Membaca Wajah Kita di Jalan Raya

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi Harian Jogja, Jum'at, 16 Juli 2010

JALAN RAYA adalah tanda yang menegaskan keberadaan manusia. Di jalan raya, setiap manusia memperlengkap biografinya. Membaca budaya manusia yang membentuk budaya masyarakat, jalan raya menjadi cermin bening untuk mengaca. Tak perlu menelaah berlembar-lembar halaman “ensiklopedi manusia” untuk melihat kepribadiannya. Cukuplah melihat jalan raya karena jalan raya merupakan berlembar-lembar halaman yang (telah) menampakkan wajah manusia berbudaya sekaligus manusia krisis budaya.

Makna yang tecermin di jalan raya menyuguhkan keprihatinan ketika hiruk-pikuk manusia sekadar memenuhi kepentingannya. Setiap manusia memang menunaikan hajat selamat sampai tujuan, namun kepentingan hajat itu sering kali tak mengindahkan eksistensi manusia lainnya. Jalan raya yang merupakan milik umum dijadikan tempat pribadi untuk sebebasnya menunjukkan arogansi. Multitanda jalan raya adalah individualisme yang hanya menghendaki keselamatan diri. Ketidakpedulian terhadap keselamatan jama’ah pengguna jalan raya telah banyak menggoreskan kisah kecelakaan yang menimbulkan tragedi. Siapa pun boleh menyebut kecelakaan adalah takdir, namun mengapa tidak menjemput takdir: keselamatan jama’ah di jalan raya?

Multitanda di jalan raya telah merekam individualisme manusia. Beragam hal hadir di jalan raya untuk menyesaki biografi manusia terkait lenyapnya kesabaran. Klakson-klakson bersahutan di tengah nyala hijau seolah-olah menjadi peraturan. Agar tidak lagi terjebak lampu merah, pengendara di belakang menganggap pengendara di depannya buta warna! Tak menjadi soal jika bunyi klakson adalah alunan merdu yang menenangkan kegelisahan jiwa manusia. Namun, alunan musik klakson tanpa disadari justru tidak diterima detak jantung pengendara di depannya. Membaca jalan raya adalah membaca minimnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia lainnya. Meskipun telah meniti zebra cross, pengendara tak sudi mempersilakan penyeberang jalan. Dengan kecepatan yang tentu tak sebanding, kendaraan roda empat mendesak kendaraan roda dua untuk selekasnya berjalan.

Jalan raya memang menghadirkan ironi. Setiap manusia sebebasnya melanggar peraturan. Peraturan dilanggar selaras isi kepala. Tak peduli bersliweran tanpa helm jika kepala tak nyaman, padahal helm tak mengenal nama jalan. Bukankah di jalan mana pun tak ada anjuran: lepaskan helm dan biarkan rambutmu berkibar? Meskipun mampu menghindar dari operasi polisi, pun tak ada anjuran tak perlu membawa “ surat jalan”. Jalan raya memang tanda minimnya ketertiban. Tak peduli marka jalan asal kendaraan bisa melaju kencang. Jalan raya pun dijadikan sirkuit balap yang sejatinya tidaklah memesona. Di jalan raya, manusia seolah-olah enggan melengkapi biografinya dengan kedisiplinan.

Jalan raya juga tanda kemelaratan, bahkan mungkin ketidakberdayaan. Di setiap sudut jalan, anak-anak jalanan berjejal mengais iba. Di tengah jerit pengemis dan gelandangan, ada kesenjangan yang diperlihatkan secara terang di jalan raya ketika kendaraan-kendaraan mewah berlalu-lalang. Jalan raya adalah cermin belum mampunya penguasa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan!

Multitanda di jalan raya adalah nyata. Jalan raya telah menjadi saksi perjalanan manusia yang krisis budaya. Jalan raya sebagai ruang budaya yang kasatmata tidak menyembunyikan sikap dan perilaku manusia. Memang ada perilaku positif di jalan raya, namun pesan krisis budaya di jalan raya tentu menyeruakkan keprihatinan. Selain di atas, perilaku negatif di jalan raya adalah menjadikan jalan raya sebagai tempat sampah! Membaca hiruk-pikuk manusia di jalan raya terdapat catatan budaya nyampah. Manusia sebagai pengguna jalan raya menjadikan jalan raya untuk membuang sampah.

Cobalah lihat, dari kaca bus atau mobil, sisa makanan dan minuman dilempar keluar begitu saja. Dari pengguna kendaraan roda dua sampai roda empat telah meninggalkan sampah-sampah di jalan raya. Sisa makanan dan minuman sering kali keluar dari kaca bus. Pengendara yang suka menghisap rokok membuang sisa puntungnya di jalan raya. Botol air mineral dilempar begitu saja dari jendela mobil. Biar jalan raya kotor, kulit jeruk dibuang seenaknya asalkan mobil tetap bersih. Membuang sampah sembarangan adalah perilaku nyampah. Bungkus permen, kulit pisang, botol air mineral, kertas tak terpakai atau pun plastik bekas telah memberi tanda sulitnya manusia menjaga kebersihan.

Tak hanya pengendara, pejalan kaki pun sering kali menjadikan jalan raya sebagai tempat sampah. Perilaku nyampah di jalan raya tanpa disadari telah menjadi perilaku kita. Banyak dari kita membuang sampah seenaknya di jalan raya. Ketika berjalan di trotoar, bungkusan makanan dibuang begitu saja. Berjalan sambil merokok, puntung tidak dibuang di tempat sampah. Masyarakat pun sulit menjaga kebersihan jalan raya. Sampah-sampah dibiarkan berserakan di pinggir jalan raya, bahkan ada yang membuang bangkai tikus di tengah jalan raya.

Meskipun tampak sepele, perilaku membuang sampah di jalan raya menandakan karakter dan perilaku buruk. Membuang sampah di jalan raya tidaklah tepat. Sampah sekecil apa pun tetap saja sampah yang mengurangi kebersihan jalan raya. Jalan raya akan kotor meskipun hanya sampah-sampah kecil yang dibuang. Bungkus permen, kulit pisang, botol air mineral, kertas tak terpakai ataupun plastik bekas tak selayaknya dibuang begitu saja mengotori jalan raya. Jalan raya harus tetap dijaga kebersihannya.

Becermin pada jalan raya, siapa pun akan menemukan sisi buram kehidupan. Krisis budaya di jalan raya telah menggambarkan krisis budaya di ruang-ruang kehidupan lainnya. Tanpa mereportase sepak terjang anggota dewan, siapa pun bisa menyaksikan wajah parlemen di jalan raya. Apa yang terjadi di jalan raya adalah cermin yang terjadi di birokrasi kekuasaan. Tak berjalannya fungsi kekuasaan politik, lihatlah fenomena di jalan raya. Wajah jalan raya adalah wajah masyarakat, wajah kekuasaan, wajah masing-masing diri kita! Becermin pada jalan raya, saatnya kita memperbaiki diri. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY