Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Suara Karya, Rabu 13 Oktober 2010
GURU selalu identik dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Munculnya sebutan itu tentu ada sebabnya yang tak lain adalah lirik terakhir dalam lagu Hymne Guru karya Sartono, ”Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”. Setelah lebih dari satu dasawarsa dinyanyikan, lirik terakhir lagu itu diubah pada tahun 2008 atas hasil negosiasi antara Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, PGRI, dan Sartono. Lirik “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” diubah menjadi “Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” yang setidaknya menegaskan sisi profesionalisme guru yang tidak lagi dianggap sebagai profesi yang “terpinggirkan”.
Tentu saja, ketika Sartono menggubah lagu itu sekitar tahun 1980 tidak ada maksud untuk ”merendahkan” guru. Bagamana mungkin bermaksud ”merendahkan” martabat guru karena pria kelahiran Madiun itu juga seorang guru di SMP Purna Karya Bhakti, Madiun, yang di kemudian hari populer dengan nama SMP Kristen Santo Bernadus. Sartono yang merupakan guru kesenian menyambut antusias lomba cipta lagu tentang pengabdian guru yang digagas Mendikbud ketika itu, Daoed Joesoef. Diikuti sekitar 300 peserta, lagu karya Sartono akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang. Entah mengapa, hadiah uang tunai sebesar Rp 1 juta yang seharusnya diterima, tapi hanya Rp 750.000 yang sampai di tangan Sartono. Sejak menjadi guru sampai pensiun, Sartono tetap tak beranjak dari status guru tidak tetap/honorer dengan gaji tak melebihi Rp 60.000 setiap bulannya.
Sejak era Sartono hingga kini, penggajian guru masih dinilai belum menjamin kehidupan mapan, apalagi yang bukan berstatus PNS. Namun demikian, kalimat “pahlawan tanpa tanda jasa” yang muncul di benak Sartono bukan berkaitan dengan minimnya penghargaan materi yang diterima guru. Sartono melihat bahwa guru adalah pahlawan dengan semangat dan jerih payahnya mendidik dan mencerdaskan generasi. Guru itu juga pahlawan sebagaimana pejuang. Namun, seperti dikatakan Sartono, selepas berbakti tak satupun ada tanda jasa menempel pada guru, seperti yang ada pada polisi atau tentara.
Ketika pada saat ini tuntutan peningkatan kesejahteraan guru terus disuara-wacanakan, gubahan lirik lagu itu menemukan maknanya. Penghargaan terhadap guru harus seimbang antara materi dan immateri. Dengan kata lain, perjuangan guru tidak hanya dihargai dengan sebutan pahlawan (immateri), tapi juga dihargai secara materi (gaji yang proporsional).
Jika mau jujur, Sartonolah yang menyematkan gelar pahlawan pada sosok guru. Lewat lagu ciptaannya, masyarakat mengidentikkan guru sebagai pahlawan. Pernahkah kita membayangkan jika tak ada satu kata pahlawan pun dalam lirik lagu karya Sartono? Padahal, siapapun akan dilihat terlebih dahulu perjuangannya sebelum layak disebut pahlawan. Pahlawan secara etimologi adalah orang yang banyak jasa/pahalanya. Seseorang disebut pahlawan atas jasa atau pengabdiannya bagi kehidupan yang dilakukan secara ikhlas. Guru memang seorang pahlawan karena berjuang dan berjasa mendidik anak-anak bangsa. Namun, guru yang rendah moralitasnya dan bekerja asal-asalan tentu tidak bisa dikatakan pahlawan. Guru seperti bekerja di bidang lainnya tidak selamanya menampilkan kinerja yang bersih dan bertanggung jawab. Di tengah guru yang memang benar-benar mengabdi, ada juga sebagian guru yang tidak tulus memberikan pengabdian.
Maka, tak salah jika lirik lagu Hymne Guru coba direnungkan kembali. Ada dua lirik sebelum ”Engkau patriot pahlawan bangsa…” dalam lagu Hymne Guru yang digubah Sartono, yakni ”Engkau sebagai pelita dalam kegelapan” dan ”Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”. Guru dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata ”gu” (kegelapan) dan ”ru” (cahaya). Untuk itu, sebagaimana lirik gubahan Sartono, guru adalah pelita dalam kegelapan. Dengan ilmu pengetahuannya, guru menjadi cahaya yang menerangi kebodohan. Lewat sentuhan guru, seseorang memahami ilmu pengetahuan sehingga mampu membangun kehidupan. Guru adalah sosok yang mengubah ”zaman kegelapan” menuju ”zaman pencerahan” dengan mendidik generasi yang tangguh untuk Indonesia masa depan.
Yang jelas, makna seorang guru tentu saja tidak sekadar bertugas mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga mampu menanamkan nilai-nilai bagi anak-anak didiknya. Guru harus mengembangkan anak-anak didiknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct)—meminjam Socrates. Seperti diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru ikut bertanggung jawab mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Lagu Hymne Guru ciptaan Sartono harapannya mampu menjadi ”ruh” bagi setiap guru di negeri ini. Penyebutan pahlawan merupakan penghargaan secara immateri yang perlu dibuktikan guru dengan menjadi ”pelita dalam kegelapan” dan ”embun penyejuk dalam kehausan”. Penghargaan secara materi berupa gaji yang proporsional harus diimbangi guru dengan kepemilikan kompetensi yang prima. Guru adalah kunci kemajuan peradaban yang mendidik generasi yang cakap secara intelektual sekaligus memiliki keanggunan moral. Tentu saja, guru tidak sekadar membangun insan cendekia, tapi juga mandiri sekaligus bernurani. Guru berperan melahirkan manusia profetik Indonesia yang akan membangun kehidupan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Transform Institute Yogyakarta
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=263884
Dimuat di Opini Suara Karya, Rabu 13 Oktober 2010
GURU selalu identik dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Munculnya sebutan itu tentu ada sebabnya yang tak lain adalah lirik terakhir dalam lagu Hymne Guru karya Sartono, ”Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”. Setelah lebih dari satu dasawarsa dinyanyikan, lirik terakhir lagu itu diubah pada tahun 2008 atas hasil negosiasi antara Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, PGRI, dan Sartono. Lirik “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” diubah menjadi “Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” yang setidaknya menegaskan sisi profesionalisme guru yang tidak lagi dianggap sebagai profesi yang “terpinggirkan”.
Tentu saja, ketika Sartono menggubah lagu itu sekitar tahun 1980 tidak ada maksud untuk ”merendahkan” guru. Bagamana mungkin bermaksud ”merendahkan” martabat guru karena pria kelahiran Madiun itu juga seorang guru di SMP Purna Karya Bhakti, Madiun, yang di kemudian hari populer dengan nama SMP Kristen Santo Bernadus. Sartono yang merupakan guru kesenian menyambut antusias lomba cipta lagu tentang pengabdian guru yang digagas Mendikbud ketika itu, Daoed Joesoef. Diikuti sekitar 300 peserta, lagu karya Sartono akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang. Entah mengapa, hadiah uang tunai sebesar Rp 1 juta yang seharusnya diterima, tapi hanya Rp 750.000 yang sampai di tangan Sartono. Sejak menjadi guru sampai pensiun, Sartono tetap tak beranjak dari status guru tidak tetap/honorer dengan gaji tak melebihi Rp 60.000 setiap bulannya.
Sejak era Sartono hingga kini, penggajian guru masih dinilai belum menjamin kehidupan mapan, apalagi yang bukan berstatus PNS. Namun demikian, kalimat “pahlawan tanpa tanda jasa” yang muncul di benak Sartono bukan berkaitan dengan minimnya penghargaan materi yang diterima guru. Sartono melihat bahwa guru adalah pahlawan dengan semangat dan jerih payahnya mendidik dan mencerdaskan generasi. Guru itu juga pahlawan sebagaimana pejuang. Namun, seperti dikatakan Sartono, selepas berbakti tak satupun ada tanda jasa menempel pada guru, seperti yang ada pada polisi atau tentara.
Ketika pada saat ini tuntutan peningkatan kesejahteraan guru terus disuara-wacanakan, gubahan lirik lagu itu menemukan maknanya. Penghargaan terhadap guru harus seimbang antara materi dan immateri. Dengan kata lain, perjuangan guru tidak hanya dihargai dengan sebutan pahlawan (immateri), tapi juga dihargai secara materi (gaji yang proporsional).
Jika mau jujur, Sartonolah yang menyematkan gelar pahlawan pada sosok guru. Lewat lagu ciptaannya, masyarakat mengidentikkan guru sebagai pahlawan. Pernahkah kita membayangkan jika tak ada satu kata pahlawan pun dalam lirik lagu karya Sartono? Padahal, siapapun akan dilihat terlebih dahulu perjuangannya sebelum layak disebut pahlawan. Pahlawan secara etimologi adalah orang yang banyak jasa/pahalanya. Seseorang disebut pahlawan atas jasa atau pengabdiannya bagi kehidupan yang dilakukan secara ikhlas. Guru memang seorang pahlawan karena berjuang dan berjasa mendidik anak-anak bangsa. Namun, guru yang rendah moralitasnya dan bekerja asal-asalan tentu tidak bisa dikatakan pahlawan. Guru seperti bekerja di bidang lainnya tidak selamanya menampilkan kinerja yang bersih dan bertanggung jawab. Di tengah guru yang memang benar-benar mengabdi, ada juga sebagian guru yang tidak tulus memberikan pengabdian.
Maka, tak salah jika lirik lagu Hymne Guru coba direnungkan kembali. Ada dua lirik sebelum ”Engkau patriot pahlawan bangsa…” dalam lagu Hymne Guru yang digubah Sartono, yakni ”Engkau sebagai pelita dalam kegelapan” dan ”Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan”. Guru dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata ”gu” (kegelapan) dan ”ru” (cahaya). Untuk itu, sebagaimana lirik gubahan Sartono, guru adalah pelita dalam kegelapan. Dengan ilmu pengetahuannya, guru menjadi cahaya yang menerangi kebodohan. Lewat sentuhan guru, seseorang memahami ilmu pengetahuan sehingga mampu membangun kehidupan. Guru adalah sosok yang mengubah ”zaman kegelapan” menuju ”zaman pencerahan” dengan mendidik generasi yang tangguh untuk Indonesia masa depan.
Yang jelas, makna seorang guru tentu saja tidak sekadar bertugas mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga mampu menanamkan nilai-nilai bagi anak-anak didiknya. Guru harus mengembangkan anak-anak didiknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct)—meminjam Socrates. Seperti diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru ikut bertanggung jawab mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Lagu Hymne Guru ciptaan Sartono harapannya mampu menjadi ”ruh” bagi setiap guru di negeri ini. Penyebutan pahlawan merupakan penghargaan secara immateri yang perlu dibuktikan guru dengan menjadi ”pelita dalam kegelapan” dan ”embun penyejuk dalam kehausan”. Penghargaan secara materi berupa gaji yang proporsional harus diimbangi guru dengan kepemilikan kompetensi yang prima. Guru adalah kunci kemajuan peradaban yang mendidik generasi yang cakap secara intelektual sekaligus memiliki keanggunan moral. Tentu saja, guru tidak sekadar membangun insan cendekia, tapi juga mandiri sekaligus bernurani. Guru berperan melahirkan manusia profetik Indonesia yang akan membangun kehidupan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Transform Institute Yogyakarta
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=263884