Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Selasa 13 Desember 2011
Fakta di lapangan, keberadaan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah identik dengan masalah yang dihadapi siswa. Banyak siswa yang dianggap bermasalah diarahkan ke guru BK atau biasa disebut konselor untuk ditangani. Hal ini tidaklah salah, namun juga tak terlalu tepat. Ada kecenderungan guru BK ibarat polisi sekolah yang tugasnya menghukumi siswa bermasalah. Bahkan, siswa merasa tak nyaman berhubungan dengan guru BK, karena malu dan takut dianggap bermasalah oleh siswa-siswa lainnya. Seperti itukah wajah BK di sekolah?
Kenyataan tak dimungkiri apabila siswa kerapkali menjumpai masalah dalam kehidupannya. Masalah itu bisa berupa masalah pribadi, sosial, karir, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada titik ini, ada individu siswa yang bisa mengatasi masalahnya tanpa intervensi pihak lain. Di sisi lain, ada individu siswa yang membutuhkan intervensi pihak lain untuk menyelesaikan masalahnya.
Terkait perlunya intervensi pihak lain dalam upaya mengatasi masalah individu siswa, keberadaan BK di sekolah menemukan fungsi dan perannya. BK, papar Eti Nurhayati (2011), adalah ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Artinya, BK memang berupaya membantu individu siswa mengatasi masalahnya, namun BK juga berfungsi melakukan usaha preventif agar individu siswa terhindar dari masalah.
Menurut Dedi Supriadi (2004: 209-210), ada beberapa alasan mengenai pentingnya layanan BK di sekolah. Pertama, perbedaan antara individu. Setiap siswa mempunyai perbedaan antara satu dengan lainnya, di samping persamaannya. Perbedaan menyangkut kapasitas intelektual, keterampilan (skills), motivasi, persepsi, sikap, kemampuan, minat, dan lain-lain. Kedua, siswa-siswa menghadapi masalah-masalah dalam pendidikan. Masalah-masalah tersebut bisa masalah-masalah pribadi, hubungan dengan orang lain (guru, teman), masalah kesulitan belajar, dan lain-lain. Dalam penyelesaiannya seringkali tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk berdialog. Orang lain maksudnya adalah orang yang mau mengerti diri siswa dan mengetahui cara penyelesaiannya. Dalam setting sekolah, konselor adalah orang yang dituntut untuk dapat memberikan bantuan tersebut.
Ketiga, masalah belajar. Siswa datang ke sekolah dengan harapan agar bisa mengikuti pendidikan dengan baik. Tidak selamanya demikian. Ada berbagai masalah yang mereka hadapi, bersumber dari stress karena tugas-tugas, ketidakmampuan mengerjakan tugas, keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, ingat kepada keluarga (homesick), persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual yang kurang, motivasi belajar yang lemah, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut tidak selalu diselesaikan dalam setting belajar-mengajar di kelas, melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh konselor melalui konsultasi pribadi.
Ditinjau lebih jauh, banyak hal yang sebenarnya perlu digarap guru BK di sekolah. Pembentukan konsep diri siswa perlu dilakukan. Bagaimana pun, perbedaan-perbedaan individu (individual differences) antara siswa satu dengan siswa yang lain tak terhindarkan. Siswa dengan konsep diri yang baik dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Adakanya siswa merasa rendah diri dengan bentuk fisik atau faktor lainnya, sehingga menghambat pencapaian tujuan belajarnya. Melihat nilai mata pelajarannya rendah dibandingkan siswa-siswa lainnya, ada siswa yang patah semangat dan kehilangan motivasi sehingga malas berangkat ke sekolah. Guru BK berkepentingan membangun konsep diri siswa, sehingga tak menyebabkan siswa memiliki masalah di kemudian hari. Jika siswa memiliki masalah, guru BK melakukan upaya identifikasi untuk membantu siswa menyelesaikan masalahnya secara tepat.
Tak bisa dimungkiri apabila persoalan-persoalan siswa cukup kompleks. Masalah yang dialami siswa memiliki kompleksitas tersendiri yang tak mungkin dihadapi dengan metode yang sama. Siswa bukan individu yang terpisah dari lingkungan. Permasalahan siswa dimungkinkan akibat faktor lingkungan, seperti lingkungan teman sebaya, keluarga, dan masyarakat. Terpaan arus informasi dan media massa yang kurang positif juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian siswa. Maka, tantangan yang dihadapi guru BK tidaklah ringan. Kasus kenakalan siswa seperti penggunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seks bebas perlu juga mendapatkan fokus tersendiri oleh guru BK di sekolah.
Terkait stigma guru BK sebagai polisi sekolah dimungkinkan akibat keberadaan guru BK di sekolah yang tidak diberikan tugas sebagaimana fungsinya. Hal ini karena kekurangpahaman pihak sekolah atau kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan terkait fungsi BK di sekolah. Di sisi lain, wajah cerah guru BK bukannya tak ada. Ada sekolah yang mengalokasikan jam khusus bagi guru BK untuk memberikan layanan kepada siswa secara klasikal di kelas. Di sekolah, ruangan BK semestinya representatif untuk pelaksanan tugas guru BK. Interaksi guru BK dengan siswa selayaknya bersahabat, sehingga siswa merasakan kenyamanan berkomunikasi atau mengungkapkan masalahnya. Kompetensi dan profesionalisme guru BK perlu ditingkatkan agar dapat melaksanakan layanan secara baik.
Sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah, BK memiliki peranan penting. BK bertujuan membantu siswa mengenal dan memahami dirinya, menerima dan mengarahkan dirinya, dan dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai potensi dan kemampuan objektifnya. Guru BK bisa memprogramkan layanan untuk membangun motivasi dan kepercayaan diri siswa dalam mewujudkan keberhasilan meraih cita-citanya. Kondisi siswa yang telah baik perlu juga dipelihara dan dijaga, bahkan dikembangkan lebih baik lagi. Dengan layanan BK di sekolah, siswa harapannya dapat menemukan makna dalam dirinya sebagai individu manusia yang berharga untuk menjalankan kehidupan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, pemerhati pendidikan pada Universitas PGRI Yogyakarta