Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at, 20 April 2012
Memandang seorang Kartini dituntut memandang secara komprehensif. Pelbagai pendapat dan opini terkait Kartini seringkali hanya mengutip sebagian dari pernyataan yang tertera pada surat-suratnya. Padahal, Kartini adalah sosok perempuan yang dilingkupi perkembangan pemahaman dan kesadaran. Sisi psikologis dan intelektualitas Kartini tak bisa dialpakan. Surat-surat Kartini merupakan wajah dari perkembangan kejiwaan dan pikiran yang dimilikinya.
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at, 20 April 2012
Memandang seorang Kartini dituntut memandang secara komprehensif. Pelbagai pendapat dan opini terkait Kartini seringkali hanya mengutip sebagian dari pernyataan yang tertera pada surat-suratnya. Padahal, Kartini adalah sosok perempuan yang dilingkupi perkembangan pemahaman dan kesadaran. Sisi psikologis dan intelektualitas Kartini tak bisa dialpakan. Surat-surat Kartini merupakan wajah dari perkembangan kejiwaan dan pikiran yang dimilikinya.
Kartini
diakui memang bersikap kritis terhadap tatanan feodalisme yang turun-temurun.
Penderitaan seorang Kartini tak dialami seorang diri. Perempuan-perempuan lain
di zamannya juga mengalami hal serupa. Memang ada perempuan yang merasakan
nasib sebagaimana Kartini, tetapi tak memiliki jiwa berontak alias menganggap
kondisi yang dihadapi adalah hal biasa. Bukankah Kartini menghadapi tradisi
yang juga dialami perempuan-perempuan sebelumnya? Kepekaan nurani Kartini pun
bersuara. Bagi Kartini, tatanan tradisi yang mengekang kebebasan perempuan
haruslah dilawan. Perempuan-perempuan yang berada di kalangan bawah mungkin
saja lebih tragis daripada nasib Kartini.
Kartini bisa
dikatakan masih memiliki ruang aktualisasi. Sesempit apa pun ruang itu, Kartini
masih bisa mengembangkan diri. Tradisi pingit yang dialaminya seusai tamat
sekolah rendah masih memungkinkan Kartini mengasah intelektualitas lewat
bahan-bahan bacaan. Tamat sekolah rendah pada usia 12 tahun tak berarti tamat
pendidikannya. Pemikiran-pemikiran Kartini yang sering dikatakan melampau
zamannya adalah hasil dialektika dari kesuntukannya membaca. Kartini masih bisa
membaca buku dan surat kabar. Kartini juga masih bisa menuangkan tulisan tak
hanya dalam bentuk surat, tetapi juga menulis untuk berbagai surat kabar.
Kartini memiliki akses untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabat penanya.
Membaca Kartini
adalah membaca sebuah pemikiran yang tajam. Kartini tak melulu bicara soal
perempuan. Lihat saja pemikirannya terhadap bidang pendidikan dalam notanya
tertanggal Januari 1903 berjudul Berilah
Orang Jawa Pendidikan! Kartini pun masih sempat mengutarakan gagasan soal
penerbitan buku dan surat kabar. Kartini sejak awal memang konsisten
berpendirian bahwa pendidikan adalah jalan membebaskan perempuan dari
keterpurukan. Tak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi masyarakat-bangsanya. Dalam
pendidikan, Kartini begitu konsisten memegang pentingnya pembentukan budi
pekerti. Menurut Kartini, pendidikan tak sekadar mengutamakan kekuatan otak,
tetapi harus membentuk kemuliaan budi.
Lewat jalan
pendidikan, Kartini yakin perempuan akan berdikari dan berkemampuan. Kartini
ingin perempuan mendapatkan pendidikan yang selayaknya karena perempuan adalah
kunci penting pembangunan peradaban. Ketika Kartini bercita-cita bersekolah ke
negeri Belanda, itu dimaksudkan agar Kartini mampu mengembangkan pendidikan dan
meningkatkan derajat kaum perempuan. Dalam suratnya kepada Tuan H. H. van Kol tertanggal
21 Juni 1902, Kartini mengungkapkan keinginannya mendirikan sekolah-sekolah
untuk anak-anak perempuan Jawa. Kartini bercita-cita menjadi guru dan pendidik
yang kelak akan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat-bangsanya.
Kartini jelas
ingin memerdekakan perempuan. Satu sikap konsisten yang dimiliki Kartini adalah
kemuliaan perempuan sebagai seorang ibu. Kartini ingin perempuan mendapatkan
pendidikan yang baik agar mampu melaksanakan tugas besarnya mendidik anak-anak.
Dalam suratnya yang ditujukan kepada Tuan Prof. Dr. G.K Anton dan Nyonya, 4
Oktober 1902, Kartini berkata, “Kami
hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar
yang diletakkan oleh ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi
ibu—pendidik umat manusia yang utama!” (Lihat, Surat-Surat Kartini, Renungan
tentang dan untuk Bangsanya,
diterjemahkan Sulastin Sutrisno dari Door Duisternis Tot Licht, (Jakarta:
Penerbit Djambatan, cetakan ke-2 1981), hlm. 272-273).
Menarik menyimak
dasar yang dikemukakan Kartini. Tak dimungkiri jika perempuan adalah sosok
pertama yang mendidik individu manusia. Perempuan perlu dipersiapkan
masak-masak dalam menjalankan tugasnya tersebut. Anak-anak adalah masa depan.
Dengan mendidik anak secara baik, kaum ibu mendidiknya untuk keluarga besar,
keluarga raksasa yang bernama masyarakat. Kartini menyadari bahwa anak-anak
adalah generasi yang merupakan wajah masyarakat, bangsa, dan negara di kemudian
hari. Pentingnya perempuan sebagai pendidik anak-anak senantiasa ditegaskan
Kartini. Kartini tampak konsisten
memandang peran perempuan untuk menjadi ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas.
Pada dasarnya,
pendidikan anak merupakan kewajiban bersama antara ayah dan ibu. Pentingnya
posisi dan peran ibu tak bisa menafikan peran ayah untuk turut memberikan
pendidikan terbaik bagi anak. Perempuan menjadi ibu adalah kodrat. Ibulah yang
mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Dalam hal ini, Kartini bukannya
hanya bicara, tetapi juga memberi contoh. Kartini merasa bahagia bisa ikut
mendidik anak-anak dari Bupati Rembang meskipun bukan anak kandungnya. Kartini
juga ingin mendidik anak-anak lainnya di luar lingkungan keluarga. Menjelang kelahiran
anak kandungnya sendiri, Kartini menampakkan kebahagiaan. Takdir yang
menentukan Kartini hanya bersua dengan anak kandungnya hanya sekitar empat
hari.
Posisi dan peran
ibu di mata Kartini sungguh mulia. Ibulah yang melahirkan anak-anak yang akan mengisi
ruang kehidupan. Kesadaran ini juga menghendaki siapa pun untuk memuliakan
perempuan. Betapa berat tugas seorang ibu. Alangkah nestapanya perempuan yang
harus mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Memuliakan ibu adalah
kewajiban. Dalam agama pun, ibu menempati posisi utama untuk dihormati. Suami
berkewajiban memuliakan istrinya. Begitu juga anak yang lahir dari rahim ibu
harus memuliakan ibunya. Wallahu a’lam.