Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 4 Februari 2012
Bagi sebagian orang, menikmati detik-detik matahari tenggelam merupakan pengalaman indah dan mengesankan. Begitu pula bagi Rosie, perempuan berusia 30-an tahun, dan keempat putrinya. Bersama suaminya, Nathan, ia merasakan kehangatan di atas hamparan pasir. Ribuan turis pun memadati Pantai Jimbaran, menantikan saat-saat mentari terhunjam di kaki cakrawala.
Mengawali dari Pantai Jimbaran, novel anggitan Tere Liye ini mengajak kita turut menyaksikan kebahagiaan sekaligus kepedihan yang dialami keluarga Rosie. Lewat video streaming yang dikirim dari Bali, Tegar yang berada di Jakarta ikut menyaksikan apa yang terjadi di Jimbaran. Tegar terus menghubungkan diri dengan suasana di Bali. Sebagai sahabat akrab Rosie dan suaminya, Tegar juga dekat dengan keempat putri Rosie yang masih belia. Anggrek, putri pertama, 12 tahun usianya. Anak kedua, Sakura, berusia 9 tahun. Jasmine, anak ketiga, berusia 5 tahun. Lili, putri keempat, masih berusia 1 tahun. Di Jimbaran itu, mereka merayakan 13 tahun usia pernikahan Rosie dan suaminya.
Keluarga Rosie memang benar-benar bahagia. Seperti kebahagiaan saat bisa mengamati matahari perlahan tenggelam sempurna, menyisakan siluet senja, langit kemerah-merahan. Sakura dan Jasmine pun mengambil sepuluh tangkai mawar biru yang hendak dihadiahkan kepada ibu dan ayahnya. Namun, keluarga itu tak tahu, takkan pernah tahu, jika kebahagiaan mereka akan sirna dalam hitungan detik. Orang-orang jahat itu hanya membutuhkan waktu satu detik untuk mengacak-acak seluruh kebahagiaan keluarga Rosie. Sebelum sepuluh tangkai mawar biru itu sampai di tangan ayah-ibunya, Sakura dan Jasmine terhenyak. Dalam hitungan detik, Jimbaran dari keriangan antarbangsa berubah menjadi kesedihan tak terhingga. Awan hitam seolah menggantung di langit-langit malam. Mengusir pesona purnama bundar di angkasa dan ribuan lampu yang menyala indah di sepanjang tubir pantai, mengusir ribuan formasi bintang-bintang.
Tegar yang menyaksikan hal itu dari Jakarta dibuat panik. Dengan tergesa-gesa memesan tiket pesawat, Tegar langsung menuju Bali. Sesampai di Jimbaran, Tegar mengerti telah terjadi bom dahsyat yang meluluh lantakkan. Begitu banyak orang ditemukan meninggal. Di rumah sakit, nyawa Nathan tak terselamatkan. Rosie terus menangis mendekap tubuh suaminya. Sakura harus tergeletak tak sadarkan diri dalam proses perawatan.
Tegar yang terlalu mencintai keluarga itu mendampingi Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Begitu cepatnya keempat putri itu memahami dan memaknai sebuah kehilangan, namun berbeda dengan Rosie. Kondisi jiwanya goncang. Tidak mudah memulihkan kesedihan Rosie sampai akhirnya harus dirawat di pusat rehabilitasi mental. Tak hanya kehilangan ayah, keempat putrinya juga kehilangan Rosie, ibunya, yang entah kapan bisa menormalkan kembali jiwanya. Akankan Rosie terus mengenang sunset begitu kelabu?
Lewat kehidupan keluarga Rosie yang dikisahkan dalam novel ini, Tere Liye membawa sisi nurani dan kemanusiaan kita untuk menghargai sebuah kehidupan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta
Judul Buku: Sunset Bersama Rosie Penulis: Tere Liye Penerbit: Mahaka Publishing, Jakarta Cetakan: I, November 2011 Tebal: iv+426 halaman Harga: Rp. 60.000,00
Bagi sebagian orang, menikmati detik-detik matahari tenggelam merupakan pengalaman indah dan mengesankan. Begitu pula bagi Rosie, perempuan berusia 30-an tahun, dan keempat putrinya. Bersama suaminya, Nathan, ia merasakan kehangatan di atas hamparan pasir. Ribuan turis pun memadati Pantai Jimbaran, menantikan saat-saat mentari terhunjam di kaki cakrawala.
Mengawali dari Pantai Jimbaran, novel anggitan Tere Liye ini mengajak kita turut menyaksikan kebahagiaan sekaligus kepedihan yang dialami keluarga Rosie. Lewat video streaming yang dikirim dari Bali, Tegar yang berada di Jakarta ikut menyaksikan apa yang terjadi di Jimbaran. Tegar terus menghubungkan diri dengan suasana di Bali. Sebagai sahabat akrab Rosie dan suaminya, Tegar juga dekat dengan keempat putri Rosie yang masih belia. Anggrek, putri pertama, 12 tahun usianya. Anak kedua, Sakura, berusia 9 tahun. Jasmine, anak ketiga, berusia 5 tahun. Lili, putri keempat, masih berusia 1 tahun. Di Jimbaran itu, mereka merayakan 13 tahun usia pernikahan Rosie dan suaminya.
Keluarga Rosie memang benar-benar bahagia. Seperti kebahagiaan saat bisa mengamati matahari perlahan tenggelam sempurna, menyisakan siluet senja, langit kemerah-merahan. Sakura dan Jasmine pun mengambil sepuluh tangkai mawar biru yang hendak dihadiahkan kepada ibu dan ayahnya. Namun, keluarga itu tak tahu, takkan pernah tahu, jika kebahagiaan mereka akan sirna dalam hitungan detik. Orang-orang jahat itu hanya membutuhkan waktu satu detik untuk mengacak-acak seluruh kebahagiaan keluarga Rosie. Sebelum sepuluh tangkai mawar biru itu sampai di tangan ayah-ibunya, Sakura dan Jasmine terhenyak. Dalam hitungan detik, Jimbaran dari keriangan antarbangsa berubah menjadi kesedihan tak terhingga. Awan hitam seolah menggantung di langit-langit malam. Mengusir pesona purnama bundar di angkasa dan ribuan lampu yang menyala indah di sepanjang tubir pantai, mengusir ribuan formasi bintang-bintang.
Tegar yang menyaksikan hal itu dari Jakarta dibuat panik. Dengan tergesa-gesa memesan tiket pesawat, Tegar langsung menuju Bali. Sesampai di Jimbaran, Tegar mengerti telah terjadi bom dahsyat yang meluluh lantakkan. Begitu banyak orang ditemukan meninggal. Di rumah sakit, nyawa Nathan tak terselamatkan. Rosie terus menangis mendekap tubuh suaminya. Sakura harus tergeletak tak sadarkan diri dalam proses perawatan.
`
Membaca novel ini, kita akan terbawa pada suasana yang memilukan dan mengharukan. Bom itu tak hanya menghancurkan Jimbaran, tetapi juga sebuah kehidupan dalam lingkup terkecil. Kehidupan keluarga yang harus berjalan pincang. Rosie dan keempat anaknya selamat. Nathan, suami dan ayah dalam keluarga itu, harus pergi selamanya. Apa yang terjadi pada kehidupan Rosie selanjutnya? Apa yang akan dihadapi keempat putri Rosie?
Membaca novel ini, kita akan terbawa pada suasana yang memilukan dan mengharukan. Bom itu tak hanya menghancurkan Jimbaran, tetapi juga sebuah kehidupan dalam lingkup terkecil. Kehidupan keluarga yang harus berjalan pincang. Rosie dan keempat anaknya selamat. Nathan, suami dan ayah dalam keluarga itu, harus pergi selamanya. Apa yang terjadi pada kehidupan Rosie selanjutnya? Apa yang akan dihadapi keempat putri Rosie?
Tegar yang terlalu mencintai keluarga itu mendampingi Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Begitu cepatnya keempat putri itu memahami dan memaknai sebuah kehilangan, namun berbeda dengan Rosie. Kondisi jiwanya goncang. Tidak mudah memulihkan kesedihan Rosie sampai akhirnya harus dirawat di pusat rehabilitasi mental. Tak hanya kehilangan ayah, keempat putrinya juga kehilangan Rosie, ibunya, yang entah kapan bisa menormalkan kembali jiwanya. Akankan Rosie terus mengenang sunset begitu kelabu?
Lewat kehidupan keluarga Rosie yang dikisahkan dalam novel ini, Tere Liye membawa sisi nurani dan kemanusiaan kita untuk menghargai sebuah kehidupan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/82707