Budi Pekerti Cegah HIV/AIDS

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Rabu 21 Desember 2011

Wabah HIV/AIDS terus menghantui masyarakat dunia, termasuk di negeri ini. Yang memiriskan, konon penyebarannya di Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Entah benar atau tidak, fakta ini perlu dianggap warning. Efek HIV/AIDS bisa memperlemah sumber daya manusia yang tentu berkaitan dengan masa depan bangsa.

Menurut penulis, kepemilikan budi pekerti merupakan keniscayaan sebagai bagian dari upaya pencegahan. Memang ada perawatan antiretrovirus yang dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun keberhasilannya tidak 100%. Justru budi pekerti yang baik merupakan penangkal untuk menciptakan tatanan masyarakat yang sehat.

Mari kita simak data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Disebutkan sampai September 2009 ada 18.442 kasus AIDS; 13.654 kasus laki-laki, 4.701 kasus perempuan, dan 87 kasus tak diketahui jenis kelaminnya. Dari jumlah kasus perempuan, 60% adalah ibu rumah tangga biasa. Berdasarkan data yang sama pada 2002-2009, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV naik dari 40% menjadi 60% (Paulus Mujiran: 2011). Dari jumlah kasus, yang terinfeksi mayoritas masih laki-laki
. Kian banyak ibu rumah tangga yang tertular penyakit ini pada umumnya tertular oleh suami.

Untuk mengenyahkan wabah HIV/AIDS, budi pekerti untuk menghargai keberadaan tubuh perlu dimiliki. Tubuh perempuan selayaknya diperlakukan semestinya, baik oleh
pihak perempuan sendiri maupun pihak laki-laki. Kebutuhan seksual perlu disalurkan secara tepat. Berganti-ganti pasangan adalah cermin tak dimilikinya budi pekerti yang luhur. Laki-laki yang telah bersuami wajib mencintai istrinya sepenuh hati. Kesetiaan dalam rumah tangga perlu diperkuat. Bagi yang belum berumah tangga, tubuh harus dijaga dengan tak mengumbar nafsu seksual secara bebas. Menghargai tubuh berarti menghargai kehidupan. Tak hanya untuk kehidupan diri, tetapi juga kehidupan anak-anak sebagai generasi masa depan. Begitu juga tubuh perlu dihargai dengan tak merusaknya lewat obat-obatan terlarang. Ajaran agama maupun ajaran lokal yang adiluhung mengajarkan: menjaga dan menghargai tubuh adalah salah satu budi pekerti luhur yang perlu dimiliki masyarakat. Bukankah begitu?
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Plagiarisme, Sebuah Pelanggaran!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 18 Desember 2011

Judul Buku: Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika Penulis: Dr. Henry Soelistyo, SH. LL.M Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: 308 halaman

Kasus plagiarisme kerapkali mencuat. Untuk memahami seluk-beluk plagiarisme, buku karya Henry Soelistyo ini bisa dijadikan pegangan. Doktor Hukum UGM yang terlibat tekun dalam bidang hak kekayaan intelektual ini mengupas secara mendalam persoalan plagiarisme dikaitkan dengan aspek hukum dan etika. Berbagai pengertian plagiarisme dijabarkan untuk memberikan titik tegas perilaku menyimpang ini.

Dari tipe-tipenya, plagiarisme bisa meliputi plagiarisme ide (plagiarism of ideas), plagiarisme kata demi kata (word for word plagiarism), plagiarisme atas sumber (plagiarism of source), dan plagiarisme kepengarangan (plagiarism of authorship). Dipaparkan penulis buku, dalam kaitannya dengan karya tulis, bentuk plagiarisme yang relevan adalah tipe plagiarisme kata demi kata dan plagiarisme atas sumber. Maksud dari plagiarisme kata demi kata adalah mengutip karya orang lain secara kata demi kata tanpa menyebutkan sumbernya. Plagiarisme atas sumber adalah tidak menyebutkan referensi yang dirujuk dalam kutipan secara lengkap. Apakah penulis yang mempublikasikan satu tulisannya di banyak media massa bisa dianggap sebagai plagiarisme? Hal tersebut dapat disimak dalam penjelasan tentang self plagiarisme.

Plagiarisme sebagai ketidakjujuran pastinya menyalahi etika. Menurut penulis buku, plagiarisme juga merupakan pelanggaran UU Hak Cipta yang sepatutnya mendapatkan sanksi hukum yang sepantasnya. Tindak pelanggaran Hak Cipta lebih menyangkut pelanggaran Hak Moral yang berdimensi etika. Dalam buku ini, konsepsi perlindungan hak cipta di Indonesia dan Peraturan Mendiknas No. 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi coba dijelaskan. Penulis buku juga memaparkan langkah-langkah teknis dan akademis mencegah plagiarisme. Pencegahan dan penanggulangan plagiarisme tentu tak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga di lingkup lainnya. Siapa bisa menjamin plagiarisme tak terjadi di instansi pemerintahan? Bahkan, sebagian guru juga disinyalir melakukan tindakan plagiat demi menunjang karirnya. Banyak pelajaran bisa diperoleh lewat buku ini untuk mengedepankan etika dalam menciptakan karya tulis.

HENDRA SUGIANTORO

Mohammad Natsir dalam Jejak Pena

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Horizon RADAR SURABAYA, Minggu 18 Desember 2011

Natsara artinya penulis kalam atau bertaburan. Konon kata “Natsir” berasal dari kata itu. Dengan diberi nama Natsir, ada harapan tersirat agar anak dari rahim Khadijah ini bisa menjadi seorang penulis yang bertaburan hasil karyanya. Dalam konteks lebih luas, Mohammad Natsir (1908-1993) diharapkan juga bertabur jasanya bagi bangsa dan agama. Benarkah maksud dari pemberian nama Natsir itu? Idris Sutan Saripado, ayah Mohammad Natsir, tentu yang lebih tahu. Atau tanyakan ke Khadijah, ibu yang melahirkan Mohammad Natsir.

Mohammad Natsir tidak hanya dilahirkan sejarah, tetapi juga melahirkan sejarah. Sepanjang usia hidupnya, kiprah Mohammad Natsir tak hanya dalam satu bidang. Ia adalah seorang pejuang, pendidik, politisi, dan juru dakwah. Banyak hal bisa dibahas untuk membicarakan Mohammad Natsir. Dalam tulisan ini, kiprah beliau dalam kancah jurnalistik dan kepenulisan sedikit banyak akan coba diuraikan.

Mohammad Natsir mulai menulis tentunya ketika telah mampu menulis. Kemampuan menulis Mohammad Natsir tidak dimungkiri terus meningkat kualitasnya beriringan dengan akses belajar dan bangku pendidikan yang ditempuhnya. Jika benar Mohammad als Profeet (1929) yang ditulis dalam bahasa Belanda merupakan karya pertama beliau dalam bentuk buku, maka Mohammad Natsir telah menghasilkan buku pada usia sekitar 21 tahun.

Mohammad Natsir telah menghasilkan begitu banyak tulisan. Ketika berkecimpung di organisasi Persatuan Islam (Persis), beliau telah menulis dalam majalah Persis Pembela Islam. Pernah ketika mengenyam pendidikan di Algemene Middlebare School (AMS) Bandung, beliau menulis dengan analisis tajam soal pabrik tebu kolonial. Tugas dari sekolah itu boleh jadi tulisan ilmiah-akademis pertama Mohammad Natsir.

Pada dasarnya, jejak kepenulisan Mohammad Natsir dalam surat kabar-surat kabar di zamannya begitu banyak. Tak hanya di Pembela Islam, beliau juga turut menulis di Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Al-Manar, dan sebagainya. Pemimpin Pandji Islam dan Al-Manaar, ZA Ahmad, pernah berujar, “Tulisannya (baca: Mohammad Natsir) yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan karena lebih utama lagi karena isinya yang bernas mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.”

Disebutkan di atas bahwa Mohammad als Profeet merupakan karya pertama Mohammad Natsir dalam bentuk buku dengan menggunakan bahasa Belanda. Adapun Cultuur Islam (1934) merupakan buku pertama beliau dalam bahasa Indonesia.

Mohammad Natsir dalam jejak kepenulisannya pernah berpolemik dengan Soekarno. Polemik ini tidak terlepas dari kondisi pergerakan nasional saat itu yang seolah-olah membelah dalam dua kubu: Islam dan nasionalisme sekuler. Awalnya Soekarno berpolemik dengan Haji Agus Salim sejak tahun 1920-an. Sampai akhirnya Mohammad Natsir turut masuk dalam perdebatan tersebut. Yang perlu dicatat, Soekarno juga mempublikasikan tulisannya lewat surat kabar Islam, seperti Pandji Islam. Soekarno dan Mohammad Natsir berbicara tentang Islam dengan konsepnya masing-masing. Tulisan-tulisan Soekarno antara lain berjudul Memudahkan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, dan ‘Masjarakat Onta’ dan ‘Masjarakat Kapal-udara’.

Tulisan-tulisan Soekarno mencemaskan dalam pandangan Natsir. Menanggapi tulisan Soekarno, Mohammad Natsir menulis dengan judul, antara lain Tjinta Agama dan Tanah Air, Ichwanu’ Shafaa, Rasionalisme dalam Islam, Islam dan Akal Merdeka, dan Persatuan Agama dengan Negara. Saat Indonesia merdeka, Mohammad Natsir terus aktif menulis di pelbagai surat kabar. Majalah Abadi, Hikmah, Media Dakwah, dan Suara Masjid adalah surat kabar yang pernah mempublikasikan tulisan beliau. Buku-buku beliau berjumlah puluhan, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit jejak kepenulisan Mohammad Natsir. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Guru BK Bukan Polisi Sekolah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Selasa 13 Desember 2011

Fakta di lapangan, keberadaan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah identik dengan masalah yang dihadapi siswa. Banyak siswa yang dianggap bermasalah diarahkan ke guru BK atau biasa disebut konselor untuk ditangani. Hal ini tidaklah salah, namun juga tak terlalu tepat. Ada kecenderungan guru BK ibarat polisi sekolah yang tugasnya menghukumi siswa bermasalah. Bahkan, siswa merasa tak nyaman berhubungan dengan guru BK, karena malu dan takut dianggap bermasalah oleh siswa-siswa lainnya. Seperti itukah wajah BK di sekolah?

Kenyataan tak dimungkiri apabila siswa kerapkali menjumpai masalah dalam kehidupannya. Masalah itu bisa berupa masalah pribadi, sosial, karir, pendidikan, dan lain sebagainya. Pada titik ini, ada individu siswa yang bisa mengatasi masalahnya tanpa intervensi pihak lain. Di sisi lain, ada individu siswa yang membutuhkan intervensi pihak lain untuk menyelesaikan masalahnya.

Terkait perlunya intervensi pihak lain dalam upaya mengatasi masalah individu siswa, keberadaan BK di sekolah menemukan fungsi dan perannya. BK, papar Eti Nurhayati (2011), adalah ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Artinya, BK memang berupaya membantu individu siswa mengatasi masalahnya, namun BK juga berfungsi melakukan usaha preventif agar individu siswa terhindar dari masalah.

Menurut Dedi Supriadi (2004: 209-210), ada beberapa alasan mengenai pentingnya layanan BK di sekolah. Pertama, perbedaan antara individu. Setiap siswa mempunyai perbedaan antara satu dengan lainnya, di samping persamaannya. Perbedaan menyangkut kapasitas intelektual, keterampilan (skills), motivasi, persepsi, sikap, kemampuan, minat, dan lain-lain. Kedua, siswa-siswa menghadapi masalah-masalah dalam pendidikan. Masalah-masalah tersebut bisa masalah-masalah pribadi, hubungan dengan orang lain (guru, teman), masalah kesulitan belajar, dan lain-lain. Dalam penyelesaiannya seringkali tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk berdialog. Orang lain maksudnya adalah orang yang mau mengerti diri siswa dan mengetahui cara penyelesaiannya. Dalam setting sekolah, konselor adalah orang yang dituntut untuk dapat memberikan bantuan tersebut.

Ketiga, masalah belajar. Siswa datang ke sekolah dengan harapan agar bisa mengikuti pendidikan dengan baik. Tidak selamanya demikian. Ada berbagai masalah yang mereka hadapi, bersumber dari stress karena tugas-tugas, ketidakmampuan mengerjakan tugas, keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, ingat kepada keluarga (homesick), persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual yang kurang, motivasi belajar yang lemah, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut tidak selalu diselesaikan dalam setting belajar-mengajar di kelas, melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh konselor melalui konsultasi pribadi.

Ditinjau lebih jauh, banyak hal yang sebenarnya perlu digarap guru BK di sekolah. Pembentukan konsep diri siswa perlu dilakukan. Bagaimana pun, perbedaan-perbedaan individu (individual differences) antara siswa satu dengan siswa yang lain tak terhindarkan. Siswa dengan konsep diri yang baik dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Adakanya siswa merasa rendah diri dengan bentuk fisik atau faktor lainnya, sehingga menghambat pencapaian tujuan belajarnya. Melihat nilai mata pelajarannya rendah dibandingkan siswa-siswa lainnya, ada siswa yang patah semangat dan kehilangan motivasi sehingga malas berangkat ke sekolah. Guru BK berkepentingan membangun konsep diri siswa, sehingga tak menyebabkan siswa memiliki masalah di kemudian hari. Jika siswa memiliki masalah, guru BK melakukan upaya identifikasi untuk membantu siswa menyelesaikan masalahnya secara tepat.

Tak bisa dimungkiri apabila persoalan-persoalan siswa cukup kompleks. Masalah yang dialami siswa memiliki kompleksitas tersendiri yang tak mungkin dihadapi dengan metode yang sama. Siswa bukan individu yang terpisah dari lingkungan. Permasalahan siswa dimungkinkan akibat faktor lingkungan, seperti lingkungan teman sebaya, keluarga, dan masyarakat. Terpaan arus informasi dan media massa yang kurang positif juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian siswa. Maka, tantangan yang dihadapi guru BK tidaklah ringan. Kasus kenakalan siswa seperti penggunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seks bebas perlu juga mendapatkan fokus tersendiri oleh guru BK di sekolah.

Terkait stigma guru BK sebagai polisi sekolah dimungkinkan akibat keberadaan guru BK di sekolah yang tidak diberikan tugas sebagaimana fungsinya. Hal ini karena kekurangpahaman pihak sekolah atau kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan terkait fungsi BK di sekolah. Di sisi lain, wajah cerah guru BK bukannya tak ada. Ada sekolah yang mengalokasikan jam khusus bagi guru BK untuk memberikan layanan kepada siswa secara klasikal di kelas. Di sekolah, ruangan BK semestinya representatif untuk pelaksanan tugas guru BK. Interaksi guru BK dengan siswa selayaknya bersahabat, sehingga siswa merasakan kenyamanan berkomunikasi atau mengungkapkan masalahnya. Kompetensi dan profesionalisme guru BK perlu ditingkatkan agar dapat melaksanakan layanan secara baik.

Sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah, BK memiliki peranan penting. BK bertujuan membantu siswa mengenal dan memahami dirinya, menerima dan mengarahkan dirinya, dan dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai potensi dan kemampuan objektifnya. Guru BK bisa memprogramkan layanan untuk membangun motivasi dan kepercayaan diri siswa dalam mewujudkan keberhasilan meraih cita-citanya. Kondisi siswa yang telah baik perlu juga dipelihara dan dijaga, bahkan dikembangkan lebih baik lagi. Dengan layanan BK di sekolah, siswa harapannya dapat menemukan makna dalam dirinya sebagai individu manusia yang berharga untuk menjalankan kehidupan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO, pemerhati pendidikan pada Universitas PGRI Yogyakarta

Perempuan dengan Jantung Berkatup Platina

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu
4 Desember 2011

Judul Buku: Hingga Detak Jantungku Berhenti Penulis: Nurul F. Huda Penerbit: Jendela, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: 272 halaman

Buku ini menarik disimak. Nurul F. Huda mengisahkan sendiri jalan hidupnya yang harus menderita penyakit kelainan jantung. Perempuan yang pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menerima kelainan jantungnya sebagai ujian dari Sang Maha Kuasa. Jika awalnya ia mempertanyakan nasibnya, itu manusiawi. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mampu ikhlas dan memantapkan kesabaran. Ia tegar dan tabah menghadapi kelainan jantungnya sejak kelas 5 SD. Perawatan medis dan ikhtiar pengobatan pun dilakukan. Kedua orangtuanya telah menjadi sosok yang mendorong dan menguatkan dirinya.

Perempuan yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, ini bisa dikatakan sebagai salah satu dari banyak perempuan yang tak sudi menyerah dan putus asa. Ia jalani takdir hidupnya dengan penerimaan total. Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta menjadi salah satu saksi pemeriksaan penyakitnya. Saat duduk di kelas 2 SMP, ia akhirnya menjalani operasi di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Katup jantungnya yang bermasalah diganti dengan katup platina.

Membaca buku ini, rasa haru mungkin kita rasakan. Lebih dari itu, kita bisa menyaksikan arti dari perjuangan hidup yang sesungguhnya. Meskipun kondisi fisik tak lagi normal, Nurul F. Huda tetap menjalankan aktivitas dan berkehendak kuat memberikan kontribusi bagi kehidupan. Studinya berjalan lancar, kegiatan di kampus maupun sosial tetap ia lakukan. Ia menikah dan memiliki dua anak. Dengan kelainan jantung yang dihadapi, ia berhasil melahirkan kedua anaknya dalam keadaan normal.

Nurul F. Huda merupakan seorang penulis yang produktif berkarya. Buku yang ditulisnya ada puluhan lebih. Pada 18 Mei 2011, Allah SWT telah memanggilnya. Di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, Allah SWT telah menghentikan detak jantungnya. Membaca buku ini, semoga kita bisa mensyukuri seperti apapun kesehatan dan fisik kita dengan tetap berkarya dalam bingkai kebaikan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta