Sultan Gila Kekuasaan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa, 17 Februari 2009
Menjelang hajatan Pemilu 2009, masyarakat Indonesia bisa dikatakan merasakan nuansa berbeda dibandingkan Pemilu sebelumnya. Meskipun dua kali Pemilu telah dilewati selama era reformasi, Pemilu 2009 memberikan gereget tersendiri terkait calon pemimpin nasional. Kini seolah-olah tidak ada rasa minder bagi siapa pun untuk menyatakan diri siap memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Salah satu yang menyita perhatian soal kesiapan maju sebagai presiden itu adalah kehendak Sri Sultan HB X yang disuarakan dalam Pisowanan Ageng pada Oktober tahun lalu.
Pada dasarnya, tanda-tanda Sultan akan menuju pentas nasional sudah terbaca jauh-jauh hari. Pada tahun 2007 pun Sultan pernah mengisyaratkan untuk berhenti dari jabatan Gubernur DIY. Pada saat itu, muncul beraneka rupa penafsiran masyarakat. Penafsiran yang mungkin mendekati kebenaran adalah pernyataan Sultan terkait dengan terkatung-katungnya pembahasan RUU Keistimewaan DIY di parlemen pusat. Namun demikian, sikap Sultan terus saja menimbulkan tanda tanya. Setelah Pisowanan Ageng pada 2008 lalu, sikap Sultan akhirnya menjadi benderang meskipun sebagian kalangan merasa kurang menerima. Ada yang ”ngeman” Sultan jika terjun ke ranah politik kekuasaan nasional. Logika yang digunakan adalah posisi Sultan sebagai raja di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Jika Sultan maju menuju RI-1, maka kedudukan sebagai raja yang dinilai terhormat akan jatuh derajatnya. Disadari atau tidak, logika seperti itu amatlah berlebihan. Bukankah posisi Sultan sebagai Gubernur DIY yang bertanggung jawab kepada presiden juga merendahkan posisi Sultan sebagai raja? Yang perlu di tegaskan, Sultan memang menjadi raja, tapi raja dalam wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun wilayah kepemimpinan presiden adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didalamnya termasuk Provinsi DIY.

Jika berpikir jernih, sikap Sultan selama ini sebenarnya tidak membingungkan. Hanya saja (sebagian) masyarakat terutama di DIY yang masih belum siap menerima realitas setelah beratus-ratus tahun hidup di alam kerajaan yang cenderung feodalistik. Padahal, Sultan sudah menyatakan dengan jelas bahwa beliau bukanlah sosok agung yang hidup di abad lampau, tapi beliau adalah manusia yang hidup di zaman modern. Sikap DIY pada tahun 1945 yang mendukung tegaknya eksistensi NKRI perlu dimaknai secara dinamis. Jika saat ini Indonesia tengah berada di iklim demokratisasi, maka Sultan ingin mengajak masyarakat DIY menjadi bagian dari upaya demokratisasi itu.
Pastinya, Sultan bertindak dan berucap dengan pertimbangan yang matang. Deklarasi Sri Sultan HB X untuk maju sebagai presiden adalah hak beliau sebagai salah satu warga negara di republik ini. Berbagai kalangan memang ada yang menilai bahwa Sultan telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Menurut penulis, anggapan seperti itu tidaklah tepat. Sultan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009 berangkat dari kegelisahan jiwa sehingga terpanggil untuk memberikan pengabdian dalam lingkup yang lebih luas di republik ini. Tanpa kepemilikan jabatan di tingkat pusat pun Sultan sudah memiliki kedudukan mapan, bahkan reputasinya diakui di berbagai daerah di negeri ini. Menurut Boni Hargens (2008) dalam analisisnya, kehendak Sultan menjadi presiden memperkuat fakta bahwa kondisi politik nasional memang sudah sangat memprihatinkan dengan berbagai persoalan dan krisis yang tak kunjung terselesaikan. Kekuasaan politik tidak menciptakan suatu perubahan konkret dalam kaitan dengan perbaikan mutu hidup masyarakat. Sultan sebagai representasi dari kekuatan kultural barangkali mau memperlihatkan kepedulian yang tinggi terhadap keadaan bangsa dan negara mengingat model kepemimpinan politik yang dijalankan oleh elite partai politik telah terbukti gagal. Sri Sultan juga membaca perlunya memunculkan tokoh alternatif di tengah masa transisi politik selama ini yang tidak jelas arahnya di tangan elite lama.
Jika pun akhir-akhir ini Sultan tampak ikut dalam ”permainan politik”, itu hanyalah ”kehebatan” media dalam pengopinian. Sebut saja ketika Sri Sultan HB X diisukan menjadi cawapres PDIP beberapa waktu lalu, pengopinian media memang diakui luar biasa meskipun terlalu berlebihan. Bagaimana pun, silaturahmi Sri Sultan HB X ke Megawati atau Megawati bersilaturahmi mengunjungi Sri Sultan HB X adalah kewajaran. Karena terjadi menjelang hajatan besar 2009, peristiwa tersebut disetting sedemikian rupa sehingga menjadi isu politik yang menonjol. Pun, kunjungan Sultan ke berbagai daerah sudah dilakukan beliau sejak lama dimana Sultan sering kali menjadi pembicara dalam berbagai forum dan menghadiri acara-acara adat di berbagai daerah. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29348&Itemid=62

Taat Aturan Saat Kampanye, Bung!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, Selasa, 17 Februari 2009
MENJELANG pemilihan calon anggota legislatif, alat peraga kampanye kian meramaikan hampir seluruh ruang publik. Bendera, spanduk, baliho, pamflet, dan sejenisnya terlihat semarak, baik dari parpol maupun caleg yang mencalonkan diri. Itu semua tentu saja merupakan kewajaran. Sebagai salah satu bentuk komunikasi politik, alat peraga kampanye masih dinilai relevan diterapkan. Harapannya, masyarakat sedikit banyak terpengaruh dengan alat peraga kampanye yang ditebar parpol dan para caleg. Ruang publik tentu perlu digunakan semaksimal mungkin agar parpol dan para caleg dapat mengenalkan diri melalui media nonverbal. Termasuk dalam kategori ruang publik ini adalah area Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Jogja.
Meskipun pemasangan alat peraga kampanye di ruang publik merupakan keniscayaan, namun persoalan terjadi jika parpol dan para caleg tidak mengindahkan peraturan. Area PMPS yang semestinya bersih dari alat peraga kampanye berdasarkan Peraturan Walikota No 2/2009 tentang Pemasangan Alat Peraga Kampanye Legislatif justru dilanggar oleh (sebagian) parpol dan caleg. Tindakan penertiban oleh Dinas Ketertiban Kota, KPU dan Panwaslu serta dibantu oleh pihak kepolisian jelas perlu dilakukan.

Berpikir jernih, tindakan sebagian parpol dan caleg memasang alat peraga dan atribut kampanye di area PMPS bisa dikatakan sebagai ”catatan hitam”. Pasalnya, ada aturan yang jelas-jelas tidak dipatuhi. Dalam Peraturan KPU No 19/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa caleg bisa melakukan kampanye dimanapun asalkan tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 poin g). Perumusan Perwal No 2/2009 yang merupakan revisi dari Perwal No 36/2008 tentu memiliki legalitas. Dalam Peraturan KPU No 19/2008 Pasal 13(5) poin d dijelaskan bahwa pemerintah daerah bisa membuat peraturan agar pemasangan alat peraga kampanye tetap mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Dengan demikian, pihak-pihak yang memasang alat peraga kampanye di area PMPS amat perlu dipertanyakan kredibilitas dan integritasnya. Area PMPS seolah-olah dijadikan ajang kampanye, bahkan ada petugas wahana permainan yang mengenakan kaos terpampang gambar caleg tertentu. Memang benar area PMPS yang dijejali banyak masyarakat pengunjung cukup efektif untuk ajang kampanye, tapi peraturan tidak boleh ditebas semaunya. Justru perilaku seperti itu mencerminkan rendahnya kualitas caleg dan juga parpol. Anehnya, ada pihak yang sudah mendapatkan peringatan dari Panwaslu Kota Jogja, tapi tetap saja ngeyel. Pihak parpol dan caleg seharusnya tahu diri sebelum Dinas Ketertiban Kota membersihkan alat peraga kampanye.
Bagi sebagian pihak, pemasangan alat peraga kampanye di area PMPS mungkin dianggap masalah sepele. Pelanggaran-pelanggaran kampanye dinilai lumrah mengingat sudah bukan rahasia lagi. Tidak hanya di area PMPS, di luar arena PMPS pun ditemukan pelanggaran-pelanggaran. Yang perlu ditegaskan, apapun alasannya pelanggaran adalah wujud ketidaktaatan. Memang lambat laun pelanggaran-pelanggaran seperti itu akan terlupakan, tapi pelanggaran dari hal yang bersifat sepele dimungkinkan akan merembet ke pelanggaran-pelanggaran lainnya yang lebih besar.
Dalam hal ini, Panwaslu bisa saja mengumumkan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran sebagai salah satu bentuk pendidikan politik. Masyarakat sebagai subjek perubahan perlu mengetahui siapa saja yang tidak taat aturan selama kampanye. Panwaslu bekerjasama dengan KPU bisa mengkategorikan pelanggar-pelanggar kampanye sebagai caleg bermasalah. Caleg-caleg bermasalah selama kampanye itu diumumkan kepada publik sebagai sanksi sosial. Entah nanti masyarakat akan memilihnya atau tidak, itu hak prerogatif masyarakat pemilih. Masyarakat yang kian cerdas pastinya akan memilih caleg yang memiliki kredibilitas dan integritas yang salah satunya terlihat dari ketaatan terhadap peraturan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)