Kampus Suara Merdeka, Sabtu, 5 Juni 2010
M embaca biografi tokoh-tokoh bangsa di negeri ini, kita akan membaca sebuah rekam jejak pers. Dalam sejarah kehidupannya, para tokoh bangsa memiliki kesadaran akan pentingnya senjata pena untuk menyampaikan pemikiran. Pers telah menjadi strategi mendidik bangsa. Lewat pers, opini dibangun dan akhirnya menjadi arus perubahan. Lewat torehan pena, para tokoh bangsa juga merekam pemikiran dan mendokumentasikan peristiwa. Para tokoh bangsa telah mengangkat senjata pena selagi muda dan sekiranya layaklah dijadikan renungan bagi mahasiswa.
Di antara tokoh bangsa yang bisa disebut adalah Bung Karno. Presiden Indonesia pertama itu dikenal aktif menggoreskan pena. Bung Karno selagi muda pernah menulis di surat kabar Oetoesan Hindia di Surabaya yang dipimpin H.O.S Tjokoroaminoto. Ia mengaku tak kurang dari 500 artikel dituangkan dalam Oetoesan Hindia. Ketika menjadi mahasiswa Technische Hoge School (THS) di Bandung, Bung Karno terlibat dalam surat kabar Sama Tengah. Keluar dari Sama Tengah, Bung Karno berkecimpung dalam surat kabar Fadjar Asia. Tak tanggung-tanggung Bung Karno juga pernah menerbitkan majalah yang langsung di bawah pimpinannya. Majalah-majalah itu adalah Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Rakyat.
Bung Hatta juga tak jauh berbeda. Ketika bersekolah di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia, Wakil Presiden Indonesia pertama itu ikut mengelola majalah Jong Sumatera. Sekitar usia 18 tahun muncullah tulisan pertama Bung Hatta di majalah tersebut yang diberi judul Namaku Hindania! Ia juga mengelola majalah Hindia Poetra milik Perhimpunan Indonesia ketika kuliah di negeri Belanda. Dari negeri Belanda, Bung Hatta juga turut memantau dan membantu majalah Daulat Rakyat yang ada di Indonesia (dulu Hindia Belanda). Produktivitas menulis Bung Hatta memang tak diragukan lagi. Dalam buku Bung Hatta, Sebuah Bibliografi (1988) saja dapat terbaca sekitar 86 karya tulis, amanat, dan pidato Bung Hatta dengan beragam topik. Bung Hatta juga menulis pelbagai buku.
Tokoh bangsa lainnya yang tentu tak bisa dilupakan adalan H.O.S Tjokroaminoto. Lahir pada 16 Agustus 1882, H.O.S Tjokroaminoto merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi “guru tokoh pergerakan”. Bung Karno pernah ngangsu kawruh pada H.O.S Tjokroaminoto. Rumah H.O.S Tjokroaminoto di Surabaya tercatat dalam sejarah menjadi tempat belajar politik yang sekaligus menjadi rumah pergerakan. Maka, Bung Karno juga pernah membantu penerbitan surat kabar pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Oetoesan Hindia. Tulisan H.O.S Tjokroaminoto bisa dibilang menjadi salah satu senjata perlawanan yang digunakannya. H.O.S Tjokroaminoto tak hanya cakap dalam berorasi yang konon tanpa mikrofon pun bisa terdengar keras, tapi ia juga bersuara keras lewat pena. Ide-idenya terbilang luar biasa. Selain disampaikan lewat ceramah, surat kabar menjadi lahan untuknya menyampaikan pemikiran. Surat kabar yang menjadi lahan menulis dan/ didirikan Tjokroaminoto seperti Bintang Soerabaia, Oetoesan Hindia, Fadjar Asia, dan Bandera Islam.
Dalam penerbitan Fadjar Asia, Haji Agus Salim juga terlibat di dalamnya. Haji Agus Salim yang dijuluki Bung Karno sebagai “The Grand Old Man” telah terlibat dalam dunia pers sejak muda. Jejak persnya dimulai sebagai pembantu dan penulis lepas untuk Bataviaasche Nieuwsblad. Pada usia 24 tahun, ia menjadi pemimpin redaksi Neratja selama tujuh tahun. Haji Agus Salim juga pernah terlibat dalam penerbitan Hindia Baroe, Kaoem Kita, Bandera Islam, dan Mestika.
