan cara pandang ini. Tak begitu banyak orang yang menaruh apresiasi terhadap sarjana yang bekerja di sektor nonformal/informal. Repot, bukan?
Sarjana harus bekerja, ini tak bisa diganggu gugat. Entah apapun pekerjaannya, sarjana hanya perlu memberikan kontribusi bagi kebangunan masyarakat. Ketika telah bekerja, “kesarjanaannya” perlu ditunjukkan. Yang bernasib menjadi “orang kantoran”, perlu bekerja penuh kesungguhan dan tidak sekadar asal-asalan. Yang menduduki birokrasi pemerintahan, ada tugas penting: memperbaiki tatanan yang saat ini masih amburadul. Tidak memakan gaji buta, tapi perlu menampilkan pelayanan prima dan menghilangkan perilaku kolusi, korupsi, dan perilaku buruk lainnya. Di lapangan pekerjaan mana pun, sarjana dinantikan kiprahnya untuk turut melakukan pemberdayaan dan pendidikan terhadap masyarakat. Sarjana perlu manjing ing sajroning kahanan dan merubah zaman kalabendu menjadi zaman keemasan Indonesia. Sarjana perlu hidup dengan “menghidup-hidupi” negeri ini. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute& Kontributor Pewara Dinamika UNY