Frustrasi Masyarakat Picu Kekerasan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa "Budaya Kekerasan dalam Masyarakat" Harian Seputar Indonesia, Senin 2 Maret 2009
KEKERASAN identik dengan miskinnya empati dan minimnya penghargaan terhadap kemanusiaan. Disadari atau tidak, perilaku kekerasan telah menggejala di negeri ini. Kekerasan terasa memuncak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bangsa yang dikenal beradab ini telah berubah wajah menjadi bangsa yang beringas. Kita pun harus mengakui jika perilaku kekerasan telah menjadi budaya yang jelas sangat memprihatinkan.
Terkait perilaku kekerasan, kasus yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat beberapa waktu silam bisa menjadi salah satu contoh. Selain itu, perilaku kekerasan bisa kita jumpai dimana-mana, termasuk di bangku pendidikan formal. Kita lihat saja perkelahian antarpelajar yang sering kali mencuat, bahkan ada oknum guru yang menghalalkan kekerasan. Pun, kekerasan yang dipicu pertentangan kepentingan politik sering kali menghiasi wajah negeri ini. Tidak hanya di ruang publik, kekerasan juga merambah di ruang privat kehidupan masyarakat. Sebut saja kekerasan dalam rumah tangga yang tak dimungkiri ibarat gunung es dimana tidak seluruh kasusnya terungkap.

Dengan fakta maraknya perilaku kekerasan, kita tentu saja perlu memperbaiki wajah bangsa ini agar kekerasan tidak menjadi budaya permanen. Memang sering kali dikatakan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia, namun bukanlah dalil untuk melegalkan budaya kekerasan. Kekerasan justru menjadi lawan dari proses membentuk masyarakat yang berperadaban. Agama pun diturunkan agar tercipta kehidupan yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dicari akar dari kekerasan, maka beragam perspektif bisa muncul. Kesimpulan sederhana yang sering kali didengungkan adalah hilangnya nurani dan runtuhnya moralitas masyarakat. Di sisi lain, ada faktor lain yang sering kali dilupakan, yakni penderitaan kehidupan masyarakat. Maksudnya, kehidupan masyarakat yang jauh dari taraf hidup selayaknya berpotensi memunculkan perilaku kekerasan. I Made Rustika (2006) mengatakan bahwa kekerasan berkaitan dengan frustrasi. Frustasi yang diakibatkan dari lebarnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan dimungkinkan membentuk perilaku kekerasan. Kemiskinan, misalnya, bisa menjadikan masyarakat berbuat kekerasan karena mengalami titik frustasi menghadapi tekanan kebutuhan hidup.
Lebih memilukan lagi, frustasi masyarakat bertambah besar dengan melihat tingkah laku elite pejabat yang korup dan abai memperhatikan kemaslahatan masyarakat. Diakui atau tidak, kemiskinan dan kelaparan merupakan dampak dari kekerasan sebagian elite pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Maka, selain pendidikan moral dan karakter, kehidupan masyarakat yang terjamin merupakan salah satu upaya mengatasi budaya kekerasan dalam masyarakat. Wallahu a’lam.(*)
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/217650/