Sarjana dan Problem Pengangguran

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Bernas Jogja, Selasa 29 September 2009

Setiap tanggal 29 September, kita memperingati Hari Sarjana Nasional. Berbicara sarjana berarti membicarakan sosok yang telah lulus dari bangku perguruan tinggi (baca: Strata 1/S-1). Kepemilikan gelar sarjana ini dipandang penting oleh masyarakat seiring perkembangan zaman. Segala upaya dilakukan untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi. Setiap lulusan sekolah menengah mencoba dan mati-matian agar bisa kuliah. Dengan kepemilikan gelar sarjana seolah-olah ada jaminan keberhasilan di hari depan. Dalam dunia pekerjaan, gelar sarjana sudah menjadi tuntutan yang sedikit banyak akan berkaitan dengan gaji yang diterima.

Meskipun demikian, jumlah sarjana di negeri ini tetap terbilang minim. Dari jumlah lulusan sekolah menengah, tak semua bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada beragam sebab, dari keterbatasan finansial sampai pada pilihan untuk langsung terjun di dunia kerja. Maka, sarjana selalu ditempatkan dalam kelompok masyarakat elite yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara sosial, kepemilikan gelar sarjana memberikan kebanggaan dan meningkatkan status sosial di mata masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, benarkah kepemilikan gelar sarjana menunjukkan kapasitas dan kompetensi seseorang? Mengapa sarjana yang begitu dibanggakan justru menambah problem pengangguran?

Kita saksikan pada tahun 2007 menurut dataBPS ada 740.206 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Itu artinya bertambah sekitar 66.578 sarjana menganggur dari sejumlah 673.628 sarjana menganggur pada tahun 2006. Jumlah itu jelas meningkat pesat karena tahun 2005 saja jumlah sarjana menganggur hanya berkisar 385.418 lulusan. Dari sekian banyak jumlah sarjana menganggur itu tentu tidak semuanya akibat gagal dalam tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Boleh jadi sektor industri dan sektor jasa lainnya tidak cukup mampu menampung para lulusan perguruan tinggi karena kadar kompetensi yang tak sesuai kualifikasi atau karena kuota yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan.

Dalam hal ini, harus diakui jika lapangan pekerjaan menyuguhkan fakta persaingan yang cukup ketat. Bagi lulusan perguruan tinggi, pilihan kerja sebenarnya tidak melulu tertuju pada sektor formal. Kewirausahaan, misalnya, bisa digeluti para lulusan perguruan tinggi. Namun, sektor kewirausahaan belum sepenuhnya menjadi orientasi. Masih banyak lulusan perguruan tinggi yang berorientasi mencari lapangan kerja (job seeker). Jika ada lulusan perguruan tinggi yang berkehendak kuat menciptakan lapangan pekerjaan, itu jumlahnya terbatas. Orientasi mendapatkan pekerjaan pastinya memenuhi benak lulusan perguruan tinggi dengan harapan hidupnya terjamin di masa depan.

Lebih-lebih lagi pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil atau PNS. Menjadi PNS seakan-akan merupakan idaman setiap lulusan. Dengan adanya jaminan yang memang “menggiurkan” saat aktif kerja dan ketika pensiun, lulusan perguruan tinggi tak pernah ketinggalan mengikuti informasi lowongan kerja di instansi pemerintahan. Adanya gaji ke-13 bagi PNS dan uang tunjangan ketika pensiun, itu tentu saja mengundang minat. Belum lagi pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap status PNS yang relatif masih besar. Jadi, tak aneh jika pekerjaan sebagai PNS seperti sebuah kompetisi sengit antarlulusan dimana setiap tahun selalu dijejali pendaftar. Jika tidak lolos tes, lulusan tetap mencoba di tahun berikutnya dengan target bisa menjadi PNS. Namun demikian, orientasi sekadar menjadi PNS terbilang menggelisahkan jika para lulusan tak memiliki pikiran alternatif pekerjaan pascajenjang pendidikan tinggi. Pasalnya, jumlah formasi PNS tentu saja tak sebanding dengan jumlah lulusan yang konon ada sekitar 400.000 lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya.

Memang tidak ada larangan bagi para lulusan perguruan tinggi mengejar impian menjadi PNS. Persoalan terjadi, seperti dikatakan di muka, jika tak ada pikiran alternatif bagi lulusan perguruan tinggi untuk bergelut di lapangan pekerjaan lain sehingga justru menambah deret panjang pengangguran terdidik. Kian bertambahnya jumlah sarjana yang menjadi pengangguran dari tahun ke tahun setidaknya merupakan “tamparan” terhadap pendidikan tinggi. Maka, terkait dengan kenyataan itu, beragam motivasi dan letupan semangat berwirausaha coba ditanamkan kepada mahasiswa. Kemandirian dan kreativitas adalah kata kunci agar mahasiswa ketika lulus tidak berpikir linear dan pragmatis. Memang tak bisa dimungkiri jika ada yang berpikiran lulus kuliah lalu cari kerja. Pun, ada yang berpikir untuk mendapatkan pekerjaan tanpa harus susah payah dengan mendapatkan penghasilan yang menjanjikan. Tentu saja paradigma seperti itu secepat mungkin harus dilenyapkan dalam benak setiap lulusan perguruan tinggi. Dengan demikian, dunia perguruan tinggi memang dituntut untuk mampu memberikan orientasi lulusannya agar cakap berusaha dan kreatif menciptakan lapangan pekerjaan (job creator).

Sisi lain yang layak dicermati, banyaknya jumlah sarjana pengangguran jangan lantas tunduk pada kebutuhan pasar. Paradigma menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja tanpa disadari bisa berakibat pada hilangnya jati diri pendidikan tinggi. Jika dunia perguruan tinggi terseret arus paradigma memenuhi kebutuhan pasar kerja, perlahan tapi pasti perguruan tinggi akan berubah wajah menjadi universitas industri, bukan sebagai pusat pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep tridharma perguruan tinggi boleh jadi tidak akan menemukan makna karena terjebak pada tuntutan kebutuhan pasar kerja. Gejala yang saat ini mengemuka memang menampakkan hal seperti itu. Berbagai program studi/jurusan yang tak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja ditutup dan digantikan dengan program studi/jurusan yang sifatnya praktis. Di sinilah titik persoalannya karena ilmu-ilmu murni akhirnya cenderung ditepikan dari pergulatan intelektual akademisi dan tak lagi diminati.

Terkait dengan hal di atas, kebijakan pendidikan tinggi menjadi sebuah keniscayaan agar budaya pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak meredup. Pemerintah melalui Depdiknas perlu mengatur secara ketat pendirian sebuah perguruan tinggi beserta klasifikasinya. Bagi sebagian perguruan tinggi tidak menjadi masalah jika hanya membuka program studi/jurusan yang dibutuhkan lapngan kerja. Pada beberapa perguruan tinggi yang terdapat program studi/jurusan berkaitan dengan ilmu-ilmu murni harus mendapatkan perhatian serius terkait prospek ke depan. Lulusan dari program studi/jurusan itu bisa diorientasikan menjadi peneliti dan tenaga ahli untuk sebuah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengingat aspek pengembangan keilmuan di negeri ini masih terbilang rendah. Peneliti dan tenaga ahli yang diorientasikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu tentu harapannya bisa memberikan kontribusi bagi negara serta dapat membangun kehidupan masyarakat secara nyata.

Yang jelas, lulusan perguruan tinggi selayaknya bisa menjadi problem solver, bukan malah menciptakan masalah di masyarakat. Potensi-potensi yang ada perlu dikelola dan diarahkan agar lulusan perguruan tinggi tidak menambah angka pengangguran di negeri ini. Mencari pekerjaan tidak dilarang, tapi lulusan perguruan tinggi seyogianya bisa berpikir inovatif dan kreatif untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan bekal kompetensi dan spesialisasi keilmuan yang dimiliki, lulusan perguruan tinggi harapannya bisa menjadi agen transformasi sosial, berperan aktif signifikan bagi kebangunan masyarakat. Semoga saja begitu. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati pendidikan, bergiat di Transform Institute UNY