Ki Hajar Dewantara pun memiliki jejak pers. Torehan penanya berjudul Als Ik eens Nederlander was (Andaikata Aku Seorang Nederland) yang ditulis pada usia sekitar 24 tahun menggemparkan penjajah kolonial Belanda. Tulisan ini memang membuat berang pemerintah kolonial sehingga berniat memberikan hukuman kepada Ki Hajar Dewantara. Menanggapi hal itu, Ki Hajar Dewantara bukannya takut, malah kian berani dengan mengeluarkan tulisan Een voor Allen, maar ook Allen voor Een (Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu) yang terbit di De Expres pada 28 Juli 1913. Akibat sikap beraninya itu, Ki Hajar Dewantara akhirnya memang benar-benar diberi hukuman pengasingan. Riwayat Ki Hajar Dewantara bisa dikatakan tak jauh dari jejak pers. Tulisannya beredar di pelbagai terbitan surat kabar pada saat itu. Pelbagai penerbitan surat kabar yang pernah dirambahnya sebagai jurnalis atau kontributor tulisan, antara lain Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaya Timoer, dan Poesara.
Selain tokoh yang disebutkan di atas, terdapat banyak tokoh lain yang jejak hidupnya terlibat dalam dunia pers. Sebut saja Mohammad Natsir, Buya Hamka, Abdoel Moeis, dan lainnya. Keterlibatan tokoh-tokoh bangsa dalam dunia pers karena dilandasi pemahaman jernih akan pentingnya media massa sebagai alat penyampai pemikiran dan gagasan. Media massa diakui merupakan alat jitu membangun opini publik. Memperhatikan jejak tokoh-tokoh bangsa, kita memang akan menyaksikan jejak pers mereka. Dunia pers menyatu dalam denyut nadi perjuangan bangsa ini dalam upaya meraih kemerdekaan. Dikatakan Soebagijo (1981), pers nasional semenjak lahir sepak terjangnya senantiasa sejalan atau paralel dengan perjuangan nasional itu sendiri. Dan dalam kenyataannya, pers nasional memang merupakan alat yang ampuh bagi perjuangan nasional. Setiap pemimpin pergerakan (dan agama) pada zaman penjajahan mempergunakan mass-media sebagai sarana penyampaian gagasan-gagasan serta alam pikirannya kepada pengikut masing-masing.
Peran pers jelas tak bisa dipandang remeh. Begitu banyak penerbitan pers di zaman kolonial yang turut menggerakkan spirit mencapai Indonesia merdeka. Pers bumiputera berperan membentuk pendapat umum menuju pengusiran kaum kolonial. Sebagaimana tutur Takashi Shiraishi (1997) bahwa para jurnalis bumiputera yang dalam kegiatannya menulis artikel, memberi komentar terhadap surat pembaca, dan menyunting isi surat kabar bagi sejumlah (yang mereka tidak ketahui) orang (yang tidak mereka kenal), sesungguhnya memimpin “embiro bangsa” dan mengungkapkan solidaritas mereka dengan para pembaca sebagai bumi putera dan kaum muda.
Bercermin pada tokoh-tokoh bangsa, mahasiswa perlu mengangkat pena dan terlibat aktif dalam dunia pers. Tokoh-tokoh bangsa telah berani menggoreskan penanya saat mereka masih dalam usia muda. Kesadaran pentingnya pers sebagai alat penyampai gagasan dan pemikiran tentu harus dimiliki mahasiswa. Pers juga penting sebagai upaya pendokumentasian sejarah. Dengan berfungsinya kerja pers, maka gagasan dan pemikiran akan terbaca dan terdengar ke khalayak lebih luas. Melalui kerja pers, setiap gagasan dan kegiatan bisa terekam dengan baik yang kelak akan menjadi dokumen sejarah yang bermakna bagi generasi kemudian. Kalimat Tinta Zaitun (2009) ini menarik disimak, “Penulis adalah pemimpin. Ia memimpin dengan ide dan pemikiran....Penulis yang memiliki idealisme sejati menjadi sangat berbahaya bagi sebuah rezim ataupun penguasa yang busuk.” Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta
M embaca biografi tokoh-tokoh bangsa di negeri ini, kita akan membaca sebuah rekam jejak pers. Dalam sejarah kehidupannya, para tokoh bangsa memiliki kesadaran akan pentingnya senjata pena untuk menyampaikan pemikiran. Pers telah menjadi strategi mendidik bangsa. Lewat pers, opini dibangun dan akhirnya menjadi arus perubahan. Lewat torehan pena, para tokoh bangsa juga merekam pemikiran dan mendokumentasikan peristiwa. Para tokoh bangsa telah mengangkat senjata pena selagi muda dan sekiranya layaklah dijadikan renungan bagi mahasiswa.
Di antara tokoh bangsa yang bisa disebut adalah Bung Karno. Presiden Indonesia pertama itu dikenal aktif menggoreskan pena. Bung Karno selagi muda pernah menulis di surat kabar Oetoesan Hindia di Surabaya yang dipimpin H.O.S Tjokoroaminoto. Ia mengaku tak kurang dari 500 artikel dituangkan dalam Oetoesan Hindia. Ketika menjadi mahasiswa Technische Hoge School (THS) di Bandung, Bung Karno terlibat dalam surat kabar Sama Tengah. Keluar dari Sama Tengah, Bung Karno berkecimpung dalam surat kabar Fadjar Asia. Tak tanggung-tanggung Bung Karno juga pernah menerbitkan majalah yang langsung di bawah pimpinannya. Majalah-majalah itu adalah Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Rakyat.
Bung Hatta juga tak jauh berbeda. Ketika bersekolah di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia, Wakil Presiden Indonesia pertama itu ikut mengelola majalah Jong Sumatera. Sekitar usia 18 tahun muncullah tulisan pertama Bung Hatta di majalah tersebut yang diberi judul Namaku Hindania! Ia juga mengelola majalah Hindia Poetra milik Perhimpunan Indonesia ketika kuliah di negeri Belanda. Dari negeri Belanda, Bung Hatta juga turut memantau dan membantu majalah Daulat Rakyat yang ada di Indonesia (dulu Hindia Belanda). Produktivitas menulis Bung Hatta memang tak diragukan lagi. Dalam buku Bung Hatta, Sebuah Bibliografi (1988) saja dapat terbaca sekitar 86 karya tulis, amanat, dan pidato Bung Hatta dengan beragam topik. Bung Hatta juga menulis pelbagai buku.
Tokoh bangsa lainnya yang tentu tak bisa dilupakan adalan H.O.S Tjokroaminoto. Lahir pada 16 Agustus 1882, H.O.S Tjokroaminoto merupakan sosok yang ditakdirkan sejarah menjadi “guru tokoh pergerakan”. Bung Karno pernah ngangsu kawruh pada H.O.S Tjokroaminoto. Rumah H.O.S Tjokroaminoto di Surabaya tercatat dalam sejarah menjadi tempat belajar politik yang sekaligus menjadi rumah pergerakan. Maka, Bung Karno juga pernah membantu penerbitan surat kabar pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Oetoesan Hindia. Tulisan H.O.S Tjokroaminoto bisa dibilang menjadi salah satu senjata perlawanan yang digunakannya. H.O.S Tjokroaminoto tak hanya cakap dalam berorasi yang konon tanpa mikrofon pun bisa terdengar keras, tapi ia juga bersuara keras lewat pena. Ide-idenya terbilang luar biasa. Selain disampaikan lewat ceramah, surat kabar menjadi lahan untuknya menyampaikan pemikiran. Surat kabar yang menjadi lahan menulis dan/ didirikan Tjokroaminoto seperti Bintang Soerabaia, Oetoesan Hindia, Fadjar Asia, dan Bandera Islam.
Dalam penerbitan Fadjar Asia, Haji Agus Salim juga terlibat di dalamnya. Haji Agus Salim yang dijuluki Bung Karno sebagai “The Grand Old Man” telah terlibat dalam dunia pers sejak muda. Jejak persnya dimulai sebagai pembantu dan penulis lepas untuk Bataviaasche Nieuwsblad. Pada usia 24 tahun, ia menjadi pemimpin redaksi Neratja selama tujuh tahun. Haji Agus Salim juga pernah terlibat dalam penerbitan Hindia Baroe, Kaoem Kita, Bandera Islam, dan Mestika.
