Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Selasa, 4 Agustus 2009
Hasil penghitungan perolehan suara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak jauh berbeda dengan hasil quick count, pasangan SBY-Boediono meraih suara terbanyak dalam Pilpres 2009. Pada titik ini, quo vadis Partai Golkar seakan-akan menarik diperbincangkan. Sebelum pengumuman KPU, Partai Golkar memang sudah berada di persimpangan jalan ketika menyaksikan perolehan suara JK-Wiranto tidak maksimal lewat hitung cepat berbagai lembaga survei.
Yang terkesan aneh, adanya kemungkinan kekalahan JK-Wiranto telah disikapi sebagian kalangan agar Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono. Partai Golkar tidak dimungkiri mengalami kegamangan internal menyikapi hasil Pilpres 2009. Selain ada yang menghendaki Partai Golkar bergabung dengan SBY-Boediono, ada juga yang menghendaki Partai Golkar mengambil sikap sebagai oposisi. Adanya keinginan sebagian kalangan internal Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono ini disinyalir akibat pragmatisme kekuasaan. Selama ini harus diakui jika partai berlambang pohon beringin selalu identik dengan kekuasaan alias terlibat dalam pemerintahan eksekutif.
Dalam hal ini, ada pertanyaan menggelitik, mengapa internal Partai Golkar tidak all out mendukung JK-Wiranto dalam hajatan Pilpres 2009 jika memang berkehendak menduduki kursi eksekutif? Ada kecenderungan sikap kurang percaya diri dari sebagian pihak internal Partai Golkar jika JK-Wiranto mampu menandingi SBY-Boediono sehingga bermuka dua. Jika memang berkehendak tetap berada di lingkaran kekuasaan eksekutif, seluruh internal Partai Golkar semestinya berjuang optimal memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Apa yang terjadi di Partai Golkar tentu saja hanya bisa dijawab oleh internal Partai Golkar.
Lantas, apa yang perlu dilakukan Partai Golkar ke depan dengan pertimbangan kalah dalam Pilpres? Alangkah lebih bijak jika Partai Golkar tidak merapat ke SBY-Boediono! Pilihan ini adalah pilihan politik yang hendaknya diambil Partai Golkar. Yang perlu diingat, pilihan politik untuk menjadi oposisi bukanlah merendahkan Partai Golkar sebagai salah satu parpol besar di negeri ini. Pihak internal Partai Golkar seyogianya memberikan pendidikan politik ke masyarakat dan meredam geliat nafsu kekuasaan. Bagi pihak yang kalah dalam Pilpres memang seharusnya menerima konsekuensi menjadi oposisi. Dengan menjadi oposisi, Partai Golkar tentu masih bisa berkontribusi membangun tata pemerintahan ke depan.
Tegasnya, Partai Golkar dituntut bijak menerima konsekuensi kekalahan dalam Pilpres dan hendaknya mulai belajar untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Partai Golkar diharapkan menguatkan mekanisme check and balances dalam tubuh parlemen dan terus mengontrol kebijakan pemerintahan eksekutif 2009-2014. Kerja-kerja menjadi oposisi di lembaga legislatif tentu tidak kurang mulianya dengan kerja-kerja di eksekutif. Sikap mengutamakan kemaslahatan rakyat tetap bisa ditunjukkan Partai Golkar dengan mengawal kebijakan pemerintahan eksekutif. Di parlemen, Partai Golkar masih bisa berkontribusi dengan turut merumuskan peraturan perundang-undangan yang berpihak bagi kemaslahatan kehidupan rakyat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=75226
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Selasa, 4 Agustus 2009
Hasil penghitungan perolehan suara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak jauh berbeda dengan hasil quick count, pasangan SBY-Boediono meraih suara terbanyak dalam Pilpres 2009. Pada titik ini, quo vadis Partai Golkar seakan-akan menarik diperbincangkan. Sebelum pengumuman KPU, Partai Golkar memang sudah berada di persimpangan jalan ketika menyaksikan perolehan suara JK-Wiranto tidak maksimal lewat hitung cepat berbagai lembaga survei.
Yang terkesan aneh, adanya kemungkinan kekalahan JK-Wiranto telah disikapi sebagian kalangan agar Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono. Partai Golkar tidak dimungkiri mengalami kegamangan internal menyikapi hasil Pilpres 2009. Selain ada yang menghendaki Partai Golkar bergabung dengan SBY-Boediono, ada juga yang menghendaki Partai Golkar mengambil sikap sebagai oposisi. Adanya keinginan sebagian kalangan internal Partai Golkar merapat ke SBY-Boediono ini disinyalir akibat pragmatisme kekuasaan. Selama ini harus diakui jika partai berlambang pohon beringin selalu identik dengan kekuasaan alias terlibat dalam pemerintahan eksekutif.
Dalam hal ini, ada pertanyaan menggelitik, mengapa internal Partai Golkar tidak all out mendukung JK-Wiranto dalam hajatan Pilpres 2009 jika memang berkehendak menduduki kursi eksekutif? Ada kecenderungan sikap kurang percaya diri dari sebagian pihak internal Partai Golkar jika JK-Wiranto mampu menandingi SBY-Boediono sehingga bermuka dua. Jika memang berkehendak tetap berada di lingkaran kekuasaan eksekutif, seluruh internal Partai Golkar semestinya berjuang optimal memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Apa yang terjadi di Partai Golkar tentu saja hanya bisa dijawab oleh internal Partai Golkar.
Lantas, apa yang perlu dilakukan Partai Golkar ke depan dengan pertimbangan kalah dalam Pilpres? Alangkah lebih bijak jika Partai Golkar tidak merapat ke SBY-Boediono! Pilihan ini adalah pilihan politik yang hendaknya diambil Partai Golkar. Yang perlu diingat, pilihan politik untuk menjadi oposisi bukanlah merendahkan Partai Golkar sebagai salah satu parpol besar di negeri ini. Pihak internal Partai Golkar seyogianya memberikan pendidikan politik ke masyarakat dan meredam geliat nafsu kekuasaan. Bagi pihak yang kalah dalam Pilpres memang seharusnya menerima konsekuensi menjadi oposisi. Dengan menjadi oposisi, Partai Golkar tentu masih bisa berkontribusi membangun tata pemerintahan ke depan.
Tegasnya, Partai Golkar dituntut bijak menerima konsekuensi kekalahan dalam Pilpres dan hendaknya mulai belajar untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan eksekutif. Partai Golkar diharapkan menguatkan mekanisme check and balances dalam tubuh parlemen dan terus mengontrol kebijakan pemerintahan eksekutif 2009-2014. Kerja-kerja menjadi oposisi di lembaga legislatif tentu tidak kurang mulianya dengan kerja-kerja di eksekutif. Sikap mengutamakan kemaslahatan rakyat tetap bisa ditunjukkan Partai Golkar dengan mengawal kebijakan pemerintahan eksekutif. Di parlemen, Partai Golkar masih bisa berkontribusi dengan turut merumuskan peraturan perundang-undangan yang berpihak bagi kemaslahatan kehidupan rakyat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=75226