Dimuat di Opini KORAN MERAPI, Selasa, 24 Juli 2012
Beberapa
waktu lalu sebuah surat kabar nasional menampang gambar yang mengundang
perasaan miris sekaligus iba. Dalam gambar itu tampak dua orang menangis saat dilakukan
razia oleh personel satuan polisi Pamong Praja. Razia di Menteng, Jakarta, itu
dimaksudkan untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis yang menjamur di
bulan Ramadan.
Bulan
Ramadan melahirkan barisan pengemis dadakan memang tak dimungkiri. Tak hanya di
Jakarta, tetapi juga di kota-kota lainnya, termasuk di kota Yogyakarta. Fenomena
ini setiap tahun tak menghilang. Pengemis-pengemis itu berjajar rapi menghiba
sedekah. Di pelataran masjid dan di jalan-jalan, mereka menengadahkan tangan.
Di Masjid Syuhada, Yogyakarta, barisan pengemis berderet di depan pintu masuk.
Di masjid-masjid lain pun juga demikian. Bahkan, di beberapa perempatan jalan,
pengemis yang sebelumnya tidak ada tiba-tiba muncul saat bulan Ramadan. Ketika lampu merah menyala, mereka melakukan usaha meminta-minta.
Di
luar bulan Ramadan, pengemis pastinya sudah ada. Malah di Masjid Syuhada,
Yogyakarta, setiap Jum’at selalu dipenuhi barisan pengemis di pelataran depan. Ketika
bulan Ramadan, pengemis seakan-akan bertambah di mana-mana. Entah dari mana
asal muasalnya, barisan pengemis itu cenderung tidak berasal dari kota
Yogyakarta. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pengemis-pengemis berdatangan
dari berbagai kota. Prasangka kurang positif pun tak terelakkan. Bulan Ramadan sengaja
dimanfaatkan pengemis dadakan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dari
barisan pengemis itu malah ada yang masih sehat fisiknya. Bukankah ibu-ibu yang
mengemis masih bisa menjalankan usaha tanpa harus meminta-minta? Apakah wajar
anak-anak membawa kardus bekas atau kaleng demi menantikan uang dimasukkan ke kardus
bekas atau kalengnya? Mengapa pengemis seakan-akan membludak saat bulan Ramadan?
Tak
dimungkiri apabila penghasilan dari mengemis cukup menggiurkan. Selama bulan Ramadan,
penghasilan mengemis bisa berlipat-lipat. Jika sehari minimal mendapatkan Rp
30.000,00, maka sekitar 900.000,00 bisa
diperoleh
di akhir bulan Ramadan. Bayangkan jika dalam satu keluarga terdapat tiga orang
yang mengemis. Ayah, ibu, dan anak yang dewasa menyebar di tiga titik lokasi,
betapa melimpahnya uang bisa didapatkan. Apalagi pada bulan Ramadan kerapkali
terdengar tausiyah bahwa kebaikan dilipatkan pahalanya. Pengemis bisa bernafas
lega mendapatkan rupiah dari tangan-tangan pemberi uang yang ingin memperbanyak
amal kebaikan.
Entah apapun motif dan
latar belakangnya, barisan
pengemis mencuatkan multi tanda. Tanda kemiskinan, tanda ketidakberdayaan. Fakta menunjukkan masih ada sekelompok masyarakat yang
(merasa) kekurangan. Masih ada mereka yang (merasa) belum merdeka, karena belum sejahtera. Di tengah
pemenuhan kebutuhan dasar yang mencekik, mereka membutuhkan uluran tangan.
Mereka membutuhkan uang yang dapat dilakukan dengan meminta-minta.
Di
tengah himpitan dan tekanan hidup, mengemis dijadikan jalan alternatif
pembebasan dari keterpurukan. Mengemis dijadikan jalan pembebasan ketika lahan
pekerjaan tak lagi ramah. Jika pun memiliki pekerjaan formal, pendapatan mereka
seringkali tak cukup untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari. Mengemis menjadi
alternatif yang membebaskan kekalutan pikiran hidup. Lantas, siapakah yang
salah?
Pemerintah
memang bertanggung jawab, namun masyarakat tak bisa berlepas tangan. Adanya
fenomena “pengemis Ramadan” hendaknya dimaknai sebagai bencana sosial. Inilah
makna yang tepat! Adanya pengemis juga berarti tanda ketidakpedulian masyarakat.
Pengemis-pengemis itu adalah bagian dari masyarakat, maka maraknya kegiatan
mengemis ikut mencoreng muka masyarakat. Seberapa besar virus individualisme
menggerogoti tubuh kebersamaan sosial?
Sedekah
memang dituntunkan. Namun demikian, kepedulian sosial bermakna sempit apabila
hanya memberi sedekah tanpa memberdayakan. Kepedulian sosial tak sekadar
memberi bungkus makanan agar warga miskin bisa berbuka puasa. Kepedulian sosial
tak sekadar memberikan uang demi membuat warga miskin bisa tersenyum meskipun
hanya sesaat. Lebih dari itu, kepedulian sosial harus ditunjukkan dengan memberdayakan
warga miskin agar tak terus terpuruk. Kepedulian sosial tak sekadar karikatif,
tetapi hendaknya produktif.
Maka,
bulan Ramadan tahun ini seyogianya mengakhiri munculnya pengemis-pengemis. Di
antara warga miskin, ada warga yang berkecukupan dalam komunitas masyarakat.
Lapangan pekerjaan atau modal usaha bisa diberikan agar warga miskin bekerja
secara layak. Di sisi lain, pemerintah dan juga lembaga-lembaga sosial dan
keagamaan berkewajiban tak membiarkan warga miskin mengemis. Warga harus
dibebaskan dari kemiskinan struktural. Pemerintah berkewajiban menciptakan
sistem ekonomi yang berkeadilan di mana warga miskin memiliki akses memadai untuk
menjemput kesejahteraan. Kemiskinan kultural yang kerapkali menghinggap warga masyarakat
juga perlu dienyahkan. Banyak warga masyarakat yang berkekecukupan, namun
merasa miskin dan malas memberdayakan diri. Ada warga masyarakat yang pada
dasarnya mampu secara ekonomi, tetapi tak merasa malu untuk miskin.
Tak
kalah penting, bulan Ramadan hendaknya dijadikan momentum menumbuhkan kesadaran
progresif warga miskin. Kemiskinan memang fakta, namun mengemis ataupun meminta-minta bukanlah
profesi. Kesejahteraan harus diperjuangkan dengan bekerja secara tekun dan juga
bekerja secara cerdas! Setiap warga miskin berhak hidup sejahtera. Dengan terus
mengasah kemampuan dan percaya diri dengan kekuatan yang dimiliki, setiap warga
miskin bisa meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik. Sikap hidup sederhana
juga perlu ditanamkan di benak warga miskin di tengah jeratan kapitalisme yang
cenderung menumbuhkan budaya konsumerisme yang tiada guna. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTOROpegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta