Sisi Lain Kehidupan Bung Karno

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 13 Februari 2011

Judul Buku: Kisah Istimewa Bung Karno Kata Pengantar: Asvi Warman Adam Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2010 Tebal: xxii+322 halaman

PERJALANAN hidup Bung Karno memiliki kisah panjang. Dalam kisah itu, mungkin saja ada sisi-sisi lain yang jarang terungkap maupun terpapar. Pada umumnya, masyarakat lebih mengenal sosok Bung Karno sebagai tokoh pergerakan nasional, proklamator kemerdekaan, presiden pertama Indonesia. Buku yang berupa kumpulan tulisan dari berbagai penulis dan wartawan ini menarik disimak.

Ketika kecil, Bung Karno kerap bermain bola, layang-layang ataupun permainan lainnya. Melalui buku ini, kita dapat membaca kisah kecil Bung Karno yang tak mau kalah dalam setiap permainan. Ketika kalah, Bung Karno tidak terima, pertengkaran pun kerap terjadi. Begitu pula kisah Bung Karno ketika bersekolah di HBS Surabaya. Saat itu Bung Karno yang mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto menempati kamar tanpa jendela dan daun pintu. Sebagai penerangan, lampu pijar menyala sepanjang hari. Namun, Bung Karno tak menggerutu.

Saat menempuh bangku pendidikan, Bung Karno memang dikenal pandai. Ada kisah menarik terkait kebiasaan Bung Karno yang suka mondar-mandir ke kamar teman-temannya untuk diajak bersendau gurau dan bercakap. Teman-temannya yang sibuk belajar dan memeras otak lama-kelamaan jengkel dan akhirnya menutup pintu kamar rapat-rapat agar tak terganggu dengan kebiasaan Bung Karno. Pernah pada suatu malam, teman-temannya sibuk belajar mendengar suara orang berpidato. Teman-temannya menghampiri asal suara. Ternyata Bung Karno di kamar gelapnya berdiri di atas meja tengah berorasi. Bung Karno juga dikenal cakap melukis, bahkan tertarik dengan politik. Bung Karno kerap diajak berbincang-bincang oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan hadir dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh politik pada masa itu.

Soal jalinan Bung Karno dengan istri-istrinya, peran Inggit Garnasih menarik disimak. Ketika masa pergerakan nasional dan saat Bung Karno dipenjara-diasingkan, Inggit menjadi perempuan yang berjasa besar. Begitu pula keberadaan seorang bernama Riwu Ga yang mulai dikenal Bung Karno saat di Ende. Saat itu Riwu melayani makan-minum Bung Karno dan harus bangun terlebih dahulu sebelum Bung Karno salat Subuh. Riwu juga menyediakan air putih dingin dicampuri sedikit kapur demi menjaga vitalitas suara Bung Karno. Saat pengasingan Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, Riwu juga turut. Lewat buku ini, kita dapat membaca kisah kedekatan Riwu dengan Bung Karno.

Siapa sopir pertama Bung Karno? Buku ini menerangkan sopir pertama Bung Karno bernama Mohammad Arip. Kendaraan yang digunakan adalah mobil Buick berpelat REP 1. Mobil ini hasil rampasan pada masa pendudukan. Perkenalan Bung Karno dengan Arif terjadi sebelum kemerdekaan. Sekitar 1961, Arip dan keluarganya pernah naik haji dibiayai Bung Karno, bahkan konon disambut seperti tamu negara di Mekkah.

Selain di atas, masih banyak kisah-kisah lain berkenaan dengan Bung Karno. Tempat-tempat yang pernah disinggahi Bung Karno dan peninggalannya coba diungkap. Ternyata terdapat warisan sejarah yang perlu “tangan” untuk merawat dan menjaganya. Ingin mengetahui hal-hal lainnya? Selamat membaca.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Buku dan Perpustakaan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 11 Februari 2011

Buku adalah tanda bahwa aksara telah dirayakan. Banyak pujangga, sastrawan, dan penulis mengkalimatkan aksara dalam buku-buku yang dicetak dan diterbitkan. Untuk memperoleh buku adalah perkara mudah. Di toko ataupun di emperan penjualan buku, kita dapat membeli beragam jenis buku sesuai keinginan.

Tanpa harus membeli demi mendapatkan buku, kita juga bisa pergi ke perpustakaan. Banyak perpustakaan yang bisa kita kunjungi, dari perpustakaan daerah sampai perpustakaan kabupaten/kota. Di sekolah dan di kampus, perpustakaan telah menyediakan beragam buku untuk dibaca. Lewat perpustakaan, kita tak harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku. Kita bisa meminjam dan melahap buku-buku cukup dengan mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Perpustakaan di setiap perguruan tinggi juga bisa dikunjungi meskipun cenderung tak diperkenankan dibawa pulang. Artinya, siapa pun kita tak kesulitan mendapatkan buku dan membacanya.

Dengan banyaknya buku yang bisa dibaca di perpustakaan, kita layak mensyukuri. Di perpustakaan daerah (Perpusda) DIY, misalnya, ada buku-buku lama yang masih bisa dibaca. Meskipun demikian, tidak setiap buku bisa kita peroleh. Dilihat dari buku-buku yang tersedia, buku-buku terbitan teranyar lebih mudah didapatkan di Perpustakaan Kota (Perpuskot) Yogyakarta. Yang penulis saksikan, Perpuskot kerap kedatangan buku-buku terbaru. Buku-buku terbitan terbaru malah sulit didapatkan di Perpusda yang lebih didominasi buku-buku terbitan lama. Penambahan koleksi perpustakaan dengan mendatangkan buku-buku yang belum ada sebenarnya telah terjadwal di masing-masing perpustakaan, seperti dalam setahun dilakukan dua kali atau sesuai kebijakan. Melimpahnya buku di perpustakaan jelas suatu anugerah.

Namun, anugerah itu bukan tanpa dilema. Coba kita bayangkan, seberapa banyak buku diterbitkan di negeri ini setiap tahunnya? Semenjak Orde Baru tumbang, jumlah penerbit tak terhitung jumlahnya. Penerbitan buku pun tak lagi menemui kesulitan. Kita bisa menyimpulkan adanya ratusan ribu (malah mencapai jutaan) buku dicetak dan diterbitkan dalam puluhan tahun sejak era sebelum kemerdekaan sampai kini. Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka pada awal abad 20, misalnya, bukannya tak sedikit. Dari buku-buku itu ada yang terus dicetak ulang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan. Sampai kini, banyak penerbit melakukan cetak ulang untuk buku-buku yang dinilai terbaik dan best seller. Begitu banyak buku jika ditambah pula buku-buku terjemahan dari sastrawan dan penulis negeri manca.

Adanya penerbitan dan pencetakan ulang buku jelas merupakan anugerah bagi generasi bangsa. Generasi bangsa yang hidup di zaman berbeda masih bisa menikmati dan membaca buku-buku lama yang meskipun tak didapatkan di toko-toko buku, tapi bisa didapatkan di perpustakaan. Tapi, apakah pengunjung perpustakaan yang membutuhkan buku-buku lama tertentu bisa mudah mendapatkannya? Apakah seluruh buku-buku lama masih tetap ada?

Disadari atau tidak, penerbitan buku juga memunculkan problema terhadap perpustakaan akibat rak-rak yang tak mencukupi untuk menampung seluruh buku. Buku-buku bertambah hampir setiap tahun yang tentu perlu menambah rak. Meskipun hal ini telah dilakukan, namun bangunan perpustakaan yang justru tak mendukung. Penyediaan rak tentu juga harus memperhatikan penataan ruang. Akibatnya, buku-buku terbitan lama lebih sering disimpan dan digudangkan (atau mungkin dijual?). Di Perpusda, misalnya, terdapat buku-buku terbitan lama, tapi bukan berarti seluruh buku terbitan lama tersedia. Malah buku-buku lama tertentu tak tersedia meskipun telah mengunjungi seluruh perpustakaan di DIY. Mungkin bagi sebagian kita tak terlalu masalah karena banyak yang lebih membutuhkan buku-buku terbaru, namun demikian buku-buku terbitan lama bukannya tidak penting.

Menurut penulis, buku-buku terbitan lama masih perlu dijaga. Perlunya menjaga buku-buku terbitan lama ini tak sekadar untuk keperluan riset pustaka dan urusan studi, tapi untuk “kebutuhan membaca”. Setiap buku terbitan lama dan anyar masih dibutuhkan. Dengan menyimpan banyak buku, perpustakaan memang bisa dikiaskan sebagai “museum buku”. Namun, kita juga membutuhkan museum buku dalam arti sebenarnya, yang menyimpan dan menjaga buku-buku lama dari kepunahan. Buku-buku lama maupun buku-buku yang tak lagi diterbitkan perlu dimuseumkan demi kebutuhan membaca setiap generasi kini dan mendatang.

Bagaimana pun, buku tak sekadar kumpulan aksara tanpa makna. Buku telah merekam jejak peristiwa. Buku juga menyampaikan ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan. Buku menjadikan setiap manusia memiliki kedalaman pengetahuan dan wawasan. Dengan buku, manusia memiliki pikiran dan jiwa besar, mampu mengimajinasikan dan merancang masa depan. Membaca buku, kita membaca zaman. Tak sekadar teks, buku juga menyimpan nilai-nilai di setiap zaman yang bisa menjadi pelajaran. Dengan adanya museum buku, kita menjaga sejarah. Tak hanya lembaran-lembaran yang dijilid, buku juga menghadirkan penulis dan pengarang. Museum buku juga menjaga sosok penulis dan pengarang dengan pikiran dan gagasannya.

Berdirinya museum buku di kota Yogyakarta menjadi hal luar biasa. Tim khusus bisa dibentuk dalam upaya penelusuran dan pemerolehan buku-buku lama yang kini tak lagi beredar. Bagi masyarakat yang memiliki buku-buku terbitan lama bisa berkontribusi menyumbangkan bukunya. Museum buku akan menampung buku-buku terbitan zaman prakemerdekaan sampai zaman kini. Mendirikan bangunan yang pastinya bertingkat, pengadaan buku dan perawatannya, dan juga petugas yang mengelolanya memang dibutuhkan dana besar. Namun, museum buku yang diperlukan untuk “kebutuhan membaca” setiap generasi tak mungkin tanpa pengorbanan. Nantinya buku-buku di museum buku tak dipinjamkan, namun bisa dibaca. Buku perlu tersebar dan terbaca secara luas. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pena Profetik Yogyakarta