Ki Hajar Dewantara pun memiliki jejak pers. Torehan penanya berjudul Als Ik eens Nederlander was (Andaikata Aku Seorang Nederland) yang ditulis pada usia sekitar 24 tahun menggemparkan penjajah kolonial Belanda. Tulisan ini memang membuat berang pemerintah kolonial sehingga berniat memberikan hukuman kepada Ki Hajar Dewantara. Menanggapi hal itu, Ki Hajar Dewantara bukannya takut, malah kian berani dengan mengeluarkan tulisan Een voor Allen, maar ook Allen voor Een (Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu) yang terbit di De Expres pada 28 Juli 1913. Akibat sikap beraninya itu, Ki Hajar Dewantara akhirnya memang benar-benar diberi hukuman pengasingan. Riwayat Ki Hajar Dewantara bisa dikatakan tak jauh dari jejak pers. Tulisannya beredar di pelbagai terbitan surat kabar pada saat itu. Pelbagai penerbitan surat kabar yang pernah dirambahnya sebagai jurnalis atau kontributor tulisan, antara lain Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaya Timoer, dan Poesara.
Selain tokoh yang disebutkan di atas, terdapat banyak tokoh lain yang jejak hidupnya terlibat dalam dunia pers. Sebut saja Mohammad Natsir, Buya Hamka, Abdoel Moeis, dan lainnya. Keterlibatan tokoh-tokoh bangsa dalam dunia pers karena dilandasi pemahaman jernih akan pentingnya media massa sebagai alat penyampai pemikiran dan gagasan. Media massa diakui merupakan alat jitu membangun opini publik. Memperhatikan jejak tokoh-tokoh bangsa, kita memang akan menyaksikan jejak pers mereka. Dunia pers menyatu dalam denyut nadi perjuangan bangsa ini dalam upaya meraih kemerdekaan. Dikatakan Soebagijo (1981), pers nasional semenjak lahir sepak terjangnya senantiasa sejalan atau paralel dengan perjuangan nasional itu sendiri. Dan dalam kenyataannya, pers nasional memang merupakan alat yang ampuh bagi perjuangan nasional. Setiap pemimpin pergerakan (dan agama) pada zaman penjajahan mempergunakan mass-media sebagai sarana penyampaian gagasan-gagasan serta alam pikirannya kepada pengikut masing-masing.
Peran pers jelas tak bisa dipandang remeh. Begitu banyak penerbitan pers di zaman kolonial yang turut menggerakkan spirit mencapai Indonesia merdeka. Pers bumiputera berperan membentuk pendapat umum menuju pengusiran kaum kolonial. Sebagaimana tutur Takashi Shiraishi (1997) bahwa para jurnalis bumiputera yang dalam kegiatannya menulis artikel, memberi komentar terhadap surat pembaca, dan menyunting isi surat kabar bagi sejumlah (yang mereka tidak ketahui) orang (yang tidak mereka kenal), sesungguhnya memimpin “embiro bangsa” dan mengungkapkan solidaritas mereka dengan para pembaca sebagai bumi putera dan kaum muda.
Bercermin pada tokoh-tokoh bangsa, mahasiswa perlu mengangkat pena dan terlibat aktif dalam dunia pers. Tokoh-tokoh bangsa telah berani menggoreskan penanya saat mereka masih dalam usia muda. Kesadaran pentingnya pers sebagai alat penyampai gagasan dan pemikiran tentu harus dimiliki mahasiswa. Pers juga penting sebagai upaya pendokumentasian sejarah. Dengan berfungsinya kerja pers, maka gagasan dan pemikiran akan terbaca dan terdengar ke khalayak lebih luas. Melalui kerja pers, setiap gagasan dan kegiatan bisa terekam dengan baik yang kelak akan menjadi dokumen sejarah yang bermakna bagi generasi kemudian. Kalimat Tinta Zaitun (2009) ini menarik disimak, “Penulis adalah pemimpin. Ia memimpin dengan ide dan pemikiran....Penulis yang memiliki idealisme sejati menjadi sangat berbahaya bagi sebuah rezim ataupun penguasa yang busuk.” Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta