Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Karya, Kamis 21 Oktober 2010
Dalam masa penjajahan kolonial Belanda, kita mengenal satu sosok bernama Douwes Dekker. Ia lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tahun 1879, dengan nama lengkap: Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Pada 25 Desember 1912, ia mendirikan sebuah organisasi Indische Partij bersama beberapa kawannya.
Ada catatan menarik mengenai jejak pers Douwes Dekker. Jika selama ini kita mengenal sebuah terbitan De Express yang dikelola Douwes Dekker, maka sebelumnya Douwes Dekker telah menerbitkan sebuah surat kabar berbentuk majalah. Catatan menarik ini dipaparkan Rosihan Anwar dalam buku berjudul Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cetakan I Juli 2009). Dengan referensi buku karya Kees van Dijk berjudul The Netherlands Indies and the Great War, 1914-1918 (KITLV Press, Leiden 2007), Rosihan Anwar memaparkan bahwa Douwes Dekker mendirikan majalah yang terbit dua kali sebulan pada tahun 1911 di Bandung. Majalah itu diberi nama Het Tijschrift. Setahun berikutnya didirikan surat kabar harian De Express.
Dalam Het Tijschrift dan De Express, Douwes Dekker menyebarkan gagasan politiknya yang militan, menyerukan oposisi aktif melawan ketidakbecusan masyarakat kolonial. Tulisannya berisi hal-hal yang menggusarkan pemerintahan kolonial Belanda. Dalam Het Tijschrift (Februari 1913), Douwes Dekker mengatakan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme merupakan suatu kewajiban moral. Suatu pemerintah kolonial harus ditentang. Betapa pun ramahnya wajah yang diperlihatkannya, kolonialisme tetap merupakan suatu sistem berdasarkan ketidaksamaan keadaan di mana mereka yang lahir sebagai penguasa tidak akan pernah mau menyerahkan hak-hak istimewanya (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cetakan I Juli 2009), hlm. 28).
Dari paparan di atas, Douwes Dekker bisa dikatakan sebagai salah satu tokoh yang menggunakan Het Tijschrift dan De Express sebagai alat perjuangan. Pada masa pergerakan nasional, pers memang telah menjadi senjata mewujudkan kesadaran nasional dan kemerdekaan. Douwes Dekker merupakan saudara sepupu dari Multatuli, pengarang novel Max Havelaar. Pada masa Indonesia merdeka, ia berganti nama menjadi Dr. Danudirdjo Setiabudhi. Ia pernah menjadi menteri negara pada masa kabinet Amir Sjarifoeddin (1947) di zaman Soekarno. Douwes Dekker meninggal dunia pada 28 Agustus 1950. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta
Karangmalang Yogyakarta 55281