Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Selasa 20 September 2011
Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana mengembalikan harkat dan martabat bangsa. Lewat pendidikanlah kita bisa membangun bangsa dan negara untuk menjadi lebih maju. Tentu saja pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat, yang mengutamakan proses ketimbang berorientasi hasil semata, dan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim (Femi Adi Soempeno, 2009).
Dari apa yang diungkapkan Sri Sultan HB X itu terdapat tiga poin yang setidaknya bisa kita cermati. Pertama, pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat. Kedua, pendidikan yang mengutamakan proses ketimbang berorientasi hasil semata. Ketiga, pendidikan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim.
Pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat erat kaitannya dengan pemerataan pendidikan. Siapa pun masyarakat tanpa terkecuali memang memiliki hak untuk mengenyam pendidikan (formal). Di lain pihak, negara berkewajiban menjamin setiap masyarakat mampu memperoleh pendidikan secara layak. Hal ini telah dijelaskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20/2003 Bab IV Pasal 5. Adapun bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hak masyarakat mendapatkan pendidikan juga diperuntukkan bagi warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil dengan pendidikan layanan khusus. Siapa pun yang menjadi warga negara di negeri ini berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Tak kalah penting adalah pemerataan kesempatan pendidikan harus dibarengi dengan pendidikan yang berkualitas.
Terkait kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara tentu masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Akses pendidikan dasar 9 tahun, misalnya, belum sepenuhnya dirasakan setiap warga negara. Data menyebutkan hanya 13 provinsi yang angka pencapaiannya 95% ke atas dan sebanyak 17 provinsi yang angka pencapaiannya kurang dari 80% (Departemen Pendidikan Nasional, 2007). Untuk Jogjakarta, angka pencapaiannya sudah 111,7% di bawah DKI Jakarta sekitar 112,45%. Dari data yang terpapar, pemerintah memang perlu bekerja lebih keras lagi mewujudkan akses pendidikan (dasar) untuk semua warga negara. Masih adanya masyarakat yang buta aksara di negeri ini juga akibat dari belum teraksesnya pendidikan dasar secara merata. Di sisi lain, akses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembiayaan. Harus diakui jika tidak sepenuhnya warga negara di negeri ini mampu menjangkau pembiayaan pendidikan yang terkadang tidak sebanding dengan tingkat pendapatannya. Sampai kini persoalan kapitalisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan masih menjadi polemik yang justru membahayakan akses warga negara terhadap pendidikan.
Berikutnya adalah poin kedua mengenai pendidikan yang menghargai proses. Disadari atau tidak, pendidikan di negeri ini mulai mengarah pada pendewaan angka kuantitatif. Ujian nasional, misalnya, sedikit banyak mereduksi proses pendidikan. Mungkin bukan ujian nasional yang disalahkan, tapi stake holder pendidikan yang salah menyikapi ujian nasional sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Perilaku menjelang ujian nasional yang dipertanyakan banyak pihak dilanggengkan sehingga menjadi tradisi. Padahal jelas, pendidikan adalah upaya membangun manusia dengan segala potensinya tanpa melupakan proses. Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 pun ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Disebabkan berburu angka-angka, pendidikan karakter kadang kala terlupakan.
Poin terakhir adalah pendidikan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim. Apa yang disampaikan Sri Sultan HB X tentang konsep negara maritim tentu selalu kita dengar. Menurut Sri Sultan HB X, strategi maritim didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia dikelilingi laut. Entah mengapa kenyataan ini tidak diperhatikan, sehingga potensi kelautan belum didayagunakan secara maksimal untuk menopang kejayaan Indonesia. Terkait dengan pendidikan, kurikulum memang seharusnya diupayakan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Diversifikasi kurikulum menjadi hal penting karena setiap daerah di negeri ini memiliki potensi yang beraneka ragam.
Pungkasnya, tiga poin yang pernah disampaikan Sri Sultan HB X itu setidaknya bisa menjadi refleksi kita terkait dunia pendidikan di negeri ini. Wallahu a’lam.