Memaknai Belajar Sepanjang Hayat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Senin, 21 Mei 2012

Dalam buku The Ultimate Psychology (2008), Muhammad ‘Utsman Najati memaparkan bahwa belajar memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Manusia terlahir sebagai makhluk lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi, melalui belajar, manusia bisa menguasai berbagai kemahiran dan pengetahuan. Dalam belajar, manusia tidak hanya mempelajari bahasa, ilmu pengetahuan, profesi maupun keahlian tertentu, tetapi juga mempelajari berbagai macam tradisi, etika, dan kepribadian.

Bagi manusia, belajar memang merupakan keniscayaan. Ungkapan belajar dari ayunan sampai liang lahat yang kerapkali kita dengar menegaskan bahwa belajar tidak berhenti pada usia tertentu, namun berlaku sepanjang kehidupan manusia. Bahkan, manusia yang senantiasa belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan, Tuhan akan meninggikan derajatnya. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”(Az-Zumar (39): 9). 

Selain mendapatkan pengetahuan, manusia yang belajar, papar Crow and Crow (1958), juga memperoleh kebiasaan dan sikap baru. Dengan belajar, manusia mengalami perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan (Witherington: 1952). Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa manusia yang belajar diawali dari sebuah kesadaran. Manusia menyadari kekurangan dan kelemahannya, sehingga akan belajar untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangan dirinya. Tanpa kesadaran ini, menurut penulis, manusia tidak ada minat, keinginan, dan motivasi untuk senantiasa belajar.

Disadari atau tidak, fakta kurangnya kesadaran untuk belajar dapat kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Sebut saja kita yang merasa telah puas dengan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan. Padahal, ilmu pengetahuan terus berkembang. Dalam agama pun kerapkali dikemukakan bahwa ilmu Tuhan itu begitu luas. Apa yang kita ketahui saat ini sebenarnya belum menjangkau luasnya ilmu Tuhan itu. Bahkan, kita dapat menyaksikan bahwa ilmu alam dan ilmu sosial kerapkali mengalami revisi. Apa yang kita pelajari dahulu mungkin tidak sesuai lagi dengan konteks zaman yang kita hadapi saat ini. Kita yang tidak memiliki kesadaran terkait kekurangan diri kerapkali merasa puas dengan keterampilan yang telah dimiliki. Padahal, seiring kemajuan zaman, kita juga dituntut menguasai kecakapan dan keterampilan tertentu demi kemajuan kehidupan.
Begitu juga dengan sikap dan perilaku kita. Kita kadangkala tidak menyadari ada sikap dan perilaku kita yang kurang bijak, seperti tidak dapat mengendalikan emosi, mudah melakukan kekerasan, kurang bisa menghormati orangtua, menghalalkan cara negatif untuk mencapai tujuan, melanggar hak manusia lain untuk hidup dan berkembang, berbuat kerusuhan, dan enggan meminta maaf atas kesalahan. Bahkan, tidak mampunya kita membuang sampah di tempat sampah, tidak bisa mengantre dengan tertib, dan kurang disiplin dalam berlalu lintas juga mencerminkan kekurangan kita dalam sikap dan perilaku.
            Dengan belajar, kita tentu mengalami perubahan-perubahan. Perubahan memang bisa menuju ke arah positif maupun negatif. Meskipun debatable, namun penulis hendak menegaskan bahwa kita dapat dikatakan telah belajar apabila mengalami perubahan ke arah positif. Mohamad Surya (2004) menyebutkan ada ciri-ciri yang menandai perubahan sebagai hasil belajar, yakni perubahan itu disadari, bersifat kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat relatif permanen dan bukan temporer, serta bertujuan dan terarah. Belajar merupakan proses yang dilakukan dengan sengaja karena dorongan dan tujuan yang hendak kita capai. Dengan proses belajar, seluruh aspek kepribadian kita mengalami perubahan yang lebih baik.
Maka, siapa pun kita memang perlu terus-menerus belajar. Belajar yang kita lakukan tidak terbatas pada bangku pendidikan formal. Kita perlu belajar di mana pun, baik di rumah, di lingkungan masyarakat, di tempat kerja, di pasar maupun di tempat-tempat lainnya. Belajar bisa dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan pihak lain. Kita bisa belajar untuk memperkaya dan menambah ilmu, wawasan, pengetahuan, keterampilan ataupun hal lainnya dengan membaca buku dan surat kabar; mengikuti kajian atau kuliah nonformal; mengikuti pelatihan-pelatihan, dan sebagainya.

Dalam hal ini, kita seyogianya juga menilai hasil belajar kita secara kualitatif. Dari belajar Matematika, kita tidak akan melakukan korupsi, karena 12-7=5, bukan 3; 4+11=15, bukan 21. Dengan belajar sejarah, kita merasakan pahit getirnya penjajahan dan tumbuh semangat untuk berkontribusi positif di alam kemerdekaan. Hafalan lima sila Pancasila juga terinternalisasi dalam sikap dan perilaku kita dengan selalu menjalankan ibadah sesuai agama kita, memanusiakan manusia lain, merekatkan jalinan persatuan, menghormati perbedaan pendapat, memperhatikan kehidupan orang lain yang kekurangan, menegakkan tata ekonomi yang berkeadilan, merasa gelisah melihat kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera, dan sebagainya.

Pun, kita bisa belajar ketika mendaki gunung, menikmati matahari tenggelam di pantai, menatap bulan di malam hari ataupun  ketika merasakan keindahan alam lainnya bahwa alam semesta tidak pernah berproses secara instan. Kita bisa belajar bahwa kehancuran dan keterpurukan akan kita dapatkan apabila menyalahi hukum alam. Zaman pastinya senantiasa berkembang dan memiliki tantangan dan peluang masing-masing. Dengan belajar, kita akan dapat menghadapi zaman, apapun tantangan dan peluangnya. Jadilah pembelajar seumur hidup, seru Komaruddin Hidayat (2010), karena semakin bertambah umur selalu saja muncul hal-hal baru yang harus kita pelajari agar kita menjadi lebih bijak. Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO