Pendidikan dalam Pandangan Sri Sultan HB X

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Selasa 20 September 2011

Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana mengembalikan harkat dan martabat bangsa. Lewat pendidikanlah kita bisa membangun bangsa dan negara untuk menjadi lebih maju. Tentu saja pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat, yang mengutamakan proses ketimbang berorientasi hasil semata, dan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim (Femi Adi Soempeno, 2009).

Dari apa yang diungkapkan Sri Sultan HB X itu terdapat tiga poin yang setidaknya bisa kita cermati. Pertama, pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat. Kedua, pendidikan yang mengutamakan proses ketimbang berorientasi hasil semata. Ketiga, pendidikan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim.

Pendidikan yang mudah diakses oleh masyarakat erat kaitannya dengan pemerataan pendidikan. Siapa pun masyarakat tanpa terkecuali memang memiliki hak untuk mengenyam pendidikan (formal). Di lain pihak, negara berkewajiban menjamin setiap masyarakat mampu memperoleh pendidikan secara layak. Hal ini telah dijelaskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20/2003 Bab IV Pasal 5. Adapun bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hak masyarakat mendapatkan pendidikan juga diperuntukkan bagi warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil dengan pendidikan layanan khusus. Siapa pun yang menjadi warga negara di negeri ini berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Tak kalah penting adalah pemerataan kesempatan pendidikan harus dibarengi dengan pendidikan yang berkualitas.

Terkait kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap warga negara tentu masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Akses pendidikan dasar 9 tahun, misalnya, belum sepenuhnya dirasakan setiap warga negara. Data menyebutkan hanya 13 provinsi yang angka pencapaiannya 95% ke atas dan sebanyak 17 provinsi yang angka pencapaiannya kurang dari 80% (Departemen Pendidikan Nasional, 2007). Untuk Jogjakarta, angka pencapaiannya sudah 111,7% di bawah DKI Jakarta sekitar 112,45%. Dari data yang terpapar, pemerintah memang perlu bekerja lebih keras lagi mewujudkan akses pendidikan (dasar) untuk semua warga negara. Masih adanya masyarakat yang buta aksara di negeri ini juga akibat dari belum teraksesnya pendidikan dasar secara merata. Di sisi lain, akses pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembiayaan. Harus diakui jika tidak sepenuhnya warga negara di negeri ini mampu menjangkau pembiayaan pendidikan yang terkadang tidak sebanding dengan tingkat pendapatannya. Sampai kini persoalan kapitalisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan masih menjadi polemik yang justru membahayakan akses warga negara terhadap pendidikan.

Berikutnya adalah poin kedua mengenai pendidikan yang menghargai proses. Disadari atau tidak, pendidikan di negeri ini mulai mengarah pada pendewaan angka kuantitatif. Ujian nasional, misalnya, sedikit banyak mereduksi proses pendidikan. Mungkin bukan ujian nasional yang disalahkan, tapi stake holder pendidikan yang salah menyikapi ujian nasional sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Perilaku menjelang ujian nasional yang dipertanyakan banyak pihak dilanggengkan sehingga menjadi tradisi. Padahal jelas, pendidikan adalah upaya membangun manusia dengan segala potensinya tanpa melupakan proses. Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 pun ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Disebabkan berburu angka-angka, pendidikan karakter kadang kala terlupakan.

Poin terakhir adalah pendidikan yang memiliki karakter kebangsaan kita sebagai bangsa maritim. Apa yang disampaikan Sri Sultan HB X tentang konsep negara maritim tentu selalu kita dengar. Menurut Sri Sultan HB X, strategi maritim didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia dikelilingi laut. Entah mengapa kenyataan ini tidak diperhatikan, sehingga potensi kelautan belum didayagunakan secara maksimal untuk menopang kejayaan Indonesia. Terkait dengan pendidikan, kurikulum memang seharusnya diupayakan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Diversifikasi kurikulum menjadi hal penting karena setiap daerah di negeri ini memiliki potensi yang beraneka ragam.

Pungkasnya, tiga poin yang pernah disampaikan Sri Sultan HB X itu setidaknya bisa menjadi refleksi kita terkait dunia pendidikan di negeri ini. Wallahu a’lam.

Galakkan Kampanye Intelektual

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa HARIAN JOGJA, Selasa 20 September 2011

Kampanye pemilihan walikota-wakil walikota Jogja terus menggeliat. Hampir dapat dipastikan apabila Zuhrif Hudaya-Aulia Reza, Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji, dan Haryadi Suyuti-Imam Priyono sebagai tiga pasangan calon berkehendak menduduki kursi puncak pemerintahan kota Jogja. Masing-masing pasangan calon mengklaim visi dan misinya paling tepat membawa Jogja lebih baik lima tahun mendatang.

Untuk dapat terpilih, tiga pasangan calon tersebut pastinya akan berupaya maksimal menggaet massa pemilih. Tak hanya memajang gambar dan propaganda di ruang publik, beragam metode kampanye lainnya juga dilancarkan. Blusukan kampung dilakukan agar dapat dekat dengan masyarakat. Dengan alasan serupa, beragam kegiatan sosial dijadikan siasat tersendiri. Tak bisa dimungkiri jika persoalan kesejahteraan merupakan isu sensitif, maka pasangan calon tak lupa mewacanakan program kesejahteraan di tengah masyarakat.

Pertanyaannya, benarkah kampanye yang dilakukan itu mampu memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat? Benarkah yang disuarakan oleh masing-masing pasangan calon saat kampanye akan ditepati ketika kekuasaan tergenggam? Jawabannya tentu tak mudah. Dalam hal ini, masyarakat pemilih dituntut kritis dan tak begitu saja terpikat oleh bujuk rayu para pasangan calon. Tak mungkin bagi pasangan calon mengkampanyekan dirinya negatif. Siapa pun pasangan calon tentu akan mencitrakan diri layak dipilih.

Jika berpikir jernih, upaya mewujudkan Jogja lebih baik memang harus dilakukan siapa pun yang kelak memimpin kota ini. Masing-masing pasangan calon harus menyadari bahwa menyejahterakan kehidupan warga Jogja adalah tugas dan kewajibannya. Memajukan bidang pendidikan dan kesehatan maupun bidang lainnya tak bisa ditawar lagi harus menjadi agenda pemerintahan ke depan.

Maka, adu visi, misi, konsep, dan stategi membangun kota Jogja ke depan menjadi keniscayaan. Kampanye dengan mengedepankan laku intelektual perlu digalakkan. Kampanye model ini tak hanya debat antar-pasangan calon yang kerapkali sekadar ingin saling menjatuhkan. Ada baiknya diadakan diskusi atau seminar secara terbuka di depan publik dengan menghadirkan para ahli dari pelbagai bidang. Para ahli seperti pakar pendidikan, pakar kesehatan, budayawan, pakar ekonomi, ahli tata kota, dan ahli lainnya meninjau dan mengkritisi visi, misi, konsep, dan strategi masing-masing pasangan calon. Pasangan calon tentu tak bisa berdalih tak menguasai segenap bidang, karena sebagai pemimpin semestinya memiliki kapasitas dan kecerdasan yang mumpuni. Bukankah walikota-wakil walikota memimpin sebuah pemerintahan kota dengan berbagai bidang yang harus digarap?

Di sisi lain, pasangan calon diharapkan bisa menjabarkan visi, misi, konsep, dan strategi mengelola dan membangun kota Jogja secara lebih rinci dan jelas lewat tulisan. Tak ada salahnya apabila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bekerja sama dengan pihak media massa untuk memberi ruang mempublikasikan tulisan dari masing-masing pasangan calon.

Kampanye dengan laku intelektual tentu lebih mencerdaskan. Masyarakat Jogja bisa mengetahui penguasaan konsep dan strategi membangun dan mengelola kota Jogja dari calon pemimpinnya. Keruntutan berpikir dalam memaparkan persoalan dan solusi pemecahannya bisa dibaca dan disaksikan. Hal ini berbeda dengan kampanye oral yang kerapkali hanya meninabobokan masyarakat lewat kefasihan bermulut manis. Namun, kampanye secara intelektual tampaknya masih menjadi idaman. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pembelajar di UPY Yogyakarta

Rendahnya Jiwa Kewirausahaan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Senin 19 September 2011

Kini kewirausahaan terus diwacanakan dan digalakkan. Bahkan, mata kuliah kewirausahaan mulai diwajibkan dan diprogramkan Direktoral Jenderal Perguruan Tinggi Depdiknas untuk diajarkan di perguruan tinggi pada setiap jurusan/program studi. Adanya berbagai upaya membangun jiwa kewirausahaan tentu layaklah diapresiasi. Diakui atau tidak, jiwa kewirausahaan masyarakat Indonesia masih belum begitu menggembirakan. Paradigma dan kecenderungan bahwa bekerja harus menjadi pegawai diakui relatif kuat tertanam di benak masyarakat.

Padahal, sebagaimana dikatakan Siti Maisaroh, S.E, M.Pd, Jum’at (16/9), bekerja itu tak harus menjadi pegawai. Dosen Universitas PGRI Yogyakarta itu mengatakan tak semua orang berani untuk terjun berwirausaha bisa dikarenakan takut mengambil risiko. Di sisi lain, ada pula orang tak mau dan malas berwirausaha karena gengsi atau prestise. Dibandingkan dengan Amerika Serikat malah orang yang berwirausaha di Indonesia masih terbilang sedikit. Data menunjukkan bahwa di Amerika Serikat ada sekitar 70% orang berwirausaha.

Untuk dapat berwirausaha dan meraih keberhasilan, setiap orang memang dituntut tidak main-main. Modal intelektual, modal sosial dan moral, modal mental, dan modal material diperlukan dalam berwirausaha. Namun, Siti Maisaroh, S.E, M.Pd mengatakan bahwa berwirausaha tak selalu harus memiliki modal material. Tanpa modal material berupa uang, orang bisa juga berwirausaha. Perencanaan dan strategi yang tepat dan matang pastinya diperlukan. Orang yang berwirausaha juga harus kreatif dan inovatif. Tak kalah penting, kecerdasan membaca dan menciptakan peluang menjadi niscaya. Berwirausaha itu bisa dipelajari dan dilatih. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Karangmalang Yogyakarta 55281

Syawalan di Sonopakis Lor

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Harjo Forum HARIAN JOGJA, Sabtu 17 September 2011

Tradisi syawalan menjadi rutinitas kegiatan di bulan Syawal. Kegiatan ini selalu dilaksanakan setelah sebulan berpuasa Ramadan, baik di komunitas-komunitas, di instansi pemerintahan, di lembaga/organisasi maupun di kampung-kampung. Dalam kegiatan syawalan terdapat kearifan untuk saling maaf-memaafkan.

Tak jauh berbeda di kampung-kampung lainnya, kegiatan syawalan juga diselenggarakan di Sonopakis Lor RT 02, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Senin (12/9). Bertempat di halaman rumah Bapak Giantara, S.Pd, kegiatan syawalan ini dihadiri oleh warga masyarakat, kegiatan syawalan diisi pengajian oleh Ustadz M. Adnan dari Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Hadir juga dalam kegiatan syawalan ini Ketua RT 02 Sonopakis Lor dan Kepala Dukuh IX Sonopakis Lor.

Dalam tausiyahnya, Ustadz M. Adnan mencoba menjelaskan tentang makna Idul Fitri, lebaran, syawalan, dan halal bil halal. Setelah digembleng sebulan penuh puasa, kita semestinya menjadi lebih baik. Kita kembali ke fitri, bersih dari dosa. Dosa-dosa kita kepada Allah Swt insya Allah mendapatkan pengampunan dari Allah Swt. Syawal yang artinya peningkatan menghendaki siapa pun meningkat iman dan takwanya kepada Allah Swt. Dalam konteks hubungan sosial, kita kadangkala juga berbuat salah dan khilaf. Kita memang seharusnya meminta maaf kepada sesama atas kesalahan-kesalahan kita. Memohon ampun kepada Allah Swt dan meminta maaf kepada sesama merupakan satu rangkaian yang tak bisa ditinggalkan.


Dengan penuh perhatian, warga masyarakat Sonopakis Lor RT 02 mendengarkan uraian menarik dari Ustadz M. Adnan. Ditekankan agar siapa pun bisa membina hubungan baik secara sosial. Hidup tanpa rasa benci dan dendam tentu lebih nyaman. Dalam kesempatan ini, Ustadz M. Adnan juga berbicara tentang takdir kematian. Siapa pun kita pasti akan mati. Adapun bekal utama saat kematian adalah amal-amal shalih kita di dunia. Namun, amal yang banyak belum tentu menjamin akan mendapatkan kebaikan akhirat jika kita masih berperilaku zalim dan kurang terpuji terhadap sesama. Pahala dari amal-amal kita bisa lenyap untuk menebus kezaliman itu. Malah kita dimungkinkan menanggung dosa dan kesalahan sesama yang kita zalimi. Itu artinya kita mengalami kebangkrutan. Intinya, hubungan baik dengan Allah Swt dan sesama hendaknya bisa terus terpelihara.(HENDRA SUGIANTORO)

Becak, Wajah Jogja, dan Kemerdekaan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Resensi Buku HARIAN JOGJA, Kamis 15 September 2011

Judul Buku: The Becak Way: Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek Penulis: Harry van Yogya

Penerbit: Metagraf, Solo Cetakan: I, 2011 Tebal: xvi+184 halaman

Becak adalah salah satu wajah dari kota Yogyakarta. Pernyataan ini tak berlebihan mengingat eksistensi becak yang tak pudar ditelan zaman. Dibandingkan kota lainnya semisal Jakarta, becak di kota ini tetap bertahan di tengah munculnya moda transportasi lain. Jika selama ini kita melihat wajah becak hanya di jalan-jalan, maka buku ini bisa mengajak kita menyelami wajah becak lebih mendalam. Harry van Yogya adalah salah seorang tukang becak di kota ini. Tulisannya dalam buku ini sekiranya menarik untuk disimak.

Harry van Yogya memiliki nama asli Blasius Haryadi, berasal dari Bantul. Mas Harry, sapaan akrabnya, telah madhep mantep memilih becak sebagai jalan hidup. Mulai menarik becak sejak tahun 1990, ia tak kenal putus asa menekuni profesinya. Baginya, menjadi tukang becak berarti menjadi manusia merdeka. Ia bisa bebas mau mencari penumpang di mana saja dan bisa beristirahat kapan saja. Dengan menjadi tukang becak, ia bisa menjadi dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri, bukan atas tekanan dan kehendak orang lain (halaman. 1-2). Buku ini memang memuat kisah Mas Harry terkait pilihannya menjadi tukang becak. Namun, tak sekadar itu. Mas Harry juga menggambarkan keberadaan becak dan suka duka tukang becak secara lebih luas. Bahkan, kita bisa mendapatkan wawasan dan pengetahuan tentang becak dari Mas Harry.

Menurut Mas Herry, becak berasal dari bahasa Hokkien be chia’ yang berarti kereta kuda. Di Indonesia, ada dua jenis becak yang lazim digunakan, yakni becak dengan pengemudi di belakang yang biasanya ada di Pulau Jawa dan becak dengan pengemudi di samping yang banyak dijumpai di Pulau Sumatera. Pada era 1970 sampai 1980 dikenal dua pabrik becak terbesar di Yogyakarta, yakni Sinar Laut dan Pasti Jaya. Pada sekitar tahun 1960-an ada satu pembuat becak paling terkenal di Yogyakata bernama Siong Hong. Sebelum itu, pada era 1950-an, terdapat tiga toko pengusaha yang juga menjadi bengkel perakitan becak di Yogyakarta, yakni Lei Kiong, HBH, dan Rocket. Di era itu muncul juga usaha penyewaan becak pertama: Tetap Jaya. Tetap Jaya bisa dikatakan sebagai ‘cikal bakal’ becak yang merajai dunia perbecakan Yogyakarta era 1990-an (halaman 19-21).

Lewat buku ini, Mas Harry turut menyampaikan uneg-uneg dan gagasan tentang kemajuan pariwisata Yogyakarta. Kita bisa membaca konsepnya yang amat menakjubkan dalam bab bertajuk Nderek Ngangen-angen Pariwisata Yogyakarta. Salah satu usulnya, Mas Harry menyarankan jangan hanya Sego Segawe, tapi juga Bego Segawe. Dengan amat menarik, Mas Harry pun menawarkan konsep becak masa depan. Pastinya, ada hal-hal menarik lainnya yang dituliskan Mas Harry dalam buku ini. Selamat membaca.

HENDRA SUGIANTORO

Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta


Pelajar dan Perilaku Merokok

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Selasa 13 September 2011

PELAJAR merokok tentu memunculkan kegelisahan. Meskipun ada pelajar yang memiliki kesadaran menjauhi rokok, namun tidak seluruh pelajar menolak rokok. Fakta ini mengundang rasa keprihatinan mengingat pelajar sebagai generasi bangsa telah tergerogoti zat-zat berbahaya dari rokok. Lantas, bagaimana kita membaca fenomena ini?

Dengan jujur harus diakui bahwa perilaku merokok di kalangan pelajar di Yogyakarta relatif tinggi. Sekitar tiga tahun lalu, penelitian Quit Tobacco Indonesia secara random di beberapa SMP dan SMA di kota Yogyakarta menyebutkan sebanyak 60% siswa SMP/SMA menjadi perokok aktif. Yang memprihatinkan, 5-7% di antara perokok itu adalah siswa perempuan. Data tiga tahun ini masih bisa dijadikan acuan seberapa tinggi perilaku merokok di kalangan pelajar Yogyakarta, karena diasumsikan tidak ada penurunan signifikan.

Di telisik lebih jauh, perilaku pelajar merokok tidak terlepas dari pengaruh. Mengacu pada penelitian Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pengaruh orang dewasa ternyata lebih besar ketimbang pengaruh iklan rokok. Adapun usia rata-rata remaja di Yogyakarta merokok adalah 12 tahun lebih 6 bulan. Dari seluruh remaja di Yogyakarta, ada sekitar 29,1% remaja adalah perokok aktif. Disebutkan dalam penelitian lembaga itu pada 2008 bahwa sekitar 64,4% dari 400 responden yang terdiri dari anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun menghisap rokok karena meniru perilaku ayahnya. Ayah sebagai orang dewasa di lingkungan keluarga ternyata menyebabkan anak menghisap rokok.

Terkait perilaku merokok di kalangan pelajar, pengaruh orang dewasa tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada titik ini, kesadaran orang-orang dewasa menyelamatkan generasi bangsa dari ancaman dan bahaya rokok sangat begitu penting. Selain ayah, orang dewasa di lingkungan keluarga adalah ibu yang merokok. Ironisnya, pengaruh orangtua terhadap perilaku merokok anaknya seringkali tidak disadari. Adakalanya orangtua melarang anaknya merokok, tetapi tidak memberikan contoh perilaku tanpa rokok. Tentu saja, betapa beruntungnya anak yang di dalam rumah tidak menjumpai asap rokok mengebul karena orangtuanya tidak merokok. Di sisi lain, ada juga orangtua yang membiarkan anaknya merokok. Dalam hal ini, perilaku orangtua terutama ayah untuk tidak merokok diharapkan. Jika pun tidak bisa menghentikan merokok, seorang ayah minimal merokok di tempat yang jauh dari pandangan anak. Itu minimal, dan alangkah lebih baik jika ayah berhenti merokok. Selain memelihara dan menjaga kesehatan, ayah yang tidak merokok bisa menjadi teladan dan menyelamatkan anak dari bahaya merokok.

Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah ataupun pengaruh teman juga bisa mengakibatkan perilaku merokok pelajar. Di lingkungan sekolah, misalnya, ada beberapa sekolah yang menerapkan peraturan bersih dari asap rokok, namun tidak sedikit sekolah yang membiarkan guru merokok. Di sekolah yang tegas melarang merokok, tidak ada guru yang merokok di ruang guru sekali pun. Adanya guru yang merokok sedikit banyak juga mempengaruhi pelajar merokok. Maka, alangkah baiknya jika seluruh sekolah menerapkan peraturan secara tegas melarang guru menghisap rokok.

Terkait dengan lingkungan sekolah, hal yang tidak bisa diabaikan adalah lingkungan di luar sekolah. Biasanya pelajar-pelajar merokok saat jam istirahat. Pengamatan penulis menjumpai perilaku merokok pelajar dilakukan di warung-warung sekitar sekolah. Kontrol pihak sekolah terhadap warung-warung di sekitar sekolah selayaknya perlu dilakukan meskipun kadang kala ada pelajar yang mbeling. Dalam hal ini, peran guru Bimbingan dan Konseling (BK), misalnya, diharapkan untuk memberikan konsep diri yang jelas kepada para pelajar di sekolahnya. Guru BK perlu melakukan upaya pengenalan bahaya merokok dan pencegahannya.

Untuk menghilangkan perilaku merokok pelajar tentu saja tidak hanya tanggung jawab pihak keluarga dan pihak sekolah semata. Pemerintah Kota Yogyakarta setidaknya juga perlu merenung sejenak mengenai maraknya iklan-iklan rokok di ruang publik. Sungguh suatu ironi ketika menyaksikan kota Yogyakarta dipenuhi iklan-iklan rokok. Kita dapat menyaksikan dimanapun mata memandang selalu saja dijumpai iklan-iklan rokok terpajang dan bertebaran. Maka, perlu menjadi kesadaran bersama mengatasi perilaku merokok di kalangan pelajar di Yogyakarta. Sebagai kota pelajar dan pendidikan, Yogyakarta tentu malu jika pelajar-pelajarnya tidak mampu memberikan contoh dan keteladanan yang positif. Upaya mengatasi perilaku merokok di kalangan pelajar harus dilakukan segenap pihak dan perlu mendapatkan perhatian. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO, pembelajar di UPY)

Pancasila Menggugat Penguasa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at 9 September 2011

Negeri ini memiliki dasar negara Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara tentu melewati ideologisasi. Proses ideologisasi merupakan ikhtiar lumrah menanamkan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa. Pancasila pun dihindarkan dari pengkultusan tokoh ketika Bung Karno berseru dalam orasinya pada 24 September 1955, “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia.”

Apa yang dituturkan Bung Karno itu memang mengundang tafsir. Dalam rentang waktu kapankah penggalian Pancasila dalam bumi bangsa Indonesia? Entah apa maksud Bung Karno, Bung Karno menegaskan bahwa beliau bukan pencipta Pancasila, tetapi bangsa Indonesia. Dengan mengacu ungkapan Bung Karno, muncullah pertanyaan, apakah bangsa Indonesia yang menciptakan Pancasila telah benar-benar menjadikan Pancasila “hidup” dalam laju kehidupan bangsa?

Dalam perjalanan panjang negeri ini, Pancasila mengalami dinamika, bahkan tragedi. Pancasila dikatakan dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk. Di sisi lain, Pancasila menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni. Di masa lalu, istilah anti-Pancasila kerap terdengar untuk menyebut sosok atau sekelompok masyarakat yang beroposisi kritis terhadap kekuasaan. Tentu masih teringat dalam memori kolektif bangsa, di mana kekuasaan Orde Baru menetapkan adanya Hari Kesaktian Pancasila. Terkait istilah itu, alam bawah sadar bangsa bisa saja mempertanyakan “Pancasila Kok Sakti?”.

Bagaimana pun, Pancasila bukan nyawa bergerak. Justru manusialah yang menggerakkan Pancasila agar memiliki makna dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pada titik ini, manusia yang dimaksud lebih ditekankan kepada penguasa (baca: para penyelenggara negara). Dengan lima silanya, Pancasila perlu dilaksanakan para penyelenggara negara secara murni dan konsekuen—meminjam bahasa Orde Baru. Apakah Pancasila telah dilaksanakan secara murni dan konsekuen?

Ada kecenderungan Pancasila justru menggugat penguasa. Fakta kehidupan bisa menjadi bukti. Keadilan sosial, misalnya, masih jauh dari harapan ketika klaim pertumbuhan ekonomi ternyata tak merata, sehingga kesenjangan sosial tetap menganga. Keuangan Yang Maha Esa (bukan Ketuhanan Yang Maha Esa) menjadi paradigma, sehingga lebih mengabdi pada harta dan tahta. Para penyelenggara negara menciptakan dunianya sendiri untuk sekadar memenuhi kepentingan pragmatisnya. Menjadi penyelenggara negara bertindak tidak mengorientasikan kemaslahatan bangsa sebagai tujuan utama. Negeri yang dihuni berjuta penduduk ini seolah-olah malah telah dijadikan “kerajaan” di mana masyarakat dipaksa sebagai pelayannya. Negeri Indonesia seolah-olah bukan milik bersama, tapi hanya milik segelintir elite yang menggunakan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan demi kemakmuran orang-orang yang berada dalam lingkarannya

Sederet fakta miris kondisi kehidupan bangsa tentu bukan amunisi kritik terhadap Pancasila. Pancasila tidak perlu dikritik. Dalam hal ini, aktualisasi Pancasila perlu dilakukan. Pancasila perlu diaktualkan dalam kehidupan bangsa. Dikatakan Kuntowijoyo (1997), Pancasila sebagai ideologi dituntut tetap pada jati dirinya, baik ke dalam (intrinsik) maupun keluar (ekstrinsik). Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal secara eksternal. Secara intrinsik, Pancasila harus konsisten, koheren, dan koresponden. Pertama, konsisten (bahasa Latinnya consistere, berarti “berdiri bersama”), artinya “sesuai”, “harmoni”, atau “hubungan logis”. Satu sila harus merupakan kesatuan yang padu. Misalnya sila pertama memiliki hubungan logis dengan Pasal 29 UUD 1945, sila kedua dengan kemerdekaan, sila ketiga dengan Pasal 18 (Pemerintahan Daerah), sila keempat dengan Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD 1945, dan sila kelima dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945.

Kedua, koheren (bahasa Latinnya cohaerere, berarti “lekat satu dengan lainnya”), artinya satu sila harus terkait dengan dengan sila lainnya, tidak berdiri sendiri-sendiri. Sila kedua tidak terlepas dari sila pertama, sila ketiga, keempat, dan kelima, dan seterusnya. Memilih salah satu dari kelima sila dan meninggalkan sila yang lain adalah inkoherensi. Ketiga, koresponden (bahasa Latinnya com berarti “bersama”, respondere berarti “menjawab”), artinya kesesuaian antara praktik dengan teori, kenyataan dengan ideologi. Pancasila dengan lima sila harus dapat terlihat dalam praktik kehidupan bangsa. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus dioperasionalisasikan dalam kehidupan nyata (Kuntowijoyo, 1997).

Dalam hal ini, penyelenggara negara memiliki kepentingan mengaktualisasikan Pancasila. Pancasila harus dibaca sebagai kalimat aktif agar efektif, bukan sebagai frase yang netral. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa harus dibaca sebagai “Memahaesakan Tuhan”, dan seterusnya (Kuntowijoyo, 1997). Itu artinya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dibaca sebagai “Memanusiakan manusia di bumi Indonesia ini secara adil dan beradab”, Keadilan Sosial Bagi Seliruh Rakyat Indonesia harus dibaca “Menegakkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Tanpa Terkecuali!”.

Di sisi lain, Pancasila dengan lima sila tentu menjadi kerangka dari batang tubuh UUD 1945. Amandemen UUD 1945 selama empat kali di era reformasi harapannya memang mengacu pada Pancasila. Lima sila dalam Pancasila membingkai batang tubuh UUD 1945 yang mendasari perumusan segala undang-undang dan peraturan lainnya di bawahnya. Pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai penyelenggara negara harus benar-benar memperhatikan kelima sila Pancasila. Pertanyaannya, apakah para penyelenggara telah menempatkan Pancasila dalam proses menyelenggarakan negara dengan berjuta-juta penduduk ini? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Transform Institute Yogyakarta


Perempuan di Era Digital

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku HARIAN JOGJA, Kamis 8 September 2011

Judul Buku: Wanita Era Digital Penulis : Dian Onasis dkk Penerbit : Hasfa Publishing Cetakan : I, Juli 2011 Tebal: 100 halaman Harga: Rp. 32.000,00

Kemajuan zaman tak terelakkan. Kemajuan yang menghadirkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi ciri khas masa kini. Jika zaman kini dikatakan sebagai era digital, maka benar adanya. Lantas, apakah kaitan era digital dengan perempuan? Buku ini menarik dibaca demi melihat kaitan perempuan dengan era digital.

Fakta negatif dari era digital tak dimungkiri. Perempuan bisa saja menjadi objek. Kita kerapkali menyaksikan eksploitasi perempuan dalam dunia digital. Meskipun dijadikan objek, perempuan kadangkala tak menyadari. Perempuan yang tak kuasa berpikir dan bertindak kritis tentu disayangkan. Meskipun ada unsur negatif, era digital bukan berarti tak menghadirkan unsur positif. Dengan membaca buku ini, perempuan diharapkan lebih berdaya dan menjadi subjek di era digital.

Jika disimak, banyak perempuan yang bisa menjadi cermin mendayagunakan fasilitas digital. Dewi Rieka Kustiantari, misalnya, mampu menjadikan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat pemberdayaan dan pengembangan diri. Dengan fasilitas internet, ia bisa menjadi penulis dan pebisnis yang relatif sukses. Internet dimanfaatkannya untuk mencari ide, data, dan narasumber demi keperluan penulisan. Ia juga menggunakan internet untuk keperluan penerbitan, promosi buku, bahkan membuka toko buku online. Sebagai ibu rumah tangga, ia merasa tak ketinggalan informasi dan ilmu. Ia juga menjalin relasi sosial lewat keberadaan internet (halaman 6-8).

Apa yang dilakukan Dewi Rieka Kustiantari itu juga terjadi pada perempuan-perempuan lainnya. Di era digital saat ini, ada banyak sosok perempuan yang terbilang berhasil tak hanya terkait dengan kepenulisan, tapi juga bisnis. Malah wartawan senior Desi Anwar memanfaatkan facebook dengan membuat fanpage bertajuk English with Desi Anwar (EWDA). Ia juga membuka akun fanpage Face to Face with Desi Anwar, sebuah acara interview bersama tokoh-tokoh dunia yang dikemas dengan konsep catatan perjalanan di salah satu stasiun televisi swasta di mana Desi Anwar sebagai host-nya (halaman 12-13).

Tuntutan melek digital tampaknya tak mungkin dihindari perempuan. Apalagi bagi ibu rumah tangga yang memiliki anak-anak. Apabila ibu rumah tangga melek perangkat digital dimungkinkan bisa membendung pengaruh negatif yang mungkin muncul. Ibu berkewajiban melahirkan generasi cerdas dalam memanfaatkan teknologi secara positif. Anak-anak yang berselancar di dunia maya, misalnya, tentu membutuhkan bimbingan dan pendampingan.

Dalam buku ini, pentingnya perempuan bersuara lewat tulisan juga ditekankan. Diakui atau tidak, selama ini wajah perempuan jarang terpaparkan secara lebih jernih, bening, dan komprehensif. Sebut saja dalam catatan-catatan sejarah, tokoh perempuan cenderung dilupakan. Padahal, perempuan bukannya tidak berkiprah sepanjang sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan publik kerapkali disinyalir tak peka terhadap perempuan. Maka, perempuan perlu menulis agar suaranya terdengar dan kiprahnya terlihat.

Dengan memanfaatkan internet, tulisan-tulisan yang digoreskan perempuan dimungkinkan terbaca lintas wilayah. Perempuan bisa menulis uneg-uneg, kritik, dan solusi terhadap permasalahan kehidupan. Perempuan bisa berperan untuk melakukan pembelaan terhadap segala ketidakberesan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Perempuan bisa berbagi inspirasi, pengalaman, ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan bisa juga dituliskan. Perempuan bisa membuat berita dari kiprah dan kegiatannya (halaman 25-28).

Buku ini mengajak perempuan mampu beraktualisasi secara positif di era digital. Begitu.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta)

Takbiran di Masjid Al-Husna Salatiga

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Harjo Forum HARIAN JOGJA, Kamis 1 September 2011

Salat Idul Fitri 1432 H dilaksanakan di Indonesia tidak bersamaan. Ada yang melaksanakan Selasa (30/8), ada yang melaksanakan Rabu (31/8). Sidang itsbat yang diselenggarakan Kementerian Agama RI pada Senin (29/8) memutuskan 1 Syawal 1432 H jatuh pada 31 Agustus 2011. Perbedaan ini tentu tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing pihak yang memberikan ketetapan memiliki dasar dan pijakan. Pelaksanaan salat Idul Fitri yang berbeda juga berdampak pada kegiatan takbiran. Ada yang menggelar pada Senin (29/8) malam, ada yang mengadakan pada Selasa (30/8) malam.

Kegiatan takbiran usai Ramadan di berbagai daerah sebagaimana kita saksikan berlangsung semarak. Tak terkecuali dengan kegiatan takbiran yang diadakan Masjid Al-Husna, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Salatiga. Awalnya kegiatan takbiran telah dipersiapkan pada Senin malam. Setelah keputusan pemerintah cq Kementerian Agama diumumkan, kegiatan takbiran dibatalkan dan diganti pada Selasa malam. Kegiatan takbiran di tempat ini bisa dikatakan berlangsung luar biasa. Ada sekitar 175-an anak-anak dan remaja begitu bersemangat mengumandangkan takbir dengan iringan suara musik khas berasal dari bambu, kaleng, kentongan, rebana, dan sebagainya. Mereka sendiri yang memainkan alat musik itu.

Berawal dari masjid, anak-anak dan remaja dengan didampingi orang tua masing-masing bertakbir mengeliling desa. Tanpa letih, anak-anak dan remaja mengumandangkan takbir menyambut Idul Fitri. Usai keliling, mereka istirahat dan makan ketupat opor yang telah dipersiapkan. Setelah itu kegiatan takbiran dilanjutkan lagi di masjid sampai tengah malam. “Hati kami bahagia, luar biasa tadi, bertakbir mengagungkan kebesaran Allah SWT,” ungkap Saptorini Hinonah, salah satu pengurus masjid, seusai kegiatan takbiran.

Motivasi dan spirit anak-anak dan remaja menyemarakkan malam takbiran di wilayah ini layaklah diapresiasi. Saptorini Hinonah yang juga menjadi Kepala Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Syifaauna dan guru di SMA Muhammadiyah Salatiga mengungkapkan bahwa sebelumnya mereka telah berlatih terlebih dahulu agar kompak memainkan alat musik. Khusus anak-anak, pada bulan Ramadan juga telah dimotivasi untuk berpuasa. Anak-anak bisa jujur mengatakan kalau hanya puasa setengah hari atau tidak berpuasa. Hal itu tetap harus dihargai. Bagi anak-anak, kebiasaan puasa perlu ditanamkan tanpa tekanan. Anak-anak itu pun tampak bergembira dan berwajah ceria di malam takbiran.(HENDRA SUGIANTORO)